Sunday, March 10, 2019

ARTI SEBUAH PERSAHABATAN


Rasanya canggung sekali menyebutmu “sahabat” mengingat kita biasa bertukar sapaan kasar. Aku yang nyaman menyapamu dengan “Nyet”. Dan kau pun lebih suka memanggilku dengan bajingan . Hehehe. Nama-nama yang sekenanya memang justru menjadikan kita terikat erat, ‘kan?

Sahabat, detik ini Sang waktu memang tak sedang berbaik hati menawarkan pertemuan. Meski dari kejauhan, ingin rasanya kutepuk pundakmu. Ingin kunikmati air mukamu yang berubah riang ketika mata kita saling bertemu. Ingin kutagih semua penjelasan karena kau masih berhutang cerita perihal kehidupanmu yang sekarang.
Inginku, apapun yang sedang kau kerjakan bisa berjalan lancar. Aku bayangkan kau tengah bahagia menikmati mimpi demi mimpi yang berhasil dieksekusi. Kau mungkin akan kewalahan bercerita tentang segudang prestasi yang belakangan ini kau akrabi.

Kita adalah sepasang kawan meski tak saban hari terlihat berduaan. Kau sibuk dengan tugas-tugasmu, pun aku yang berjuang menuntaskan kewajibanku. Masing-masing dari kita punya kehidupan sendiri. Toh tak semua yang kita miliki harus selalu dibagi.

Tapi, bukankah namamu yang nyatanya kuingat paling pertama saat momen bahagia? Bukankah nomor teleponmu yang biasanya segera kuhubungi ketika sedih atau kecewa melanda? Ya, karena kaulah yang selalu siap menyambutku dengan tangan terbuka. Kamu yang dengan ikhlas menyumbangkan senyum puas melihatku di. Kamu pula yang merelakan bahumu untukku bersandar kala dihantam derita putus cinta.

Aku pun mengingatmu yang tak bosan-bosan mendengarku bercerita. Kamu yang tak keberatan merelakan waktu demi menemaniku bicara tentang apa saja. Maka sahabatku, kali ini aku ingin sejenak menikmati rinduku pada “kita”.
Aku dan kamu sama-sama tak terlahir sebagai manusia sempurna. Persahabatan kita pun bukannya tanpa cacat yang kentara. Kita pernah berselisih paham, atau sering punya pendapat yang berseberangan. Tapi, nyatanya tak satu pun alasan yang lantas membuat kita saling meninggalkan.

Kau mungkin pernah kesal lantaran sifatku yang keras kepala. Kau bisa jadi uring-uringan menanggapi sikapku yang suka merajuk manja. Namun, meski sudah baik-baik mengenalku luar dalam, tak kulihat niatmu untuk mengabaikan. Kau yang paling tahu sebrengsek apa aku dulu. Dan bagaimana aku masih berjuang meninggalkan diriku yang itu. Ah, aku tahu kamu hanya akan merangkul pundakku sambil sibuk menjelaskan.
Denganmu, aku tak canggung-canggung berbagi mimpi dan rencana-rencana gila. Tentang anganku melanjutkan kuliah ke luar negeri, membangun bisnisku sendiri, hingga inginku mengirim orang tua naik haji.

Iya, memang sudah selayaknya aku bekerja dalam diam. Tanpa angan yang perlu diumbar dan cukup fokus saja mewujudkan harapan jadi kenyataan. Tapi kawan, aku butuh kamu yang tak bosan-bosan memberiku dukungan. Meski caramu memberi motivasi adalah menyebutku sebagai pecundang. Ya, aku masih terus lekat-lekat mengingat kamu yang pernah berujar.

Maka jika ditanya; siapa yang paling kupercaya? Aku bisa mantap menjawab kamulah orangnya. Cerita-ceritaku yang dijamin “aman” dibagi denganmu, karena memang kamu yang akan baik-baik menjaga lisan atas segala yang kulabeli sebagai rahasia hidupku.

No comments: