Saturday, January 12, 2019

Sabtu,  12 Januari 2019
Tentang Kerinduan dan Penantian.

Saat ini aku sedang duduk di atas kursi plastik berwarna biru di sudut kamar kecilku.
Meringkuk dingin seperti kucing manja lantaran hujan turun dengan derasnya membasahi bumi.
Padahal siang tadi panas matahari sampai di puncaknya membuat gerah sebagian isi dunia.
Kurasakan tubuhku menggigil, malas kubergerak dan memilih diam saja di sini.
Juga hidungku mulai bereaksi dengan peralihan cuaca yang baru saja terjadi.
Mungkin juga karena dampak dari bentuknya yang mancung hingga pergantian debupun sedikit tersumbat.
Disusul kepalaku mulai berat dengan gejala flu ini.
Mataku menjadi berair karena terus bersin menggila.
Mungkin aku demam, suhu badanku drastis naik.
Aku tetap diam disini, hilang hasrat untuk melakukan apapun bahkan bermanja ria dengan gadget kesayanganku.
Kuintai jam dinding di ruang tamu yang dapat kulihat dari pintu kamarku.
Kebetulan kursiku bertengger di samping pintu bersebelahan dengan benda elektronik yang bisa berdetak seperti jantung itu.
Pukul sembilan lebih sekian menit.
Belum terlalu larut, dengan angka begitu hanyalah jam tidur untuk anak sekolahan.
Sedangkan aku, sudah cukup tua untuk itu.

Ada yang lebih penting di ingatanku.
Aku sedang merindu.
Merindu dengan seseorang yang sebenarnya kutahu berada di mana.
Namun tak bisa kuhubungi dan tak kunjung menghubungiku.
Itu alasanku memilih jauh dari handphone dan gadgetku karena menunggu kabar darinya sukses membuatku cemberut.
Aku tak mungkin menghubunginya duluan, walaupun tanganku sudah gatal kiri dan kanan untuk mendapat suntikan semangat darinya.
Aku lemas sempurna dengan keadaan ini sekarang.
Biasanya selalu ada sapaan singkat darinya di klipboard WAku meski hanya sekali dua kali dalam sehari, namun tidak beberapa hari terakhir.
Harusnya dia tahu, hanya hal kecil itulah yang menjadi ceriaku untuk   di bulan belakangan.
Juga biasanya, dialah pendengar dan pembaca setiaku yang mau tersenyum meski dalam lelah  dan tentang apapun aktifitasku.
Kulawan sakit ini, kulempar selimut yang sedari tadi melindungi kulitku dari sengatan dingin yang menusuk.

Kutarik selembar kertas HVS kosong yang masih rapi berada dalam kotak di bawah ranjangku.
Aku tidak punya diary, itu saja.
Media kertas apapun tak aku hiraukan asal aku bisa merusaknya, meremasnya, merobeknya bahkan membakarnya untuk menyiksa kejam benda tipis itu.
Lanjut kucari pulpen standart-techno yang biasanya sembarang kuletakkan dimanapun.
Mungkin karena harganya yang murah membuatku kurang menghargainya dan akan menyusahkan kusendiri saat aku membutuhkannya.
Maklum, jika benda murah yang hilang pasti jarang menjadi beban pikiran.
Lain halnya jika yang hilang adalah yang mahal.
Dan tak lama, kutemukan benda tak mahal itu berada dalam tas kecilku.
Sejak kapan tas kecil suka menyembunyikan benda tak mahal seperti itu.
Pasti tas kecil dan pulpenku tidak tahu, hidung tuannya semakin meler karena pilek mendadak yang menyerangnya semakin membabi-buta saat mencari mereka.
Benda murah kecil menyebalkan tapi sangat kubutuhkan.

Kuingin melancarkan aksi menulisku
Panggilan sayangku untuk seseorang yang pantas masuk DPO.
Sepantasnya dia kulaporkan ke polisi setempat, telah lebih 24 jam  itu hilang tanpa kabar.
Jelas aku khawatir.
Dia manusia, bukan benar-benar binatang mamalia langka di Kutub Utara yang kuculik ke negara tropis ini terus kupelihara.

Kubuka jendela reot rumahku memastikan keadaan di luar, jujur saja aku bukan orang kaya dengan jendela rumah yang harus berteralis untuk mencegahnya dari pencuri.
Toh, apa yang bisa dicuri dari rumah rupawan ini, tak ada.
Di hadapanku hanya jendela berventilasi biasa.
Dan mungkin sebentar lagi rubuh seiring menuanya usia rumah papanku.
Kudapati hujan mereda, namun dingin tersisa serta pilek semakin menyiksa.
Siapa yang peduli ?
Aku menjadi takut, takut dia malah memilih kabur kembali ke Kutub Utara dan menetap selamanya di sana.
Jika itu terjadi, tamatlah riwayatku dan habislah segala inspirasi dalam hidupku.
Aku mengernyit, ngeri.
Kututup kembali jendela ini sebab nampaknya angin pun dengan nakalnya sedang mengincar tubuhku.
Sudah, aku ingin menulis.

Kupilih ruang depan untuk menerima kebisuanku saat ini.
Duduk bersila di depan televisi tanpa ingin meliriknya sedikitpun.
Sambil kusandarkan bahuku di dinding bawah jendela lain rumahku.
Membayangkan wajah manis dia yang lucu.
Manis sekali, memang sewajarnya aku merindukannya.
Lalu retina mataku tepat menangkap meja belajar kecil milik adik bungsuku yang berada tepat di depanku.
Dengan sedikit lesu aku mengambilnya dan kemudian kembali duduk ke tempat semula.
Aku bersyukur, bungsu sudah tidur karena biasanya dialah makhluk kecil bawel namun cengeng yang sangat pelit dan akan marah jikalah benda benda miliknya disentuh.
Sedikit hal lain yang membuatku terhibur, gambar meja belajar ini adalah pemeran tokoh di film-film Barat yang terkenal dengan animasi binatangnya.
Dan salah satunya Beruang di film The Golden Compass, namun maaf aku tak kenal namanya.
Aku memang suka menonton film, tapi tak sefanatik itu harus berkenalan dengan segala makhluk yang muncul di dalamnya.
Yang jelas, di meja itu ada gambar beruang berbaju besi yang sedang menganga dan daya akomodasi mataku berhasil memperjelas penglihatanku menjadi lebih jelas.
Ternyata besar juga pengaruh makhluk raksasa itu dalam indahnya kehidupan khayalanku.

Dan inilah salah satu hobiku, saat malas mengguncang mulut berduet dengan manusia, aku lebih memilih menuangkannya dalam coretan-coretan tinta.
Aku lebih senang berdiam diri dan saat itu tiba, aku takkan peduli dengan apapun di sekitarku.

Di otakku saat ini beradu antara emosi dan tangan untuk menghasilkan tulisan jauh lebih menarik dari apapun.
Aku harusnya wajib bersyukur, memiliki otak korslet seperti ini dan kuyakin tak kebanyakan orang memilikinya.
Aku hanya akan terinspirasi menulis jika sedang terperangkap dalam Zone Kacau Menggalau mirip seperti saat ini, otak korsletku akan bekerja semaksimal mungkin meski harus menyisakan kerut di wajahku dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Malangnya kelebihanku.

Kuletakkan HVS menutupi beberapa gambar meja belajar ini.
Tak terkecuali gambar beruang itu sendiri.
Kuayunkan pulpen murah tadi di atas kertas HVS yang masih suci.
Kucoba merangkai huruf demi huruf dalam khayalan untuk menodai kertas ini.
Menilik satu demi satu susunan kata berhias pulpen bertinta biru.
Mengemas asa dalam lembaran sajak kerinduan.
Lalu kubiarkan hening mengambil alih jiwaku.
Memintal gelapku di atas lembar yang haus akan
dirimu.
Terpaku bukan tanpa nada dan ada raga ku yang masih bernyawa.
Tapi, semua tak tertuang dalam HVS ini.
Masih kosong.

Kukejar lagi ingatan tentang dirimu.
Terlalu banyak atau terlalu sedikit atau bahkan tak ada.
Kupaksa menulis apapun yang terbersit di pikiranku.
Aku gagal.
Tak kutemukan kata pertama yang tepat untukmu.
Bukan tak ada, tapi aku ingin kata pertama adalah kata akhir yang indah untuk kita berdua.
Pelaminan misalnya.
Namun naas, aku gagal.
Asaku terlalu tinggi dan melebar.
HVS ini masih bersih, tetap saja kosong.

Kurampas sisi menyebalkan dirimu.
Sisi yang suka tak bertanggungjawab atas rasa rindu yang kau tinggalkan.
Sisi menyebalkan namun adalah sisi terbaik dirimu.
Yang selalu membuatku mengingatmu saat apapun dan dimanapun aku.
Kali ini, lebih gagal.
Pulpenku pun hanya melayang-layang di udara mulai tak sabar ingin mendarat di HVS ini.
Tak tersentuh, dan HVS pun masih kosong.

Aku semakin geram.
Tak biasanya kertas sasaranku masih putih bersih kosong tanpa hiasan.
Meski hanya satu tanda baca saja.
Padahal sedari tadi hati kecilku terus berkomat-kamit mencari mantera jitu penangkal kekosongan.
Aku hanya ingin tulisan ini menjadi yang terindah dari yang indah untukmu.
 kekasih hatiku.
Tak boleh ada cela, tak boleh ada salah.
Tak boleh.
Jangan!
Kuangkat kepalaku beristirahat sejenak memandang langit-langit rumah.
Moga-moga saja tertuang inspirasi dalam lamunan ini.
Menghela nafas dalam-dalam hingga kurasa langit-langit rumahpun seakan mengejekku.
Diikuti cekikikan seram di dalamnya lalu kemudian tertawa dan berteriak memanggilku.
Ah fatamorgana, suara itu hanya berasal dari
Aku tak peduli.

Aku akhirnya tersadar, ada yang terlupakan.
Lekas kuberdiri dan berjalan lunglai menuju kamar mengambil gadgetku yang sudah membengkak terisi daya dan kembali duduk seperti tadi.
Mungkin aku butuh sedikit hiburan sementara imajinasiku terus mengkhayalkan tulisan di HVSku.
Baru sejam aku duduk membodoh di sini.
Tak ada hasil.
Lembaran untukmu masih kosong,
Dimana dirimu?
Apa kabarmu?
Ingatkah kau ada aku yang menunggumu?
Sayang, aku rindu.

Kuputuskan keluar rumah dan berayun di teras karena keadaanku mulai membaik.
Tak lagi sedingin tadi.
Meski sesekali aku masih bersin dan hidungku kembang kempis menggoyangkan ayunan ini.
Bola mataku berputar bebas memandang langit gelap tak berawan di atas sana dalam posisi berbaring berselimut kain dipeluk ayunan berjaring ini.
Hampa jiwaku menghantui diriku sendiri.
Sayup-sayup angin kini memecah keheningan malamku.
Semoga dapat apa yang kuinginkan tentang HVSku di dalam sana.
Agar tak lagi kosong untuk kuhadiahkan padamu.
Karena aku merasa melihat bayangmu di atas langit itu
Apakah kau sedang melakukan hal yang sama denganku ?
Pastilah tidak, aku tahu.
Kau terlalu bodoh untuk tahu bahwa di langitpun bisa terlukis abadi sketsa wajahmu dengan sihirku.

Barulah kuingin sibuk dengan gadgetku dan lalu konsentrasiku buyar lantas terdengar suara orang lewat berteriak-teriak.
Kukira benar adanya para syaitan selama bulan ini.
Namun mengapa para kuntilanak itu semakin menjadi-jadi di jam segini berkeliaran tak karuan.
Tidak sopan.
Bagaimana mungkin aku menikmati kerinduan ini dengan gangguan besar seperti itu.

Kudengar handphone kecilku berdering dalam kamar.
Kuajak masuk bayangan Ber-Kut yang masih di langit untuk menemaniku malam ini saja.
Dan kutinggalkan kejengkelanku dengan para kuntilanak itu semoga kembali pulang ke alam mereka masing-masing.
Aku keluar lagi menuju ayunan ingin melanjutkan prosesi galau yang tertunda.
Tentunya dengan raut wajah yang semakin keriput.

"Sabar ya,  Sedikit lagi untukmu, akan selesai indah sayang, sabarlah." batinku menghibur.

Baru kali ini batinku tak mengajak berperang.
Mungkin bosan dengan tingkahku yang sama sekali tak ingin mengalah bahkan dengan diri sendiri.
Apalagi dengan kegagalanku menulis untuk dia.
Kuputuskan mengunci pintu dan langsung duduk lagi di singgasana dengan pemandangan HVS kosong.
Masih nihil frase kata.
Kurogoh kantong celanaku melihat ada perkembangan apa di gadget ku yang sedang teraniaya tanpa berita pujaan hatinya.
Oh tidak, betapa banyak inbox Fb dan WA yang minta digilir untuk kubaca.
Ada simbol pesan juga di sudut kiri gadgetku, namun bisa kuramal bahwa itu pastilah dari 'sebut saja Telkomsel'.
Ikut meramaikan alasanku untuk semakin cemberut.
Juga beberapa permintaan pertemanan baik di Fb
Aku tak punya Soc-Med lagi selain itu, jadi hanya itu yang bisa kurincikan untuk dia




Semakin keras aku menambah dosa dengan meradang begini, akhirnya alarm alam berbunyi.
Perutku berkreok dan dengan cepat syarafku merespon ke otak.
"Kau lapar." Kutangkap suara itu berasal dari perutku.
Sebenarnya yang lebih aku tunggu adalah kode dari mataku, agar lekas mengantuk dan tidur.
Namun salah.
Mata takkan bisa terpejam jika sang perut terus berdemo bersama para cacing.
Harusnya aku memang tak tidur sebelum HVS ku terisi.
Jangan sampai aku ketiduran.
Bunyi perut semakin membeludak.
Kerja lambung yang patut diacungi jempol.
Dan aku memang baru ingat, selepas pulang aku hanya sempat menyeruput kopi.
Laparpun tertahan karena rindu, hebatnya.
Kembali tiba-tiba terkesiap sebuah pertanyaan di pikiranku, "Apakah dia sudah makan atau justru belum sama sekali?".
Aku tak tahu apa jawaban pertanyaanku itu.
Gelap.

Kupilih tak akan makan.
Persetan dengan cacing anarkis dalam perutku.
Aku tak bernafsu sama sekali untuk menelan segala makanan yang ku tak tahu rela atau tidak dimasukkan ke dalam mulut dan akhirnya berakhir di usus besar lalu mungkin di pembuangan.
Akhirnya, aku menyerah.
Menyerah bukan berarti tak konsisten dengan HVS kosong di depan bola mataku ini.
Terlintas cara lain di pikiranku, sekarang.

Di sini aku selalu menunggu kabarnya.
Lama atau sebentar, cepat atau lambat.
Rindu atau tidak dia padaku.
Kusengaja tak menghubunginya duluan.
Aku terlalu menghargainya.
Aku tak ingin menjadi pengemis perhatian jika harus menerornya dengan panggilan-panggilan dan pesan-pesanku.
Takut-takut jika aku hanya mengganggu.
Aku hanya akan menunggu.
Menunggu tanpa sedetikpun tak ingat dirinya.
Tanpa sedetikpun tak khayalkan bayangnya.
Menunggu.
Menunggu sebuah ketidakpastian.
Dan ini caraku.
Caraku mencintainya.
Aku tahu dia terlalu berharga dalam hidupku.
Terlalu berharga untuk berdekatan dengan pengemis-pengemis meski dari berbagai aliran.
Pengemis beraliran cinta salah satunya.
Tapi aku takkan beralih profesi ke aliran itu jika hanya inginkan kabar darinya.
Karena menunggu jauh lebih terhormat dibandingkan mengganggunya.
Kuhadirkan selalu namanya dalam bait doaku kepada yang di Atas.
Jangan siksa dia
Datanglah.

Datanglah!
Kan kutunjukkan lembar HVS kosong ini untukmu.
Simaklah!
Lihatlah aksara tak kasat mata ini.
Ini adalah aku padamu.
Di sana meluap cerita tentangmu.
Begitu banyak cerita hingga tak tahu harus kumulai
darimana.
Semalaman suntuk aku tak bisa tidur karenamu.
Semalaman suntuk aku hanya bersama bayanganmu.
Merana merindu nestapa.
Sayang,
Lembar HVS kosong ini saksi semua laraku malam ini tentangmu.
Lara hati yang terus memanggil namamu.
Bacalah sayang!
Bacalah bukan oleh mata, melainkan hatimu.
Jikalaupun lembaran ini terbentang seluas alam semesta.
Serta samudera sebagai tintanya.
Aku takkan mampu menulisnya untukmu.
Bukan tak ingin kumenyelesaikan lembar HVS kosong ini.
Hanya akan menjadi sekat jika kau tetap tak mengingatku.
Aku membisu semalaman ini.
Bukan berarti kumatikan ingatan tentangmu.
Kuyakini kau hidup dalam hembusan nafas dan pikiranku.
Kunyanyikan lagu cinta ini untukmu dalam hatiku.
Bukan pada lembar yang dapat usang.
Bukan pada lembar yang akan rusak, sobek, terbakar ataupun hilang.
Inilah lembar kosong saat kau hilang sehari semalam tak ingat aku.
Inilah lembar kosong saat kau hilang,
Sehari semalampun menjadi waktu terlama tanpamu.
Tetapi harus kau tahu tidaklah kosong keberadaanya demi dirimu.

Seiring mataku semakin meredup.
Mulutku mulai acap menguap.
Kulihat jam telah menunjukkan pukul 01.58 pagi
Mungkin inilah yang perlahan memadam emosiku yang membara sedari tadi.
Aku mengantuk dan lelah.
Kurapikan seluruh perlengkapan menulisku dengan malasnya dan tak lupa kukembalikan meja belajar bungsu ke tempat semula dengan dalih mencari aman dari serangan air mata kepelitan.
Kupeluk erat HVS kosongku.
Meskipun akan rusak dalam dekapanku aku tak takut.
Ini HVS kenangan karena hadir saat kau hilang.


Dan terputarlah lagu sendu itu.
Kuletakkan gadgetku tepat di sampingku.
Sedang aku masih memeluk lembar HVS ku.
Kudengar alunan musik ini berirama....

"When the rain is blowing in your face,
And the whole world is on your case,
I could offer you a warm embrace
To make you feel my love.
When the evening shadows and the stars appear,
And there is no one there to dry your tears,
I could hold you for a million years
To make you feel my love.
I know you haven't made your mind up yet,
But I will never do you wrong.
I've known it from the moment that we met,
No doubt in my mind where you belong.
I'd go hungry; I'd go black and blue,
And I'd go crawling down the avenue.
No, there's nothing that I wouldn't do
To make you feel my love
....................................."

Aku masih dalam keadaan sadar dan mengerti betul arti lagu ini.
Tepat menggambarkan cintaku pada mu.
Jikalah cinta ini salah.
Aku ingin seseorang menampar keras wajahku.
Jika memang aku telah berdiri pada jalur yang tak seharusnya.
Aku ingin seseorang menarik paksa ku pulang.
Dan jika aku mulai banyak menuntut yang bukan hakku.
Aku ingin seseorang memelukku dalam bekunya hatimu.
Dan lalu telah sampai pada bait mana lagu itu aku tak lagi fokus.
Aku mulai kehilangan kesadaran.
Peri mimpi secepat kilat menjemputku yang telah penat.
Bersama HVS kosong ini kupeluk erat bayangmu.
Semoga kau lekas datang memberiku kabar kebahagiaan.
Jangan hanya hadir dalam mimpiku!
Jadilah masa depanku yang nyata.
Ada aku dan lembar kosong kita yang menantimu.
Tugas lagu itu selesai.
Dan aku pulas, tertidur.