Wednesday, March 27, 2019

ELEKTABILITAS

Belakangan ini telingaku seperti sudah terdistorsi, sudah sangat terganggu dengan satu kata yang terus menerus lalu lalang menimbulkan suara bising tanpa bisa kumengerti mengapa bisa menjadi seperti itu.

Ya. Kata itu adalah elektabilitas.

Aku yakin hampir semua orang sudah merasakan bisingnya suasana yang disebabkan oleh kata ini. Hanya efeknya saja yang berbeda-beda; jika aku mulai merasakan kata elektabilitas sudah menjadi seperti gangguan akut di telinga, bagi sebagian orang lain mungkin tidak seperti itu. Ada yang bergembira ria mendengar kata ini terus bersiliweran, ada yang bersedih, ada yang marah, dan bahkan ada juga yang depresi dibuatnya.

Aku ingin membahas kata elektabilitas ini dengan memulai tanpa mengupas definisinya sebagaimana yang tercantum dalam kamus.

Sebagai permulaan, aku setuju bahwa angka-angka elektabilitas memang benar dibutuhkan. Aku suka dengan analogi yang mengatakan bahwa elektabilitas itu ibarat panel indikator yang selalu kita lihat di dashboard mobil saat sedang berkendara. Kita akan dengan mudah mengetahui berapa kecepatan, berapa bahan bakar yang tersedia, belum lagi dengan teknologi map yang banyak tersedia, kita akan tahu rute mana yang akan ditempuh dan berapa lama untuk bisa sampai ke tujuan.

Indikator pada mobil akan membantu kita untuk mengambil keputusan penting saat berkendara, misalnya meningkatkan kecepatan mobil kalau lagi dikejar waktu, atau mampir ke pom bensin jika tidak ingin berhenti ditengah jalan karena kehabisan bahan bakar.

Namun, saat ini kata elektabilitas ternyata tidak sesuai lagi dengan gambaran di atas, dia jauh lebih hebat dari pada itu. Bahkan parahnya, jika menggunakan perumpamaan mobil diatas, sebuah panel indicator di dashboard mobil ternyata sudah menjadi lebih berharga dibandingkan dengan mobil itu sendiri.

Sebenarnya aku benci untuk mengakui bahwa kata Elektabilitas ternyata sudah menjadi sehebat itu karena elektabilitas hanyalah satu kata yang direpresentasikan oleh deretan angka persentase milik masing-masing kandidat, itu saja.

Tapi, dua derat angka persentase ini, disadari atau tidak, bisa mempengaruhi begitu banyak orang dan melahirkan ribuan analisa yang kalau dikumpulkan dalam seketika bisa menjadi berjilid-jilid buku. Kata elektabilitas tiba-tiba sudah mengeyampingkan banyak faktor-faktor lain, dan sudah menjadi sebuah awal sekaligus juga akhir dalam siklus politik di negara ini.

Jika anda ingin maju menjadi pimpinan daerah atau presiden di negara ini, maka yang dilihat pertama kali adalah berapa besar angka elektabilitas anda. Saat anda akan berbicara dengan orang-orang, organisasi, atau partai politik, maka anda akan melakukan lobby-lobby dengan berpijak pada kata ini, seberapa besar tingkat keterpilihan anda dibandingkan dengan calon-calon yang lain. Kemudian baru berapa besar "amunisi" yang anda miliki untuk menghimpun dukungan logistik guna meningkatkan elektabilitas pada masa kampanye.

Jika ada yang berpikir tentang kesamaan ideologi atau visi misi yang dimiliki seorang calon untuk memperoleh dukungan politik, maka bersiaplah untuk kecewa.

Ideologi dalam politik saat ini adalah sesuatu yang bisa dikesampingkan, dikompromikan, diadaptasi, atau dinegosiasikan, sejauh semua pihak yakin dengan elektabilitas sang calon. Begitu juga dengan usaha-usaha untuk memperoleh dukungan dari organisasi atau para donatur. Akan menjadi jelas bahwa posisi negosiasi akan ditentukan oleh berapa besar tingkat elektabilitas sang calon pada saat itu.

Inilah penjelasan paling logis dari peristiwa yang sering kita dengar dimana banyak calon kepala daerah yang kecewa karena justru dia tidak didukung oleh partainya sendiri saat maju dalam pemilihan. Sudah patut diduga bahwa pengkhianat itu bernama "elektabilitas", selain masalah uang tentu saja.

Begitu juga setelah seseoarang resmi menjadi "kandidat" pada pemilihan umum, maka hari-harinya akan diisi dengan usaha-usaha untuk meningkatkan "elektabilitas".

Politik sudah menjadi suatu yang lebih personal karena fokus utamanya pada para kandidat, dan strategi kampanye dirancang dengan jauh lebih menitikberatkan pada program-program peningkatan elektabilitas.

Bisa jadi ini ada hubungannya dengan istilah-istilah yang belakangan mulai muncul, seperti political scientist, atau political engineering, selain istilah lama seperti political consultant yang biasa kita dengar.

Politik seolah-olah sudah bergeser menjadi bidang kajian eksakta, dimana banyak hal sudah terkuantifikasi, veriabel-variabel yang berpengaruh sudah mulai disederhanakan, dan diformulasikan, demi tujuan-tujuan elektabilitas.

Kalian mungkin tidak percaya kalau pihak-pihak yang menawarkan algoritma atau formulasi tentang cara cepat meningkatkan elektabilitas adalah pihak yang paling dibutuhkan saat ini, sekaligus juga pihak yang akan mendapatkan keuntungan sangat besar.

Aku tegas mengatakan hal ini, karena hubungan erat antara elektabilitas dengan uang. Elektabilitas adalah sesuatu yang bisa didongkrak dengan uang, dalam jumlah yang fantastis tentu saja. Untuk pemilihan presiden, persen demi persen kenaikan elektabilitas berbanding lurus dangan trilyun demi trilyun uang yang dikeluarkan.

Ini yang membuatku jengah dengan lembaga-lembaga survei, konsultan politik, atau lembaga survey yang merangkap sebagai konsultan, dan termasuk juga para pengamat. Mereka adalah pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap pembangunan opini yang menempatkan semua pihak hanya peduli pada elektabilitas. Mereka seolah-olah lebih "menghamba" pada jajak pendapat, pada hasil polling, seolah-olah hasil pemilu akan ditentukan dengan jajak pendapat yang rutin mereka lakukan.

Program-program kampanye disusun hanya untuk menggerakkan hasil polling, psikologi pemilih juga dipengaruhi agar hasil polling ikut menjadi dasar pemilih untuk mengambil kepususan siapa yang akan mereka coblos saat pemilu, bahkan ada yang mongopinikan bahwa pemilu sudah selesai dengan berpijak pada hasil polling semata.

Kalau ada yang membayangkan bahwa pesta demokrasi akan identik juga dengan pesta literasi, karena wacana yang diluncurkan tentang ideologi kebangsaan, konsep kehidupan berbangsa dan bernegara, tentang program-program pembangunan, atau peningkatan kualtas SDM, mulailah untuk realistis dengan kenyataan bahwa semua itu hanya menjadi pelengkap saja. Ibarat kita mengkonsumsi hidangan penutup dari menu utama elektabilitas yang tersaji.

Kita semua seolah-olah digiring untuk cuma perduli pada hasil jajak pendapat. Itulah alasan hari-hari yang kita lewati dimasa kampanye pilpres ini hanya berkutat dengan hoaks, pencitraan, fitnah, dan lain-lainnya, karena semua berpikir dengan cara seperti itu.

Itulah yang membuatku sangat terganggu belakangan ini. Bahkan aku berharap elektabilitas ini sekali waktu bisa menunjukkan wujud secara fisik, karena aku sudah siapkan sebilah belati untuknya. Kapan pun kami berpapasan di jalan, dia akan kubuat tersungkur di tanah dan tewas seketika.

Aku tidak peduli akan menjadi orang paling dibenci di negara ini karena sudah membuat mereka begitu berduka. Namun, kalian mungkin bisa membayangkan kepuasan yang kurasakan jika ada orang yang berusaha mencari kata itu dari dalam kamus dan menemukan statusnya yang sudah almarhum.

Bagiku, menjadi penting untuk membuat semua orang berduka demi sebuah kelahiran baru, demi sebuah identitas baru, demi sebuah definisi yang lebih layak ditempatkan kepada satu kata yang akan menjadi pengganti kata elektabilitas nanti

No comments: