Saturday, September 17, 2016


Perkembangan gaya hidup mahasiswa
Penelitian ini berupaya melihat dan menemukan bagaimana bentuk-bentuk dari fetisisme komoditas yang terjadi pada gaya hidup mahasiswa dan bagaimana fetisisme komoditas mempengaruhi penyikapan reflektif pada mahasiswa. Berdasarkan penelitian yang dilakukan maka peneliti mendapatkan suatu kesimpulan bahwasanya  persoalan gaya hidup bukan hanya problematika kelas atas yang berlimpah harta, namun saat ini dari kelas manapun bisa meniru dan memakai gaya hidup tertentu, meskipun hanya untuk berpura-pura. Sehingga gaya hidup sekarang bukan hanya monopoli kelas tertentu tapi telah menjadi lintas kelas. Gaya hidup modern sendiri akan mendorong seorang individu untuk mendefinisikan sikap, nilai-nilai, dan menunjukkan kekayaan serta posisi sosial seseorang melalui segala properti yang dimilikinya. Berbagai konstruk sosial tersebut akan menumbuhkan sifat fetish yang mendorong seseorang  pada suatu bentuk pemujaan terhadap berbagai komoditas atau wujud kebendaan. Bentuk-bentuk fetisisme komoditas dalam gaya hidup mahasiswa sendiri dapat dilihat dari gaya hidup modern diantaranya perayaan di Mall, Euforia di Bioskop dan penggunaan media elektonik maupun jejaring jejaring sosial (cyberspace). Mahasiswa dan Mahasiswi  ini rata-rata memiliki pilihan barang-barang bermerek dengan berbagai latar belakang yang berbeda. Mereka mempunyai motivasi masing-masing dalam pemilihan merek yakni sebagai bentuk ekspresi diri, mendapatkan jaminan kualitas bagus, fashionable dan trendsetter, serta adanya rasa kebahagiaan dan kebanggaan. Semuanya mahasiswa dalam penelitian ini terlibat dalam konsumsi terhadap merek. Atas dasar selera, ikut-ikutan dan ada pula yang karena gengsi. Hal ini menunjukkan nilai pakai suatu barang yang pada hakekatnya penting tidak terlalu diperhatikan lagi  dan yang paling utama dicari informan dalam penelitian ini adalah kebanyakan dari nilai simbolik dan prestisnya.
Fetisisme komoditas pada akhirnya memberikan dampak pada penurunan kualitas penyikapan reflektif mahasiswa yakni adanya pengejaran pada situs-situs dan atribut gaya hidup. Hal tersebut dapat terjadi apabila individu masih tidak nyaman dengan gaya hidup yang mereka jalani, individu akan selalu merasa ada hasrat yang kurang dan berusaha untuk mengejarnya. Pada akhirnya pengejaran secara terus menerus tersebut akan menyebabkan konsumtivisme pada status simbol. Manusia menjadi kehilangan hakekatnya sebagai mahluk personal, yang memiliki kebebasan dalam menentukan dirinya sendiri. Sehingga sulit mengenali mana yang benar-benar penting baginya atau tidak. Dari hal tersebut individu yang tercipta pada akhirnya menjadi individu yang mengikuti arus saja terombang ambing dengan berbagai pilihan, atau bahkan sudah masuk didalamnya dan sulit keluar karena alasan gengsi dan sebagainya.
Dengan pola konsumsi yang terus menerus tanpa dibarengi adanya kesadaran akan segala sesuatu (sikap reflektif)  maka dari sanalah yang menumbuhkan terjadinya fetisisme. Dan status quo kapitalisme dipertahankan oleh perilaku individu yang di dalamnya melalui cara konsumsi dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga dapat dikatakan bahwa keterkaitan antara fetisisme dengan kapitalisme bahwa fetisisme menjadi salah satu pondasi kuat yang menyebabkan kapitalisme tetap bertahan.







Daftar Pustaka
Baudrillard. 2011. Masyarakat konsumsi.Yogyakarta:  Kreasi wacana.
          Baudrillard, Jean. 1981. For a Critique of the Political Economy of the  Sign, St. Louis: Telos Press. dengan keberhasilan dalam prestasi saja namun tidak terlepas juga dari gaya hidup modern yang salah satunya adalah gaya hidup konsumeris. Permasalahan konsumeris sendiri sudah lama ada, namun yang menjadi masalah adalah hal tersebut kian meningkat seiring perkembangan zaman. Dimana salah satunya ditopang oleh adanya kapitalisme konsumsi yang  benar-benar telah ikut berperan penting dalam mengubah gaya hidup dan membentuk masyarakat konsumen. Selain itu juga dengan peran media (baik media cetak maupun elektronik) yang mana menjadi ladang gaya hidup. Sehingga dapat dilihat bagaimana mahasiswa masa kini  melakukan pilihan dalam menggunakan waktu luangnya maupun terkait dengan apa-apa yang dikonsumsinya. Dengan berbagai bentuk gaya hidup yang ada membuat adanya bentuk-bentuk pengejaran keinginan terhadap obyek-obyek material yang tampak nyata dalam kehidupan mahasiswa. Pengejaran ini termotivasi oleh bentuk-bentuk fetisisme komoditas yang sering kali terselubung. Bahkan mungkin juga tidak disadari oleh mahasiswa itu sendiri.
Mahasiswa dan berbagai atribut yang melekat padanya baik intelektual maupun gaya hidup menjadi pesona tersendiri yang melekat pada tiap-tiap individu. Beragamnya tipe mahasiswa membuat pendeskripsian makna dari figur seorang mahasiswa tergantung dari bagaimana seseorang menggunakan identitasnya sebagai seorang mahasiswa. Figur mahasiswa dalam kehidupan sosial cenderung dilekati oleh kualitas atribusi intelektual. Khusus, di Indonesia sendiri dalam sejarahnya mahasiswa dinilai merupakan elemen penting dalam pergerakan sosial-politik dalam negeri. Disisi lain, pola kehidupan mahasiswa sendiri mengalami perubahan bukan hanya dari peralihan iklim sosial-politik yang ada di Indonesia. Keberadaan temuan-temuan teknologi mutakhir, juga memberi pengaruh besar pada kehidupan mahasiswa yakni pengaruh pada perubahan gaya hidup mahasiswa baik itu yang menuju pada hal positif maupun negatif.
Adanya iklim “nyaman” dan terbuka dalam kehidupan mahasiswa ditambah dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan teknologi serta dominasi saluran informasi yang dijejali dengan berbagai hiburan, komedi dan iklan-iklan yang menggiurkan, telah sedikit atau banyak menggeser cara pandang mahasiswa terhadap kehidupan riil yang ada pada masyarakat. Disisi lain, hal ini juga dipengaruhi oleh citraan-citraan gaya hidup mahasiswa dalam acara pertelevisian. Televisi, media utama budaya populer, adalah penyalur yang sempurna bagi pelampiasan hasrat konsumerisme dan fetisisme. Fetisisme adalah praktik pemujaan yang membuat nilai substansial dari sesuatu menjadi hilang hingga yang terjadi kemudian adalah nilai tukar semata. Terlebih lagi, karena masyarakat masih terbiasa dengan budaya lisan, maka menonton selebritas tampil di televisi, menjadi kenikmatan yang tidak tertandingi.
Gaya hidup modern tersebut mendorong seorang individu untuk mendefinisikan sikap, nilai-nilai, dan menunjukkan kekayaan serta posisi sosial seseorang melalui segala properti yang dimilikinya. Gaya hidup bermewah-mewahan yang sebelumnya terbatas pada masyarakat kelas atas, kini cenderung terjadi pula pada berbagai lapisan masyarakat, meskipun dalam variasi yang berbeda.

Fetisisme obyek dalam gaya hidup mahasiswa cenderung dimuati penanda-penanda khas seperti kaum muda, intelektual, peka teknologi, maupun  “gaul dan funcy”.  Bagus (1996:240) mengemukakan “Fetisisme sendiri  adalah sikap yang mengkultuskan sebuah objek tertentu lantaran objek itu diyakini memiliki kekuatan atau roh. Manakala sikap ini dikaitkan dengan term ”komoditi”, maka yang dimaksud  adalah pemujaan terhadap sebuah produk lantaran daya pesonanya yang memikat. Fetisisme komoditi, dengan demikian, menegaskan keberhasilan iklan dalam penciptaan sebuah mitos. Konsumsi yang dihasilkan dalam sikap fetisis itu adalah sebuah konsumsi yang absurd.
Oleh karena itu, fetisisme obyek dalam gaya hidup mahasiswa memunculkan suatu pertanyaan penting. Yakni mengenai apakah fetisisme telah mengakibatkan suatu reduksi kesadaran lapisan kelompok sosial mahasiswa secara umum. Lantas sejauhmana reduksi ini terjadi dan dampaknya bagi aktivisme mahasiswa yang selama ini menjadi salah satu poros kekuatan sosial-politik yang patut diperhitungkan. Terlebih lagi, mahasiswa dalam struktur sosial masyarakat Indonesia cenderung dinilai sebagai golongan intelektual muda dan dalam rekam sejarahnya senantiasa menjadi penggerak perubahan. Budaya permukaan ini mendangkalkan informasi yang harusnya dipahami secara substansial. Bukan hanya dengan pengemasan bagus tanpa makna yang jelas. Di sini, peranan mahasiswa sebagai insan akademik yang seharusnya berperan. Ironisnya mahasiswa justru tidak sadar akan hal ini. Hal ini tentunya sedikit banyak akan membawa pergeseran pandangan masyarakat terhadap sosok mahasiswa. Dengan demikian, fetisisme dalam gaya hidup mahasiswa bukan hanya suatu fenomena pergeseran pandangan mahasiswa yang pada dasarnya hanya menyangkut kelompok mahasiswa secara tertutup begitu saja. Namun lebih jauh lagi, akan memberi dampak terhadap konstelasi sosial-politik bangsa Indonesia dimasa mendatang.
Dari beragamnya fenomena sosial mengenai gaya hidup, kajian tersebut menjadi penting saat ini, signifikansinya adalah bahwa dalam wacana konsumerisme dan budaya popular, identitas menjadi persoalan yang serius, karena identitas yang dikembangkan selalu identitas yang dikontruksikan secara sosial oleh elit budaya sehingga dirasa  menjadi suatu hal yang menarik mengingat tidak ada ruang didalamnya bagi pengembangan apa yang disebut kesadaran diri menuju identitas yang otentik.
Dalam tulisan ini yang menjadi fokus penelitian ialah ; 1). Bagaimana bentuk-bentuk fetisisme komoditas yang terjadi pada gaya hidup mahasisiswa Universitas Airlangga Surabaya? 2). Bagaimana fetisisme komoditas yang terjadi pada gaya hidup mahasiswa berdampak pada kualitas penyikapan reflektif ?. Sedangkan yang menjadi tujuan penulisan dalam penelitian ini ialah 1).Untuk memberikan gambaran dan mengenali bentuk-bentuk fetisisme komoditas yang terjadi pada gaya hidup mahasisiswa khususnya di Universitas Airlangga Surabaya dan 2). Untuk menganalisis fetisisme komoditas yang terjadi pada gaya hidup mahasisiswa di Surabaya dan dampaknya pada kualitas penyikapan reflektif seorang mahasiswa.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif  berparadigma interpretif. Dalam melakukan studi dan pembahasan tentang fetisisme komoditas ini menggunakan pisau analisis teori kritis yakni dikaji dengan menggunakan teori yang dikemukakan oleh Baudrillard tentang masyarakat konsumsi, konsep manusia satu dimensi dari Herbert Marcuse, dan konsep habitus dari Bourdieu.
Pada awalnya pengkajian tentang fetisisme diperkenalkan dan didorong oleh  Marx dan Freud. Dari beberapa penjelasan dan kajian pemikirannya diketahui bahwa Marx dan Freud adalah para pemikir yang berangkat dari tradisi modernisme. Adalah Baudrillard yang telah memulai perlakuan terhadap fetisisme sebagai sesuatu yang bekerja dalam lalu lintas penandaan sosial. Baudrillard  melengkapi konsep fetisisme komoditas Marx dengan meneliti fetisisme nilai guna dan dampak sosial pada aktivitas konsumsi. Baudrillard juga mengembangkan pemahaman Freud mengenai nilai godaan (seksual) yang terdapat pada obyek untuk memahami hasrat subyek terhadap obyek-oyek dalam sirkulasi tanda yang kemudian membentuk keluasan aktivitas konsumsi. Baudrillard sebagai salah satu tokoh yang dianggap memperkenalkan semangat postmodern dalam melihat permasalahan fetisisisme dan apa saja yang berkaitan dengannya dari sudut pandang yang berbeda dari dua pemikir diatas.
Untuk konsep one dimensional man  sendiri, Marcuse melihat masyarakat telah mengalami dominasi teknologi sehingga menjadi masyarakat teknokratis. Dominasi ini membawa empat dampak bagi masyarakat. Pertama, muncul bentuk-bentuk kontrol baru. Kedua, tertutupnya semesta dunia politik. Ketiga, desublimasi reprsif dan keempat hilangnya fungsi kritis. Serta konsep Bourdieu tentang habitus yang berguna untuk memuat penjelasan mengenai berbagai disposisi yang menetapkan selera.Perkembangan gaya hidup modern pada mahasiswa berkembang bukan hanya pada satu universitas saja, namun juga merata pada berbagai universitas yang ada. Baik universitas negeri maupun swasta sama-sama tidak mau merasa tertinggal dalam urusan gaya hidup. Semuanya mengembangan berbagai bentuk gaya hidup yang khas yang tentu saja mengacu pada gaya hidup modern yang up to date.  Dalam hal ini salah satunya juga yang tidak ketinggalan yakni  mahasiswa pada universitas Airlangga.
Dalam kebudayaan modern, fetisisme ditunjukkan melalui meleburkannya subyek kedalam dunia obyek sebagai tanda yang dibaca dan dipertukarkan. Seperti halnya dengan bagaimana pilihan yang dilakukan seseorang dalam menggunakan waktu luangnya maupun terkait dengan segala hal yang dikonsumsinya.  Dengan perkembangan pada gaya hidup yang saat ini lebih beragam maka gaya hidup sendiri merupakan salah satu bentuk dari budaya konsumen. Hal ini dikarenakan gaya hidup yang dilakukan seseorang menyangkut soal konsumsi akan barang maupun jasa. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa salah satu bentuk dari gaya hidup dapat dilihat dari penggunaan waktu luangnya maupun dari pilihan konsumsi terhadap segala sesuatu.
Pada masa sekarang penggunaan waktu luang cenderung digunakan untuk lebih menikmati hidup dengan santai, fun dan hedon.  Mal karena itulah dipilih oleh sebagian besar informan sebagai tempat yang sesuai dengan gaya hidup masa kini. Mal hadir sebagai obat bagi masyarakat untuk “mengurangi” kepenatan hidup yang dirasakan oleh sebagian orang.  Dan ngemal bagi anak muda khususnya sebagian mahasiwa merupakan akivitas yang sama pentingnya dengan mengikuti kuliah di kampus.  Pesona mal telah menyilaukan setiap orang yang pergi kesana. Bagaimana tidak, mal bukan hanya menawarkan ruang seperti tempat makan, outlet pakaian, serta outlet barang-barang bermerek, namun juga lebih dari itu mal menawarkan cita rasa dan gengsi bagi setiap orang yang datang kesana. Meskipun mal adalah sebuah pasar, tapi seseorang yang datang ke mal tidak semata bertujuan melakukan transaksi jual-beli. Sebuah konsep hiperkomoditi, yang mengembangkan sebuah bentuk luar biasa dari pasar yang mana menyediakan “apa saja” yang dibutuhkan oleh manusia modern.
Selain mal penggunaan waktu luang lainnya terkait gaya hidup adalah dengan menikmati bioskop. Secara fungsional bioskop merupakan tempat yang digunakan untuk memutar film terbaru bersama banyak orang dengan suasana yang disesuikan dengan film yang ditampilkan. Namun yang terjadi pada masa sekarang ini, bioskop selain berfungsi sebagai tempat untuk menonton pemutaran film perdana juga digunakan sebagai ajang untuk menambah image si penonton bahwa si penonton tersebut adalah anak yang gaul dan up to date terhadap film. Maka tidaklah mengherankan budaya tontonan berkembang dengan pesatnya. Hal yang sama juga terjadi pada penggunaan media jejaring sosial yang berkembang dengan pesatnya. Selain untuk mengisi waktu dengan menenonton film di bioskop, berjalan-jalan di mal, para informan juga mengisi waktunya dengan pengguanaan media elektonik, seperti halnya handphone, facebook, twitter, maupun bentuk-bentuk lainya. Dengan memiliki dan meng up date akun jejaring sosial terbaru maka bisa dipastikan seseorang akan mendapat label dari masyarakat ataupun teman sepermainanya  bahwa dirinya termasuk pribadi yang gaul. Gaul karena selain bisa bersosialisasi dimanapun juga dan dengan siapapun juga. Terkait dengan apa yang dikonsumsi, salah satunya adalah mengkonsumsi barang bermerek (branded). Dikatakan demikian karena kebanyakan yang terjadi dalam konsumsi barang branded, seseorang dalam hal ini informan (mahasiswa) melakukannya bukan hanya didasarkan atas fungsi dari merek tersebut, namun lebih dari itu ada sesuatu makna lain yang terkandung dalam sebuah produk tersebut.
Mahasiswa dan Mahasiswi  rata-rata memiliki pilihan barang-barang bermerek dengan berbagai latar belakang yang berbeda, mereka mempunyai motivasi masing-masing dalam pemilihan merek ini. Mahasiswa dalam penelitian ini terlibat dalam konsumsi terhadap merek. Atas dasar selera, ikut-ikutan dan ada pula yang karena gengsi. Mahasiswa dan Mahasiswi  ini rata-rata memiliki pilihan barang-barang bermerek dengan berbagai latar belakang yang berbeda. Mereka mempunyai motivasi masing-masing dalam pemilihan merek yakni sebagai bentuk ekspresi diri, mendapatkan jaminan kualitas bagus, fashionable dan trendsetter, serta adanya rasa kebahagiaan dan kebanggaan. Hal ini menunjukkan nilai pakai suatu barang yang pada hakekatnya penting tidak terlalu diperhatikan lagi  dan yang paling utama dicari informan dalam penelitian ini adalah kebanyakan dari nilai simbolik dan prestisnya.
Dari beragamnya fenomena sosial mengenai gaya hidup tersebut diatas,   maka hal itu merupakan fetisisme sebagai sesuatu yang bekerja dalam lalu lintas penandaan sosial. Merujuk pada Baudrillard (1981:63) yang menerangkan objek sebagai tanda-tanda dalam aturan nilai penandaan yang bisa digolongkan antara dua keterangan, fungsionalitas dan pemeragaan yang sebenarnya dilebih-lebihkan (ostention). Kedua keterangan tersebut dapat menjadi bagian dari objek yang sama sehingga objek dapat menjadi perangkat yang menggabungkan “keserampangan dengan tampilan sebuah fungsionalitas”. Dan apabila suatu objek lebih menunjukkan suatu pemeragaan yang dilebih-lebihkan (ostention), serta apabila tanda dari nilai tersebutlah yang menumbuhkan keinginan seseorang terhadap objek tersebut, maka objek tersebut berubah menjadi fetish. Dikarenakan konsep kapitalisme yang menyebabkan seseorang memiliki kebutuhan palsu. Maka untuk mendekatkan realitas dengan imajinasi, kapitalis menciptakan subtitusi-subtitusi berupa bermacam gaya hidup, estetika, ritual, prestise dan identitas simbolis dibalik pemilikan sebuah komoditi sehingga manusia mendapatkan kepuasan yang tidak riil tapi imajiner.
Seperti halnya merujuk pada pemikiran Herbert Marcuse dalam bukunya One Dimensional Man (1964:35) bahwa kebanyakan kebutuhan yang ditawarkan untuk rileks, bersenang-senang untuk berperilaku dan mengkonsumsi sesuai dengan iklan adalah termasuk kebutuhan palsu. Kebutuhan-kebutuhan palsu ini merupakan tuntutan sosial yang perwujudannya berupa nilai-nilai dalam relasi sosial seperti status sosial, prestise, eksistensi, dan citra, yang dinyatakan melalui berbagai komoditas yang diperoleh dengan jalan konsumerisme. Padahal dari adanya fetisisme komoditas tersebut tidak menyumbangkan sesuatu dalam identitas budaya selain budaya konsumerisme tinggi bahkan individu dibiarkan kosong dan membiarkan diri dikendalikan. Selera, kelakuan, pilihan rasa, dan penilaian individu dimanipulasi dan sehingga semakin tidak memiliki diri sendiri. sehingga orang ketagihan untuk membeli bukan karena kebutuhan (need) mereka atau menikmati apa yang dibeli tetapi untuk (want) keinginan  sendiri atau status sosial yang semu sekaligus penunjuk bahwa individu tersebut bagian dari suatu kelas sosial tertentu.
Seseorang menjadi korban fetisisme komoditas manakala relasi sosial dan apresiasi budaya diobjektifikasi melalui pemujaan. Ketika setiap orang menghidupinya dalam rutinitas keseharian sehingga kadang sulit untuk menemukan dimensi politis yang melekat padanya, bahwa ‘sesuatu’ telah memanipulasi kesadaran dan mengarahkan tindakan manusia. Seperti halnya apa yang dikemukan oleh Baudrillard bahwa fungsi utama objek-objek konsumen bukanlah pada kegunaan atau manfaatnya, melainkan lebih pada fungsi sebagai nilai-tanda atau nilai-simbol yang disebarluaskan melalui iklan-iklan gaya hidup dari berbagai media. Hal ini menyebabkan individu menerima identitas dalam hubungannya dengan orang lain bukan dari siapa dan apa yang dilakukannya, namun dari tanda dan makna yang mereka konsumsi, miliki dan tampilkan dalam interaksi sosial. Dalam masyarakat konsumen, tanda adalah cerminan aktualisasi diri individu yang paling meyakinkan.
Dalam kasus ini, individu diburu sekaligus dikejar dengan harga absurd karena memberi penekanan pada rasa pede dan eksklusif. Lantaran eksklusif, maka juga akan menghadirkan rasa prestise dan statuspun tentu akan meningkat. Hal ini terjadi sebagai akibat dari rangsangan kebutuhan-kebutuhan palsu yang membuat seseorang berpikir bahwa mereka harus memiliki apa yang (mereka pikir) mereka butuhkan dan inginkan. Oleh karena itu, kecenderungan yang seperti pada kasus di atas pada akhirnya akan membuat identitas dan subyektivitas seseorang mengalami transformasi. Proses transformasi itu terjadi misalnya ketika seseorang mulai mengekspresikan gaya hidupnya dengan kepemilikan objek-objek dan penggunaan benda-benda, dengan penekanan utamanya tidak pada nilai fungsionalnya, akan tetapi pada nilai-nilai simbolisnya. Dalam hal ini bahwa menunjukkan adanya beberapa faktor diantaranya dengan menggunakan atau mengkonsumsi produk tersebut maka akan terbentuklah kelas sosial yang ada dalam diri seseorang. Dengan adanya pembedaan kelas sosial tersebut membuat proses identifikasi yang berbeda dari komoditas yang dimiliki yang mengandung  nilai simbolis. Dimana komoditas yang dikonsumsi menjadi wakil dari kehadiran dirinya.
Merujuk apa yang dikemukakan oleh Baudrillard (2011:260) bahawa manusia konsumsi tidak pernah benar-benar tahu akan kebutuhannya sendiri dan ketiadaan refleksi tentang dirinya sendiri, semuanya berkutat pada tanda-tanda yang di dalamnya ada motif dan tujuan-tujuan
tertentu.
 Pada akhirnya disinilah manusia mengalami kegagalan bereksistensi dan kehilangan otensitas dirinya sebagai manusia. Dengan menjadi otentik (asli), menjadi diri sendiri merupakan proses yang sangat penting. Keselarasan antara apa yang diyakini dengan apa yang dihayati sehari-hari dalam tindakan, sangat jarang ditemui pada zaman ini. Otentisitas memberi makna kesadaran akan eksistensi pribadi dalam kehidupan ini. Bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri, seperti apa dirinya bahkan apakahi sebenarnya yang sedang terjadi. Konsumerisme dan gaya hidup individu maupun kelompok yang terjadi dalam setiap aspek kehidupan seseorang, membuat seseorang tidak sadar akan dirinya. Manusia menjadi kehilangan hakekatnya sebagai mahluk personal, yang memiliki kebebasan dalam menentukan dirinya sendiri.
 Dengan adanya fetisisme dan bentuk-bentuknya yang kadangkala tidak disadari membuat kesalafahaman dalam memandang sebuah obejek (sesuatu). Sehingga seseorang akan  dibuat percaya diri hanya setelah memakai dan mengkonsumsi suatu produk tertentu. Dalam menyikapi hal ini jelas terlihat kalau identitas seseorang sebagai manusia telah diletakkan pada benda, yang mana jika seseorang memakainya, akan merasa memiliki identitas yang diinginkan sedangkan jika seseorang tersebut tidak memakainnya maka hilanglah kepercayaan dirinya.
Sekian banyak pilihan model gaya hidup yang ditawarkan dalam masyarakat sesungguhnya adalah hasil pergulatan diri sendiri dalam pencairan identitas dan sensibilitas dengan lingkungan dimana seseorang hidup, sekalipun mungkin tidak adanya kesadaran tentang perubahan diri yang mendominasi dalam pembentukan nilai,cita rasa, gaya sampai tampilan diri (Chaney, 2004:11).
Dengan pola konsumsi yang terus menerus tanpa diikuti adanya kesadaran akan segala sesuatau maka itulah yang membangun terjadinya fetisisme. Fetisisme bekerja dengan membangun kelas atas atau penguasa kapital yang merencanakan pola konsumsi dan menciptakan kelas menengah dalam jumlah massif untuk mengikuti pola konsumsi ‘kelas atas’ tersebut. Sehingga apa yang diciptakan fetisisme sebenarnya merupakan bentuk differensiasi sosial antara kelas atas dan kelas menengah serta jarak sosial antara keduanya yang selamanya dikendalikan oleh pihak yang berkuasa, yaitu kelas atas. Maka disinilah habitus yang  merupakan sebuah pengkondisian. Dimana dalam suatu kelas terbentuk melalui proses sosialisasi, artinya reproduksi tatanan sosial terjadi dengan bertitik tolak pada konsep habitus ini.
Salah satu faktor yang penting mempengaruhi pemakaian benda-benda bermerk dalam masyarakat kapitalis adalah angka produksi barang-barang baru mempunyai arti bahwa perjuangan untuk memperoleh benda-benda posisional (Hirsh, 1976), benda-benda yang mendefinisikan status sosial dalam kelompok masyarakat atas, merupakan sesuatu yang relatif. Suplai benda-benda baru yang dikehendaki karena sesuai dengan mode atau perebutan benda-benda bermerk yang ada, oleh kelompok masyarakat bawah, mengakibatkan munculnya efek pengejaran yang tidak ada hentinya dimana kelompok masyarakat atas akan terus menginvestasikan barang-barang (informasional) baru dalam upaya memaparkan kembali jarak masyarakat yang telah ada sebelumnya (Featherstone, 2008:42).
Disinilah konsep Bourdieu tentang habitus berguna untuk memberikan penjelasan mengenai berbagai disposisi yang menentukan selera. Dengan habitus, Bourdieu merujuk pada berbagai disposisi yang tidak disadari disposisi disposisi inilah yang “yang membentuk kesatuan tak-sadar suatu kelas”, skema-skema klasifikasi, pilihan-pilihan yang dianggap benar yang tampak jelas dalam pengertian seseorang mengenai ketepatan dan validitas selerannya akan berbagai benda dan praktek budaya, seni, makanan, hari libur, hobi, dan seterusnya.

Penelitian ini berupaya melihat dan menemukan bagaimana bentuk-bentuk dari fetisisme komoditas yang terjadi pada gaya hidup mahasiswa dan bagaimana fetisisme komoditas mempengaruhi penyikapan reflektif pada mahasiswa. Berdasarkan penelitian yang dilakukan maka peneliti mendapatkan suatu kesimpulan bahwasanya  persoalan gaya hidup bukan hanya problematika kelas atas yang berlimpah harta, namun saat ini dari kelas manapun bisa meniru dan memakai gaya hidup tertentu, meskipun hanya untuk berpura-pura. Sehingga gaya hidup sekarang bukan hanya monopoli kelas tertentu tapi telah menjadi lintas kelas. Gaya hidup modern sendiri akan mendorong seorang individu untuk mendefinisikan sikap, nilai-nilai, dan menunjukkan kekayaan serta posisi sosial seseorang melalui segala properti yang dimilikinya. Berbagai konstruk sosial tersebut akan menumbuhkan sifat fetish yang mendorong seseorang  pada suatu bentuk pemujaan terhadap berbagai komoditas atau wujud kebendaan. Bentuk-bentuk fetisisme komoditas dalam gaya hidup mahasiswa sendiri dapat dilihat dari gaya hidup modern diantaranya perayaan di Mall, Euforia di Bioskop dan penggunaan media elektonik maupun jejaring jejaring sosial (cyberspace). Mahasiswa dan Mahasiswi  ini rata-rata memiliki pilihan barang-barang bermerek dengan berbagai latar belakang yang berbeda. Mereka mempunyai motivasi masing-masing dalam pemilihan merek yakni sebagai bentuk ekspresi diri, mendapatkan jaminan kualitas bagus, fashionable dan trendsetter, serta adanya rasa kebahagiaan dan kebanggaan. Semuanya mahasiswa dalam penelitian ini terlibat dalam konsumsi terhadap merek. Atas dasar selera, ikut-ikutan dan ada pula yang karena gengsi. Hal ini menunjukkan nilai pakai suatu barang yang pada hakekatnya penting tidak terlalu diperhatikan lagi  dan yang paling utama dicari informan dalam penelitian ini adalah kebanyakan dari nilai simbolik dan prestisnya. 
Fetisisme komoditas pada akhirnya memberikan dampak pada penurunan kualitas penyikapan reflektif mahasiswa yakni adanya pengejaran pada situs-situs dan atribut gaya hidup. Hal tersebut dapat terjadi apabila individu masih tidak nyaman dengan gaya hidup yang mereka jalani, individu akan selalu merasa ada hasrat yang kurang dan berusaha untuk mengejarnya. Pada akhirnya pengejaran secara terus menerus tersebut akan menyebabkan konsumtivisme pada status simbol. Manusia menjadi kehilangan hakekatnya sebagai mahluk personal, yang memiliki kebebasan dalam menentukan dirinya sendiri. Sehingga sulit mengenali mana yang benar-benar penting baginya atau tidak. Dari hal tersebut individu yang tercipta pada akhirnya menjadi individu yang mengikuti arus saja terombang ambing dengan berbagai pilihan, atau bahkan sudah masuk didalamnya dan sulit keluar karena alasan gengsi dan sebagainya.
Dengan pola konsumsi yang terus menerus tanpa dibarengi adanya kesadaran akan segala sesuatu (sikap reflektif)  maka dari sanalah yang menumbuhkan terjadinya fetisisme. Dan status quo kapitalisme dipertahankan oleh perilaku individu yang di dalamnya melalui cara konsumsi dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga dapat dikatakan bahwa keterkaitan antara fetisisme dengan kapitalisme bahwa fetisisme menjadi salah satu pondasi kuat yang menyebabkan kapitalisme tetap bertahan.







Daftar Pustaka
Baudrillard. 2011. Masyarakat konsumsi.Yogyakarta:  Kreasi wacana.
          Baudrillard, Jean. 1981. For a Critique of the Political Economy of the  Sign, St. Louis: Telos Press.