Showing posts with label Novel. Show all posts
Showing posts with label Novel. Show all posts

Sunday, March 1, 2020


Satu perkembangan monumental yang terjadi pada akhir abad ke-20 adalah kemampuan teknologi dalam menciptakan realitas virtual dan cyberspace, sehingga merubah perkembangan wajah dunia dan kebudayaan kontemporer yang dibentuk oleh riuh rendah citraan elektronik (televisi, video clip, game, internet) serta sorak-sorai idiom-idiom pos-modernisme (pastiche, kitsch, parodi, camp, skizofrenia). Citraan-citraan ini membentuk realitas baru dunia, yang kita merupakan bagiannya.

Dan, kita menjadi model kehidupan nyata. Kecenderungan realitas citraan ini tampaknya akan terus berlanjut, namun tentunya dengan dimensi yang berbeda. Perkembangan teknologi pada abad ke-20 telah mencapai suatu masa di mana realitas semu yang diwujudkan melalui pencitraan digital menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari. Hiper-realitas visual, merupakan ungkapan di mana realitas visual telah dilampaui dengan manipulasi dari pencitraan visual, sehingga seolah manusia melangkah dari dunia nyata menuju dunia fantasi, dunia maya yang tampak nyata.

Kebudayaan kontemporer memasuki kondisi di mana di dalamnya, tabir antara realitas dan fantasi semakin tipis. Banyak hal yang sebelumnya dianggap fantasi kini menjadi realitas, dan ini akan berpengaruh terhadap kebudayaan dan kehidupan manusia.

Sebuah objek dapat mewakili realitas melalui penandanya (signifier), yang mempunyai makna atau petanda (signified) tertentu. Dalam hal ini, realitas adalah referensi dari penanda. Namun, bisa juga terjadi bahwa sebuah objek sama sekali tidak mengacu pada satu referensi atau realitas tertentu, karena ia sendiri adalah fantasi atau halusinasi yang telah menjadi realitas. Ini yang dalam bahasa Baudrillard dikatakan hiper-realitas.

Menurut Baudrillard era ‘hiper-realitas’ ditandai dengan lenyapnya petanda, dan metafisika representasi; runtuhnya ideologi, dan bangkrutnya realitas itu sendiri yang diambil alih oleh duplikasi dari dunia nostalgia dan fantasi atau menjadi realitas pengganti realitas, pemujaan (fetish) obyek yang hilang bukan lagi obyek representasi, tetapi ekstasi penyangkalan dan pemusnahan ritualnya sendiri.

Dunia hiper-realias adalah dunia yang disarati oleh silih bergantinya reproduksi obyek-obyek yang simulacrum, obyek-obyek yang murni ‘penampakan’, yang tercabut dari realitas sosial masa lalunya, atau sama sekali tak mempunyai realitas sosial sebagai referensinya.

Di dalam dunia seperti ini subyek sebagai konsumer digiring ke dalam ‘pengalaman ruang’ hiper realitas pengalaman silih bergantinya ‘penampakan’ di dalam ruang, berbaur dan meleburnya realitas dengan fantasi, fiksi, halusinasi dan nostalgia, sehingga perbedaan antara satu sama lainnya sulit ditemukan, dalam hal ini hiper-realitas dalam pandangan Baudrillard lebih menekankan baik nostalgia maupun fiksi ilmiah (science fiction).

Orang yang berada dalam era ini terjebak dalam kondisi schizofrenia, mengingat mereka tidak perlu merefleksikan tanda, pesan, makna atau norma-norma. Massa pun disuguhi reproduksi nilai-nilai penampakan akan tetapi bukan reproduksi nilai-nilai ideologi atau mitologis. Massa adalah konsumer yang menyerap nilai-nilai materil, nilai pencitraan/penampakan.
Kondisi tersebut bisa dijumpai tatkala seorang berada di depan televisi, film tiga dimensi, video, video game, virtual reality lewat komputer. Totalitas hidup seseorang (kegembiraan, kesedihan, keberanian, dsb.), secara tak sadar, mereka telah terperangkap di dalam dunia hiper-realitas visual (media) dengan kesadaran, maka ia akan menyadari bahwa apa yang ia saksikan tak lebih dari sebuah fantasi, fiksi atau fatamorgana.

Menurut Baudrillard dunia realitas dan dunia hiper-realitas media/televisi/internet sudah sulit dibedakan, kedua-duanya sama-sama nyata. Pendapat senada dikemukakan oleh Arthur K & David Cook yang menyatakan bahwa televisi telah berkembang menjadi realitas kedua.

Televisi, bahkan lebih nyata dari dunia realitas sendiri, sebab tidak saja realitas yang telah terserap total dalam citraaan televisi, tetapi juga karena televisi mampu membuat pemirsanya tenggelam dalam citra simulacrum-nya. Di dalam televisi, realitas, fantasi, halusinasi, illusi telah berbaur menjadi satu. Dengan demikian pertanyaan yang menarik diajukan adalah masih adakah perbedaan antara realitas dan dunia nyata televisi, bila penonton bisa tersedu-sedu di depan televisi, sebagaimana ia dapat menitikkan air mata di dunia realitas?.

Yang perlu dilakukan sekarang adalah penyadaran akan dunia hiper-realitas yang sedang kita jalani bersama ini. Kita tanpa sadar tertarik pada pengaruh meleburnya realitas dengan fantasi, saat kita asyik tenggelam dalam tontonan TV atau film bioskop, pada saat kita keluar dari kondisi tersebut maka kita pun kembali tersadar akan dunia sesungguhnya. Dalam hal ini, berlaku pula kesadaran akan peleburan realitas-fantasi, yakni saat kita memposisikan diri untuk melihat dari satu sisi lain, sehingga akan dapat mencermati dan memahami persoalan termasuk permasalahan ini.

Dalam bukunya The Post-modern Scene: Exremental Culture & Hyper-Aesthetics, secara lebih khusus Arthur K & David Cook menjelaskan bahwa TV telah menjadi dunia nyata kebudayaan, yang menjadikan hiburan sebagai ideologinya, tontonan sebagai tanda dan perlambang bentuk komoditi, lifestyle advertising sebagai psikologi populernya, serialitas murni dan kosong sebagai perekat menyatukan simulacrum para pemirsa, citra-citra elektronic sebagai bentuk ikatan sosial, politik media elit sebagai formula ideologis, jual beli tontonan yang diabstraksikan sebagai medan rasionalisasi pasar, sinisme sebagai tanda kebudayaan yang utama dan penyebaran jaringan relasi kekuasaan sebagai produk nyatanya.

Di era digital, obyek tidak lagi sekadar perpanjangan tangan manusia seperti dikatakan Mc. Luhan, tetapi kini merupakan ekspresi langsung dari diri manusia sendiri, menjadi diri manusia-semacam cyborg.

Abad digital ini tidak saja mengubah cara kita melihat realitas, tetapi juga menimbulkan kesadaran baru tentang kemungkinan hidup di dalam perbauran antara masa lalu, masa kini dan masa depan, antara subyek manusia dengan obyek, antara yang natural dan yang artificial, di dalam simulasi elektronik, di dalam halusinasi ruang.

Era digital memungkinkan pencitraan dengan resolusi tinggi dari mulai still image sampai dengan gambar bergerak (sinema) bahkan pencitraan tiga dimensi (3D). Banyak hal yang dahulu dianggap tidak mungkin kini menjadi mungkin. Sekarang ini orang dengan mudah mengakses internet untuk melihat gambar foto bintang film Brooke Shields telanjang tanpa busana. Gambar begitu tajam dan sempurna, sehingga tidak perlu lagi rasanya untuk membeli majalah Playboy atau majalah dewasa lainnya.

Ditengah hiruk-pikuknya perkembangan teknologi digital tersebut, terdapat lima perkembangan penting citraan elektronik yaitu, foto digital, spesial efek gambar bergerak (animasi), game, virtual reality, dan internet, yang mana realitas visual telah dilampaui dengan manipulasi dari pencitraan visual, sehingga seolah manusia melangkah dari dunia nyata menuju dunia fantasi, dunia maya yang tampak nyata.
Hiper-realitas merupakan kondisi di mana keadaan seakan telah melampaui realitas, suatu keadaan dimana fantasi/mimpi-mimpi berusaha untuk diwujudkan/ direpresentasikan sehingga batas antara keduanya nyaris tiada.

Dalam hal ini pencitraan yang direalisasikan melalui berbagai media semakin mantap medukung eksistensi dunia maya. Teknologi digital terus berkembang sampai pada tingkat kesempurnaan, sehingga pada akhirnya virtual reality dapat terwujud, membawa fantasi manusia menembus batas, menciptakan ruang-ruang 3D berikut obyek- obyek yang terkait didalamnya.
Permasalahannya tidak menjadi rumit apabila hanya sekedar perkembangan teknologi, tapi pada kenyataannya, kita dihadapkan pada realita bahwa perkembangan teknologi ini membawa dampak negatif pula. Pada saat teknologi memuaskan hasrat/nafsu manusia, memberikan pesona ekstasi, maka nilai-nilai moral seakan rontok satu per satu.

Kejahatan, Kriminal, Pornografi, muncul dengan bebas dan dengan format baru.
Pola sosial dan individu ini kemudian menjadi bahan pemikiran dalam konteks perilaku lingkungan. Seberapa besar kesadaran orang akan permasalahan dan keadaan sekarang? Apakah memang ternyata manusia semakin larut dalam ekstasi hidup dan siap-siap menghadapi kehancuran moral. Setidaknya manusia mempunyai kesadaran dalam hal ini, dan dapat memandang dari sisi luar, sehingga dapat berjalan pada jalan yang jelas, bukan jalan gamang dan tak menentu.

Friday, December 6, 2019


Ada yang tak biasa di antara ratusan stan pameran terbesar di kota ini. Ketika banyak stan menjajakan dagangan berupa pakaian, kosmetik, dan lainnya, ada seorang perempuan menjual luka.

Penampilannya tak jauh beda dengan penjaga stan lainnya. Seperti sales promotion girl lainnya, dia terlihat seksi. Pakaiannya keluaran kekinian. Umurnya masih dua puluh lima tahunan. Dengan senyum yang selalu mengembang di bibir, pengunjung seakan tak melihat hal aneh padanya.

Namun stan yang dijaganya tak menawarkan apa pun. Etalase dibiarkan kosong. Dekorasi juga tak terlalu menarik karena didominasi warna hitam.
"Saya hanya menjual luka. Luka yang tak pernah habis dimakan usia. Ribuan tahun yang akan datang, luka itu tetap ada. Luka yang abadi."

Dia memberi penjelasan kepada seorang pemuda. Mungkin mahasiswa. Pemuda itu tersenyum dan kemudian pergi dengan perasaan aneh.

"Saya hanya menjual luka. Luka yang tak pernah dimiliki orang lain. Siapa pun tak pernah merasakan, termasuk Anda."
Kalimat itu dia tujukan kepada lelaki tua dengan tongkat di tangan kanannya. Jalannya sudah tak segesit saat masih muda. Bahkan tanda-tanda keperkasaan sama sekali tak tampak. Laki-laki itu ditemani cucunya yang masih berumur sepuluh tahun. Hanya melempar senyum kecut, kemudian berlalu. Menerobos lalu lalang pengunjung yang riuh.

Dan, pernahkan kamu memahami yang aku rasakan? Sejak kepergianmu menjelang senja, aku selalu menunggu. Kamu memang tak meninggalkan janji, tapi aku yakin perjalanan bisa kita lanjutkan bersama.

 Bukankah kita belum sampai ujung?
Sejak kepergianmu, aku tak lagi naik gunung dengan alasan mencari jati diri. Aku hanya ingin kamu kembali dan aku selalu menjual luka. Luka yang tiba-tiba datang menjelang senja, menjelang malam, menjelang pagi, menjelang siang. Luka yang selalu datang kapan saja karena kau tak meninggalkan penawar.

Aku selalu berpindah dari satu kota ke kota lain dengan harapan kita bertemu. Aku ingin bercerita kepadamu tentang apa-apa yang aku alami dan tak mungkin aku tulis di sini. Terlalu banyak cerita yang tak bisa diketahui banyak orang yang harus kamu ketahui. Ya, hanya kamu.

"Bolehkah saya membeli secuil lukamu. Mungkin bisa membuat lega meski tak akan menyembuhkan. Kamu mau menjual dengan harga berapa? Hanya secuil. Tidak banyak karena saya juga sedang terluka."
Perempuan itu mendongak. Mencari arah datangnya suara. Di hadapannya telah berdiri seorang pria. Tapi bukan kamu, Dan. Dia memakai kacamata tipis dengan rambut dibiarkan memanjang tergerai. Kaus oblongnya agak kumal. Aku suka dandanannya karena mengingatkan tentang kamu, Dan. Tapi kamu tanpa kacamata.

"Kenapa kamu ingin membeli luka saya sedangkan kamu sedang terluka?"
"Hanya secuil."
"Ini bukan masalah ukuran. Ini tentang luka. Meski secuil tetap menyakitkan."
"Mungkin kita punya kepekaan yang berbeda. Mungkin secuil tak akan menyakitkan bagi saya. Bolehkah?"
Pria itu menatap penuh harap. Perempuan itu, sang penjual luka, mencoba menahan diri. Dia tak ingin merasakan seperti yang dia rasakan saat dengan Dan. Dia tak mau jatuh cinta lagi yang bisa saja justru menambah luka, bukan menghilangkannya.

Cinta memang selalu memabukkan. Cinta selalu memberi harapan. Dia merasakannya bersama Dan. Merasakan cinta yang memabukkan. Cinta yang selalu bergelora dari detik ke detik, menit ke menit. Tapi cinta pula yang kemudian menjadi prahara yang tak berkesudahan sejak Dan pergi menjelang sore. Menjelang masa yang selalu memberi harapan.

"Bolehkah saya membeli secuil?"
Perempuan itu tergagap. Dia baru menyadari di depannya masih ada pria itu. Pria dengan dandanan biasa tapi unik. Dan, aku tak mau jatuh cinta kepadanya.

"Kenapa Anda tertarik dengan luka saya?"
"Karena Anda menjualnya. Saya belum pernah bertemu perempuan seperti Anda, yang menjual luka meski mungkin tanpa pembeli bahkan dikatakan aneh. Apalagi di tempat seperti ini. Anda tentu punya alasan mengapa menjual luka. Mungkin bukan luka biasa yang dimiliki orang-orang di luaran sana. Tak mungkin Anda menjualnya kalau semua orang pernah merasakan atau memiliki luka yang sama. Semoga analisis saya salah."

 Dan, aku tak ingin menceritakan kepadanya.
 "Anda mungkin akan menjadi pembeli pertama luka saya."
 "Berarti saya akan mendapat bonus?"
 Perempuan penjual luka tersenyum. Pria calon pembeli luka tersenyum.
 Dan, aku akhirnya bisa menjual secuil luka itu. Kepada seorang pria yang entah datang dari mana, kemudian menawar luka yang selalu tersimpan rapi meski selalu bergejolak dan meronta. Dia seakan memaksa.

 Setelah ini aku tak akan pergi ke mana-mana. Aku ingin menetap di kota ini. Aku tak ingin lagi menjajakan luka seperti yang sudah aku lakukan di beberapa kota. Aku tak mau luka ini habis dan menggerus kenangan bersamamu. Biarkan hanya secuil yang terjual dan bagian lain tetap tersimpan seperti sediakala.

SENJA hampir habis. Perempuan itu masih duduk di kursi di pinggir jalan pusat keramaian. Matanya memandang lurus, menatap lalu-lalang kendaraan yang tak putus-putus seperti iring-iringan rayap pindah rumah. Menatap senyum bahagia yang menerobos dari balik semua mobil.
Di kursi lain di sebelah kanannya ada sepasang muda-mudi sedang kasmaran.

 Dari tatapan mata mereka keluar cinta. Dari tangan mereka yang saling bertautan keluar cinta. Dari jarak duduk mereka yang tak tersekat keluar cinta.
Perempuan itu iri. Dia kemudian melengos. Berdiri lalu melangkah ke sudut lain. Mencari pemandangan yang lebih segar di taman yang tiba-tiba muncul seakan disulap sebelum gelaran akbar di kota ini. Para petinggi beberapa negara datang dan terpuaskan karena mendapat suguhan sesuai harapan.

Tapi mereka tak pernah tahu, kota ini penuh luka. Luka yang muncul dari janji-janji manis para penguasa saat masa kampanye. Bagi mereka, kesejahteraan adalah hal mutlak yang harus dimiliki setiap orang. Maka, mereka menjaminnya kalau terpilih kelak.

Janji manis memang selalu memabukkan. Tapi siapa peduli dengan koar-koar mereka? Tak ada mau tahu meski kemudian mendatangi tempat pemungutan suara dan memilih satu di antara foto yang ada di kertas suara saat di dalam bilik.

Bukan, bukan karena hati nurani. Tapi karena beberapa saat sebelumnya ada seseorang datang ke rumah dan memberikan aplop. Entah apa isinya.
Ada luka yang selalu tersimpan di kiri kanan jalanan yang selalu penuh sesak oleh kendaraan keluaran terbaru. Ada luka yang terpampang di spanduk taman kota. Ada luka di pohon-pohon penyejuk yang akarnya keropos.

Perempuan itu masih berjalan. Menyusuri jalan yang khusus untuk pedestrian di depan gedung-gedung tua peninggalan masa kolonial. Pikirannya mengambang. Hendak terbang menembus ruang-ruang seantero kota.

Langkahnya berbelok ke sebuah kafe. Masih sepi. Dia duduk di dekat jendela. Memesan minuman dengan kadar alkohol rendah. Waitress datang mengantar pesanan. Dibukanya kaleng minuman dan diteguk isinya.
Di luar, berjejer bendera Merah Putih di tiang depan masing-masing kafe. Berkibar.

Dan, aku kesepian. Bolehkah kujual luka kota ini? Sebab aku sudah janji tak akan kujual lukaku lagi.

Friday, November 8, 2019


Apakah binatang memiliki cinta? Mungkin kita bisa melihat induk binatang yang menyusui dan merawat anaknya sebagai sebentuk cinta yang natural. Tapi benarkah itu adalah bentuk cinta? Apakah yang membentuk sebuah cinta: insting atau akal budinya? Kalau ada sepasang merpati yang sulit dan begitu sulit dipisahkan, apakah hal ini bisa dikatakan sebagai sepasang kekasih dengan cinta sejati? Merujuk pada pemikiran Aristoteles bahwa binatang disebut binatang karena adanya jiwa instingtif di dalamnya (jiwa sebagai pembentuk kehidupan. Pada tumbuhan disebut jiwa vegeter dan pada manusia jiwa rasional). Jadi, apa yang kita lihat sebagai fenomena cinta pada binatang sebenarnya bersifat instingtif dan non rasional. Menarik bahwa dalam pemikiran eksistensialisme, cinta dilihat sebagai sesuatu yang sangat positif, luhur, dan kuat namun sekaligus ada yang melihat dengan sangat skeptis.

Menurut Scheler ada tiga macam kegiatan manusia yang memberi ciri khas kemanusiaannya sebagai pribadi. Ketiga hal tersebut adalah:

a.Refleksi yaitu kegiatan membuat dirinya sebagai obyek pemikiran. Inilah yang menyebabkan manusia mengenali dirinya sebagai manusia, mempelajari bukan hanya tubuhnya sendiri tapi juga jiwanya. Ini khas pada manusia karena binatang hampir tidak bisa mengenali dirinya.

b.Abstraksi atau ideasi, menangkap hakekat dari keberadaan di luar dirinya (eksistensi). Dengan pikirannya, manusia bisa mengenali yang berbeda dengan dirinya, mempelajarinya dan menguasainya. Ia bisa mengenal atau setidaknya merefleksikan adanya Tuhan, misalnya.

c.Cinta. Cinta merupakan kegiatan paling penting sebagai pribadi. Cinta dan benci adalah tindakan primordial manusia yag mendasari tindakan lain. Pribadi seseorang dapat diukur dari cintanya.

Cinta merupakan bagian pribadi manusia yang diarahkan  kepada nilai absolut. Cinta ini megarahkan pribadi melampaui keterbatasannya (unsur transendensi). Yang diperlukan adalah penyerahan diri, kesetiaan pada institusi dengan melepaskan segala a priori. Bukan kenginan untuk menguasai. Perlu kerendahan hati dan penguasaan diri.

Pemikiran tentang cinta sangat kuat dalam eksistensialismenya Gabriel Marcel. Menurutnya, cintalah yang memanggil manusia untuk mengadakan hubungan eksistensial. Cinta bukanlah perasaan emotif tapi menjadi inti kehidupan yang berproses dalam hubungan manusia. Dia merumuskan empat tahapan cinta sebagai berikut:

1.Kerelaan (disponibilite): sebuah sikap kesediaan untuk terbuka, membiarkan agar orang lain masuk dalam hubungan denganku. Sifat semacam ini berlawanan dengan sikap kepemilikan yang menutup diri, mencari untung bagi diri sendiri dan menganggap yang lain sebagai objek.

2.Penerimaan (receptivite), sikap inisiatip, memulai aktivitas dalam hubungan dengan mempersilahkan yang lain memasuki duniaku, atau mendengarkan yang lain; menyediakan tempat dalam diriku untuk yang lain.

3.Keterlibatan (engagement) sikap yang lebih dalam lagi karena aku ikut ambil bagian yang lain dalam hubungan itu, memberikan perhatian khusus terhadap perencanaan-perencanaannya dan menanggapi secara positif sehingga kami dapat seiring sejalan.

4.Kesetiaan (fidelite) merupakan sikap total dalam hubungan cinta. Kesetiaan bukanlah ikut-ikutan tanpa pendirian, melainkan kesediaan untuk terlibat dengan segala resiko yang ada. Setia bukanlah menjalankan yang rutin tapi membiarkan dirinya menjadi taruhan.

Dalam pemikiran itu, cinta menjadi sentral dalam sebuah relasi sehingga aku dan engkau menjadi satu komunio, aku dan kau menjadi berpadu hati sebagai kami. Cinta adalah sesuatu (entitas) yang transenden melampaui keakuan dan keengkauan. Dengan cinta manusia keluar dari dirinya dan memeluk yang transenden, yang terlampaui olehnya.

Yang menarik dari pemikiran Gabriel Marchel adalah bahwa cinta dalam hubungan intersubjektif juga menunjukkan suatu kreativitas. Creatio, menjadikan sesuatu ada dari yang semula tidak ada. Cinta berdaya kreatif. Dalam hal inipun kemudian terbedakan dalam beberapa taraf.

Yang paling sederhana kreativitas cinta dapat terlihat dalam karya-karya manusia. Seniman yang mencintai seninya menghasilkan karya seni, petani yang mencintai pekerjaannya menghasilkan panenan, dll.

Kreativitas juga bisa menyangkut hubungan antar manusia. Misalnya mengangkat presiden, presiden mengangkat menteri, dll. Ini rakyat secara kreatif berkat daya cintanya menciptakan presiden dan menteri adalah ciptaan presiden. Kreativitas ini berkaitan dengan penciptaan kondisi, membuat keadaan yang baru yang berlaku pada orang itu dan mempengaruhi ‘ada’nya.

Maka, kreativitas semacam itu mengarah pada kreativitas yang sama sekali baru dengan menciptakan adanya kebebasan. Berkat cinta seseorang justru merasa bebas, mampu bergerak dan merealisasikan dirinya karena dia diterima, didukung, dan dipahami. Kreativitas cinta menumbuhkan kreativitas subjek yang dicintainya.

Secara sangat berbeda, dalam pandangan eksistensialisme juga, sartre melihat cinta bukanlah suatu peleburan subjek justru sebagai bentuk objektifikasi tubuh. Jadi, kalau dalam dua pemikiran di atas manusia dilihat dalam mencintai yang melampaui kebertubuhannya, Sartre justru menunjukkan cinta secara dangkal ketika masing-masing hanya dilihat sebagai objek yang bertubuh. Menurut Sartre, cinta merupakan bentuk lain pengobjekkan terhadap orang lain maupun diri sendiri secara “pasrah” (dalam bahasa Gramsci: hagemoni). Ia mendaulat cinta sebagai tanda “kegagalan” seseorang untuk mempertahankan dirinya sebagai “subyek”. Pada perkembangannya, cinta akan menstranformasi dirinya sebagai entitas yang penuh dengan motif “memiliki”. Hal tersebut tampak melalui berbagai harapan yang dimiliki seorang pecinta atas kekasihnya dan demikian pula sebaliknya. Dengan misal lain, seseorang akan berharap dirinya untuk terus dicintai dan begitu pula pada pasangannya dengan harapan serupa, sehingga yang terjadi kemudian adalah pengekangan atas kebebasan, orang yang saling mencintai pada hakekatnya “terpenjara”, hanya saja penjara tersebut sedemikian halusnya hingga tak kasat mata.

Dalam ranah yang lebih filosofis, Sartre menjelaskan bahwa orang yang mencintai pada hakekatnya hendak memiliki dunia orang yang dicintai, mengobjekkan berikut meminta menyerahkan dunia serta dirinya secara “bulat-bulat”. Menurut Sartre, kondisi demikian dapat diandaikan sebagai, “terjebak pada dunia orang lain”, atau “berada bagi orang lain”, dan hal tersebut merupakan sesuatu yang nausea ‘memuakkan’ baginya. Secara konkret, Sartre menjelaskan hal tersebut melalui “hasrat seksual” serta “hubungan seksual” yang lahir kemudian melalui cinta. Menurutnya, hasrat seksual merupakan upaya “mereduksi” orang lain sebagai “tubuh” atau “daging” semata. Namun demikian, pada akhirnya hasrat selalu gagal mengingat yang diubahnya menjadi daging bukanlah orang lain semata, melainkan pula “diri sendiri”. Hal tersebut tampak melalui tenggelamnya seseorang dalam kenikmatan hubungan seks sehingga melupakan motif dan tujuan semula: menguasai pihak lain. Oleh karenanya simpul Sartre, “Hasrat pun gagal untuk memulihkan diri saya yang hilang akibat orang lain”.

Wednesday, August 28, 2019


Leiden is lijden!" . Memimpin adalah Menderita. Pepatah kuno Belanda itu dikutip oleh Mohammad Roem dalam karangannya berjudul "Haji Agus Salim, Memimpin adalah Menderita" (Prisma No 8, Agustus 1977). Karangan itu mengisahkan keteladanan Agus Salim. Agus Salim dikenal sebagai salah satu tokoh perjuangan nasional. Ia diplomat ulung dan disegani, namun sangat sederhana dan  sangat terbatas dari sisi materi.

Jika dicermati, ungkapan tersebut sangat sarat makna. Memimpin adalah amanah bukan hadiah. Memimpin adalah sacrificing, bukan demanding. Memimpin adalah berkorban, bukan menuntut.

mengingatkan pentingnya kredo Agus Salim, “leiden is lijden” (memimpin adalah menderita). Dengan kredo tersebut, segera terbayang penderitaan Jenderal Soedirman, yang memimpin perang gerilya di atas tandu. Setabah gembala ia pun berpesan, “Jangan biarkan rakyat menderita, biarlah kita (prajurit, pemimpin) yang menderita.” Zaman sudah terjungkir. Suara-suara kearifan seperti itu terasa asing untuk cuaca sekarang. Kredo pemimpin hari ini, “memimpin adalah menikmati.” Menjadi pemimpin berarti berpesta di atas penderitaan rakyat. Demokrasi Indonesia seperti baju yang dipakai terbalik: mendahulukan kepentingan lapis tipis oligarki penguasa-pemodal, ketimbang kepentingan rakyat kebanyakan (demos). Banyak orang berkuasa dengan mental jelata; mereka tak kuasa melayani, hanya bisa dilayani. Bagi pemimpin bermental jelata, dahulukan usaha menaikkan gaji dan tunjangan pejabat berlipat-lipat; bangun gedung dan ruangan mewah agar wakil rakyat tak berpeluh-kesah; transaksikan alokasi anggaran untuk memperkaya penyelenggara negara dan partai; pertontonkan kemewahan sebagai ukuran kesuksesan; utamakan manipulasi pencitraan, bukan mengelola kenyataan.

Cukup rakyat saja yang menanggung beban derita.
Biarkan petani tergusur dan terbunuh oleh keculasan aparatur negara, seperti kebiadaban pangreh praja yang menyerahkan tanah dan rakyatnya kepada tuan-tuan perkembunan kolonial di zaman tanam paksa. Biarkan petani, nelayan, perajin terus merugi: menjual murah sebagai produsen dan membeli mahal sebagai konsumen.

Saturday, August 24, 2019


Mari kita berpetualang sejenak ke pemikiran klasik Jean-Jacques
Rousseau dalam buku Discourse on the Origin and Basis of Inequality Among Men (1754). Di buku itu, Rousseau membedakan antara ketimpangan (inequality) alami (fisik) dan ketimpangan etis (politik). Ketimpangan alami itu, misalnya, perbedaan kekuatan orang untuk mengangkut beban berupa benda.

Kemampuan seorang balita dan orang dewasa tentu berbeda dalam menenteng sebuah tas, misalnya.

Pada gilirannya, kekuatan alami dan sistem sosial dapat melahirkan ketimpangan etis. Rousseau melihat, akar ketimpangan etis adalah perbedaan kekuasaan dan kekayaan. Orang-orang yang terlalu banyak memiliki kekuasaan dan kekayaan akan berpotensi menindas yang lemah. Ini adalah konsekuensi dari kebebasan manusia untuk memenuhi kebutuhan dan nafsunya.

Dunia dengan kebebasan mutlak adalah kehidupan liar di belantara ganas. Untuk menyingkirkan kebrutalan tersebut, individu-individu yang ada harus menyerahkan sebagian kebebasan mereka kepada otoritas tertentu. ”Inti dari gagasan kontrak sosial secara sederhana adalah setiap orang menempatkan dirinya di bawah otoritas tertinggi”, seru Rousseau dalam bukunya The Social Contract (1762). Otoritas inilah yang akan melindungi hak-hak mereka yang tersisa, yang tidak diserahkan sebelumnya. Inilah
yang disebut negara.

Untuk mengilustrasikan kontrak sosial, mari kita bayangkan sebuah pulau tanpa otoritas negara. Pada awalnya semua manusia terlahir bebas di sana. Ada yang bertubuh kuat dan mampu memiliki senjata, namun ada juga yang lemah dan tak berpunya. Di dunia tanpa otoritas, kaum yang kuat bebas merampas tanah dari kaum yang lemah. Mereka yang melawan dapat dibunuh seenak-
nya. Untuk mengakhiri kebuasan ini, orang-orang di sana lalu bersepakat membuat kontrak sosial dengan mendirikan negara. Kebebasan individu untuk ”mengklaim kepemilikan tanah” diserahkan
kepada negara. Negara berhak untuk menentukan siapakah pemilik sebidang tanah tertentu. Walaupun hak untuk ”menentukan kepemilikan tanah” diserahkan kepada negara, namun hak untuk ”menggarap tanah miliknya” tidak diserahkan kepada negara.

Negara harus melindungi hak ini. Ia akan menghukum siapa pun yang merampas atau menggarap tanah milik orang lain. Ada pertanyaan menarik di sini, ”seberapa jauh kebebasan individu sebaiknya diserahkan kepada otoritas?” Apakah sebaiknya sebanyak mungkin kebebasan itu diserahkan, sehingga dapat menciptakan kesetaraan di dalamnya?

Apakah sebaiknya sedikit mungkin kebebasan itu diserahkan, agar tetap menjamin kebebasan individu? Pertanyaan ini melahirkan perdebatan klasik antara ”demokrasi berorientasi kesetaraan” melawan ”demokrasi berorientasi kebebasan”.

Aku sering membayangkan negara itu sebagai sosok ibu. Warga negara kuibaratkan sebagai anak-anak dari sang ibu. Ada anak yang terlahir sehat, ada juga yang lemah. Orang-orang yang berpandangan demokrasi berorientasi kesetaraan berkata kepada sang ibu, ”Berikan makanan yang adil ke setiap anak!”. ”Tidak! Biarkanlah setiap anak berkompetisi memperebutkan makanan di atas meja!” kata para pembela demokrasi berorientasi kebebasan. ”Gila kau! Anak-anak yang lemah itu bisa tidak kebagian!” terdengar suara dari sisi demokrasi berorientasi kesetaraan.

”Tenang saja, nanti akan ada umpan balik negatif (negative feedback)”, kata para pembela demokrasi berorientasi kebebasan.

Umpan balik negatif adalah mekanisme yang akan bekerja sedemikian rupa untuk mengurangi perbedaan. Pada kasus di atas, misalnya, anak yang lebih sehat akan mencari buah-buah di hutan lalu membawa hasilnya ke rumah, sehingga dapat dinikmati oleh saudaranya yang lemah. Pada kehidupan modern, contoh umpan balik negatif adalah pajak. Sebagian kekayaan dari si kaya diambil oleh negara. Dana ini lalu digunakan untuk berbagai hal, termaksud membantu si miskin. ”Ah bohong! Yang ada justru adalah umpan balik positif!” kata para pembela demokrasi berorientasi kesetaraan. Umpan balik positif adalah mekanisme yang membuat perbedaan yang ada semakin lama semakin lebar. Si kaya memiliki modal untuk berinvestasi, sehingga semakin lama menjadi semakin kaya. Si kaya dapat menyewa orang-orang cerdas dan mengangkangi kekuasaan untuk menjaga keberlangsungan kekayaaannya.

”Anak yang kuat memang akan mencari makan ke hutan, lalu akan dia bawa ke rumah. Tetapi itu akan dia gunakan untuk mengintimidasi sang ibu agar perlahan-lahan mengabaikan si lemah. Dia juga akan meminta sang ibu agar tidak meminta bagian yang terlalu banyak”, kata para pembela demokrasi berorientasi kesetaraan.