Showing posts with label HAM. Show all posts
Showing posts with label HAM. Show all posts

Monday, June 8, 2020


PAPUA di benak kita, nampaknya tak memiliki banyak wajah. Dalam beberapa hal, orang kerapkali mendeskripsikannya lewat apa yang mampu dicandra oleh mata. Papua yang berkulit hitam oleh karena itu mereka primitif, malas, tukang bikin onar, acakadul dan sederet rentetan stereotip negatif yang menyertainya. Singkatnya, cara pandang rasisme dan diskriminatif masih menjadi tumpuan sekian pihak hingga akhirnya memengaruhi tingkat penerimaan kita terhadapnya.

Saya ingat betul kala pertama kali saya bersinggungan dengan hal sejenis. Satu kesempatan, teman saya memperlihatkan sebuah gambar yang terkenal dengan nama Hottentot Venus. Seorang perempuan Afrika, bernama Saartjie Baartman, dalam gambar itu memang nyata adanya. Ia dianggap sebagai makhluk aneh karena warna kulit, bokongnya yang besar, alat kelaminnya yang memanjang dan bagian lain yang bagi orang Eropa dianggap tak biasa. Ia ditipu dan karena keadaan fisiknya tersebut diminta untuk tampil telanjang di setiap acara pameran di Inggris pada abad ke 19. Empat tahun kemudian, ia dijual kepada pelatih binatang di Perancis dan yang paling tragis, meski sudah meninggal, tubuhnya (tulang-belulang, otak dan kelaminnya) tetap dijadikan bahan tontonan di museum Paris dengan label manusia setengah binatang. Baru pada tahun 2002 lalu, jasadnya berhasil dipulangkan. Bagi saya, untuk pertama kalinya, hal tersebut membuat saya marah sekaligus bertanya: mengapa perbudakan, rasisme dan diskriminasi masih kerap menghantui kita? Mengapa kita, yang tak sedikitpun bisa memilih untuk terlahir dimana dan seperti apa, bisa begitu kejamnya dan merasa istimewa di antara yang lain? Mirisnya, kejadian tersebut terjadi di dunia modern, dunia yang konon membawa arus humanisme.

Puncaknya 14 Juli lalu, wajah tentang diskrimasi dan rasisme mewujud dalam bentuk lain. Asrama mahasiswa Papua di Yogyakarta tengah dikepung oleh pihak keamanan dan beberapa ormas yang tak sepakat dengan rangkaian kegiatan bertajuk “Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Papua Barat”. Mereka direpresi, mereka dianggap separatis, hingga akhirnya sang sultan pun angkat bicara ‘’tanah Jogja haram diinjak oleh para separatis’’. Akibat dari segala diskriminasi seperti itu, yang terbaru adalah pernyataan sikap Aliansi Mahasiswa Papua untuk meninggalkan tanah Yogyakarta, menanggapi pernyataan Sultan terkait separatisme. Singkatnya, di mata kita permasalahan Papua tak pernah beranjak dan berkutat dalam lingkaran itu-itu saja: soal kemerdekaan, separatisme, nasionalisme. Atau dengan kata lain, ia tak jauh-jauh dari persoalan kepemilikan Papua. Ia tak hanya menyangkut persoalan kepemilikan teritori maupun kekayaan alam, tapi juga pergulatan identitas untuk memiliki rasa aman, kebebasan dan kemanusiaan.

Kegagalan Kita Memahami Nasionalisme
Polemik mengenai kepemilikan Papua sering hadir bersamaan dengan pemahaman mengenai bangsa yang kerap ditafsirkan dalam unsur-unsur kebudayaan; seperti etnis, ras, bahasa, nasib dan lain sebagainya. Papua adalah bangsa Indonesia karena kesamaan nasib dan historisitasnya. Atau di lain pihak, Papua bukan bangsa Indonesia karena berasal dari etnis yang berbeda dengan Indonesia. Singkatnya, Papua dimaknai oleh keduanya dengan mengaitkan pada cerminan kebudayaannya di masa lalu. Dan hal tersebutlah yang berimplikasi pada bagaimana kita memaknai konsep nasionalisme atau kebangsaan.

Pemaknaan terhadap bangsa sebagai penyusun tafsir atas nasionalisme menurut Erick Hobsbwan (1983), lebih tepat ditafsirkan sebagai ajaran-ajaran yang ‘dirancang’ daripada pengertian bangsa sebagai komunitas etnis yang telah mapan dan turun temurun. Nasionalisme daripada diakuinya prinsip-prinsip dasarnya lebih kerap dilabelkan sebagai sebuah identitas politik yang justru tidak beranjak dari unsur radikal sebelum nasionalisme itu sendiri bisa hadir. Setidaknya kita dapat menilik pada awal mula berdirinya nation-state. Revolusi Perancis hadir sebagai wujud nasionalisme yang merombak struktur politik dari kesetiaannya kepada penguasa yang tak dapat diganggu gugat, baik agama maupun kerajaan, menjadi kedaulatan di tangan rakyat. Sementara—seperti yang dikatakan Ben Anderson (1983), nasionalisme yang muncul di dunia ketiga bersemai di atas penolakannya terhadap penjajahan. Lalu, terciptalah kesadaran bahwa mereka mempunyai imaji bersama tentang sebuah bangsa. Kemudian Ben menjelaskan secara gamblang bahwa identitas nasional merupakan produksi. Perasaan kesatuan identitas (nasional) tidak muncul berdasar kesadaran akan kesatuan latar belakang budaya, suku, agama, atau golongan sosial, melainkan lebih merupakan “strategi” (produk) sosial-budaya-politik untuk membangun, memproduksi, dan mereproduksi identitas diri (self-identity) baru sebagai negasi terhadap identitas yang dipaksakan oleh kekuatan penjajah. Dari keduanya, meski hadir dalam bentuknya yang berbeda, menandai kita pada prinsip yang sama: individu maupun masyarakat sebagai subjek yang sebelumnya pasif menjadi aktif dan berdaulat. Keduanya melampaui persoalan tentang apa itu etnis, ras, bahasa dan sebagainya. Sehingga menempatkan individu sebagai seorang manusia dan warga negara yang setara. Pada dasarnya nasionalisme justru mengangkat visi humanis—dengan menginjeksikan nilai-nilai kesetaraan, kebebasan, anti penindasan dan demokrasi ke dalam struktur masyarakat yang sebelumnya tertindas. Namun, kini seolah nasionalisme mewujud dalam pernyataanya: right or wrong is my country, bukan right is right dan wrong is wrong. Dengan kata lain yang penting kesatuan harga mati meskipun itu dilakukan dengan cara yang tak manusiawi. Hal tersebut berarti, tak ubahnya sama dengan kesetiaan mutlak kepada penguasa meski nilai-nilai kemanusiaan tercabik. Dalam bentuk ekstrimnya, sekian orang harus berani mengorbankan dirinya demi keutuhan bangsa atau negara.

Negara memandang Papua
Kita telah memahami bahwa nasionalisme melampaui pikiran kita atas kemerdekaan terhadap suatu wilayah atau identitas kebudayaan lain. Ia tak menyoal apakah manusia itu berasal dari bangsa Indonesia atau Melanesia, ras hitam atau putih dsb, namun karena ia seorang manusia maka kemerdekaan dan pastisipasi aktif adalah prinsip mendasar dari hadirnya bangsa, negara ataupun komunitas kecil sekalipun. Kebijakan-kebijakan seperti otonomi khusus, UP4B (Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat) alih-alih menyejahterahkan rakyat Papua, yang ada malah tak pernah menemui kebaikan yang diinginkannya. Lantaran bagi saya sendiri, kehendak umum tersebut menegasikan partisipasi aktif yang menjadi dasar nasionalisme.

Peristiwa di Yogyakarta kemarin merupakan potret kecil bagi kita tentang bagaimana pendekatan militeristik lebih dikedepankan terhadap orang Papua. Ya, Papua memang sudah lama akrab dengan militer. Apa-apa masalah yang terjadi di Papua militerlah solusinya. Kala ada investor mau masuk, militer siap mengamankan. Kala ada yang berontak siap-siaplah ia digilas militer. Begitupun kalau ada ribut-ribut di Papua, militer lah yang berdiri di barisan paling depan. Seolah tidak ada jalan lain dalam mengatasi masalah di Papua kecuali dengan jalan militer.

Di tambah lagi dengan kejadian yang menimpa BEM Uncen lagi lagi tentang bagaimana pendekatan meliteristik lebih di kedepankan terhadap orang Papua. 

Barangkali hal inilah yang membuat rakyat Papua merasa jengah lantaran kian hari semakin tertindas. Rakyat Papua barangkali juga sudah tidak memiliki imaji bersama dalam bingkai bangsa Indonesia. Narasi tentang bangsa yang dahulu selalu terbayangkan sebagai sebuah komunitas (community), meski dalam kenyataan komunitas itu ditandai aneka perbedaan atau kesenjangan, dan karenanya selalu dipahami sebagai persaudaraan yang mendalam, kini tidak berlaku bagi Papua. Sebab ia sudah tak memiliki nasib dan perlakuan yang sama dengan saudara mereka di Jawa, Sumatra atau Bali. Ringkasnya, lunturnya semangat nasionalisme dan imaji bersama tentang sebuah bangsa, bukan terjadi dengan sendirinya karena penjajah telah pergi, tetapi justru direproduksi penguasa yang mempunyai akses ke kebijakan publik. Mereka inilah yang menjadi penindas baru bagi rakyat Papua. Tak heran jika rakyat Papua berontak dan menuntut haknya untuk merdeka, bebas dalam menentukan nasibnya sendiri

Saat orang-orang menyeru mengenai persatuan, ia dipahami hanya sebatas menyatunya teritorial kita maupun kebangsaan kita yang didasarkan pada primordialisme. Bukan persatuan atau solidaritas atas nilai-nilai kemanusiaan. Maka saat kita memahami kembali nasionalisme Indonesia maupun di belahan bumi manapun, bukan apakah kita tengah membela persatuan Indonesia atau membentuk negara Papua. Bukan soal ia seorang hitam atau putih maka ia berhak merdeka, namun karena ia manusia yang tak sepatutnya ditindas. Negara dalam bentuk apapun wujudnya, tak akan ada artinya jika nasionalisme tak mengingat prinsip radikalnya saat ia muncul.

Semua orang ingin rasa aman, tentram, damai dan keadilan. Kata-kata itu yang setidaknya banyak terlontar dari pihak pro maupun kontra atas peristiwa di Yogyakarta lalu. Namun, nasionalisme kita hari ini jusru mewujud dalam bentuk ketakutan, kecemasan, kecurigaan dan kerakusan. Maka, saya dan mungkin Anda patut bertanya pada diri sendiri: apakah solidaritas kita terhadap persatuan kemanusiaan telah mati. 

Thursday, September 5, 2019


PAPUA di benak kita, nampaknya tak memiliki banyak wajah. Dalam beberapa hal, orang kerapkali mendeskripsikannya lewat apa yang mampu dicandra oleh mata. Papua yang berkulit hitam—oleh karena itu mereka primitif, malas, tukang bikin onar, acakadul dan sederet rentetan stereotip negatif yang menyertainya. Singkatnya, cara pandang rasisme dan diskriminatif masih menjadi tumpuan sekian pihak—hingga akhirnya memengaruhi tingkat penerimaan kita terhadapnya.

Saya ingat betul kala pertama kali saya bersinggungan dengan hal sejenis, kala itu saya mengikuti perkuliahan di kelas. Satu kesempatan, dosen saya memperlihatkan sebuah gambar yang terkenal dengan nama Hottentot Venus. Seorang perempuan Afrika, bernama Saartjie Baartman, dalam gambar itu memang nyata adanya. Ia dianggap sebagai makhluk aneh karena warna kulit, bokongnya yang besar, alat kelaminnya yang memanjang dan bagian lain yang bagi orang Eropa dianggap tak biasa. Ia ditipu dan karena keadaan fisiknya tersebut diminta untuk tampil telanjang di setiap acara pameran di Inggris pada abad ke 19. Empat tahun kemudian, ia dijual kepada pelatih binatang di Perancis—dan yang paling tragis, meski sudah meninggal, tubuhnya (tulang-belulang, otak dan kelaminnya) tetap dijadikan bahan tontonan di museum Paris dengan label manusia setengah binatang. Baru pada tahun 2002 lalu, jasadnya berhasil dipulangkan. Bagi saya, untuk pertama kalinya, hal tersebut membuat saya marah sekaligus bertanya: mengapa perbudakan, rasisme dan diskriminasi masih kerap menghantui kita? Mengapa kita, yang tak sedikitpun bisa memilih untuk terlahir dimana dan seperti apa, bisa begitu kejamnya dan merasa istimewa di antara yang lain? Mirisnya, kejadian tersebut terjadi di dunia modern, dunia yang konon membawa arus humanisme.

Puncaknya 14 Juli lalu, wajah tentang diskrimasi dan rasisme mewujud dalam bentuk lain. Asrama mahasiswa Papua di Yogyakarta tengah dikepung oleh pihak keamanan dan beberapa ormas yang tak sepakat dengan rangkaian kegiatan bertajuk “Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Papua Barat”. Mereka direpresi, mereka dianggap separatis, hingga akhirnya sang sultan pun angkat bicara ‘’tanah Jogja haram diinjak oleh para separatis’’. Akibat dari segala diskriminasi seperti itu, yang terbaru adalah pernyataan sikap Aliansi Mahasiswa Papua untuk meninggalkan tanah Yogyakarta, menanggapi pernyataan Sultan terkait separatisme. Singkatnya, di mata kita permasalahan Papua tak pernah beranjak dan berkutat dalam lingkaran itu-itu saja: soal kemerdekaan, separatisme, nasionalisme. Atau dengan kata lain, ia tak jauh-jauh dari persoalan kepemilikan Papua. Ia tak hanya menyangkut persoalan kepemilikan teritori maupun kekayaan alam, tapi juga pergulatan identitas untuk memiliki rasa aman, kebebasan dan kemanusiaan.

Kegagalan Kita Memahami Nasionalisme
Polemik mengenai kepemilikan Papua sering hadir bersamaan dengan pemahaman mengenai bangsa yang kerap ditafsirkan dalam unsur-unsur kebudayaan; seperti etnis, ras, bahasa, nasib dan lain sebagainya. Papua adalah bangsa Indonesia karena kesamaan nasib dan historisitasnya. Atau di lain pihak, Papua bukan bangsa Indonesia karena berasal dari etnis yang berbeda dengan Indonesia. Singkatnya, Papua dimaknai oleh keduanya dengan mengaitkan pada cerminan kebudayaannya di masa lalu. Dan hal tersebutlah yang berimplikasi pada bagaimana kita memaknai konsep nasionalisme atau kebangsaan.

Pemaknaan terhadap bangsa sebagai penyusun tafsir atas nasionalisme menurut Erick Hobsbwan (1983), lebih tepat ditafsirkan sebagai ajaran-ajaran yang ‘dirancang’ daripada pengertian bangsa sebagai komunitas etnis yang telah mapan dan turun temurun. Nasionalisme daripada diakuinya prinsip-prinsip dasarnya lebih kerap dilabelkan sebagai sebuah identitas politik yang justru tidak beranjak dari unsur radikal sebelum nasionalisme itu sendiri bisa hadir. Setidaknya kita dapat menilik pada awal mula berdirinya nation-state. Revolusi Perancis hadir sebagai wujud nasionalisme yang merombak struktur politik dari kesetiaannya kepada penguasa yang tak dapat diganggu gugat, baik agama maupun kerajaan, menjadi kedaulatan di tangan rakyat. Sementara—seperti yang dikatakan Ben Anderson (1983), nasionalisme yang muncul di dunia ketiga bersemai di atas penolakannya terhadap penjajahan. Lalu, terciptalah kesadaran bahwa mereka mempunyai imaji bersama tentang sebuah bangsa. Kemudian Ben menjelaskan secara gamblang bahwa identitas nasional merupakan produksi. Perasaan kesatuan identitas (nasional) tidak muncul berdasar kesadaran akan kesatuan latar belakang budaya, suku, agama, atau golongan sosial, melainkan lebih merupakan “strategi” (produk) sosial-budaya-politik untuk membangun, memproduksi, dan mereproduksi identitas diri (self-identity) baru sebagai negasi terhadap identitas yang dipaksakan oleh kekuatan penjajah. Dari keduanya, meski hadir dalam bentuknya yang berbeda, menandai kita pada prinsip yang sama: individu maupun masyarakat sebagai subjek yang sebelumnya pasif menjadi aktif dan berdaulat. Keduanya melampaui persoalan tentang apa itu etnis, ras, bahasa dan sebagainya. Sehingga menempatkan individu sebagai seorang manusia dan warga negara yang setara. Pada dasarnya nasionalisme justru mengangkat visi humanis—dengan menginjeksikan nilai-nilai kesetaraan, kebebasan, anti penindasan dan demokrasi ke dalam struktur masyarakat yang sebelumnya tertindas. Namun, kini seolah nasionalisme mewujud dalam pernyataanya: right or wrong is my country, bukan right is right dan wrong is wrong. Dengan kata lain yang penting kesatuan harga mati meskipun itu dilakukan dengan cara yang tak manusiawi. Hal tersebut berarti, tak ubahnya sama dengan kesetiaan mutlak kepada penguasa meski nilai-nilai kemanusiaan tercabik. Dalam bentuk ekstrimnya, sekian orang harus berani mengorbankan dirinya demi keutuhan bangsa atau negara.

Negara memandang Papua
Kita telah memahami bahwa nasionalisme melampaui pikiran kita atas kemerdekaan terhadap suatu wilayah atau identitas kebudayaan lain. Ia tak menyoal apakah manusia itu berasal dari bangsa Indonesia atau Melanesia, ras hitam atau putih dsb, namun karena ia seorang manusia maka kemerdekaan dan pastisipasi aktif adalah prinsip mendasar dari hadirnya bangsa, negara ataupun komunitas kecil sekalipun. Kebijakan-kebijakan seperti otonomi khusus, UP4B (Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat) alih-alih menyejahterahkan rakyat Papua, yang ada malah tak pernah menemui kebaikan yang diinginkannya. Lantaran bagi saya sendiri, kehendak umum tersebut menegasikan partisipasi aktif yang menjadi dasar nasionalisme.

Peristiwa di Yogyakarta kemarin merupakan potret kecil bagi kita tentang bagaimana pendekatan militeristik lebih dikedepankan terhadap orang Papua. Ya, Papua memang sudah lama akrab dengan militer. Apa-apa masalah yang terjadi di Papua militerlah solusinya. Kala ada investor mau masuk, militer siap mengamankan. Kala ada yang berontak siap-siaplah ia digilas militer. Begitupun kalau ada ribut-ribut di Papua, militer lah yang berdiri di barisan paling depan. Seolah tidak ada jalan lain dalam mengatasi masalah di Papua kecuali dengan jalan militer.

Barangkali hal inilah yang membuat rakyat Papua merasa jengah lantaran kian hari semakin tertindas. Rakyat Papua barangkali juga sudah tidak memiliki imaji bersama dalam bingkai bangsa Indonesia. Narasi tentang bangsa yang dahulu selalu terbayangkan sebagai sebuah komunitas (community), meski dalam kenyataan komunitas itu ditandai aneka perbedaan atau kesenjangan, dan karenanya selalu dipahami sebagai persaudaraan yang mendalam, kini tidak berlaku bagi Papua. Sebab ia sudah tak memiliki nasib dan perlakuan yang sama dengan saudara mereka di Jawa, Sumatra atau Bali. Ringkasnya, lunturnya semangat nasionalisme dan imaji bersama tentang sebuah bangsa, bukan terjadi dengan sendirinya karena penjajah telah pergi, tetapi justru direproduksi penguasa yang mempunyai akses ke kebijakan publik. Mereka inilah yang menjadi penindas baru bagi rakyat Papua. Tak heran jika rakyat Papua berontak dan menuntut haknya untuk merdeka, bebas dalam menentukan nasibnya sendiri

Saat orang-orang menyeru mengenai persatuan, ia dipahami hanya sebatas menyatunya teritorial kita maupun kebangsaan kita yang didasarkan pada primordialisme. Bukan persatuan atau solidaritas atas nilai-nilai kemanusiaan. Maka saat kita memahami kembali nasionalisme Indonesia maupun di belahan bumi manapun, bukan apakah kita tengah membela persatuan Indonesia atau membentuk negara Papua. Bukan soal ia seorang hitam atau putih maka ia berhak merdeka, namun karena ia manusia yang tak sepatutnya ditindas. Negara dalam bentuk apapun wujudnya, tak akan ada artinya jika nasionalisme tak mengingat prinsip radikalnya saat ia muncul.

Semua orang ingin rasa aman, tentram, damai dan keadilan. Kata-kata itu yang setidaknya banyak terlontar dari pihak pro maupun kontra atas peristiwa di Yogyakarta lalu. Namun, nasionalisme kita hari ini jusru mewujud dalam bentuk ketakutan, kecemasan, kecurigaan dan kerakusan. Maka, saya dan mungkin Anda patut bertanya pada diri sendiri: apakah solidaritas kita terhadap persatuan kemanusiaan telah mati.

Saturday, August 24, 2019


Mari kita berpetualang sejenak ke pemikiran klasik Jean-Jacques
Rousseau dalam buku Discourse on the Origin and Basis of Inequality Among Men (1754). Di buku itu, Rousseau membedakan antara ketimpangan (inequality) alami (fisik) dan ketimpangan etis (politik). Ketimpangan alami itu, misalnya, perbedaan kekuatan orang untuk mengangkut beban berupa benda.

Kemampuan seorang balita dan orang dewasa tentu berbeda dalam menenteng sebuah tas, misalnya.

Pada gilirannya, kekuatan alami dan sistem sosial dapat melahirkan ketimpangan etis. Rousseau melihat, akar ketimpangan etis adalah perbedaan kekuasaan dan kekayaan. Orang-orang yang terlalu banyak memiliki kekuasaan dan kekayaan akan berpotensi menindas yang lemah. Ini adalah konsekuensi dari kebebasan manusia untuk memenuhi kebutuhan dan nafsunya.

Dunia dengan kebebasan mutlak adalah kehidupan liar di belantara ganas. Untuk menyingkirkan kebrutalan tersebut, individu-individu yang ada harus menyerahkan sebagian kebebasan mereka kepada otoritas tertentu. ”Inti dari gagasan kontrak sosial secara sederhana adalah setiap orang menempatkan dirinya di bawah otoritas tertinggi”, seru Rousseau dalam bukunya The Social Contract (1762). Otoritas inilah yang akan melindungi hak-hak mereka yang tersisa, yang tidak diserahkan sebelumnya. Inilah
yang disebut negara.

Untuk mengilustrasikan kontrak sosial, mari kita bayangkan sebuah pulau tanpa otoritas negara. Pada awalnya semua manusia terlahir bebas di sana. Ada yang bertubuh kuat dan mampu memiliki senjata, namun ada juga yang lemah dan tak berpunya. Di dunia tanpa otoritas, kaum yang kuat bebas merampas tanah dari kaum yang lemah. Mereka yang melawan dapat dibunuh seenak-
nya. Untuk mengakhiri kebuasan ini, orang-orang di sana lalu bersepakat membuat kontrak sosial dengan mendirikan negara. Kebebasan individu untuk ”mengklaim kepemilikan tanah” diserahkan
kepada negara. Negara berhak untuk menentukan siapakah pemilik sebidang tanah tertentu. Walaupun hak untuk ”menentukan kepemilikan tanah” diserahkan kepada negara, namun hak untuk ”menggarap tanah miliknya” tidak diserahkan kepada negara.

Negara harus melindungi hak ini. Ia akan menghukum siapa pun yang merampas atau menggarap tanah milik orang lain. Ada pertanyaan menarik di sini, ”seberapa jauh kebebasan individu sebaiknya diserahkan kepada otoritas?” Apakah sebaiknya sebanyak mungkin kebebasan itu diserahkan, sehingga dapat menciptakan kesetaraan di dalamnya?

Apakah sebaiknya sedikit mungkin kebebasan itu diserahkan, agar tetap menjamin kebebasan individu? Pertanyaan ini melahirkan perdebatan klasik antara ”demokrasi berorientasi kesetaraan” melawan ”demokrasi berorientasi kebebasan”.

Aku sering membayangkan negara itu sebagai sosok ibu. Warga negara kuibaratkan sebagai anak-anak dari sang ibu. Ada anak yang terlahir sehat, ada juga yang lemah. Orang-orang yang berpandangan demokrasi berorientasi kesetaraan berkata kepada sang ibu, ”Berikan makanan yang adil ke setiap anak!”. ”Tidak! Biarkanlah setiap anak berkompetisi memperebutkan makanan di atas meja!” kata para pembela demokrasi berorientasi kebebasan. ”Gila kau! Anak-anak yang lemah itu bisa tidak kebagian!” terdengar suara dari sisi demokrasi berorientasi kesetaraan.

”Tenang saja, nanti akan ada umpan balik negatif (negative feedback)”, kata para pembela demokrasi berorientasi kebebasan.

Umpan balik negatif adalah mekanisme yang akan bekerja sedemikian rupa untuk mengurangi perbedaan. Pada kasus di atas, misalnya, anak yang lebih sehat akan mencari buah-buah di hutan lalu membawa hasilnya ke rumah, sehingga dapat dinikmati oleh saudaranya yang lemah. Pada kehidupan modern, contoh umpan balik negatif adalah pajak. Sebagian kekayaan dari si kaya diambil oleh negara. Dana ini lalu digunakan untuk berbagai hal, termaksud membantu si miskin. ”Ah bohong! Yang ada justru adalah umpan balik positif!” kata para pembela demokrasi berorientasi kesetaraan. Umpan balik positif adalah mekanisme yang membuat perbedaan yang ada semakin lama semakin lebar. Si kaya memiliki modal untuk berinvestasi, sehingga semakin lama menjadi semakin kaya. Si kaya dapat menyewa orang-orang cerdas dan mengangkangi kekuasaan untuk menjaga keberlangsungan kekayaaannya.

”Anak yang kuat memang akan mencari makan ke hutan, lalu akan dia bawa ke rumah. Tetapi itu akan dia gunakan untuk mengintimidasi sang ibu agar perlahan-lahan mengabaikan si lemah. Dia juga akan meminta sang ibu agar tidak meminta bagian yang terlalu banyak”, kata para pembela demokrasi berorientasi kesetaraan.

Friday, June 21, 2019


Sebenarnya agama dengan filsafat bukan dua entitas yang secara otomatis selalu saling berlawanan satu sama lain, dalam sejarah banyak ditemukan persesuaian diantara keduanya, misal ketika filosof klasik berupaya menggunakan metode yang biasa digunakan dalam filsafat untuk membuktikan keharusan adanya Tuhan desainer ketertataan alam semesta-pencipta alam semesta melalui pembuktian argument rasional, dan harmonisasi seperti itu bisa terjadi hanya bila pada awal mulanya manusia bisa menempatkan keduanya pada tempat yang semestinya secara benar. Begitupun Menurut Franz Rosenzweig beliau ingin menyatukan antara filsafat dan agama. Karena beliau disamping menjadi seorang filsuf beliau juga merangkap sebagai seorang ahli agama.

Faktor pertentangan yang terjadi untuk mengantisipasi adanya benturan pandangan diantara keduanya kelak. Dan pertentangan itu terjadi karena pada dasarnya di awal, manusia tidak menempatkan agama dan filsafat pada tempat yang semestinya, misal dengan menempatkan filsafat secara sejajar dengan agama atau lebih jauh lagi menempatkannya diatas agama. Sebelum kita berbicara secara lebih jauh tentang adanya benturan diberbagai sisi antara agama dengan filsafat maka kita harus terlebih dahulu secara mendasar mengetahui hakikat agama dan juga hakikat filsafat sehingga kala terjadi benturan antara keduanya kita bisa memahami latar belakang terjadinya benturan itu serta bisa menempatkan dimana agama harus diletakkan dan dimana filsafat harus diletakan.

Kita akan mengetahui dan memahami sisi manapun dari agama bila itu selalu dikaitkan dengan Tuhan dan akan mengetahui sisi manapun dari filsafat bila itu selalu dikaitkan dengan manusia.mengenai kelebihan dan kekurangannya pun akan kita ketahui bila kita melekatkan agama dengan sifat Tuhan dan filsafat dengan sifat manusia.

Sebaliknya kita akan menemukan kerancuan apabila kita menyandarkan atau mengembalikan agama kepada manusia, misal menganggap agama sebagai sesuatu yang berasal dari manusia atau ciptaan seorang yang disebut ‘nabi’ dan disisi lain mengkultuskan filsafat sebagai ibu atau parameter kebenaran, dengan prinsip cara pandang seperti itu agama hanya akan menjadi obyek penghakiman dan bulan bulanan filsafat.
Sehingga dengan prinsip seperti itu apakah stigma-stigma negatif yang berasal dari filsuf pemikir tertentu didunia filsafat terhadap agama itu seperti stigma agama hanya ajaran moral atau agama suatu yang irrasional. secara keilmuan bersifat valid? apakah filsafat memiliki meteran atau teropong yang sempurna atau memadai untuk melihat dan menilai agama secara keseluruhan dan kemudian merasa layak menghakiminya dengan pemberian stigma negatif itu.

Wednesday, May 29, 2019


Lukisan ini menjadi salah satu lukisan termahal di Eropa

Jika melihat foto ini, pikiran Anda mungkin timbul hal yang Negatif atau Positif, tetapi setelah mengetahui narasi foto ini, pasti Anda akan menangis.

Di salah satu negara Eropa, seorang pria tua dijatuhi hukuman mati kelaparan, dia dipenjara. Hukumannya seperti itu. Dia dibiarkan kelaparan sampai mati.

Putrinya lalu memohon kepada pemerintah untuk bisa menemui ayahnya setiap hari sampai ajal menjemputnya.
Dia diberi izin.  Biasanya dia diperiksa oleh petugas penjara. Sehingga dia tidak bisa membawa barang yang bisa dimakan.

Tentu dia tidak bisa melihat kondisi ayahnya seperti ini. Dia menatap ayahnya dengan mata seorang ibu yang begitu peduli. Jadi, untuk membuatnya hidup, ia  memberinya ASI setiap hari.

Ketika setelah beberapa hari berlangsung, pria itu tidak mati. Petugas keamanan menjadi curiga dan menangkap gadis yang menyusui ayahnya.

Sebuah kasus hukum didaftarkan menimpa dirinya, tetapi sifatnya yang tidak mementingkan diri meluluhkan hati sipir penjara dan si wanita berhasil membebaskan ayahnya.

Lukisan ini menjadi salah satu lukisan paling mahal di Eropa.

Seorang wanita penuh cinta dan pengorbanan. Apapun peran yang dia mainkan dalam kehidupannya terkadang dia bisa menjadi ibu, saudara perempuan, istri atau apapun.

Tuesday, May 7, 2019


- Allahumma harriril muslimiina fi Ghazzah
= Ya Allah bebaskan kaum Muslimin di Gaza

- Ya dzal jalaaali wal Izzah
= Wahai pemilik Keagungan dan Kemuliaan

- Allahumma Fukka asrohum
= Ya Allah lepaskanlah yang tertawan dari mereka

- wasyfii mariidhohum, waksyif kurbatahum.= Sembuhkan yang sakit, lenyapkan derita mereka

- Allahumma Baddil khowfahum amnaa...
=Ya Allah tukarlah rasa takut mereka dengan rasa aman

- Ya dzal jalaaali wal Izzah.
= Wahai pemilik Keagungan dan Kemuliaan

- Allahumma aizzal islaama wal muslimiin
= Ya Allah muliakan Islam dan kaum Muslimin

- wa adzilla syirka walmusyrikiin = Hinakan syirik dan kaum Musyrikin
wa Dammir a'daaa ddiin = luluh-lantakan musuh-musuh agama ini

- wahmi hauzatal islama wajma' kalimatal muslimiina alal haq. Ya Rabbal Aaalamiin.
 = Jagalah kedaulatan Islam, satukan kalimat



Kaum Muslim dalam kebenaran Wahai Tuhan seru sekalian alam.

Terimakasih palestina ketika ditanya mengapa mereka tidak pergi saja dari sana dan mengungsi ke Negara tetangga karena cobaan yahudi terhaap mereka begitu besar, mereka menjawab begini :

“jika kami keluar dari tanah ini (palestina), maka siapa lagi yang akan menjaga masjid suci al-aqsha? Siapa lagi yang akan menjaga tanah wakaf umat islam ? biarlah kami tetap disini, mewakili kalian (seluruh umat islam di dunia), saudaraku.”

Ini membuat kita begitu tertusuk. Tidaklah kita sadar bahwa mereka disana sebenarnya sedang mewakili kita melindungi tanah suci palestina ? menggantikan kewajiban kita menjaga warisan umat? Semoga allah memuliakan mereka semua.

Terimakasih , palestina !!!

Sekarang ini kadang-kadang saya tidak berada di garda depan dalam menayangkan gambar-gambar makanan di media sosial kesayangan. Pun saya agak sungkan untuk update status soal pernikahan, atau bujangan, atau lainnya soal kehidupan saya yang tampaknya baik-baik saja dan berkecukupan.

Saya jadi mikir berkepanjangan, jika saya tampilkan gambar-gambar saya makan, saya beli peralatan, saya di toko pakaian, dan gambar-gambar lainnya tentang kekinian, kok jadi memalukan buat saya sendirian, karena di dunia sana, ada saudara-saudara saya yang sedang ditekan oleh kekuatan hebat seakan tanpa tandingan saudara-saudara saya di negeri jauh seberang, ditodong senapan, hanya untuk sekadar bisa melakukan shalat dan berkumpul di tempat suci keagamaan?

Ah, ya saya sedang bicara soal Al-Aqsa dan Palestina. Palestina itu negara yang sangat jauh dari saya, sehingga saya jadinya kok merasa tak harus sama dalam menerima nasib dan memberikan doa, ah betapa bebalnya saya. Padahal, Nabi yang mulia sudah berkata bahwa muslim itu bersaudara, ah, bahkan doa saja untuk mereka, saya sering kali terlupa, apalagi bantuan pikiran dan dana, ah betapa bebalnya saya.

Maka karenanya, mulai dari sekarang, saya akan terus mencoba mendoa untuk mereka. Walau barangkali doa saya tak berarti, tapi saya berharap pertolongan datang kepada saudara saya, agar segera lepas dari kekejaman orang-orang Yahudi. Saya belum bisa memberikan apa-apa, hanya sekadar doa saja. Semoga Allah SWT berkenan mendengar doa saya untuk saudara-saudara saya di sana, anak-anak dan para wanita Palestina. Jadi mohon maaf untuk sementara, saya tak akan tayangkan gambar-gambar saya jalan-jalan atau nampang di tempat-tempat kekinian.

Sunday, April 14, 2019


73 tahun silam, bangsa Indonesia memerdekakan dan membebaskan diri dari kekuasaan kolonial Belanda dan Jepang. Tiga ratus lima puluh tahun dibawah kekuasaan pemerintah Belanda dan tiga setengah tahun dibawah pendudukan Jepang. Membebaskan negeri ini dari kedua kekuasaan penjajah itu, bukan hal gampang, rakyat Indonesia merelakan darah mereka tumpah-ruah, harta mereka pergi, keluarga mereka terpisah untuk selamanya. Tujuannya bebas dari penjajahan, bebas dari tanam paksa dan bebas dari romusha. Pekik kemerdekaan melalui UU Dasar 1945 disebutkan, sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa…dan penjajahan dimuka bumi ini harus dihapuskan tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan keadilan. Alinea yang lain, menciptakan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Setelah 73 tahun Indonesia merdeka, apakah benar-benar sudah bebas dari penjajahan. Dan apakah bebas dari rasa lapar, bebas dari dari ketakutan. Saya menyaksikan keadaan masi terus berlasung dengan penjajah yang berbeda.


Menurut saya rendahnya pendapatan bukan merupakan ukuran kemiskinan, namun kita bisa lihat bahwa kurangnya pendapatan dapat memengaruhi rendahnya tingkat kesejahtraan, rendahnya tingkat kesehatan, pendidikan dan lainnya. Kita menyaksikan begitu banyak orang menderita sakit tanpa ke rumah sakit, tanpa pertolongan dokter karena mereka tak memiliki uang. Bila kita membuka angka statistik, penduduk negeri ini masih miskin. Kemiskinan penduduk yang hidup dibawa dua dollar perhari memang hanya naik turun dari periode pemerintahan ke pemerintahan yang lain. Kita masih menyaksikan kantong kemiskinan dimana. Hampir semua provinsi kita saksikan memiliki perkampungan kumuh, dan hari ini kita juga masih menyaksikan pengemis di jalan-jalan hampir di seluruh wilayah negeri. Memang negeri ini secara fisik sudah merdeka, namun secara hakiki masih jauh dari panggang dan api. Jurang antara kaya dan miskin begitu berjarak, begitu menganga.

Secara fisik kita menyaksikan gedung pencakar langit menghiasi tanah air begitu mega, kita juga menyaksikan begitu kontras, masih banyak orang tidur dibawa kolong jembatan tidak memiliki rumah, menggunakan ruang dibawah jalan tolong untuk tidur. Kita juga menyaksikan orang tidur didalam kotak bersegi empat di trotoar tidak memiliki rumah. Di trotoar kita juga menyaksikan orang memakai mobil Cadilac, Lexus,Jaguar Sport dan Ferarri. Dengan begitu, mungkin kita bertanya, sudahkah kita warnai negara indonesia menikmati kemerdekaan ini


Melihat negeri ini secara fisik adalah negara kaya sumber mineral, namun hasil hanya sebagian kecil dinikmati oleh penduduk negeri. Bila pada zaman kolonial,Vereenigde Oostindische Compagnie-VOC sudah menguras kekayaan alam negeri ini sejakabad ke-15.VOC mengangkut hasil mineral dan rempah ke negeri mereka di eropa sana. Namun di zaman kemerdekaan, yang sudah berusia 73 tahun, pengangkutan hasil bumi dari tanah air masih terus berlangsung dan hasilnya hanya dinikmati segelintir orang di kekuasaan. Bila dulu usaha dagangadalah VOC, sekarang Trans National Corporation-TNC. Bila dulu dinikmati oleh pemerintah kerjaan belanda, maka sekarang dinikmati oleh sebagian kecil elite yang duduk di kekuasaan negara. Mereka memakan dan menikmati kekayaan bukan hanya dari cara halal, mereka juga melakukan cara haram untuk menikmati kekayaan itu, misalnya korupsi, perampasan tanah rakyat. Pemerintahan kolonial hak untuk hidup rakyat Indonesia, bila melawan tidak segan mereka membunuhnya. VOC setelah mendapat hak Octrooi atau hak khusus untuk memperkuat kekuasaan dagang seperti hak mencetak uang sendiri, hak mendirikan benteng dan membentuk tentara, hak melakukan perundingan dengan raja-raja di Indonesia, hak monopoli dan mengangkat gubernur jenderal.Mendapatkan kekuatan melalui hak Octooi, VOC menggunakan kekerasan untuk menaklukkan rakyat Indonesia yang coba melawan terhadap keinginan mereka. Sebagai contoh, di pulau Maluku VOC mengadakan patroli laut yang disebut pelayaran Hongi dengan tujuan Untuk menangkap dan menghukum rakyat yang menjual/menyelundupkan rempah-rempah ke Portugis dan Inggris. Tidakkan serupa, juga kita masih menyaksikan begitu banyak perampasan tanah disertai kekerasan terjadi di tanah airyang dilakukan oleh TNC. Bahkan, demi TNC, Polisi di negeri rela menembak rakyatnya sendiri, rela menghilangkan nyawa rakyatnya sendiri. Sepertinya tanah lebih berharga dari nyawa. Bedanya, bila dulu kita menyaksikan perampasan harta rakyat dilakukan oleh tentara belanda dan jepang, sekarang dilakukan oleh polisi kita sendiri, polisi yang gaji-nya dibayar oleh rakyat, polisi yang senjatanya dibeli rakyat, lalu dipakai membunuh rakyatnya sendiri.Mungkin penguasa negeri ini hanya memahami makna kemerdekaan untuk dirinya sendiri, membunuh rakyat sekalipun yang penting pendapatan negara dan pertumbuhan ekonomi disumbang TNC itu.


Ir Soekarno, Presiden pertama RI pernah menyampaikan bahwa, Pangan merupakan soal mati hidupnya suatu bangsa; apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka malapetaka. Oleh karena itu perlu usaha secara besar-besaran, radikal, dan revolusioner. Ironisnya hari ini kita. Itulah sebabnya Soekarno meletakkan salah satu fondasi utama negeri ini adalah pertanian, karena penduduknya sebagian besar tinggal di pedesaan dan mereka mayoritas petani.

 Melihat dan membaca surat kabar hampir setiap tahun terdengar ada warga negara menderita kelaparan, menderita kekurangan gizi.

Di Papua Barat misalnya,bila musim kemarau datang, kita mendengar penduduk disana kekurangan pangan dan mereka kelaparan.Kalimantan Timur, yang dikenal dengan kabupaten kaya raya, ternyata banyak memiliki warga yang miskin, terutama di daerah pedalaman yang hanya menggantungkan hidupnya dengan makan satu kali dalam sehari. Di masyarakat miskin perkotaan, kita masih menjumpai banyak anak kekurangan gizi.

Angka kematian balita masih cukup tinggi hari ini, karena mereka kekurangan gizi.Memang sebenarnya pemerintah telah membangun infrastruktur pertanian seperti membangun irigasi dan membuat jalan, dan penyedia energi, namun infrastruktur itu hanya sebagian kecil dinikmati oleh rakyat miskin untuk membangun ketahanan pangan, karena berbayar. Parahnya lagi, sebagai negara pertanian, namun kita masih sering melihat pemerintah melakukan impor kedelai, impor beras, impor gula, kelangkaan cabai.Saya menyaksikan bahwa dibulan puasa tahun  (2012) kelangkaan kebutuhan pokok dipasar seperti kedelai dan lainnya serta-merta memicu melabungkan harga kebutuhan pokok. Saya menyimpulkan keadaan ini menujukkan betapa rapuh-nya ketahanan pangan di negeri yang kata, penyanyi Koesi Plus" tanah surga". Saya juga sependapat dengan Koes Plus, tanah surga, namun saya menambahkan surga bagi para "TNC". Bila demikian, kedaulatan pangan yang seringkali digemborkan pemerintah itu, mungkin tinggal cerita. Hari ini dilaporkan sekitar 13-an juta jiwa terancam rawan pangan . Parahnya lagi dan kotradiksi,pada tahun 2010 terdapat dua puluh persen penduduk Indonesia di atas usia 18 tahun yang termasuk gemuk dan obesitas. Hal ini karena pertumbuhan konsumsi kelas menengah atas naik, karena pendapatan mereka meningkat. Saya juga bisa menyebut yang kaya konsumsinya meningkat, yang miskin konsumsinya menurun.

Buktinya sampai 73 tahun usia kemerdekaan, kita masih terus saja memenuhi kebutuhan pokok sebagian pangan dari impor.


Saya ketika duduk di sekolah dasar, guru kelas memberi tugas kepada saya sebagai pembaca mukadimmah UU Dasar 1945 dan sering juga pemimpin upacara.

Tugas diberikan guru ini seringkali bergantian. Saya masih ingat salah satu alinea dari pembukaan yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Bait itu kalau kita pahami, Founding Farther negeri menetapkan pendidikan sebagai salah tujuan untuk memajukan kesejahteraan umum. Meskipun pada hari ini,73 tahun usia Indonesia, dana pendidikan dalam anggaran pendapatan belanja negara telah menduduki peringkat teratas dari segi jumlah, kita masih merasakan bahwa pendidikan di negeri ini sangat mahal.

Layaknya seperti di negara maju. Ironisnya lagi, kita sering mendengar pemerintah menyampaikan di depan umum bahwa pendidikan adalah gratis, tetapi faktanya tidak semanis itu. Uang pungutan sana, pungutan sini, uang masuk, uang dan lain-lain menjadikan biaya sekolah menjadi lebih mahal dari yang disampaikan oleh para pejabat negara.


Pada akhirnya saya menyimpulkan 73 tahun usia kemerdekaan negara yang bhineka secara fisik telah mencapai kemerdekaan mengumandangkan proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945 dan diakui secara luas oleh bangsa-bangsa lain di dunia.

 Namun makna kemerdekaan yang sesungguhnya masih belum bisa dikatakan merdeka, karena merdeka berarti bebas, bebas dari rasa lapar, bebas dari ketakutan.Hari ini kemiskinan masih menganga, kelaparan masih terjadi dan pendidikan masih mahal. Gangguan keamanan masih terjadi diberbagai negeri ini, nyawa begitu mudahnya melayang, dan entah dihilangkan oleh aparat negara maupun dihilangkan karena bencana alam.

Penghilangan nyawa juga karena daerah-daerah meminta untuk merdeka. Kalau mau jujur, mungkin saya bisa menyebutnya, negara masih gagal untuk memenuhi kebutuhan rakyat seperti apa yang dicita-citakan para pendiri negara ini sejak awal,Oleh karena itu, marilah kita merenung kembali makna kemerdekaan yang hakiki. bila tidak, boleh jadi Indonesia yang saat ini adalah negara bhineka, mungkin saja kedepan itu hilang bila harapan untuk rakyat itu tak terpenuhi.

Sebab saya menyebutnya, ancaman utama negara ini bukan datang dari negara tetangga atau negara lain seperti Malaysia, Singapura, Philipina dan lainnya, namun ancaman real di usia kemerdekaan 73 tahun ini adalah kelaparan, kemiskinan, pemerintahan yang buruk berupa meraja-lelalnya.

Itulah sebabnya penyebab ini harus diatasi dengan segera sehingga kita menjadi satu kesatuan yang untuh. Sehingga makna kemerdekaan yang kita rasakan sekarang bukan sekedar merdeka terdengar ditelinga merdeka berarti bebas dari melek huruf, bebas dari kelapran, bebas dari kemiskinan dan bebas dari rasa takut dirampas tanahnya, orang-orang di negeri ini bebas dari perampokkan kemerdekaanya.

Friday, March 29, 2019


Janganlah Kalian Bermain-main Di Negeri Kami Para Jesuit's Kalian Sudah Terlalu lama Mencoba Membelah Bangsa Ini Kalian Berlindung Di Bawah Bendera Agama Tapi Saya Tahu Itu Hanyalah Topeng Untuk Melancarkan Operasi Kalian, Karena Kalian Memang Lembaga Intelijen Terbesar Yang Pernah ada Di dunia, Dengan Tujuan Membentuk Tatanan Dunia Baru ( The New World Order) dan Menghapus Seluruh Agama Di Dunia.

Kalian Jugalah Yang Menciptakan Ideologi Komunisme dan Kapitalisme Karena Keduanya Dilahirkan Dari rahim Yang Sama, seperti Layaknya Syi'ah dan Komunisme dilahirkan dari Rahim Yang sama dengan Ibu kandungnya Bernama Yahudi.

Saya Harap Saya dan kita dan Kalian Para Millenial Generasi Penerus Bangsa, Belajarlah Sejarah, Gali-lah Informasi Sebanyak-banyak-nya, Agar kalian Paham Dengan situasi kondisi negara saat ini, yg admin posting ini bukalah sebuah provokasi, tapi hanya ingin memberikan Referensi agar kalian Bisa Mau Belajar Sejarah dan belajar tentang Konspirasi Elite Global, Agar kedepannya Kita Bisa waspada dan mampu menjaga Keutuhan Bangsa kita.

Hanya di era kepemimpinan sekarang semua terbelah hanya Karena Pilihan Politik. Jika Ingin menemukan Sebuah Fakta, carilah dari dua sisi agar kita bisa menemukan Kebenaran Yang Hakiki.

Kita di benturkan dan di adu domba layaknya permainan yang mereka tertawa melihat kita beradu otak saling menjatuhkan sesama anak bangsa , Tidak inggatinggatkah kalian pada sejarah Singapore bagaimana kata Perdana Mentri Lee Kwan Ywee " Kalian tak mungkin melawan PRIBUMI dengan SENJATA tapi kalian bisa MENGALAHKAN mereka dengan STRATEGI ADU DOMBA seperti kami menguasai SINGAPURA ".

Dengan begitu sebuah negara akan hancur dengan ketidaksetabilan warga negara yang saling berbenturan ketika kau sudah hancur mereka akan mentertawai kita dengan begitu bahagia dan mampu menguasai negara kita .

Dan mereka akan berkata dengan kesuksesan merebut sebuah negara
CARILAH ORANG ORANG YANG MUNAFIK KARENA MEREKA DAPAT KAU BAYAR