Melawan Trauma dan PTSD Yang Menjadi Momok Para Pembangkang
Trauma yang akan dibahas disini adalah trauma psikologis, dan selanjutnya akan dipendekkan menjadi trauma. Trauma (psikologis) menurut samhsa.gov adalah cedera pada pikiran, diakibatkan oleh satu atau beberapa kejadian yang sangat signifikan dan cenderung mengancam. Trauma adalah hal yang sering ditemui sebagian besar individu, dan sangat dekat bagi para pembangkang, baik pasifis maupun insureksionis. Mengapa? Karena setiap aksi ilegal pasti akan mendapat tindakan represif dari aparat. Baik segalak arson, sampai setenang food not bomb. Kita mengenal istilah “efek jera” dalam setiap tindakan yang diambil aparat. Efek jera inilah yang sering kali menjadi trauma. Hal ini terjadi karena efek jera yang diberikan seringkali adalah tindakan represif yang mencederai pikiran. Sebagai contoh adalah tembakan peringatan, gas air mata, pemukulan, hingga tindakan kasar dan melecehkan setelah tertangkap. Karena setiap individu adalah unik, maka bentuk trauma yang dialami juga bervariasi. Menurut Storr CL dalam American Journal of Psychiatry (2007; 164 (1)), karena trauma berbeda antara individu, berdasarkan pengalaman subjektif, individu akan bereaksi berbeda terhadap kejadian traumatis yang serupa. Dengan kata lain, tidak semua orang yang mengalami kejadian berpotensi trauma akan mengalami trauma. Sebagai contoh adalah penjara. Beberapa orang akan menganggap penjara sebagai hal yang biasa, dan sisanya akan menganggap penjara sebagai sebuah bencana besar. Ada kemungkinan pada beberapa orang untuk mengidap Post-traumatic stress disorder (PTSD). PTSD adalah gangguan mental yang terjadi setelah seseorang mengalami kejadian traumatis dan mengalami trauma.
Perlu diingat, bahwa kejadian traumatis tidak hanya terjadi dalam aksi represif. Dan kemampuan menerima kejadian traumatis akan berbeda satu sama lain. Trauma masa kecil bisa menjadi momok ketika dewasa. Kejadian yang dipandang sepele oleh kebanyakan orang juga bisa menjadi trauma pada beberapa orang. Sering kita menemukan kondisi dimana seseorang mengalami trauma yang diakibatkan kejadian “sepele”. Namun kita perlu mengingat keunikan setiap individu dalam menerima kondisi traumatis. Beberapa individu akan menggunakan jasa psikiater atau psikolog. Beberapa akan meminta bantuan kawan sekitar untuk menyembuhkan trauma. Sebagian lagi memutuskan untuk mengkonsumsi alkohol dan obat penenang. Namun, cara alternatif dalam menghadapi trauma adalah dengan resiliensi.
Konsep resiliensi diformulasikan pertama kali oleh Block dalam karya EC Klohnen yaitu Conceptual analysis and measurement of the construct of ego-resiliency (1996) dengan nama ego-resilience, yang diartikan sebagai kemampuan umum yang melibatkan kemampuan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes saat dihadapkan pada tekanan internal maupun eksternal. Secara spesifik, ego-resilience adalah Sumber daya personalitas yang mengizinkan individu untuk memodifikasi karakteristik mereka dan cara habitual dari ekspresi pengendalian ego, sebagai cara, pembentukan, dan penghadangan paling adaptif dalam konteks lingkungan. Sederhananya, resiliensi adalah kemampuan individu untuk menghadapi kejadian traumatis tanpa mengalami trauma. Menurut K. Reivich dan A. Shatte dalam The Resilience Factor; 7 Essential Skill For Overcoming Life’s Inevitable Obstacle (2002), resiliensi dibangun dari 7 kemampuan berbeda. Hampir tidak ada satupun individu yang memiliki seluruh kemampuan ini dengan baik. Kemampuan ini terdiri dari: Regulasi Emosi; Pengendalian Impuls; Optimisme; Empati; Analisis Penyebab Masalah; Efikasi Diri; dan Peningkatan Aspek Positif.
Menurut The Jane Addams Collective dalam theanarchistlibrary.org, setiap individu memiliki kemampuan resiliensi dalam dirinya, sesuai dengan karakteristik dan keunikan personal. Faktor resiliensi bisa hadir dari individu, komunitas, kelompok pertemanan, dan keluarga. Dengan mengaktifkan resiliensi secara sadar, dalam pendekatan kreatif dan dinamis setelah kejadian traumatis, efek jangka panjang dari trauma dan PTSD bisa ditepis.
Faktor Resiliensi dijelaskan sebagai berikut
Individu:
1. Pembuatan Makna (dari setiap kejadian)
2. Kemampuan untuk memecah dan mengkonsepkan masalah
3. Kepekaan untuk efiasi diri dan mengambil keputusan
4. Otonomi
5. Keteguhan: komitmen, kontrol, dan tantangan
6. Harga diri dan kepercayaan diri
7. Altruisme dan perilaku prososial
8. Penggunaan pertahanan ego dengan dewasa
9. Aktif melawan gaya menghindari perkara
10. Fokus menghadapi masalah melawan menghadapi emosional
11. Peneriman rasa takut dalam diri dan lainnya
12. Menghilangkan atau merendahkan level rasa bersalah, malu, dan terhina
13. Humor
14. Respon proaktif pada kekerasan
15. Berpikiran jernih
16. Sistem kepercayaan personal
17. Kesiapan psikologis
Komunitas:
1. Penerimaan ketersediaan dukungan sosial
2. Menerima dukungan sosial
3. Mencari dukungan sosial secara aktif
4. Menyingkapkan pengalaman traumatis kepada orang tertentu
5. Rasa identitas kelompok dan memandang diri sebagai penyintas secara positif
6. Hubungan, ikatan, interaksi sosial dengan kelompog tertentu dari kawan dan sesama penyintas
Resiliensi bukanlah perisai dari kejadian traumatis. Namun menyebabkan usaha membentuk trauma oleh musuh kita menjadi percuma. Resiliensi akan melucuti efek dari malu, takut, bersalah, tanpa harapan, keruntuhan sosial, dan isolasi – yang menjadi efek jangka panjang paling kuat dari aksi traumatis atau eliminasi politis. Kombinasi antara psikologis dan resiliensi berbasis kelompok dapat menghindari efek jangka panjang dari trauma. Membalikkan efek ini akan nyata dengan resiliensi – setiap trauma akan memerlukan kekuatan lebih untuk mencapai efek yang sama seperti kepada mereka yang tidak menerapkan resiliensi.
Jika trauma menjadi kunci represi hari ini, maka resiliensi adalah senjata bagi pembangkang.
No comments:
Post a Comment