Wednesday, December 18, 2019


Dari semua yang telah ditulis, aku hanya mencintai apa yang ditulis seseorang dengan darahnya. Menulislah dengan darah dan kau akan dapati bahwa darah itu roh.

Bukan suatu kemungkinan yang mudah memahami darah yang asing; aku membenci orang-orang yang malas yang suka membaca.

Dia yang tidak melakukan apapun kepada pembaca, dialah yang telah mengetahui siapa pembaca. Seabad lagi dipenuhi pembaca- dan roh itu sendiri akan membusuk.
Bahwa semua orang diperbolehkan belajar membaca, pada akhirnya itu tidak hanya akan merusak tulisan tapi juga pemikiran.

Dulu roh adalah Tuhan, sekarang ia menjadi manusia, dan kini bahkan telah menjadi orang banyak. Dia yang menulis dalam darah dan pepatah tidak ingin dibaca, tapi ingin dihafalkan.

Di pegunungan jarak yang paling pendek adalah garis lurus dari puncak yang satu ke puncak lain, tapi untuk melewati itu, kau harus punya kaki yang panjang. Pepatah adalah puncak-puncak dan mereka yang mendengarnya harus tinggi dan besar.
Hawanya murni dan langka, bahaya ada di dekatnya dan roh penuh dengan kelicikan yang penuh kesukaan: segalanya bersesuaian satu sama lain.

Aku menginginkan setan-setan di sekitarku, sebab aku berani. Keberanian yang mengusir semua hantu , menciptakan setan untuk dirinya sendiri - sebab keberanian itu ingin tertawa.

Aku tidak lagi merasa sama dengan dirimu; sebab awan yang kulihat ada di bawahku, awan hitam yang berat dan kutertawakan - masih merupakan awan geledek bagimu.
Kalian memandang ke atas ketika kalian merindukan pujian; tapi aku justru menunduk ke bawah sebab aku telah ditinggikan.

Siapa di antara kalian yang dapat tertawa dan sekaligus ditinggikan?
Yaitu dia yang memanjat gunung tertinggi, mentertawakan semua tragedi dan realitas yang tragis.
Berani, tak acuh, sinis, menindas - demikian yang di inginkan kebijaksanaan dari diri kita; kebijaksanaan adalah seorang wanita, dan ia hanya mencintai pejuang.

Kalian berkata kepadaku, "Hidup itu sulit untuk dijalani."
Tapi untuk apa kalian berbangga di pagi hari dan menyerah di malam hari?
Hidup itu sulit: tapi tidak usahlah kalian berlagak rapuh seperti itu di hadapanku! Kita semua adalah keledai-keledai beban yang kuat.

Apa persamaan kita dengan kuncup Mawar yang gemetar karena di jatuhi stetes embun,  memang kita mencintai hidup,  bukan karena kita inggin hidup,  tapi karena kita inggin mencintai.

Cinta selalu mengandung kegilaan,  tapi kegilaan mengandung nalar di dalam nya.  Dan bagi diriku yang menghargai hidup ini,  tampak kupu-kupu,  gelembung sabun dan lain nya yang mirip seperti itu di antara kita mereka lah yang paling mengenal kesukaan.

Melihat rupa rupa yang ringan konyol,  cantik dan lincah ini yamg terbang kesana kemari - itulah yang membuat Zarathustra menyanyi dan melacurkan air mata.

Aku hanya harus percaya satu Tuhan yang mengerti bagaimana menari. Dan ketika melihat iblisku  aku mendapati bahwa dia serius, total dalam dan khitmad. Dan dialah roh berat- olehnya semua benda jatuh.
Bukan dengan amarah,  tapi dengan tawa kita membunuh,  mari marilah kita binasakan roh berat ini!.
Aku telah belajar berjalan sejak itu aku telah membiarkan diriku berlari.
Aku telah belajar terbang dan sejak itu aku tidak perlu di lempar untuk tiba pada suatu tempat.
Sekarang aku ringan,  dan aku terbang sekarang melihat diriku sendiri di bawah diriku,  sebab tuhan sedang menari dalam diriku
Demikian sabda Zarathustra

Friday, December 6, 2019


Ada yang tak biasa di antara ratusan stan pameran terbesar di kota ini. Ketika banyak stan menjajakan dagangan berupa pakaian, kosmetik, dan lainnya, ada seorang perempuan menjual luka.

Penampilannya tak jauh beda dengan penjaga stan lainnya. Seperti sales promotion girl lainnya, dia terlihat seksi. Pakaiannya keluaran kekinian. Umurnya masih dua puluh lima tahunan. Dengan senyum yang selalu mengembang di bibir, pengunjung seakan tak melihat hal aneh padanya.

Namun stan yang dijaganya tak menawarkan apa pun. Etalase dibiarkan kosong. Dekorasi juga tak terlalu menarik karena didominasi warna hitam.
"Saya hanya menjual luka. Luka yang tak pernah habis dimakan usia. Ribuan tahun yang akan datang, luka itu tetap ada. Luka yang abadi."

Dia memberi penjelasan kepada seorang pemuda. Mungkin mahasiswa. Pemuda itu tersenyum dan kemudian pergi dengan perasaan aneh.

"Saya hanya menjual luka. Luka yang tak pernah dimiliki orang lain. Siapa pun tak pernah merasakan, termasuk Anda."
Kalimat itu dia tujukan kepada lelaki tua dengan tongkat di tangan kanannya. Jalannya sudah tak segesit saat masih muda. Bahkan tanda-tanda keperkasaan sama sekali tak tampak. Laki-laki itu ditemani cucunya yang masih berumur sepuluh tahun. Hanya melempar senyum kecut, kemudian berlalu. Menerobos lalu lalang pengunjung yang riuh.

Dan, pernahkan kamu memahami yang aku rasakan? Sejak kepergianmu menjelang senja, aku selalu menunggu. Kamu memang tak meninggalkan janji, tapi aku yakin perjalanan bisa kita lanjutkan bersama.

 Bukankah kita belum sampai ujung?
Sejak kepergianmu, aku tak lagi naik gunung dengan alasan mencari jati diri. Aku hanya ingin kamu kembali dan aku selalu menjual luka. Luka yang tiba-tiba datang menjelang senja, menjelang malam, menjelang pagi, menjelang siang. Luka yang selalu datang kapan saja karena kau tak meninggalkan penawar.

Aku selalu berpindah dari satu kota ke kota lain dengan harapan kita bertemu. Aku ingin bercerita kepadamu tentang apa-apa yang aku alami dan tak mungkin aku tulis di sini. Terlalu banyak cerita yang tak bisa diketahui banyak orang yang harus kamu ketahui. Ya, hanya kamu.

"Bolehkah saya membeli secuil lukamu. Mungkin bisa membuat lega meski tak akan menyembuhkan. Kamu mau menjual dengan harga berapa? Hanya secuil. Tidak banyak karena saya juga sedang terluka."
Perempuan itu mendongak. Mencari arah datangnya suara. Di hadapannya telah berdiri seorang pria. Tapi bukan kamu, Dan. Dia memakai kacamata tipis dengan rambut dibiarkan memanjang tergerai. Kaus oblongnya agak kumal. Aku suka dandanannya karena mengingatkan tentang kamu, Dan. Tapi kamu tanpa kacamata.

"Kenapa kamu ingin membeli luka saya sedangkan kamu sedang terluka?"
"Hanya secuil."
"Ini bukan masalah ukuran. Ini tentang luka. Meski secuil tetap menyakitkan."
"Mungkin kita punya kepekaan yang berbeda. Mungkin secuil tak akan menyakitkan bagi saya. Bolehkah?"
Pria itu menatap penuh harap. Perempuan itu, sang penjual luka, mencoba menahan diri. Dia tak ingin merasakan seperti yang dia rasakan saat dengan Dan. Dia tak mau jatuh cinta lagi yang bisa saja justru menambah luka, bukan menghilangkannya.

Cinta memang selalu memabukkan. Cinta selalu memberi harapan. Dia merasakannya bersama Dan. Merasakan cinta yang memabukkan. Cinta yang selalu bergelora dari detik ke detik, menit ke menit. Tapi cinta pula yang kemudian menjadi prahara yang tak berkesudahan sejak Dan pergi menjelang sore. Menjelang masa yang selalu memberi harapan.

"Bolehkah saya membeli secuil?"
Perempuan itu tergagap. Dia baru menyadari di depannya masih ada pria itu. Pria dengan dandanan biasa tapi unik. Dan, aku tak mau jatuh cinta kepadanya.

"Kenapa Anda tertarik dengan luka saya?"
"Karena Anda menjualnya. Saya belum pernah bertemu perempuan seperti Anda, yang menjual luka meski mungkin tanpa pembeli bahkan dikatakan aneh. Apalagi di tempat seperti ini. Anda tentu punya alasan mengapa menjual luka. Mungkin bukan luka biasa yang dimiliki orang-orang di luaran sana. Tak mungkin Anda menjualnya kalau semua orang pernah merasakan atau memiliki luka yang sama. Semoga analisis saya salah."

 Dan, aku tak ingin menceritakan kepadanya.
 "Anda mungkin akan menjadi pembeli pertama luka saya."
 "Berarti saya akan mendapat bonus?"
 Perempuan penjual luka tersenyum. Pria calon pembeli luka tersenyum.
 Dan, aku akhirnya bisa menjual secuil luka itu. Kepada seorang pria yang entah datang dari mana, kemudian menawar luka yang selalu tersimpan rapi meski selalu bergejolak dan meronta. Dia seakan memaksa.

 Setelah ini aku tak akan pergi ke mana-mana. Aku ingin menetap di kota ini. Aku tak ingin lagi menjajakan luka seperti yang sudah aku lakukan di beberapa kota. Aku tak mau luka ini habis dan menggerus kenangan bersamamu. Biarkan hanya secuil yang terjual dan bagian lain tetap tersimpan seperti sediakala.

SENJA hampir habis. Perempuan itu masih duduk di kursi di pinggir jalan pusat keramaian. Matanya memandang lurus, menatap lalu-lalang kendaraan yang tak putus-putus seperti iring-iringan rayap pindah rumah. Menatap senyum bahagia yang menerobos dari balik semua mobil.
Di kursi lain di sebelah kanannya ada sepasang muda-mudi sedang kasmaran.

 Dari tatapan mata mereka keluar cinta. Dari tangan mereka yang saling bertautan keluar cinta. Dari jarak duduk mereka yang tak tersekat keluar cinta.
Perempuan itu iri. Dia kemudian melengos. Berdiri lalu melangkah ke sudut lain. Mencari pemandangan yang lebih segar di taman yang tiba-tiba muncul seakan disulap sebelum gelaran akbar di kota ini. Para petinggi beberapa negara datang dan terpuaskan karena mendapat suguhan sesuai harapan.

Tapi mereka tak pernah tahu, kota ini penuh luka. Luka yang muncul dari janji-janji manis para penguasa saat masa kampanye. Bagi mereka, kesejahteraan adalah hal mutlak yang harus dimiliki setiap orang. Maka, mereka menjaminnya kalau terpilih kelak.

Janji manis memang selalu memabukkan. Tapi siapa peduli dengan koar-koar mereka? Tak ada mau tahu meski kemudian mendatangi tempat pemungutan suara dan memilih satu di antara foto yang ada di kertas suara saat di dalam bilik.

Bukan, bukan karena hati nurani. Tapi karena beberapa saat sebelumnya ada seseorang datang ke rumah dan memberikan aplop. Entah apa isinya.
Ada luka yang selalu tersimpan di kiri kanan jalanan yang selalu penuh sesak oleh kendaraan keluaran terbaru. Ada luka yang terpampang di spanduk taman kota. Ada luka di pohon-pohon penyejuk yang akarnya keropos.

Perempuan itu masih berjalan. Menyusuri jalan yang khusus untuk pedestrian di depan gedung-gedung tua peninggalan masa kolonial. Pikirannya mengambang. Hendak terbang menembus ruang-ruang seantero kota.

Langkahnya berbelok ke sebuah kafe. Masih sepi. Dia duduk di dekat jendela. Memesan minuman dengan kadar alkohol rendah. Waitress datang mengantar pesanan. Dibukanya kaleng minuman dan diteguk isinya.
Di luar, berjejer bendera Merah Putih di tiang depan masing-masing kafe. Berkibar.

Dan, aku kesepian. Bolehkah kujual luka kota ini? Sebab aku sudah janji tak akan kujual lukaku lagi.

Monday, November 18, 2019


Filsafat cinta, frase yang penuh dugaan. Ada pertanyaan penting yang harus dijawab sebelum kita berfilsafat tentang cinta. Bukan tentang apa itu cinta, bukan tentang mengapa kita mencinta. Tapi tentang fakta para filsuf, mengapa mereka jarang membicarakan soal cinta?

Setiap perhelatan peristiwa di masa lalu selalu menyisakan kesan jika diingat-ingat kembali. Tentu saja yang biasanya diinginkan hanyalah kisah-kisah yang indah-indah, yang membangkitkan semangat batin, yang layak dikenang. Kalau yang menyedihkan? kembalikan saja pada perspektif personal setiap orang. Tapi kisah yang menyedihkan juga perlu diingat-ingat agar kita senantiasa sadar dan menghargai sebuah nilai kehidupan. Biasanya, kisah populer yang banyak bermuatan kenangan indah namun sekaligus menyedihkan adalah soal yang satu ini cinta.

Saya bukan orang yang berpengalaman soal ini, termasuk pengalaman dari membaca. Buku bacaan yang saya gemari adalah filsafat. Jikalau kamu buka buku-buku tentang filsafat, sangat jarang ditemukan tulisan bertemakan cinta. Memang sih, Plato dan Aristoteles menulis banyak hal tentang hubungan emosional antar manusia, soal kebahagiaan, soal persahabatan, soal cinta. Dibuku Lysis dan Nichomachean Ethic misalnya, dituliskan hal-hal sederhana yang dialami oleh manusia sehari-hari, tetapi semuanya lebih banyak dikemas untuk kebahagiaan yang sifatnya transendental, tentang bagaimana seharusnya kita menjalani hidup.

Jikalau menilik karya filsafat yang ditulis oleh para pemikir muslim, khususnya di abad pertengahan, tidak beda jauh dengan bapak-bapak pendahulu dari Yunani. Filsafat Al Kindi, Al Farabi, Ibn Sina, Al Ghazali dan kawan-kawan lebih banyak bertemakan teologi-filsafat ketimbang tema sosial-emosional sehari-hari. Ibn Khaldun banyak menulis tentang hubungan sosial, tapi itu soal peradaban, -meskipun karyanya ‘Mukkadimah’-nya menurut saya wajib dibaca, merugilah mereka yang sempat mampir ke dunia tanpa baca ‘Mukkadimah’-.

Belakangan, para filsuf abad 18 dan 19, mengkritik soal yang satu ini, yakni mengapa para pemikir besar sangat jarang membicarakan soal cinta? padahal cinta adalah persoalan sehari-hari yang melekat dalam kehidupan setiap insan. Arthur Schopenhouer adalah salah satu orang yang mengkritik paling keras. Pikirannya yang suka melayang-layang, menuntunnya pada sebuah kesimpulan, “para filsuf sengaja meninggalkan persoalan cinta kepada para penyair dan orang-orang yang histeria”, katanya. Menurut saya, bisa jadi. Toh kalau soal cinta diambil juga oleh para filsur, para penyair bahas apa dong? orang histeria makan apa? Schopenhouer benar meski jelas-jelas ngawur.

‘A Man without Love Story’, judul ini ditulis tanpa bermaksud menyinggung siapapun, kecuali bagi yang merasa saja. Saya mem-posting artikel ini sebagai orang yang gelisah sekaligus sepandangan dengan Schopenhouer. Saya juga mau mengatakan dengan lantang “mengapa para filsuf jarang membicarakan soal cinta? padahal cinta adalah persoalan yang serius!”

‘A Man without Love Story’ adalah para filsuf yang mengabaikan soal cinta dalam karya-karyanya. Hampir tak ada filsafat cinta. Meskipun saya terkagum pada karya Plato, tapi sisi lain dari Plato tetap memperlihatkan dirinya sebagai orang biasa. Begitu pula para filsuf lainnya, mereka juga orang biasa. Aristotle lebih patut menjadi teladan sepertinya. Ia menikah, memiliki seorang istri dan anak-anak. Karyanya jauh lebih lengkap ketimbang gurunya itu, termasuk tulisannya yang gayeng tentang kebahagiaan, persahabatan, dan cinta.

Peradaban Yunani sekitar lima abad sebelum masehi memang menginspirasi banyak hal tentang kehidupan. Di sisi lain itu menunjukkan, meski saat itu agama yang berkembang politeis, bukan berarti filsafatnya buruk. Hanya sayang, betapa sulit mencari tulisan jaman itu yang relevan dengan masa kini, terutama soal cinta. Tak ada filsafat cinta. Filsafat oh filsafat

Sunday, November 17, 2019


Kebahagiaan. Sebuah kata yang biasa kita dengar, sangat bermakna namun sering kali menjadi rancu. Ada yang mengatakan kesuksesan berjalan beriringan dengan kebahagiaan. Sukses membangun rumah tangga, sukses dalam studi, sukses dalam karier, sukses dalam hal agama. Yah, tentu anda membayangkan seorang pengusaha cerdas dan saleh yang rumah tangganya baik-baik saja. Di situ merangkum semuanya. Tapi benarkah kebahagiaan benar-benar ia dapatkan? Belum tentu.

Inilah beberapa faktanya. Dalam dunia usaha, persaingan yang saling menjatuhkan banyak terjadi. Untuk itu, dia harus bisa masuk dalam dunia persaingan itu dan prinsipnya adalah prinsip perang. Yang kuat yang menang. Apakah hatinya akan bahagia kalau kemudian dia berhasil memenangkan peperangan? Karena dengan demikian berarti ada korban yang dikalahkan. Untuk mendapatkan tender misalnya, suap menyuap adalah hal biasa. Untuk memenangkan pasar, maka membuat sebuah dominasi merupakan sebuah tuntutan. Lalu apakah dengan menarik diri berarti juga dia sudah bahagia? Belum tentu juga. Bagaimana dia bertahan hidup? Hanya dengan kesuksesan finansiallah kemudian kesuksesan-kesuksesan lain tercapai.

Menurut Baudrillard, kebahagiaan yang sekarang banyak dipegang masyarakat umumnya sudah bergeser. Menurut Jean Baudrillard,tatanan masyarakat dewasa ini didasari oleh rasionalitas hedonisme yang bertumpu pada pemuasan kebutuhan dan kesenangan melalui konsumsi. Budaya-budaya dan nilai-nilai lokal dengan segala macam kearifannya yang penuh dengan ajaran-ajaran mengenai kesalehan, kesederhanaan, gotong royong, dan pengekangan hasrat atau nafsu telah mengalami banyak pergeseran menjadi kehidupan yang bertumpu pada moral hedonistik yang mengedepankan pemborosan yang disebarkan oleh media massa.

Baudrillard membandingkan kenyataan tersebut dengan kenyataan kehidupan palaeolithic (masyarakat makmur pertama yang hidup beberapa ratus tahun silam) sebagaimana digambarkan oleh Marshall Sahlins dalam artikelnya ‘The First Affluent Society’.Pada jaman dahulu, masyarakat Kalahari (salah satu suku primitif di Australia yang hidup pada jaman berburu dan meramu) yang hidup dalam ‘kemiskinan’ (kalau kita lihat dalam perspektif jaman sekarang) dan keterbatasan, namun menurutnya, mereka sebenarnya makmur. Orang-orang primitif dalam masyarakat tersebut tidak memiliki benda, properti, perangkat produksi atau pekerjaan. Mereka berburu, meramu kebutuhan sehari-hari mereka sebagai suatu bentuk kesenangan. Lebih dari itu, mereka saling berbagi makanan atau apapun dengan anggota kelompok mereka. Selain itu, meskipun mereka hidup diantara kelimpahan sumber daya alam, mereka tidak melakukan eksploitasi atau mendayagunakannya secara secara berlebihan. Point ini adalah sesuatu yang penting berkaitan dengan prinsip konsumsi, tidak mengeksploitasi tapi bisa menabung sebagai sebuah tanggung jawab masa depan yang mungkin tidak disadari.

Sahlins juga melihat bahwa masyarakat primitif itulahmasyarakat yang benar-benar makmur. Masyarakat sekarang hanya memiliki tanda-tanda kemakmuran saja walaupun mereka memiliki perangkat produksi yang besar. Kemiskinan itu bisa dilihat dalam hal hubungan relasional diantara sesama manusia. Menurut Sahlins kemakmuran yang sebenarnya bukan terletak pada kepemilikan barang-barang, tetapi pada pertukaran yang nyata diantara sesama manusia. Bagi Baudrillard, rasionalitas hidup masyarakat modern saat ini yang senantiasa berorientasi dan merujuk pada objek-objek material bukanlah sifat dasar manusia atau sesuatu yang alamiah terjadi begitu saja.

Pada jaman dahulu, kebahagiaan juga sudah dipikirkan secara sistematis oleh Plato. Pada salah satu tulisannya, Plato menyebut salah seorang bernama Gorgias. Tentu saja ia lebih merupakan tokoh fiksi yang digunakan sebagai simbol untuk menggambarkan orang-orang pada jamannya. Gorgias di dalam tulisan Plato berpendapat, bahwa kebahagiaan seseorang terletak di dalam kemampuannya untuk mewujudkan apa yang ia inginkan, apapun bentuknya.

Gorgias menegaskan bahwa jika orang memiliki kemampuan ini, ia akan mendapatkan apapun yang dinginkan, tak peduli seberapapun sulitnya. Inilah kebaikan tertinggi yang bisa diraih manusia, yakni mencapai apapun yang diinginkannya, demikian kata Gorgias. Mungkin inilah sebentuk hedonism klasik.

Namun kemudian Plato membuat kritikan akan filsafat kebahagiaan yang semacam itu. Manusia memiliki beragam keinginan, tujuan, cita-cita, hasrat, dan ambisi yang saling tumpang tindih di dalam dirinya. Orang seringkali tidak menyadari beragam keinginan saling bertarung di dalam dirinya ini, karena dibutuhkan kemampuan berpikir reflektif dan kritis yang tinggi untuk mengenalinya, sementara semakin sedikit orang jaman ini yang memiliki kemampuan itu.

Lalu, menanggapi argumen Gorgias yang semacam itu, Plato memberikan kita sebuah analogi; orang yang memuaskan keinginannya itu seperti orang yang menggaruk kulitnya, ketika terasa gatal, dan itu terasa nikmat serta memuaskan. Akan tetapi adakah orang di dunia ini yang mau menghabiskan hidupnya untuk menggaruk kulitnya terus menerus? Tentu saja tidak. Keinginan untuk menggaruk memang memuaskan, tetapi sifatnya sangatlah sementara.

Memang orang suka menggaruk ketika kulitnya gatal, namun ia tidak mungkin menghabiskan hidupnya untuk menggaruk kulitnya yang gatal, walaupun itu seringkali sangat memuaskan rasanya. Maka manusia haruslah memilih hasrat ataupun keinginan apa yang ingin dipuaskannya, karena tidak mungkin ia menghabiskan hidupnya untuk memenuhi hasrat dan keinginan rendah terus menerus. Harus ada nilai lain yang diperjuangkan.

Aristoteles adalah murid Plato, dan ia memiliki pendapat yang berbeda dengan gurunya. Bagi Aristoteles memang setiap orang perlu perencanaan di dalam hidupnya. Namun yang terpenting bukanlah perencanaan itu sendiri, melainkan tujuan akhir yang mengarahkan perencanaan itu. Tujuan itu mengatasi semua hasrat dan keinginan yang ada di dalam diri manusia. Setelah orang sampai pada tujuan itu, maka ia tidak lagi menginginkan apapun. Pertanyaannya kemudian, kalau sudah tercapai ngapain? Menikmatinya?

Bayangkan anda pengusaha yang sukses, sekarang tidak bekerjapun anda mendapatkan uang seperti Bill Gates. Pertanyaannya, habis sukses ngapain? Berdoa menunggu hidup berakhir?

Kemudian kita diingatkan dengan seorang tokoh bernama Nietzsche, seorang filsuf Jerman abad ke-19. Baginya pertarungan antara hasrat dan keinginan di dalam diri manusia bisa menciptakan kenikmatan tertentu. Ketika salah satu keinginan tersebut menjadi kenyataan, maka akan tercipta perasaan bangga dan kagum, yang menimbulkan rasa kenikmatan di dalam diri. Pemenuhan keinginan terus menerus juga akan mencegah orang merasa bosan, akibat hidup yang selalu menjalani rutinitas belaka.

Dalam hal ini Nietzsche membedakan dua macam manusia, yakni manusia yang lemah dan manusia yang kuat. Bagi orang lemah kebahagiaan itu sama dengan ketenangan jiwa, yang muncul dari harmoni kehidupan. Inilah ideal orang bahagia di dalam agama-agama yang menurut Nietzsche menandakan lemahnya seseorang. Sementara bagi orang kuat, kebahagiaan itu sama dengan mengiyakan dorongan-dorongan manusiawi di dalam diri manusia, termasuk di dalamnya dorongan untuk menguasai, kebebasan, dan penegasan diri yang kuat. Orang yang kuat bagi Nietzsche akan menolak semua bentuk ketenangan maupun harmoni, karena itu melemahkan daya juang manusia.

Nietzsche mengingatkan bahwa hasrat dan keinginan manusia itu tidak akan pernah bisa diatur, apalagi dimusnahkan. Bahkan keinginan untuk memusnahkan keinginan itu adalah sebuah keinginan juga. Hasrat dan keinginan yang bertarung di dalam diri manusia itu menciptakan tegangan, dan tegangan itu sebenarnya bisa memberikan kenikmatan dalam jangka pendek, serta kebahagiaan dalam jangka panjang, demikian kata Nietzsche. Perjalanan untuk mewujudkan keinginan adalah sebuah tantangan. Orang butuh tantangan di dalam hidupnya, sehingga ia bisa terus berkembang. Tantangan demi tantangan dalam hidup bisa memberikan alasan bagi orang untuk terus belajar. Di dalam proses itu ia akan merasa bahagia.

Kebahagiaan Dalam Refleksi Saya

Begitulah sejarah kebahagiaan. Tidak sesederhana itu sebenarnya sejarah pemikiran kebahagiaan. Tapi, dengan menggabungkan semua teori kebahagiaan yang ada akhirnya kita bisa menarik kesimpulan yaitu nilai sebuah perjuangan untuk mewujudkan apa yang kita inginkan. Di dalamnya memuat sebuah kesadaran, tanggung jawab, manajemen hasrat, dan tentu saja pengorbanan. Bukan hasil dan bagaimana kita mengonsumsinya yang akhirnya menentukan sebuah kebahagiaan, tapi bagaimana memperjuangkan sesuatu yang kita sadari bernilai itulah yang membentuk kebahagiaan kita. Tidak semua keinginan harus dipenuhi, meskipun tidak semuanya jelek. Misalnya saja, membaca dan menulis tidak mungkin membaca sambil menulis. Harus dipilih salah satu. Ketika pilihan itu didasari pada kesadaran pribadi dan bukan pertama-tama didikte oleh pihak lain, maka di situlah orang bisa berbahagia. Butuh ruang yang agak panjang untuk menuliskan makna kebahagiaan yang sesungguhnya tapi intinya orang tidak akan pernah puas dengan apa yang dia peroleh. Di situlah serunya kehidupan manusia.

Kebahagiaan itu, terletak pada apa yang kita perjuangkan, bukan pada penilaian orang lain. Meminjam teori seorang psikolog besar, Sigmund Freud, kita bisa menemukan kebahagiaan yang sebenarnya. Menurut Freud, dalam diri manusia ada id, ego, dan super ego. Id adalah dorongan-dorongan liar. Superego adalah kumpulan aturan dan moralitas yang ditanamkan oleh lingkungan sosial sedari kecil. Sementara ego adalah individualitas seseorang, atau bisa dikatakan juga sebagai jati dirinya. Ketiganya harus berada di dalam situasi harmonis dengan ego sebagai pemimpinnya.

Friday, November 15, 2019


Apa yang anda lakukan, ketika anda berbeda pendapat dengan sahabat anda? Apa yang anda lakukan, ketika anda berkonflik tajam dengan kolega anda? Apa yang anda lakukan, ketika anda memiliki visi hidup dan keinginan yang berbeda ekstrem dengan kekasih anda? Biasanya orang akan mengambil satu pilihan, yakni pergi; cari pacar lagi, cari teman lagi, cari tempat kerja lain yang lebih cocok, atau cari kolega lain yang mengerti jalan pikiran kita.

Di dalam tulisan ini, dengan berbekal pemaparan yang amat menarik dari O’Dwyer, saya akan mencoba menjelaskan pandangan Žižek tentang cinta. Seperti biasa, pandangannya amat dipengaruhi oleh aliran filsafat sekaligus psikoanalisis yang ia dalami selama ini. Sebagai upaya pengembangan, saya juga akan mencoba menarik konsekuensi logis pandangan Žižek khusus untuk konteks pernikahan. Bagi Žižek, cinta adalah suatu untuk mencintai yang seolah “tak dapat dicintai”. Cinta lahir dari kebebasan, dan tidak pernah dapat diperintahkan, apalagi dipaksakan. Saya akan jelaskan lebih jauh.

Slavoj Žižek dikenal sebagai seorang filsuf psikoanalis ternama di dunia. [1] Ia memiliki gaya yang unik dalam menyampaikan pemikirannya. Seringkali ia tidak menolak kontradiksi (bersatunya hal-hal yang berbeda, seperti jahat sekaligus baik, hitam sekaligus putih), melainkan melihatnya sebagai suatu gerak realitas yang alamiah.

Salah satu argumennya yang paling banyak tampil di berbagai forum adalah, bahwa budaya massa sekarang ini, mulai dari film sampai dengan berbagai bentuk gaya hidup, adalah suatu bentuk mitos ataupun tipuan yang menutupi realitas ganjil yang tersembunyi di baliknya. “Dia”, demikian tulis O’Dwyer, “bukan filsuf biasa, karena ia berpikir dan menulis dengan gaya yang ceroboh sekaligus menyenangkan, ia terus membuat filsafat dengan penuh resiko menjadi menyenangkan.” (O’Dwyer, 2012)

Titik tolak Žižek adalah salah satu ajaran Kristiani tentang cinta, yakni cintailah tetanggamu. Dalam arti ini, menurut saya, kata tetangga bisa diartikan sebagai orang lain, “yang lain” dari saya. Pertanyaan berikutnya adalah, siapa itu orang lain, siapa itu “yang lain” dari saya? Untuk menjawab pertanyaan ini, Žižek mengutip pendapat Lacan, orang lain, termasuk tetanggamu, adalah the real itu sendiri. The real adalah yang tak terduga, yang memecah kita dari rutinitas keseharian. “The real”, demikian tulis O’Dwyer tentang Žižek, “adalah orang lain dengan segala kelemahan, kerapuhan, keanehan, dan kesalahan yang sifatnya traumatik.” (O’Dwyer, 2012)

Mencintai orang lain berarti mencintai tidak hanya sisi-sisi baiknya, tetapi juga sisi-sisi traumatis yang tak terduga, yang terkandung di dalam dirinya. Mencintai yang terduga berarti tidak mencintai sama sekali, karena kita sudah menebak, dan mengkalkulasi dirinya. Mencintai baru bisa dianggap sungguh mencintai, ketika kita mencintai orang-orang yang tak terduga, yang tak dapat kita terka, yang tak dapat kita bungkus dalam kesempitan konsep pikiran maupun keinginan kita.

Di dalam dunia sehari-hari, kita sering mendengar kata-kata luhur, seperti toleransi, kasih universal, dan kesetaraan antar manusia. Menurut Žižek, di balik keluhuran kata-kata ini, ada keengganan yang tersembunyi, yakni keengganan untuk bersentuhan dengan “yang lain”, yang tak terduga, dan traumatik. Artinya, wacana yang bersifat luhur tentang cinta kepada manusia lain seringkali justru mematikan upaya kita untuk sungguh mencintai “yang lain”, yang tak terduga, dan traumatik. Orang lain, sejatinya, selalu berbeda, dan selalu mengancam cara hidup dan gaya berpikir kita dengan keberbedaannya tersebut.

Berpikir tentang toleransi, kesetaraan, dan kasih jelas membuat kita berharap, bahwa orang lain akan juga bersikap sama, yakni bersikap baik pada kita. Di dalam realitas, harapan semacam ini tidak akan terwujud. Yang kita dapatkan, dari harapan semacam ini, adalah kekecewaan, karena orang lain ternyata tak dapat diduga, dan bahkan bertindak sama sekali tidak seperti yang kita harapkan. Orang lain, pada dasarnya, adalah traumatik dan mengancam. Cinta yang sesungguhnya adalah mencintai orang yang membuat kita traumatik dan merasa terancam, karena perbedaan yang ia tampilkan.

Pada titik ini, Žižek, sebagaimana dibaca oleh O’Dwyer, mulai berbicara soal hakekat dari manusia, apa artinya menjadi manusia. Tentu saja, seperti bisa langsung ditebak, konsep Žižek tentang manusia bernuansa ganjil dan gelap. Ia tidak berbicara tentang kemanusiaan universal yang bersifat luhur dan mulia, melainkan tentang manusia yang berbeda, yang lain, yang tak terduga, yang tak tertebak, yang mengancam stabilitas sosial yang sudah ada, manusia yang penuh dengan ketidakpastian dan kontradiksi pada dirinya sendiri. Dalam ketidakpastiannya itu, manusia menjadi sesuatu yang lain, yang terasing, dari apa yang umum, dari apa yang sudah diterima sebagai sesuatu yang baku.

Orang lain adalah suatu realitas yang unik, yang tak dapat kita kurung dalam harapan ataupun pikiran yang kita punya. Orang lain adalah realitas yang nyata, yang tak dapat kita hindari dengan ilusi-ilusi harapan yang kita punya tentangnya. Membayangkan bahwa orang lain bisa selalu sesuai dengan apa yang kita harapkan dan pikirkan adalah ilusi yang menciptakan konsep-konsep luhur, seperti toleransi, dan kasih universal.

Mudah bagi kita untuk mencintai orang-orang miskin, orang-orang yang tak mampu, sakit, kelaparan, ataupun kaum minoritas yang jinak. Mudah juga bagi kita, demikian kata Žižek, untuk mencintai orang lain, selama orang lain itu tidak mengganggu hidup kita, cukup jauh dari kita, dan ada jarak yang terus memisahkan saya dengan mereka. Namun, itu bukanlah cinta. Itu hanya tawar menawar. Cinta yang sejati bisa terlihat, ketika orang masuk ke dalam hidup kita tanpa jarak, tanpa rencana, dan kita bisa tetap mencintainya.

Kedekatan itu seringkali menyesakkan. Perbedaan seringkali membuat kita cemas, membuat rutinitas yang telah kita bangun menjadi hancur, dan harus dipikir ulang. Perbedaan yang dekat dengan kita memaksa kita berpikir ulang tentang semuanya. Ketidakmampuan mengelola perbedaan yang mendekat secara tajam dalam hidup kita bisa membuat cinta berubah menjadi kebencian. Dalam arti ini, cinta dan kebencian hanyalah setipis benang. Bahkan Žižek mengatakan, bahwa cinta mengandaikan kemungkinan adanya kebencian di dalamnya.

Mencintai berarti mencintai yang traumatis, yang tak terduga, dan yang mengancam kita dengan perbedaan yang ia tawarkan. Cinta adalah komponen utama dalam pernikahan. Pernikahan yang mengharapkan adanya harmoni akan berujung pada kekecewaan yang mendalam. Justru di dalam pernikahan, belajar dari Žižek, kita perlu untuk siap pada yang tak terduga, tak tertebak, yang mengancam kita untuk mengubah segala hal yang kita pegang selama ini. Pernikahan adalah the real itu sendiri.

Di dalam pernikahan, mudah sekali untuk mencintai orang yang memberi kita kedamaian. Mudah sekali juga untuk mencintai orang yang memberikan kita kebahagiaan. Namun, realitas tidak seperti itu. Banyak pasangan berpisah, karena mereka tidak siap pada yang tak terduga, yang mungkin muncul di dalam hubungan mereka. Di dalam pernikahan, mencintai berarti mencintai “yang traumatis”. Selain itu, bersiaplah untuk bercerai.

Pola berpikir yang sama bisa diterapkan di arena politik. Di alam demokrasi, perbedaan adalah udara yang kita hirup sehari-hari. Yang juga mesti diingat adalah, demokrasi mengandaikan adanya cinta. Bukan cinta yang mengharapkan orang lain (dari etnis, suku, ras, ataupun agama lain) untuk bertindak sesuai keinginan kita, melainkan cinta yang berusaha untuk melampaui dirinya sendiri dengan mencintai orang-orang lain (dari etnis, suku, ras, ataupun agama lain) yang seolah tak dapat dicintai.

Di tengah kerumitan hidup dan kekacauan realitas, Žižek mengajak kita untuk tetap untuk mencintai, terutama mencintai mereka “yang tak dapat dicintai”.

[1] Tulisan ini diinspirasikan sekaligus dikembangkan dari tulisan Kathleen O’Dwyer yang berjudul Žižek on Love dalam http://www.philosophynow.org/issues/77/Žižek_on_Love

Friday, November 8, 2019


Suatu hari, Plato bertanya pada gurunya, “Apa itu cinta? Bagaimana saya menemukannya? Gurunya menjawab, “Ada ladang gandum yang luas didepan sana. Berjalanlah kamu dan tanpa boleh mundur kembali, kemudian ambillah satu saja ranting. Jika kamu menemukan ranting yang kamu anggap paling menakjubkan, artinya kamu telah menemukan cinta”

Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan tangan kosong, tanpa membawa apapun.

Gurunya bertanya, “Mengapa kamu tidak membawa satupun ranting?” Plato menjawab, “Aku hanya boleh membawa satu saja,dan saat berjalan tidak boleh mundur kembali (berbalik)”. Sebenarnya aku telah menemukan yang paling menakjubkan, tapi aku tak tahu apakah ada yang lebih menakjubkan lagi di depan sana, jadi tak kuambil ranting tersebut. Saat kumelanjutkan berjalan lebih jauh lagi, baru kusadari bahwa ranting-ranting yang kutemukan kemudian tak sebagus ranting yang tadi, jadi tak kuambil sebatangpun pada akhirnya”

Gurunya kemudian menjawab ” Jadi ya itulah cinta”

Di hari yang lain, Plato bertanya lagi pada gurunya,”Apa itu perkawinan?Bagaimana saya bisa menemukannya?”

Gurunya pun menjawab “Ada hutan yang subur didepan sana. Berjalanlah tanpa boleh mundur kembali (menoleh) dan kamu hanya boleh menebang satu pohon saja. Dan tebanglah jika kamu menemukan pohon yang paling tinggi, karena artinya kamu telah menemukan apa itu perkawinan”

Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan membawa pohon. Pohon tersebut bukanlah pohon yang segar/subur, dan tidak juga terlalu tinggi. Pohon itu biasa-biasa saja.

Gurunya bertanya, “Mengapa kamu memotong pohon yang seperti itu?” Plato pun menjawab, “sebab berdasarkan pengalamanku sebelumnya, setelah menjelajah hampir setengah hutan, ternyata aku kembali dengan tangan kosong. Jadi dikesempatan ini, aku lihat pohon ini, dan kurasa tidaklah buruk-buruk amat, jadi kuputuskan untuk menebangnya dan membawanya kesini. Aku tidak mau menghilangkan kesempatan untuk mendapatkannya”

Gurunya pun kemudian menjawab, “Dan ya itulah perkawinan”
Cinta bisa jadi merupakan kata yang paling banyak dibicarakan manusia. Setiap orang memiliki rasa cinta yang bisa diaplikasikan pada banyak hal. Wanita, harta, anak, kendaraan, rumah dan berbagai kenikmatan dunia lainnya merupakan sasaran utama cinta dari kebanyakan manusia. Cinta yang paling tinggi dan mulia adalah cinta seorang hamba kepada Rabb-nya.
Kita sering mendengar kata yang terdiri dari lima huruf: CINTA. Setiap orang bahkan telah merasakannya, namun sulit untuk mendefinisikannya. Terlebih untuk mengetahui hakikatnya. Berdasarkan hal itu, seseorang dengan gampang bisa keluar dari jeratan hukum syariat ketika bendera cinta diangkat. Seorang pezina dengan gampang tanpa diiringi rasa malu mengatakan, “Kami sama-sama cinta, suka sama suka.” Karena alasan cinta, seorang bapak membiarkan anak-anaknya bergelimang dalam dosa.

 Dengan alasan cinta pula, seorang suami melepas istrinya hidup bebas tanpa ada ikatan dan tanpa rasa cemburu sedikitpun.
Demikianlah bila kebodohan telah melanda kehidupan dan kebenaran tidak lagi menjadi tolok ukur. Dalam keadaan seperti ini, setan tampil mengibarkan benderanya dan menabuh genderang penyesatan dengan mengangkat cinta sebagai landasan bagi pembolehan terhadap segala yang . Allah berfirman:dilarang Allah dan Rasul-Nya Muhammad
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (Ali ‘Imran: 14)
mengatakan: dalam haditsnya dari shahabat Tsauban Rasulullah ‘Hampir-hampir orang-orang kafir mengerumuni kalian sebagaimana berkerumunnya di atas sebuah tempayan.’ Seseorang berkata: ‘Wahai Rasulullah, apakah jumlah kita saat itu sangat sedikit?’ Rasulullah berkata: ‘Bahkan kalian saat itu banyak akan tetapi kalian bagaikan buih di atas air. Dan Allah benar-benar akan mencabut rasa ketakutan dari hati musuh kalian dan benar-benar Allah akan campakkan ke dalam hati kalian (penyakit) al-wahn.’ Seseorang bertanya: ‘Apakah yang menjawab:dimaksud dengan al-wahn wahai Rasulullah?’ Rasulullah ‘Cinta dunia dan takut mati.’ (HR. Abu Dawud no. 4297, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 3610)
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di dalam tafsirnya mengatakan: “Allah memberitakan dalam dua ayat ini (Ali ‘Imran: 13-14) tentang keadaan manusia kaitannya dengan masalah lebih mencintai kehidupan dunia daripada akhirat, dan Allah menjelaskan perbedaan yang besar antara dua negeri tersebut. Allah memberitakan bahwa hal-hal tersebut (syahwat, wanita, anak-anak, dsb) dihiaskan kepada manusia sehingga membelalakkan pandangan mereka dan menancapkannya di dalam hati-hati mereka, semuanya berakhir kepada segala bentuk kelezatan jiwa. Sebagian besar condong kepada perhiasan dunia tersebut dan menjadikannya sebagai tujuan terbesar dari cita-cita, cinta dan ilmu mereka. Padahal semua itu adalah perhiasan yang sedikit dan akan hilang dalam waktu yang sangat cepat.”

Definisi Cinta
Untuk mendefinisikan cinta sangatlah sulit, karena tidak bisa dijangkau dengan kalimat dan sulit diraba dengan kata-kata. Ibnul Qayyim mengatakan: “Cinta tidak bisa didefinisikan dengan jelas, bahkan bila didefinisikan tidak menghasilkan (sesuatu) melainkan menambah kabur dan tidak jelas, (berarti) definisinya adalah adanya cinta itu sendiri.” (Madarijus Salikin, 3/9)

Hakikat Cinta

Cinta adalah sebuah amalan hati yang akan terwujud dalam (amalan) lahiriah. Apabila cinta tersebut sesuai dengan apa yang diridhai Allah, maka ia akan menjadi ibadah. Dan sebaliknya, jika tidak sesuai dengan ridha-Nya maka akan menjadi perbuatan maksiat. Berarti jelas bahwa cinta adalah ibadah hati yang bila keliru menempatkannya akan menjatuhkan kita ke dalam sesuatu yang dimurkai Allah yaitu kesyirikan.
Cinta kepada Allah
Cinta yang dibangun karena Allah akan menghasilkan kebaikan yang sangat banyak dan berharga. Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin (3/22) berkata: ”Sebagian salaf mengatakan bahwa suatu kaum telah mengaku cinta kepada Allah lalu Allah menurunkan ayat ujian kepada mereka:
“Katakanlah: jika kalian cinta kepada Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian.” (Ali ‘Imran: 31)
Mereka (sebagian salaf) berkata: “(firman Allah) ‘Niscaya Allah akan mencintai kalian’, ini adalah isyarat tentang bukti kecintaan tersebut dan buah serta faidahnya. Bukti dan tanda (cinta kepada Allah) adalah , faidah dan buahnya adalah kecintaan Allahmengikuti Rasulullah maka kecintaankepada kalian. Jika kalian tidak mengikuti Rasulullah Allah kepada kalian tidak akan terwujud dan akan hilang.”
Bila demikian keadaannya, maka mendasarkan cinta kepada orang lain karena-Nya tentu akan mendapatkan kemuliaan dan nilai di sisi Allah. bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Anas binRasulullah :Malik
“Tiga hal yang barangsiapa ketiganya ada pada dirinya, niscaya dia akan mendapatkan manisnya iman. Hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya, dan hendaklah dia mencintai seseorang dan tidaklah dia mencintainya melainkan karena Allah, dan hendaklah dia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkan dia dari kekufuran itu sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 16 dan Muslim no. 43)

Ibnul Qayyim mengatakan bahwa di antara sebab-sebab adanya cinta (kepada Allah) ada sepuluh perkara:
Pertama, membaca Al Qur’an, menggali, dan memahami makna-maknanya serta apa yang dimaukannya.
Kedua, mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan-amalan sunnah setelah amalan wajib.
Ketiga, terus-menerus berdzikir dalam setiap keadaan.
Keempat, mengutamakan kecintaan Allah di atas kecintaanmu ketika bergejolaknya nafsu.

Kelima, hati yang selalu menggali nama-nama dan sifat-sifat Allah, menyaksikan dan mengetahuinya.
Keenam, menyaksikan kebaikan-kebaikan Allah dan segala nikmat-Nya.
Ketujuh, tunduknya hati di hadapan Allah .
Kedelapan, berkhalwat (menyendiri dalam bermunajat) bersama-Nya ketika Allah turun (ke langit dunia).

Kesembilan, duduk bersama orang-orang yang memiliki sifat cinta dan jujur.
Kesepuluh, menjauhkan segala sebab-sebab yang akan menghalangi hati dari Allah . (Madarijus Salikin, 3/18, dengan ringkas)
Cinta adalah Ibadah
Sebagaimana telah lewat, cinta merupakan salah satu dari ibadah hati yang memiliki kedudukan tinggi dalam agama sebagaimana ibadah-ibadah yang lain. Allah berfirman:
“Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu.” (Al-Hujurat: 7)
“Dan orang-orang yang beriman lebih cinta kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165)
“Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” (Al-Maidah: 54)
adalah hadits Anas yang telahAdapun dalil dari hadits Rasulullah disebut di atas yang dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim: “Hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya.”

Macam-macam cinta
Di antara para ulama ada yang membagi cinta menjadi dua bagian dan ada yang membaginya menjadi empat. Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdulwahhab Al-Yamani dalam kitab Al-Qaulul Mufid fi Adillatit Tauhid (hal. 114) menyatakan bahwa cinta ada empat macam:
Pertama, cinta ibadah.
Yaitu mencintai Allah dan apa-apa yang dicintai-Nya, dengan dalil ayat dan hadits di atas.

Kedua, cinta syirik.
berfirman:Yaitu mencintai Allah dan juga selain-Nya. Allah
“Dan di antara manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan-tandingan (bagi Allah), mereka mencintai tandingan-tandingan tersebut seperti cinta mereka kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165)

Ketiga, cinta maksiat.
Yaitu cinta yang akan menyebabkan seseorang melaksanakan apa yang diharamkan Allah dan meninggalkan apa-apa yang diperintahkan-Nya. Allah berfirman:
“Dan kalian mencintai harta benda dengan kecintaan yang sangat.” (Al-Fajr: 20)

Keempat, cinta tabiat.
Seperti cinta kepada anak, keluarga, diri, harta dan perkara lain yang dibolehkan. Namun tetap cinta ini sebatas cinta tabiat. Allah berfirman:
“Ketika mereka (saudara-saudara Yusuf ‘alaihis salam) berkata: ‘Yusuf dan adiknya lebih dicintai oleh bapak kita daripada kita.” (Yusuf:
Jika cinta tabiat ini menyebabkan kita tersibukkan dan lalai dari ketaatan kepada Allah sehingga meninggalkan kewajiban-kewajiban, maka berubahlah menjadi cinta maksiat. Bila cinta tabiat ini menyebabkan kita lebih cinta kepada benda-benda tersebut sehingga sama seperti cinta kita kepada Allah atau bahkan lebih, maka cinta tabiat ini berubah menjadi cinta syirik.

Buah cinta
mengatakan: “Ketahuilah bahwa yangSyaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menggerakkan hati menuju Allah ada tiga perkara: cinta, takut, dan harapan. Dan yang paling kuat adalah cinta, dan cinta itu sendiri merupakan tujuan karena akan didapatkan di dunia dan di akhirat.” (Majmu’ Fatawa, 1/95)
menyatakan: “Dasar tauhid danAsy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di ruhnya adalah keikhlasan dalam mewujudkan cinta kepada Allah. Cinta merupakan landasan penyembahan dan peribadatan kepada-Nya, bahkan cinta itu merupakan hakikat ibadah. Tidak akan sempurna tauhid kecuali bila kecintaan seorang hamba kepada Rabbnya juga sempurna.” (Al-Qaulus Sadid, hal. 110)
Bila kita ditanya bagaimana hukumnya cinta kepada selain Allah? Maka kita tidak boleh mengatakan haram dengan spontan atau mengatakan boleh secara global, akan tetapi jawabannya perlu dirinci.

Pertama, bila dia mencintai selain Allah lebih besar atau sama dengan cintanya kepada Allah maka ini adalah cinta syirik, hukumnya jelas haram.

Kedua, bila dengan cinta kepada selain Allah menyebabkan kita terjatuh dalam maksiat maka cinta ini adalah cinta maksiat, hukumnya haram.

Ketiga, bila merupakan cinta tabiat maka yang seperti ini diperbolehkan.
Ketika seseorang seringsekali bercerita tentang kebenciannya pada sesuatu, apakah itu benar-benar menunjukkan bahwa dia tidak cinta?

salah seorang tokoh besar, Fariduddin al Attar pernah bercerita, bahwa ada seorang tokoh (?) yang berkunjung ke tempat Robi’ah al adawiyah, ulama besar ahli mahabbah,
si tamu tersebut selama berada di tempat robiah yang diceritakan adalah betapa jeleknya dunia itu, betapa buruknya dunia itu, betapa menipunya dunia itu, dan betapa ia bencinya dunia itu.

Robi’ah tersenyum
dan ketika si tamu itu berlalu, Sofyan At Tsauri, sahabat Robiah yang juga sedang berkunjung ke situ bertanya pada Robiah,”Benarkah orang itu benci kepada dunia?”
Robiah tersenyum dan berkata,”Bagaimana mungkin dia membenci dunia? yang ada di pikiran dan perasaannya hanyalah terisi dengan dunia dan urusannya”

Dzunnun al Mishri, satu waktu di datangi salah seorang muridnya,”ya Guru, kata muridnya, aku sudah beribadah kepada Tuhan selama 30 tahun yang menurutku aku juga sungguh2. Siang puasa, malah tahajud dan selain amalan wajib, yang sunnah2 juga aku kerjakan. tapi bukannya aku tidak puas dengan keadaanku, tetapi mengapakah tidak ada sedikitpun tanda2 yang datang dari Tuhan tentang apa yang telah aku lakukan ini?”
Dzunnun menjawab,”kalau begitu, nanti malam kamu makan yang banyak, dan jangan sholat isya”
Si murid agak heran juga mendengar saran gurunya, tapi ia mengangguk dan pulang.
Keesokan harinya, ia datang ke Dzunnun dan bercerita,

“Alhamdulillah guru, semalem saya mendapatkan tanda itu dari Allah swt, aku sudah menuruti saran guru untuk makan yang banyak, tetapi aku tidak tega untuk meninggalkan sholat wajib isya. Kemudian malam harinya, aku bermimpi di datangi oleh Rosulullah saw dan beliau bersabda,”wahai fulan, tenangkan hatimu, Allah mendengar, melihat dan mengetahui apa yang kamu kerjakan. Bersabarlah dan ikhlaslah.” dalam mimpi itu saya mengangguk, kemudian Rosulullah saw bersabda lagi,”Dan sampaikan pada Dzunnun Al Mishri bahwa Allah berpesan agar ia jangan menyarankan muridnya untuk tidak sholat isya”

Mendengar itu Dzunnun tertawa sampai keluar air matanya.
kemudian ia berkata,
“Jika kamu tidak bisa mendekatiNya melalui Kasih SayangNya, maka dekatilah ia melalui rasa marahNya”

Dan baru saja kemaren saya tertegun ketika membaca buku “Secret of Power Negotiating”, di dalam buku itu, Roger Dawson menulis,”apakah lawan CINTA itu adalah BENCI ??” , Tidak !! katanya, Lawan CINTA itu adalah KETIDAKPEDULIAN.

Bagi seorang Pecinta, kebencian dari sang kekasih itu lebih berharga dari pada KETIDAKPEDULIAN dari yang dicintainya.

Seseorang bersyair.
“ya kekasih…dari pada engkau memalingkan wajahmu dariku, lebih baik, sakiti aku dan marahi aku dan bencilah aku…itu lebih baik..sebab kemarahanmu, dan kebencianmu, itu adalah salah satu bentuk kepedulianmu kepadaku”

hati seorang pecinta.
lebih memerlukan kepedulian dari yang dicintai.
dari pada ketidak peduliannya..
baikpun kepedulian itu berwujud kasih sayang yang dicintainya…
ataupun kepedulian itu berwujud amarah dan bencinya.

Apakah binatang memiliki cinta? Mungkin kita bisa melihat induk binatang yang menyusui dan merawat anaknya sebagai sebentuk cinta yang natural. Tapi benarkah itu adalah bentuk cinta? Apakah yang membentuk sebuah cinta: insting atau akal budinya? Kalau ada sepasang merpati yang sulit dan begitu sulit dipisahkan, apakah hal ini bisa dikatakan sebagai sepasang kekasih dengan cinta sejati? Merujuk pada pemikiran Aristoteles bahwa binatang disebut binatang karena adanya jiwa instingtif di dalamnya (jiwa sebagai pembentuk kehidupan. Pada tumbuhan disebut jiwa vegeter dan pada manusia jiwa rasional). Jadi, apa yang kita lihat sebagai fenomena cinta pada binatang sebenarnya bersifat instingtif dan non rasional. Menarik bahwa dalam pemikiran eksistensialisme, cinta dilihat sebagai sesuatu yang sangat positif, luhur, dan kuat namun sekaligus ada yang melihat dengan sangat skeptis.

Menurut Scheler ada tiga macam kegiatan manusia yang memberi ciri khas kemanusiaannya sebagai pribadi. Ketiga hal tersebut adalah:

a.Refleksi yaitu kegiatan membuat dirinya sebagai obyek pemikiran. Inilah yang menyebabkan manusia mengenali dirinya sebagai manusia, mempelajari bukan hanya tubuhnya sendiri tapi juga jiwanya. Ini khas pada manusia karena binatang hampir tidak bisa mengenali dirinya.

b.Abstraksi atau ideasi, menangkap hakekat dari keberadaan di luar dirinya (eksistensi). Dengan pikirannya, manusia bisa mengenali yang berbeda dengan dirinya, mempelajarinya dan menguasainya. Ia bisa mengenal atau setidaknya merefleksikan adanya Tuhan, misalnya.

c.Cinta. Cinta merupakan kegiatan paling penting sebagai pribadi. Cinta dan benci adalah tindakan primordial manusia yag mendasari tindakan lain. Pribadi seseorang dapat diukur dari cintanya.

Cinta merupakan bagian pribadi manusia yang diarahkan  kepada nilai absolut. Cinta ini megarahkan pribadi melampaui keterbatasannya (unsur transendensi). Yang diperlukan adalah penyerahan diri, kesetiaan pada institusi dengan melepaskan segala a priori. Bukan kenginan untuk menguasai. Perlu kerendahan hati dan penguasaan diri.

Pemikiran tentang cinta sangat kuat dalam eksistensialismenya Gabriel Marcel. Menurutnya, cintalah yang memanggil manusia untuk mengadakan hubungan eksistensial. Cinta bukanlah perasaan emotif tapi menjadi inti kehidupan yang berproses dalam hubungan manusia. Dia merumuskan empat tahapan cinta sebagai berikut:

1.Kerelaan (disponibilite): sebuah sikap kesediaan untuk terbuka, membiarkan agar orang lain masuk dalam hubungan denganku. Sifat semacam ini berlawanan dengan sikap kepemilikan yang menutup diri, mencari untung bagi diri sendiri dan menganggap yang lain sebagai objek.

2.Penerimaan (receptivite), sikap inisiatip, memulai aktivitas dalam hubungan dengan mempersilahkan yang lain memasuki duniaku, atau mendengarkan yang lain; menyediakan tempat dalam diriku untuk yang lain.

3.Keterlibatan (engagement) sikap yang lebih dalam lagi karena aku ikut ambil bagian yang lain dalam hubungan itu, memberikan perhatian khusus terhadap perencanaan-perencanaannya dan menanggapi secara positif sehingga kami dapat seiring sejalan.

4.Kesetiaan (fidelite) merupakan sikap total dalam hubungan cinta. Kesetiaan bukanlah ikut-ikutan tanpa pendirian, melainkan kesediaan untuk terlibat dengan segala resiko yang ada. Setia bukanlah menjalankan yang rutin tapi membiarkan dirinya menjadi taruhan.

Dalam pemikiran itu, cinta menjadi sentral dalam sebuah relasi sehingga aku dan engkau menjadi satu komunio, aku dan kau menjadi berpadu hati sebagai kami. Cinta adalah sesuatu (entitas) yang transenden melampaui keakuan dan keengkauan. Dengan cinta manusia keluar dari dirinya dan memeluk yang transenden, yang terlampaui olehnya.

Yang menarik dari pemikiran Gabriel Marchel adalah bahwa cinta dalam hubungan intersubjektif juga menunjukkan suatu kreativitas. Creatio, menjadikan sesuatu ada dari yang semula tidak ada. Cinta berdaya kreatif. Dalam hal inipun kemudian terbedakan dalam beberapa taraf.

Yang paling sederhana kreativitas cinta dapat terlihat dalam karya-karya manusia. Seniman yang mencintai seninya menghasilkan karya seni, petani yang mencintai pekerjaannya menghasilkan panenan, dll.

Kreativitas juga bisa menyangkut hubungan antar manusia. Misalnya mengangkat presiden, presiden mengangkat menteri, dll. Ini rakyat secara kreatif berkat daya cintanya menciptakan presiden dan menteri adalah ciptaan presiden. Kreativitas ini berkaitan dengan penciptaan kondisi, membuat keadaan yang baru yang berlaku pada orang itu dan mempengaruhi ‘ada’nya.

Maka, kreativitas semacam itu mengarah pada kreativitas yang sama sekali baru dengan menciptakan adanya kebebasan. Berkat cinta seseorang justru merasa bebas, mampu bergerak dan merealisasikan dirinya karena dia diterima, didukung, dan dipahami. Kreativitas cinta menumbuhkan kreativitas subjek yang dicintainya.

Secara sangat berbeda, dalam pandangan eksistensialisme juga, sartre melihat cinta bukanlah suatu peleburan subjek justru sebagai bentuk objektifikasi tubuh. Jadi, kalau dalam dua pemikiran di atas manusia dilihat dalam mencintai yang melampaui kebertubuhannya, Sartre justru menunjukkan cinta secara dangkal ketika masing-masing hanya dilihat sebagai objek yang bertubuh. Menurut Sartre, cinta merupakan bentuk lain pengobjekkan terhadap orang lain maupun diri sendiri secara “pasrah” (dalam bahasa Gramsci: hagemoni). Ia mendaulat cinta sebagai tanda “kegagalan” seseorang untuk mempertahankan dirinya sebagai “subyek”. Pada perkembangannya, cinta akan menstranformasi dirinya sebagai entitas yang penuh dengan motif “memiliki”. Hal tersebut tampak melalui berbagai harapan yang dimiliki seorang pecinta atas kekasihnya dan demikian pula sebaliknya. Dengan misal lain, seseorang akan berharap dirinya untuk terus dicintai dan begitu pula pada pasangannya dengan harapan serupa, sehingga yang terjadi kemudian adalah pengekangan atas kebebasan, orang yang saling mencintai pada hakekatnya “terpenjara”, hanya saja penjara tersebut sedemikian halusnya hingga tak kasat mata.

Dalam ranah yang lebih filosofis, Sartre menjelaskan bahwa orang yang mencintai pada hakekatnya hendak memiliki dunia orang yang dicintai, mengobjekkan berikut meminta menyerahkan dunia serta dirinya secara “bulat-bulat”. Menurut Sartre, kondisi demikian dapat diandaikan sebagai, “terjebak pada dunia orang lain”, atau “berada bagi orang lain”, dan hal tersebut merupakan sesuatu yang nausea ‘memuakkan’ baginya. Secara konkret, Sartre menjelaskan hal tersebut melalui “hasrat seksual” serta “hubungan seksual” yang lahir kemudian melalui cinta. Menurutnya, hasrat seksual merupakan upaya “mereduksi” orang lain sebagai “tubuh” atau “daging” semata. Namun demikian, pada akhirnya hasrat selalu gagal mengingat yang diubahnya menjadi daging bukanlah orang lain semata, melainkan pula “diri sendiri”. Hal tersebut tampak melalui tenggelamnya seseorang dalam kenikmatan hubungan seks sehingga melupakan motif dan tujuan semula: menguasai pihak lain. Oleh karenanya simpul Sartre, “Hasrat pun gagal untuk memulihkan diri saya yang hilang akibat orang lain”.

Monday, September 23, 2019


Melawan Trauma dan PTSD Yang Menjadi Momok Para Pembangkang

Trauma yang akan dibahas disini adalah trauma psikologis, dan selanjutnya akan dipendekkan menjadi trauma. Trauma (psikologis) menurut samhsa.gov adalah cedera pada pikiran, diakibatkan oleh satu atau beberapa kejadian yang sangat signifikan dan cenderung mengancam. Trauma adalah hal yang sering ditemui sebagian besar individu, dan sangat dekat bagi para pembangkang, baik pasifis maupun insureksionis. Mengapa? Karena setiap aksi ilegal pasti akan mendapat tindakan represif dari aparat. Baik segalak arson, sampai setenang food not bomb. Kita mengenal istilah “efek jera” dalam setiap tindakan yang diambil aparat. Efek jera inilah yang sering kali menjadi trauma. Hal ini terjadi karena efek jera yang diberikan seringkali adalah tindakan represif yang mencederai pikiran. Sebagai contoh adalah tembakan peringatan, gas air mata, pemukulan, hingga tindakan kasar dan melecehkan setelah tertangkap. Karena setiap individu adalah unik, maka bentuk trauma yang dialami juga bervariasi. Menurut Storr CL dalam American Journal of Psychiatry (2007; 164 (1)), karena trauma berbeda antara individu, berdasarkan pengalaman subjektif, individu akan bereaksi berbeda terhadap kejadian traumatis yang serupa. Dengan kata lain, tidak semua orang yang mengalami kejadian berpotensi trauma akan mengalami trauma. Sebagai contoh adalah penjara. Beberapa orang akan menganggap penjara sebagai hal yang biasa, dan sisanya akan menganggap penjara sebagai sebuah bencana besar. Ada kemungkinan pada beberapa orang untuk mengidap Post-traumatic stress disorder (PTSD). PTSD adalah gangguan mental yang terjadi setelah seseorang mengalami kejadian traumatis dan mengalami trauma.

Perlu diingat, bahwa kejadian traumatis tidak hanya terjadi dalam aksi represif. Dan kemampuan menerima kejadian traumatis akan berbeda satu sama lain. Trauma masa kecil bisa menjadi momok ketika dewasa. Kejadian yang dipandang sepele oleh kebanyakan orang juga bisa menjadi trauma pada beberapa orang. Sering kita menemukan kondisi dimana seseorang mengalami trauma yang diakibatkan kejadian “sepele”. Namun kita perlu mengingat keunikan setiap individu dalam menerima kondisi traumatis. Beberapa individu akan menggunakan jasa psikiater atau psikolog. Beberapa akan meminta bantuan kawan sekitar untuk menyembuhkan trauma. Sebagian lagi memutuskan untuk mengkonsumsi alkohol dan obat penenang. Namun, cara alternatif dalam menghadapi trauma adalah dengan resiliensi.

Konsep resiliensi diformulasikan pertama kali oleh Block dalam karya EC Klohnen yaitu Conceptual analysis and measurement of the construct of ego-resiliency (1996) dengan nama ego-resilience, yang diartikan sebagai kemampuan umum yang melibatkan kemampuan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes saat dihadapkan pada tekanan internal maupun eksternal. Secara spesifik, ego-resilience adalah Sumber daya personalitas yang mengizinkan individu untuk memodifikasi karakteristik mereka dan cara habitual dari ekspresi pengendalian ego, sebagai cara, pembentukan, dan penghadangan paling adaptif dalam konteks lingkungan. Sederhananya, resiliensi adalah kemampuan individu untuk menghadapi kejadian traumatis tanpa mengalami trauma. Menurut K. Reivich dan A. Shatte dalam The Resilience Factor; 7 Essential Skill For Overcoming Life’s Inevitable Obstacle (2002), resiliensi dibangun dari 7 kemampuan berbeda. Hampir tidak ada satupun individu yang memiliki seluruh kemampuan ini dengan baik. Kemampuan ini terdiri dari: Regulasi Emosi; Pengendalian Impuls; Optimisme; Empati; Analisis Penyebab Masalah; Efikasi Diri; dan Peningkatan Aspek Positif.

Menurut The Jane Addams Collective dalam theanarchistlibrary.org, setiap individu memiliki kemampuan resiliensi dalam dirinya, sesuai dengan karakteristik dan keunikan personal. Faktor resiliensi bisa hadir dari individu, komunitas, kelompok pertemanan, dan keluarga. Dengan mengaktifkan resiliensi secara sadar, dalam pendekatan kreatif dan dinamis setelah kejadian traumatis, efek jangka panjang dari trauma dan PTSD bisa ditepis.
Faktor Resiliensi dijelaskan sebagai berikut
Individu:
1. Pembuatan Makna (dari setiap kejadian)
2. Kemampuan untuk memecah dan mengkonsepkan masalah
3. Kepekaan untuk efiasi diri dan mengambil keputusan
4. Otonomi
5. Keteguhan: komitmen, kontrol, dan tantangan
6. Harga diri dan kepercayaan diri
7. Altruisme dan perilaku prososial
8. Penggunaan pertahanan ego dengan dewasa
9. Aktif melawan gaya menghindari perkara
10. Fokus menghadapi masalah melawan menghadapi emosional
11. Peneriman rasa takut dalam diri dan lainnya
12. Menghilangkan atau merendahkan level rasa bersalah, malu, dan terhina
13.  Humor
14. Respon proaktif pada kekerasan
15. Berpikiran jernih
16. Sistem kepercayaan personal
17. Kesiapan psikologis
Komunitas:
1. Penerimaan ketersediaan dukungan sosial
2. Menerima dukungan sosial
3. Mencari dukungan sosial secara aktif
4. Menyingkapkan pengalaman traumatis kepada orang tertentu
5. Rasa identitas kelompok dan memandang diri sebagai penyintas secara positif
6. Hubungan, ikatan, interaksi sosial dengan kelompog tertentu dari kawan dan sesama penyintas

Resiliensi bukanlah perisai dari kejadian traumatis. Namun menyebabkan usaha membentuk trauma oleh musuh kita menjadi percuma. Resiliensi akan melucuti efek dari malu, takut, bersalah, tanpa harapan, keruntuhan sosial, dan isolasi – yang menjadi efek jangka panjang paling kuat dari aksi traumatis atau eliminasi politis. Kombinasi antara psikologis dan resiliensi berbasis kelompok dapat menghindari efek jangka panjang dari trauma. Membalikkan efek ini akan nyata dengan resiliensi – setiap trauma akan memerlukan kekuatan lebih untuk mencapai efek yang sama seperti kepada mereka yang tidak menerapkan resiliensi.

Jika trauma menjadi kunci represi hari ini, maka resiliensi adalah senjata bagi pembangkang.

Thursday, September 5, 2019


PAPUA di benak kita, nampaknya tak memiliki banyak wajah. Dalam beberapa hal, orang kerapkali mendeskripsikannya lewat apa yang mampu dicandra oleh mata. Papua yang berkulit hitam—oleh karena itu mereka primitif, malas, tukang bikin onar, acakadul dan sederet rentetan stereotip negatif yang menyertainya. Singkatnya, cara pandang rasisme dan diskriminatif masih menjadi tumpuan sekian pihak—hingga akhirnya memengaruhi tingkat penerimaan kita terhadapnya.

Saya ingat betul kala pertama kali saya bersinggungan dengan hal sejenis, kala itu saya mengikuti perkuliahan di kelas. Satu kesempatan, dosen saya memperlihatkan sebuah gambar yang terkenal dengan nama Hottentot Venus. Seorang perempuan Afrika, bernama Saartjie Baartman, dalam gambar itu memang nyata adanya. Ia dianggap sebagai makhluk aneh karena warna kulit, bokongnya yang besar, alat kelaminnya yang memanjang dan bagian lain yang bagi orang Eropa dianggap tak biasa. Ia ditipu dan karena keadaan fisiknya tersebut diminta untuk tampil telanjang di setiap acara pameran di Inggris pada abad ke 19. Empat tahun kemudian, ia dijual kepada pelatih binatang di Perancis—dan yang paling tragis, meski sudah meninggal, tubuhnya (tulang-belulang, otak dan kelaminnya) tetap dijadikan bahan tontonan di museum Paris dengan label manusia setengah binatang. Baru pada tahun 2002 lalu, jasadnya berhasil dipulangkan. Bagi saya, untuk pertama kalinya, hal tersebut membuat saya marah sekaligus bertanya: mengapa perbudakan, rasisme dan diskriminasi masih kerap menghantui kita? Mengapa kita, yang tak sedikitpun bisa memilih untuk terlahir dimana dan seperti apa, bisa begitu kejamnya dan merasa istimewa di antara yang lain? Mirisnya, kejadian tersebut terjadi di dunia modern, dunia yang konon membawa arus humanisme.

Puncaknya 14 Juli lalu, wajah tentang diskrimasi dan rasisme mewujud dalam bentuk lain. Asrama mahasiswa Papua di Yogyakarta tengah dikepung oleh pihak keamanan dan beberapa ormas yang tak sepakat dengan rangkaian kegiatan bertajuk “Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Papua Barat”. Mereka direpresi, mereka dianggap separatis, hingga akhirnya sang sultan pun angkat bicara ‘’tanah Jogja haram diinjak oleh para separatis’’. Akibat dari segala diskriminasi seperti itu, yang terbaru adalah pernyataan sikap Aliansi Mahasiswa Papua untuk meninggalkan tanah Yogyakarta, menanggapi pernyataan Sultan terkait separatisme. Singkatnya, di mata kita permasalahan Papua tak pernah beranjak dan berkutat dalam lingkaran itu-itu saja: soal kemerdekaan, separatisme, nasionalisme. Atau dengan kata lain, ia tak jauh-jauh dari persoalan kepemilikan Papua. Ia tak hanya menyangkut persoalan kepemilikan teritori maupun kekayaan alam, tapi juga pergulatan identitas untuk memiliki rasa aman, kebebasan dan kemanusiaan.

Kegagalan Kita Memahami Nasionalisme
Polemik mengenai kepemilikan Papua sering hadir bersamaan dengan pemahaman mengenai bangsa yang kerap ditafsirkan dalam unsur-unsur kebudayaan; seperti etnis, ras, bahasa, nasib dan lain sebagainya. Papua adalah bangsa Indonesia karena kesamaan nasib dan historisitasnya. Atau di lain pihak, Papua bukan bangsa Indonesia karena berasal dari etnis yang berbeda dengan Indonesia. Singkatnya, Papua dimaknai oleh keduanya dengan mengaitkan pada cerminan kebudayaannya di masa lalu. Dan hal tersebutlah yang berimplikasi pada bagaimana kita memaknai konsep nasionalisme atau kebangsaan.

Pemaknaan terhadap bangsa sebagai penyusun tafsir atas nasionalisme menurut Erick Hobsbwan (1983), lebih tepat ditafsirkan sebagai ajaran-ajaran yang ‘dirancang’ daripada pengertian bangsa sebagai komunitas etnis yang telah mapan dan turun temurun. Nasionalisme daripada diakuinya prinsip-prinsip dasarnya lebih kerap dilabelkan sebagai sebuah identitas politik yang justru tidak beranjak dari unsur radikal sebelum nasionalisme itu sendiri bisa hadir. Setidaknya kita dapat menilik pada awal mula berdirinya nation-state. Revolusi Perancis hadir sebagai wujud nasionalisme yang merombak struktur politik dari kesetiaannya kepada penguasa yang tak dapat diganggu gugat, baik agama maupun kerajaan, menjadi kedaulatan di tangan rakyat. Sementara—seperti yang dikatakan Ben Anderson (1983), nasionalisme yang muncul di dunia ketiga bersemai di atas penolakannya terhadap penjajahan. Lalu, terciptalah kesadaran bahwa mereka mempunyai imaji bersama tentang sebuah bangsa. Kemudian Ben menjelaskan secara gamblang bahwa identitas nasional merupakan produksi. Perasaan kesatuan identitas (nasional) tidak muncul berdasar kesadaran akan kesatuan latar belakang budaya, suku, agama, atau golongan sosial, melainkan lebih merupakan “strategi” (produk) sosial-budaya-politik untuk membangun, memproduksi, dan mereproduksi identitas diri (self-identity) baru sebagai negasi terhadap identitas yang dipaksakan oleh kekuatan penjajah. Dari keduanya, meski hadir dalam bentuknya yang berbeda, menandai kita pada prinsip yang sama: individu maupun masyarakat sebagai subjek yang sebelumnya pasif menjadi aktif dan berdaulat. Keduanya melampaui persoalan tentang apa itu etnis, ras, bahasa dan sebagainya. Sehingga menempatkan individu sebagai seorang manusia dan warga negara yang setara. Pada dasarnya nasionalisme justru mengangkat visi humanis—dengan menginjeksikan nilai-nilai kesetaraan, kebebasan, anti penindasan dan demokrasi ke dalam struktur masyarakat yang sebelumnya tertindas. Namun, kini seolah nasionalisme mewujud dalam pernyataanya: right or wrong is my country, bukan right is right dan wrong is wrong. Dengan kata lain yang penting kesatuan harga mati meskipun itu dilakukan dengan cara yang tak manusiawi. Hal tersebut berarti, tak ubahnya sama dengan kesetiaan mutlak kepada penguasa meski nilai-nilai kemanusiaan tercabik. Dalam bentuk ekstrimnya, sekian orang harus berani mengorbankan dirinya demi keutuhan bangsa atau negara.

Negara memandang Papua
Kita telah memahami bahwa nasionalisme melampaui pikiran kita atas kemerdekaan terhadap suatu wilayah atau identitas kebudayaan lain. Ia tak menyoal apakah manusia itu berasal dari bangsa Indonesia atau Melanesia, ras hitam atau putih dsb, namun karena ia seorang manusia maka kemerdekaan dan pastisipasi aktif adalah prinsip mendasar dari hadirnya bangsa, negara ataupun komunitas kecil sekalipun. Kebijakan-kebijakan seperti otonomi khusus, UP4B (Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat) alih-alih menyejahterahkan rakyat Papua, yang ada malah tak pernah menemui kebaikan yang diinginkannya. Lantaran bagi saya sendiri, kehendak umum tersebut menegasikan partisipasi aktif yang menjadi dasar nasionalisme.

Peristiwa di Yogyakarta kemarin merupakan potret kecil bagi kita tentang bagaimana pendekatan militeristik lebih dikedepankan terhadap orang Papua. Ya, Papua memang sudah lama akrab dengan militer. Apa-apa masalah yang terjadi di Papua militerlah solusinya. Kala ada investor mau masuk, militer siap mengamankan. Kala ada yang berontak siap-siaplah ia digilas militer. Begitupun kalau ada ribut-ribut di Papua, militer lah yang berdiri di barisan paling depan. Seolah tidak ada jalan lain dalam mengatasi masalah di Papua kecuali dengan jalan militer.

Barangkali hal inilah yang membuat rakyat Papua merasa jengah lantaran kian hari semakin tertindas. Rakyat Papua barangkali juga sudah tidak memiliki imaji bersama dalam bingkai bangsa Indonesia. Narasi tentang bangsa yang dahulu selalu terbayangkan sebagai sebuah komunitas (community), meski dalam kenyataan komunitas itu ditandai aneka perbedaan atau kesenjangan, dan karenanya selalu dipahami sebagai persaudaraan yang mendalam, kini tidak berlaku bagi Papua. Sebab ia sudah tak memiliki nasib dan perlakuan yang sama dengan saudara mereka di Jawa, Sumatra atau Bali. Ringkasnya, lunturnya semangat nasionalisme dan imaji bersama tentang sebuah bangsa, bukan terjadi dengan sendirinya karena penjajah telah pergi, tetapi justru direproduksi penguasa yang mempunyai akses ke kebijakan publik. Mereka inilah yang menjadi penindas baru bagi rakyat Papua. Tak heran jika rakyat Papua berontak dan menuntut haknya untuk merdeka, bebas dalam menentukan nasibnya sendiri

Saat orang-orang menyeru mengenai persatuan, ia dipahami hanya sebatas menyatunya teritorial kita maupun kebangsaan kita yang didasarkan pada primordialisme. Bukan persatuan atau solidaritas atas nilai-nilai kemanusiaan. Maka saat kita memahami kembali nasionalisme Indonesia maupun di belahan bumi manapun, bukan apakah kita tengah membela persatuan Indonesia atau membentuk negara Papua. Bukan soal ia seorang hitam atau putih maka ia berhak merdeka, namun karena ia manusia yang tak sepatutnya ditindas. Negara dalam bentuk apapun wujudnya, tak akan ada artinya jika nasionalisme tak mengingat prinsip radikalnya saat ia muncul.

Semua orang ingin rasa aman, tentram, damai dan keadilan. Kata-kata itu yang setidaknya banyak terlontar dari pihak pro maupun kontra atas peristiwa di Yogyakarta lalu. Namun, nasionalisme kita hari ini jusru mewujud dalam bentuk ketakutan, kecemasan, kecurigaan dan kerakusan. Maka, saya dan mungkin Anda patut bertanya pada diri sendiri: apakah solidaritas kita terhadap persatuan kemanusiaan telah mati.

Wednesday, August 28, 2019


Leiden is lijden!" . Memimpin adalah Menderita. Pepatah kuno Belanda itu dikutip oleh Mohammad Roem dalam karangannya berjudul "Haji Agus Salim, Memimpin adalah Menderita" (Prisma No 8, Agustus 1977). Karangan itu mengisahkan keteladanan Agus Salim. Agus Salim dikenal sebagai salah satu tokoh perjuangan nasional. Ia diplomat ulung dan disegani, namun sangat sederhana dan  sangat terbatas dari sisi materi.

Jika dicermati, ungkapan tersebut sangat sarat makna. Memimpin adalah amanah bukan hadiah. Memimpin adalah sacrificing, bukan demanding. Memimpin adalah berkorban, bukan menuntut.

mengingatkan pentingnya kredo Agus Salim, “leiden is lijden” (memimpin adalah menderita). Dengan kredo tersebut, segera terbayang penderitaan Jenderal Soedirman, yang memimpin perang gerilya di atas tandu. Setabah gembala ia pun berpesan, “Jangan biarkan rakyat menderita, biarlah kita (prajurit, pemimpin) yang menderita.” Zaman sudah terjungkir. Suara-suara kearifan seperti itu terasa asing untuk cuaca sekarang. Kredo pemimpin hari ini, “memimpin adalah menikmati.” Menjadi pemimpin berarti berpesta di atas penderitaan rakyat. Demokrasi Indonesia seperti baju yang dipakai terbalik: mendahulukan kepentingan lapis tipis oligarki penguasa-pemodal, ketimbang kepentingan rakyat kebanyakan (demos). Banyak orang berkuasa dengan mental jelata; mereka tak kuasa melayani, hanya bisa dilayani. Bagi pemimpin bermental jelata, dahulukan usaha menaikkan gaji dan tunjangan pejabat berlipat-lipat; bangun gedung dan ruangan mewah agar wakil rakyat tak berpeluh-kesah; transaksikan alokasi anggaran untuk memperkaya penyelenggara negara dan partai; pertontonkan kemewahan sebagai ukuran kesuksesan; utamakan manipulasi pencitraan, bukan mengelola kenyataan.

Cukup rakyat saja yang menanggung beban derita.
Biarkan petani tergusur dan terbunuh oleh keculasan aparatur negara, seperti kebiadaban pangreh praja yang menyerahkan tanah dan rakyatnya kepada tuan-tuan perkembunan kolonial di zaman tanam paksa. Biarkan petani, nelayan, perajin terus merugi: menjual murah sebagai produsen dan membeli mahal sebagai konsumen.

Sunday, August 25, 2019



Pagi ini aku bangun masih dengan perasaan yang sama, rasa syukur masih diberi kehidupan, rasa syukur masih bisa berjumpa dengan mentari pagi, rasa syukur masih bisa merasakan udara yang sejuk, dan rasa syukur masih bisa melihat hijaunya dedaunan dan birunya lautan. “ Satu-satunya momen paling menakjubkan adalah saat kita menangis kencang2, Ibu/Bapak kita justru tersenyum begitu bahagia, hanya satu kali momen itu terjadi, ketika kita persis dilahirkan “ (tere liye).  26 Agustus 1995 tepat 24 tahun yang lalu aku dilahirkan di desa terpencil . Keluarga yang menjujung kejujuran, mengutamakan rasa cinta dan berani bermimpi besar. Lahir sebagai anak ke-empat dari lima bersaudara.  aku akan selalu berusaha mandiri, kuat dan berani dalam mengarungi hidup walau harus sendiri jauh dari keluarga.

Hari ini dimana aku dilahirkan, hari dimana orang tertawa sekaligus haru akan perkenalanku dengan dunia ini, hari dimana mengingatkanku kembali akan manis pahitnya kerikil-kerikil kehidupan yang telah kulewati, 24 tahun bukan waktu yang sebentar banyak pelajaran dan hikmah kehidupan yang bisa didapatkan dari rentang waktu itu, Terima Kasih Ya Allah kau memberiku waktu cukup lama ini untuk merasakan nikmatnya kehidupan ini dan masih memberiku waktu untuk memperbaiki diri. Terima Kasih memberiku keluarga yang luar biasa.

Sekarang Yang menjadi pertanyaan besar dalam diri ini, di umurku yang genap 24 tahun ini, sudah berapa banyak kelalaian dan dosa yang telah kuperbuat, sudah berapa banyak hati yang tersakiti. Apa saja yang sudah kuberikan untuk Agamaku, untuk Tuhanku,  untuk kedua orangtua yang mencintaiku ?, untuk sahabat-sahabat yang rela berkorban untukku ?. Benar kata imam al-ghazali, “ yang singkat itu waktu, yang menipu itu dunia, yang dekat itu kematian dan yang sering lupa itu bersukur “. Ya Allah ampunilah dosaku, dosa orang-orang yang tersakiti olehku baik sengaja maupun tidak sengaja muliakanlah mereka.

Kini saatnya menyambut lembaran baru aku berharap di sisa umurku ini aku harus menjadi lebih dewasa, lebih mandiri, harus lebih mempersiapkan masa depan, mempersiapkan bekal akhirat, dan bisa membahagiakan kedua orang tuaku,  semuanya itu dengan bimbinganmu ya Allah.

Dan terakhir pintaku di umurku yang ke 24 tahun ini bisa membahagiakan orang tua dan orang terdekatku dan untuk jodohku.

Dekatkanlah aku dengan jodohku ya Allah, kalau sudah dekat maka pertemukanlah, lalu permudahlah.

“ Cinta itu tidak rumit sejatinya Cinta itu sederhana, Cinta sejati selalu menemukan jalan, akan ada kebetulan2 yang menakjubkan karna Tuhan sendiri yang akan mempertemukan “ - Tere Liye

Saturday, August 24, 2019


Mari kita berpetualang sejenak ke pemikiran klasik Jean-Jacques
Rousseau dalam buku Discourse on the Origin and Basis of Inequality Among Men (1754). Di buku itu, Rousseau membedakan antara ketimpangan (inequality) alami (fisik) dan ketimpangan etis (politik). Ketimpangan alami itu, misalnya, perbedaan kekuatan orang untuk mengangkut beban berupa benda.

Kemampuan seorang balita dan orang dewasa tentu berbeda dalam menenteng sebuah tas, misalnya.

Pada gilirannya, kekuatan alami dan sistem sosial dapat melahirkan ketimpangan etis. Rousseau melihat, akar ketimpangan etis adalah perbedaan kekuasaan dan kekayaan. Orang-orang yang terlalu banyak memiliki kekuasaan dan kekayaan akan berpotensi menindas yang lemah. Ini adalah konsekuensi dari kebebasan manusia untuk memenuhi kebutuhan dan nafsunya.

Dunia dengan kebebasan mutlak adalah kehidupan liar di belantara ganas. Untuk menyingkirkan kebrutalan tersebut, individu-individu yang ada harus menyerahkan sebagian kebebasan mereka kepada otoritas tertentu. ”Inti dari gagasan kontrak sosial secara sederhana adalah setiap orang menempatkan dirinya di bawah otoritas tertinggi”, seru Rousseau dalam bukunya The Social Contract (1762). Otoritas inilah yang akan melindungi hak-hak mereka yang tersisa, yang tidak diserahkan sebelumnya. Inilah
yang disebut negara.

Untuk mengilustrasikan kontrak sosial, mari kita bayangkan sebuah pulau tanpa otoritas negara. Pada awalnya semua manusia terlahir bebas di sana. Ada yang bertubuh kuat dan mampu memiliki senjata, namun ada juga yang lemah dan tak berpunya. Di dunia tanpa otoritas, kaum yang kuat bebas merampas tanah dari kaum yang lemah. Mereka yang melawan dapat dibunuh seenak-
nya. Untuk mengakhiri kebuasan ini, orang-orang di sana lalu bersepakat membuat kontrak sosial dengan mendirikan negara. Kebebasan individu untuk ”mengklaim kepemilikan tanah” diserahkan
kepada negara. Negara berhak untuk menentukan siapakah pemilik sebidang tanah tertentu. Walaupun hak untuk ”menentukan kepemilikan tanah” diserahkan kepada negara, namun hak untuk ”menggarap tanah miliknya” tidak diserahkan kepada negara.

Negara harus melindungi hak ini. Ia akan menghukum siapa pun yang merampas atau menggarap tanah milik orang lain. Ada pertanyaan menarik di sini, ”seberapa jauh kebebasan individu sebaiknya diserahkan kepada otoritas?” Apakah sebaiknya sebanyak mungkin kebebasan itu diserahkan, sehingga dapat menciptakan kesetaraan di dalamnya?

Apakah sebaiknya sedikit mungkin kebebasan itu diserahkan, agar tetap menjamin kebebasan individu? Pertanyaan ini melahirkan perdebatan klasik antara ”demokrasi berorientasi kesetaraan” melawan ”demokrasi berorientasi kebebasan”.

Aku sering membayangkan negara itu sebagai sosok ibu. Warga negara kuibaratkan sebagai anak-anak dari sang ibu. Ada anak yang terlahir sehat, ada juga yang lemah. Orang-orang yang berpandangan demokrasi berorientasi kesetaraan berkata kepada sang ibu, ”Berikan makanan yang adil ke setiap anak!”. ”Tidak! Biarkanlah setiap anak berkompetisi memperebutkan makanan di atas meja!” kata para pembela demokrasi berorientasi kebebasan. ”Gila kau! Anak-anak yang lemah itu bisa tidak kebagian!” terdengar suara dari sisi demokrasi berorientasi kesetaraan.

”Tenang saja, nanti akan ada umpan balik negatif (negative feedback)”, kata para pembela demokrasi berorientasi kebebasan.

Umpan balik negatif adalah mekanisme yang akan bekerja sedemikian rupa untuk mengurangi perbedaan. Pada kasus di atas, misalnya, anak yang lebih sehat akan mencari buah-buah di hutan lalu membawa hasilnya ke rumah, sehingga dapat dinikmati oleh saudaranya yang lemah. Pada kehidupan modern, contoh umpan balik negatif adalah pajak. Sebagian kekayaan dari si kaya diambil oleh negara. Dana ini lalu digunakan untuk berbagai hal, termaksud membantu si miskin. ”Ah bohong! Yang ada justru adalah umpan balik positif!” kata para pembela demokrasi berorientasi kesetaraan. Umpan balik positif adalah mekanisme yang membuat perbedaan yang ada semakin lama semakin lebar. Si kaya memiliki modal untuk berinvestasi, sehingga semakin lama menjadi semakin kaya. Si kaya dapat menyewa orang-orang cerdas dan mengangkangi kekuasaan untuk menjaga keberlangsungan kekayaaannya.

”Anak yang kuat memang akan mencari makan ke hutan, lalu akan dia bawa ke rumah. Tetapi itu akan dia gunakan untuk mengintimidasi sang ibu agar perlahan-lahan mengabaikan si lemah. Dia juga akan meminta sang ibu agar tidak meminta bagian yang terlalu banyak”, kata para pembela demokrasi berorientasi kesetaraan.

Friday, August 23, 2019


Sembari ngopi membaca berita di media online, kutemukan paradoks kemeriahan 74 tahun Indonesia merdeka. Sukacita yang harusnya hadir ternyata absen karena salah memahami kedaulatan dan nasionalisme. Barangkali kita sedang berhalusinasi tentang kemerdekaan.

Negara merdeka bukanlah negara yang ketakutan dengan bendera daerahnya sendiri. Bukan pula pemerintahan yang dengan semena-mena terhadap aspirasi rakyatnya. Hanya mental kolonialisme yang begitu, menekan dengan cara militeristik guna meraih SDA.

Dalam hal itu, negara bukan melindungi, namun menjadi momok menakutkan bagi rakyatnya. Dan menariknya, terjadi di dua daerah pemodal bagi negara.

Bahkan kapitalisme sangat menghormati para pemodal. Kok negara pancasila malah sebaliknya?

Apa yang terjadi di Manokwari harusnya tak perlu direspons dengan penambahan pasukan militer. Mereka rakyat yang harus dilindungi, bukan penjajah yang menginjak kedaulatan negara.

Menambah kekuatan militer bukanlah solusi jangka panjang. Menurut saya, malah itu solusi emosional. Solusi tidak kreatif yang nyaris picik setidaknya panik. Tak jauh beda dengan pendekatan orde baru maupun masa Megawati ketika menerapkan hal yang sama pada Aceh.

Sudah jadi rahasia umum, konflik di belahan bumi mana pun tetap berdimensi ekonomi. Kedua daerah yang seolah anak tiri dan anak pungut tersebut memiliki kekayaan alam yang sedang dicari negara mana pun di dunia ini.
Pendekatan militer tidak akan berhasil meredam konflik di Papua. Hal itu sudah terbukti ketika beragam operasi militer dijalankan di Aceh. Justru menambah besar konflik dan korban jiwa.

Baru-baru ini, konflik bersenjata di Kabupaten Nduga menyebabkan 180 orang pengungsi meninggal dunia. Bahkan 113 di antaranya perempuan. Begitulah konflik bersenjata akan jatuh korban jiwa dan dendam yang tak berkesudahan.

Di Aceh, hal yang sama pernah terjadi. Selain korban jiwa dan kerugian materiil, konflik juga menyisakan kisah para perempuan yang diperkosa. Sayangnya peristiwa itu dijadikan catatan sejarah maupun catatan yang diseminarkan tanpa keadilan.

Meski kini GAM dan RI sudah sepakat damai, bukan berarti keadilan dilupakan. Lagian GAM dan rakyat Aceh dua komponen yang berbeda, sama halnya seperti Papua dan OPM.

Sejatinya kedua daerah ini tidak menuntut muluk-muluk. Mereka hanya menginginkan keadilan. Selain itu, mereka juga sepakat bahwa kemerdekaan itu hak setiap bangsa.

Lalu mengapa pemerintah Indonesia begitu semangat mengorbankan rakyat sipil agar kedua bangsa ini tetap dalam NKRI? Apakah karena SDA mereka yang melimpah? Atau ada alasan logis lain yang menyebabkan nilai kemanusiaan pun dikorbankan?

Mencontoh Singapura yang tidak memiliki SDA melimpah, harusnya Indonesia tak butuh Papua dan Aceh. Indonesia harus menjadi negara mandiri yang tidak selalu bergantung pada SDA Papua dan Aceh.

Apakah benar bahwa tanpa Aceh dan Papua, Indonesia akan bangkrut? Menurut saya tidak. Indonesia memiliki cukup banyak SDM yang berkualitas. Lalu apa yang dibutuhkan dari Papua dan Aceh?

Wilayah geografis Indonesia terlalu luas jika melibatkan Aceh dan Papua di dalamnya. Ketimbang menghabiskan energi, korban jiwa, kerugian materiil, ada baiknya Indonesia melepas Aceh dan Papua.

Kalaupun pemerintah benar-benar ingin mengetahui aspirasi sebenarnya, silakan melalui mekanisme referendum. Ketimbang terus-terusan menggunakan senjata dalam penyelesaian konflik.
Setidaknya kemanusiaan yang adil dan beradab itu bukan hanya hafalan. Namun dapat diimplementasikan dalam menyelesaikan konflik di Papua maupun Aceh. Momen tersebut nantinya akan mengharumkan Indonesia di kancah internasional.

Indonesia menjadi teladan negara demokrasi yang memberi referendum untuk dua Provinsi sekaligus. Melalui mekanisme itu nantinya ketahuan rakyat maunya bagaimana, bergabung atau pisah dengan NKRI.

Apa pun hasilnya tidak akan merugikan, justru membuktikan bahwa menjadi warga negara Indonesia tidak dipaksa. Tidak harus ditodong pistol atau laras panjang agar mengakui cinta Indonesia.

Indonesia lahir atas kesepakatan. Jika sudah tidak sepakat lagi, mengapa harus dipaksakan bersama? Biarlah Papua memilih jalannya sendiri, biarlah Aceh menentukan masa depannya sendiri.

Jangan lagi menambah korban jiwa, korban perkosaan, anak-anak yang terancam kehilangan masa depan hanya demi obsebsi menjadi NKRI. Masa sih dana rakyat dihabiskan untuk memerangi rakyat? Apa bedanya dengan Belanda dan Jepang di masa lalu?

Apakah menunggu sumber daya alam Papua dan Aceh habis baru melepas mereka? Coba tanyakan pada prajurit TNI/Polri di lapangan, andai diberikan pilihan, mereka bakal memilih memeluk anak-istri ketimbang perang.

Coba tanyakan pada prajurit TNI/Polri yang pernah berperang Aceh. Menyesal, tidak, ketika peluru mereka mengenai anak-anak? Bagaimana perasaan mereka ketika teman mereka wafat dalam tugas?

Coba tanyakan pula pada korban perkosaan, apakah mereka ikhlas menjadi warga negara Indonesia? Kemudian, apakah anak-anak tidak berhak mendapatkan damai? Meraih masa depan, bukan berlarian menghindari peluru.

Pendekatan militeristik tidaklah cocok digunakan untuk rakyat sendiri. Jika ingin Papua damai, dan ingin Aceh sepenuh hati bersama Indonesia, diplomasi cara terbaik.

Namun jika memang tak mampu menyelesaikan dengan cara-cara diplomatik dan simpatik, biarlah Papua dan Aceh merdeka.

Tuesday, August 20, 2019

1.  Papua bergolak.! dipicu oleh adanya bandera merah putih yang DIDUGA dirobek di asrama Mahasiwa Papua di surabaya.

Kemudian muncul Oknum Ormas yg berhasil memprovokasi massa untuk menyerbu asrama. Padahal,, dari pengakuan mahasiswa, mereka tidak tahu siapa pelaku yang telah melakukan perobekan terhadap bendera.

Gayung bersambut,, muncullah Oknum Ormas yg berhasil memprovokasi suasana sehingga Massa & Aparat hadir untuk "menyerbu" asrama.

Pertanyaannya, siapa pelaku perobekan bendera dan oknum ormas yang memprovokasi sehingga kerusuhan yang dibumbui faktor SARA & RACISM pecah di Papua ?

2. UAS Tetiba dilaporkan sejumlah pihak karena dianggap melakukan penistaan agama dalam konten ceramahya. Padahal ceramah UAS tidak dilakukan ditempat umum.

Siapa yang memviralkan pertama kali video yang sudah tiga tahun berlalu itu? Apa artinya? tujuannya? motifnya?

Yang jelas,, semakin ramai di sosmed maka akan semakin lengkap narasi permusuhan antar golongan. Belum lagi amarah umat di pancing2 oleh beberapa konten ceramah beberapa pendeta yg begitu menista.

Luar biasa,, ini semua kebetulan..?? atau ada creatornya.?

3. Apabila kemarahan publik sampai meluas karena di treatment oleh dua issue, yakni rasis kesukuan dan intoleran agama,, maka itu jalan legal untuk merekayasa konflik horizontal...

4 Dalang intelektual nampaknya DIDUGA ada dibalik ini semua, sengaja menggunakan lagu lama dengan memancing perseturuan lewat issue SARA. Dampaknya,, persatuan dan kesatuan menjadi semakin berjarak menganga.

Maka Saudara,, rawatlah Indonesia kita,, karena damai itu sungguh mahal harganya. Mari menjadi pejuang literasi yang menyejukkan  dan mencerahkan.

5. Menolak_Lupa

a  Agustus ini,, Parlemen terdesak oleh berbagai elemen yg meminta untuk pengesahan RUU P-KS yg memiliki resonansi pertentangan internal yg kuat.

b. Oktober nanti, Indonesia akan melantik Presiden Terpilih by Situng dan Putusan MK, namun menabrak Pasal 6 UUD 1945 yang mengharuskan agar pemenang pilpres memperoleh kemenangan di 50% wilayah provinsi dengan perolehan suara minimum sebesar 20 persen di masing2 provinsi.

c. Di tengah Nilai Utang yang menggurita dan Merosotnya neraca perdagangan yg berkorelasi pada turunnya indeks perekonomian Nasional, Indonesia justru menghadapi issue perpindahan Ibukota dengan kebutuhan biaya yg besarannya luar biasa. Konon, 30% biaya akan dicover melalui APBN, dan 70% oleh Dana pihak ketiga.

Wednesday, August 14, 2019



Kehidupan tak selamanya enak juga gak selamanya susah mulu. Kehidupan seperti gelombang gempa di seismograf. Kadang tenang dilain waktu juga ada getaran yang super dahsyat. Di saat hidup sedang enak, jangan sampai lupa bahwa itu hanyalah posisi sementara. Pasti akan ada cobaan dibalik enaknya hidup.

Yang mampu bertahan sampai akhir hanyalah mereka yang mempunyai tujuan jelas, target terukur. Terkadang kita menelan mentah-mentah apa yang kita pelajari, tidak mencerna secara matang. Orang yang super sukses pasti seringkali kita lihat atau membaca kisah suksesnya. Namun semua kisah sukses tak begitu mendetail. Orang yang sukses pasti pernah mengalami keadaan terpuruk yang luar biasa. Jika dibandingkan dengan kita sekarang mungkin tidak ada apa-apanya.

Ada beberapa orang yang tidak suka bekerja dalam suatu sistem dengan alasan 'aturan' bisa membuatnya terbatas dalam bergerak. Sah-sah saja, ada juga yang suka bekerja dalam suatu sistem. Boleh juga. Tidak ada yang memaksakan mau bekerja dalam suatu sistem atau tidak, asalkan tujuan yang akan dicapai memang bisa dicapai dengan hasil yang maksimal. Yang perlu digaris bawahi adalah: semua yang terjadi di dunia bahkan alam semesta ini berjalan sesuai dengan sistemnya, berurutan dan tidak saling mendahului satu sama lainnya. MULTI TASKING ITU TIDAK ADA, yang ada hanyalah kecepatan dalam memproses.

Target hidup yang jelas akan membuat seseorang mampu bertahan dalam keadaan apapun, dengan target juga akan tercipta strategi yang baik. Boleh saja memiliki target yang super tinggi, selama target tersebut terukur. Jangan menelan mentah-mentah kisah orang sukses, otak kita berbeda dengan mereka sekalipun sama bahan pembuatnya. Yang kita bicarakan adalah kapasitas, bukan bentuk fisik otak.

Jika orang lain bisa kita juga bisa. Kalimat ini bisa saja menjadi bumerang yang akan menghancurkan karir seseorang. Karena target yang tidak jelas atau target terlalu tinggi tanpa perhitungan yang matang, akhirnya mengalami kegagalan dan malah tidak mau bangkit lagi. Banyak orang yang memang tidak menyukai perhitungan, tetapi pada kenyataan hidup hitungan akan selalu ada. Boleh lah orang tidak menyukai hitungan yang rumit, berarti kita hanya perlu mempermudah hitungan saja, tidak serta merta menghilangkan hitungan tersebut dalam hidup.

Target terukur dan analisa yang baik akan membuat jalan kita mudah dalam mencapai target, dan jika gagal bisa melakukan evaluasi karena ada data historis dalam bentuk perhitungan yang sudah dibuat. Akan ada langkah dan strategi baru lagi yang akan tercipta. Jangan hanya karena rumor otak kanan lebih tinggi kemudian kita akan melupakan perhitungan, jangan sampai. Tuhan sudah menciptakan sesuatu sesuai dengan takarannya, tidak mungkin ada kekurangan atau kelebihan didalamnya. Sekali lagi jangan menelan mentah-mentah apa yang sudah dipelajari jika belum ada bukti.
Orang yang suka mendengarkan musik berarti otak kanan lebih dominan. Ini sering sekali saya jumpai, kalau mau pukul rata, berarti semua anak muda dominan otak kanannya, dan orang tua tidak. Karena memang yang menyukai musik kebanyakan adalah anak-anak muda. Dan jika di simpulkan lagi, sekarang ini (jika masih muda) berarti kita dominan otak kanan, dan ketika tua akan dominan otak kiri ? Loh kenapa bisa begitu ?

Seseorang tidak peduli apakah dia dominan otak kiri atau otak kanan seperti yang banyak di bahas di buku-buku, kesuksesan dalam mencapai target itu tergantung dari usah masing-masing orang dan strategi yang mereka gunakan. Kalau ada orang yang sukses dengan cara tidak biasanya bukan berarti dia dominan otak kanan, tetapi lebih kepada karena dia mampu menciptakan strategi yang menurutnya lebih efektif daripada cara biasanya. Artinya seseorang mempunyai pola yang berbeda-beda dalam mencapai targetnya.

Target yang jelas dalam hidup akan menciptakan strategi yang baik dalam mencapainya, jangan menelan langsung apa saja yang baru dibaca atau dipelajari. Dominan otak kiri dan kanan hanya rumor saja, karena memang belum ada fakta ilmiahnya. Dan jika ada silakan kritik saya. Setiap orang mempunyai pola tersendiri dalam mencapai target hidupnya. Setiap yang terjadi di dunia ini berjalan di dalam suatu sistem raksasa, suka tidak suka sebenarnya kita sudah masuk dalam sistem tersebut. Multi tasking itu juga sebenarnya tidak ada, yang ada hanyalah kecepatan saja. Bisa mengerjakan sesuatu dalam satu waktu tidak bisa dikatakan multi tasking, karena semua pasti dijalankan berurutan. Tidak mungkin Anda sedang mandi sekaligus langsung bisa memasak, sekalipun bisa pasti tetap dilakukan secara berurutan.