Sunday, March 1, 2020


Satu perkembangan monumental yang terjadi pada akhir abad ke-20 adalah kemampuan teknologi dalam menciptakan realitas virtual dan cyberspace, sehingga merubah perkembangan wajah dunia dan kebudayaan kontemporer yang dibentuk oleh riuh rendah citraan elektronik (televisi, video clip, game, internet) serta sorak-sorai idiom-idiom pos-modernisme (pastiche, kitsch, parodi, camp, skizofrenia). Citraan-citraan ini membentuk realitas baru dunia, yang kita merupakan bagiannya.

Dan, kita menjadi model kehidupan nyata. Kecenderungan realitas citraan ini tampaknya akan terus berlanjut, namun tentunya dengan dimensi yang berbeda. Perkembangan teknologi pada abad ke-20 telah mencapai suatu masa di mana realitas semu yang diwujudkan melalui pencitraan digital menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari. Hiper-realitas visual, merupakan ungkapan di mana realitas visual telah dilampaui dengan manipulasi dari pencitraan visual, sehingga seolah manusia melangkah dari dunia nyata menuju dunia fantasi, dunia maya yang tampak nyata.

Kebudayaan kontemporer memasuki kondisi di mana di dalamnya, tabir antara realitas dan fantasi semakin tipis. Banyak hal yang sebelumnya dianggap fantasi kini menjadi realitas, dan ini akan berpengaruh terhadap kebudayaan dan kehidupan manusia.

Sebuah objek dapat mewakili realitas melalui penandanya (signifier), yang mempunyai makna atau petanda (signified) tertentu. Dalam hal ini, realitas adalah referensi dari penanda. Namun, bisa juga terjadi bahwa sebuah objek sama sekali tidak mengacu pada satu referensi atau realitas tertentu, karena ia sendiri adalah fantasi atau halusinasi yang telah menjadi realitas. Ini yang dalam bahasa Baudrillard dikatakan hiper-realitas.

Menurut Baudrillard era ‘hiper-realitas’ ditandai dengan lenyapnya petanda, dan metafisika representasi; runtuhnya ideologi, dan bangkrutnya realitas itu sendiri yang diambil alih oleh duplikasi dari dunia nostalgia dan fantasi atau menjadi realitas pengganti realitas, pemujaan (fetish) obyek yang hilang bukan lagi obyek representasi, tetapi ekstasi penyangkalan dan pemusnahan ritualnya sendiri.

Dunia hiper-realias adalah dunia yang disarati oleh silih bergantinya reproduksi obyek-obyek yang simulacrum, obyek-obyek yang murni ‘penampakan’, yang tercabut dari realitas sosial masa lalunya, atau sama sekali tak mempunyai realitas sosial sebagai referensinya.

Di dalam dunia seperti ini subyek sebagai konsumer digiring ke dalam ‘pengalaman ruang’ hiper realitas pengalaman silih bergantinya ‘penampakan’ di dalam ruang, berbaur dan meleburnya realitas dengan fantasi, fiksi, halusinasi dan nostalgia, sehingga perbedaan antara satu sama lainnya sulit ditemukan, dalam hal ini hiper-realitas dalam pandangan Baudrillard lebih menekankan baik nostalgia maupun fiksi ilmiah (science fiction).

Orang yang berada dalam era ini terjebak dalam kondisi schizofrenia, mengingat mereka tidak perlu merefleksikan tanda, pesan, makna atau norma-norma. Massa pun disuguhi reproduksi nilai-nilai penampakan akan tetapi bukan reproduksi nilai-nilai ideologi atau mitologis. Massa adalah konsumer yang menyerap nilai-nilai materil, nilai pencitraan/penampakan.
Kondisi tersebut bisa dijumpai tatkala seorang berada di depan televisi, film tiga dimensi, video, video game, virtual reality lewat komputer. Totalitas hidup seseorang (kegembiraan, kesedihan, keberanian, dsb.), secara tak sadar, mereka telah terperangkap di dalam dunia hiper-realitas visual (media) dengan kesadaran, maka ia akan menyadari bahwa apa yang ia saksikan tak lebih dari sebuah fantasi, fiksi atau fatamorgana.

Menurut Baudrillard dunia realitas dan dunia hiper-realitas media/televisi/internet sudah sulit dibedakan, kedua-duanya sama-sama nyata. Pendapat senada dikemukakan oleh Arthur K & David Cook yang menyatakan bahwa televisi telah berkembang menjadi realitas kedua.

Televisi, bahkan lebih nyata dari dunia realitas sendiri, sebab tidak saja realitas yang telah terserap total dalam citraaan televisi, tetapi juga karena televisi mampu membuat pemirsanya tenggelam dalam citra simulacrum-nya. Di dalam televisi, realitas, fantasi, halusinasi, illusi telah berbaur menjadi satu. Dengan demikian pertanyaan yang menarik diajukan adalah masih adakah perbedaan antara realitas dan dunia nyata televisi, bila penonton bisa tersedu-sedu di depan televisi, sebagaimana ia dapat menitikkan air mata di dunia realitas?.

Yang perlu dilakukan sekarang adalah penyadaran akan dunia hiper-realitas yang sedang kita jalani bersama ini. Kita tanpa sadar tertarik pada pengaruh meleburnya realitas dengan fantasi, saat kita asyik tenggelam dalam tontonan TV atau film bioskop, pada saat kita keluar dari kondisi tersebut maka kita pun kembali tersadar akan dunia sesungguhnya. Dalam hal ini, berlaku pula kesadaran akan peleburan realitas-fantasi, yakni saat kita memposisikan diri untuk melihat dari satu sisi lain, sehingga akan dapat mencermati dan memahami persoalan termasuk permasalahan ini.

Dalam bukunya The Post-modern Scene: Exremental Culture & Hyper-Aesthetics, secara lebih khusus Arthur K & David Cook menjelaskan bahwa TV telah menjadi dunia nyata kebudayaan, yang menjadikan hiburan sebagai ideologinya, tontonan sebagai tanda dan perlambang bentuk komoditi, lifestyle advertising sebagai psikologi populernya, serialitas murni dan kosong sebagai perekat menyatukan simulacrum para pemirsa, citra-citra elektronic sebagai bentuk ikatan sosial, politik media elit sebagai formula ideologis, jual beli tontonan yang diabstraksikan sebagai medan rasionalisasi pasar, sinisme sebagai tanda kebudayaan yang utama dan penyebaran jaringan relasi kekuasaan sebagai produk nyatanya.

Di era digital, obyek tidak lagi sekadar perpanjangan tangan manusia seperti dikatakan Mc. Luhan, tetapi kini merupakan ekspresi langsung dari diri manusia sendiri, menjadi diri manusia-semacam cyborg.

Abad digital ini tidak saja mengubah cara kita melihat realitas, tetapi juga menimbulkan kesadaran baru tentang kemungkinan hidup di dalam perbauran antara masa lalu, masa kini dan masa depan, antara subyek manusia dengan obyek, antara yang natural dan yang artificial, di dalam simulasi elektronik, di dalam halusinasi ruang.

Era digital memungkinkan pencitraan dengan resolusi tinggi dari mulai still image sampai dengan gambar bergerak (sinema) bahkan pencitraan tiga dimensi (3D). Banyak hal yang dahulu dianggap tidak mungkin kini menjadi mungkin. Sekarang ini orang dengan mudah mengakses internet untuk melihat gambar foto bintang film Brooke Shields telanjang tanpa busana. Gambar begitu tajam dan sempurna, sehingga tidak perlu lagi rasanya untuk membeli majalah Playboy atau majalah dewasa lainnya.

Ditengah hiruk-pikuknya perkembangan teknologi digital tersebut, terdapat lima perkembangan penting citraan elektronik yaitu, foto digital, spesial efek gambar bergerak (animasi), game, virtual reality, dan internet, yang mana realitas visual telah dilampaui dengan manipulasi dari pencitraan visual, sehingga seolah manusia melangkah dari dunia nyata menuju dunia fantasi, dunia maya yang tampak nyata.
Hiper-realitas merupakan kondisi di mana keadaan seakan telah melampaui realitas, suatu keadaan dimana fantasi/mimpi-mimpi berusaha untuk diwujudkan/ direpresentasikan sehingga batas antara keduanya nyaris tiada.

Dalam hal ini pencitraan yang direalisasikan melalui berbagai media semakin mantap medukung eksistensi dunia maya. Teknologi digital terus berkembang sampai pada tingkat kesempurnaan, sehingga pada akhirnya virtual reality dapat terwujud, membawa fantasi manusia menembus batas, menciptakan ruang-ruang 3D berikut obyek- obyek yang terkait didalamnya.
Permasalahannya tidak menjadi rumit apabila hanya sekedar perkembangan teknologi, tapi pada kenyataannya, kita dihadapkan pada realita bahwa perkembangan teknologi ini membawa dampak negatif pula. Pada saat teknologi memuaskan hasrat/nafsu manusia, memberikan pesona ekstasi, maka nilai-nilai moral seakan rontok satu per satu.

Kejahatan, Kriminal, Pornografi, muncul dengan bebas dan dengan format baru.
Pola sosial dan individu ini kemudian menjadi bahan pemikiran dalam konteks perilaku lingkungan. Seberapa besar kesadaran orang akan permasalahan dan keadaan sekarang? Apakah memang ternyata manusia semakin larut dalam ekstasi hidup dan siap-siap menghadapi kehancuran moral. Setidaknya manusia mempunyai kesadaran dalam hal ini, dan dapat memandang dari sisi luar, sehingga dapat berjalan pada jalan yang jelas, bukan jalan gamang dan tak menentu.