Showing posts with label Budaya. Show all posts
Showing posts with label Budaya. Show all posts

Saturday, August 24, 2019


Mari kita berpetualang sejenak ke pemikiran klasik Jean-Jacques
Rousseau dalam buku Discourse on the Origin and Basis of Inequality Among Men (1754). Di buku itu, Rousseau membedakan antara ketimpangan (inequality) alami (fisik) dan ketimpangan etis (politik). Ketimpangan alami itu, misalnya, perbedaan kekuatan orang untuk mengangkut beban berupa benda.

Kemampuan seorang balita dan orang dewasa tentu berbeda dalam menenteng sebuah tas, misalnya.

Pada gilirannya, kekuatan alami dan sistem sosial dapat melahirkan ketimpangan etis. Rousseau melihat, akar ketimpangan etis adalah perbedaan kekuasaan dan kekayaan. Orang-orang yang terlalu banyak memiliki kekuasaan dan kekayaan akan berpotensi menindas yang lemah. Ini adalah konsekuensi dari kebebasan manusia untuk memenuhi kebutuhan dan nafsunya.

Dunia dengan kebebasan mutlak adalah kehidupan liar di belantara ganas. Untuk menyingkirkan kebrutalan tersebut, individu-individu yang ada harus menyerahkan sebagian kebebasan mereka kepada otoritas tertentu. ”Inti dari gagasan kontrak sosial secara sederhana adalah setiap orang menempatkan dirinya di bawah otoritas tertinggi”, seru Rousseau dalam bukunya The Social Contract (1762). Otoritas inilah yang akan melindungi hak-hak mereka yang tersisa, yang tidak diserahkan sebelumnya. Inilah
yang disebut negara.

Untuk mengilustrasikan kontrak sosial, mari kita bayangkan sebuah pulau tanpa otoritas negara. Pada awalnya semua manusia terlahir bebas di sana. Ada yang bertubuh kuat dan mampu memiliki senjata, namun ada juga yang lemah dan tak berpunya. Di dunia tanpa otoritas, kaum yang kuat bebas merampas tanah dari kaum yang lemah. Mereka yang melawan dapat dibunuh seenak-
nya. Untuk mengakhiri kebuasan ini, orang-orang di sana lalu bersepakat membuat kontrak sosial dengan mendirikan negara. Kebebasan individu untuk ”mengklaim kepemilikan tanah” diserahkan
kepada negara. Negara berhak untuk menentukan siapakah pemilik sebidang tanah tertentu. Walaupun hak untuk ”menentukan kepemilikan tanah” diserahkan kepada negara, namun hak untuk ”menggarap tanah miliknya” tidak diserahkan kepada negara.

Negara harus melindungi hak ini. Ia akan menghukum siapa pun yang merampas atau menggarap tanah milik orang lain. Ada pertanyaan menarik di sini, ”seberapa jauh kebebasan individu sebaiknya diserahkan kepada otoritas?” Apakah sebaiknya sebanyak mungkin kebebasan itu diserahkan, sehingga dapat menciptakan kesetaraan di dalamnya?

Apakah sebaiknya sedikit mungkin kebebasan itu diserahkan, agar tetap menjamin kebebasan individu? Pertanyaan ini melahirkan perdebatan klasik antara ”demokrasi berorientasi kesetaraan” melawan ”demokrasi berorientasi kebebasan”.

Aku sering membayangkan negara itu sebagai sosok ibu. Warga negara kuibaratkan sebagai anak-anak dari sang ibu. Ada anak yang terlahir sehat, ada juga yang lemah. Orang-orang yang berpandangan demokrasi berorientasi kesetaraan berkata kepada sang ibu, ”Berikan makanan yang adil ke setiap anak!”. ”Tidak! Biarkanlah setiap anak berkompetisi memperebutkan makanan di atas meja!” kata para pembela demokrasi berorientasi kebebasan. ”Gila kau! Anak-anak yang lemah itu bisa tidak kebagian!” terdengar suara dari sisi demokrasi berorientasi kesetaraan.

”Tenang saja, nanti akan ada umpan balik negatif (negative feedback)”, kata para pembela demokrasi berorientasi kebebasan.

Umpan balik negatif adalah mekanisme yang akan bekerja sedemikian rupa untuk mengurangi perbedaan. Pada kasus di atas, misalnya, anak yang lebih sehat akan mencari buah-buah di hutan lalu membawa hasilnya ke rumah, sehingga dapat dinikmati oleh saudaranya yang lemah. Pada kehidupan modern, contoh umpan balik negatif adalah pajak. Sebagian kekayaan dari si kaya diambil oleh negara. Dana ini lalu digunakan untuk berbagai hal, termaksud membantu si miskin. ”Ah bohong! Yang ada justru adalah umpan balik positif!” kata para pembela demokrasi berorientasi kesetaraan. Umpan balik positif adalah mekanisme yang membuat perbedaan yang ada semakin lama semakin lebar. Si kaya memiliki modal untuk berinvestasi, sehingga semakin lama menjadi semakin kaya. Si kaya dapat menyewa orang-orang cerdas dan mengangkangi kekuasaan untuk menjaga keberlangsungan kekayaaannya.

”Anak yang kuat memang akan mencari makan ke hutan, lalu akan dia bawa ke rumah. Tetapi itu akan dia gunakan untuk mengintimidasi sang ibu agar perlahan-lahan mengabaikan si lemah. Dia juga akan meminta sang ibu agar tidak meminta bagian yang terlalu banyak”, kata para pembela demokrasi berorientasi kesetaraan.

Friday, August 23, 2019


Sembari ngopi membaca berita di media online, kutemukan paradoks kemeriahan 74 tahun Indonesia merdeka. Sukacita yang harusnya hadir ternyata absen karena salah memahami kedaulatan dan nasionalisme. Barangkali kita sedang berhalusinasi tentang kemerdekaan.

Negara merdeka bukanlah negara yang ketakutan dengan bendera daerahnya sendiri. Bukan pula pemerintahan yang dengan semena-mena terhadap aspirasi rakyatnya. Hanya mental kolonialisme yang begitu, menekan dengan cara militeristik guna meraih SDA.

Dalam hal itu, negara bukan melindungi, namun menjadi momok menakutkan bagi rakyatnya. Dan menariknya, terjadi di dua daerah pemodal bagi negara.

Bahkan kapitalisme sangat menghormati para pemodal. Kok negara pancasila malah sebaliknya?

Apa yang terjadi di Manokwari harusnya tak perlu direspons dengan penambahan pasukan militer. Mereka rakyat yang harus dilindungi, bukan penjajah yang menginjak kedaulatan negara.

Menambah kekuatan militer bukanlah solusi jangka panjang. Menurut saya, malah itu solusi emosional. Solusi tidak kreatif yang nyaris picik setidaknya panik. Tak jauh beda dengan pendekatan orde baru maupun masa Megawati ketika menerapkan hal yang sama pada Aceh.

Sudah jadi rahasia umum, konflik di belahan bumi mana pun tetap berdimensi ekonomi. Kedua daerah yang seolah anak tiri dan anak pungut tersebut memiliki kekayaan alam yang sedang dicari negara mana pun di dunia ini.
Pendekatan militer tidak akan berhasil meredam konflik di Papua. Hal itu sudah terbukti ketika beragam operasi militer dijalankan di Aceh. Justru menambah besar konflik dan korban jiwa.

Baru-baru ini, konflik bersenjata di Kabupaten Nduga menyebabkan 180 orang pengungsi meninggal dunia. Bahkan 113 di antaranya perempuan. Begitulah konflik bersenjata akan jatuh korban jiwa dan dendam yang tak berkesudahan.

Di Aceh, hal yang sama pernah terjadi. Selain korban jiwa dan kerugian materiil, konflik juga menyisakan kisah para perempuan yang diperkosa. Sayangnya peristiwa itu dijadikan catatan sejarah maupun catatan yang diseminarkan tanpa keadilan.

Meski kini GAM dan RI sudah sepakat damai, bukan berarti keadilan dilupakan. Lagian GAM dan rakyat Aceh dua komponen yang berbeda, sama halnya seperti Papua dan OPM.

Sejatinya kedua daerah ini tidak menuntut muluk-muluk. Mereka hanya menginginkan keadilan. Selain itu, mereka juga sepakat bahwa kemerdekaan itu hak setiap bangsa.

Lalu mengapa pemerintah Indonesia begitu semangat mengorbankan rakyat sipil agar kedua bangsa ini tetap dalam NKRI? Apakah karena SDA mereka yang melimpah? Atau ada alasan logis lain yang menyebabkan nilai kemanusiaan pun dikorbankan?

Mencontoh Singapura yang tidak memiliki SDA melimpah, harusnya Indonesia tak butuh Papua dan Aceh. Indonesia harus menjadi negara mandiri yang tidak selalu bergantung pada SDA Papua dan Aceh.

Apakah benar bahwa tanpa Aceh dan Papua, Indonesia akan bangkrut? Menurut saya tidak. Indonesia memiliki cukup banyak SDM yang berkualitas. Lalu apa yang dibutuhkan dari Papua dan Aceh?

Wilayah geografis Indonesia terlalu luas jika melibatkan Aceh dan Papua di dalamnya. Ketimbang menghabiskan energi, korban jiwa, kerugian materiil, ada baiknya Indonesia melepas Aceh dan Papua.

Kalaupun pemerintah benar-benar ingin mengetahui aspirasi sebenarnya, silakan melalui mekanisme referendum. Ketimbang terus-terusan menggunakan senjata dalam penyelesaian konflik.
Setidaknya kemanusiaan yang adil dan beradab itu bukan hanya hafalan. Namun dapat diimplementasikan dalam menyelesaikan konflik di Papua maupun Aceh. Momen tersebut nantinya akan mengharumkan Indonesia di kancah internasional.

Indonesia menjadi teladan negara demokrasi yang memberi referendum untuk dua Provinsi sekaligus. Melalui mekanisme itu nantinya ketahuan rakyat maunya bagaimana, bergabung atau pisah dengan NKRI.

Apa pun hasilnya tidak akan merugikan, justru membuktikan bahwa menjadi warga negara Indonesia tidak dipaksa. Tidak harus ditodong pistol atau laras panjang agar mengakui cinta Indonesia.

Indonesia lahir atas kesepakatan. Jika sudah tidak sepakat lagi, mengapa harus dipaksakan bersama? Biarlah Papua memilih jalannya sendiri, biarlah Aceh menentukan masa depannya sendiri.

Jangan lagi menambah korban jiwa, korban perkosaan, anak-anak yang terancam kehilangan masa depan hanya demi obsebsi menjadi NKRI. Masa sih dana rakyat dihabiskan untuk memerangi rakyat? Apa bedanya dengan Belanda dan Jepang di masa lalu?

Apakah menunggu sumber daya alam Papua dan Aceh habis baru melepas mereka? Coba tanyakan pada prajurit TNI/Polri di lapangan, andai diberikan pilihan, mereka bakal memilih memeluk anak-istri ketimbang perang.

Coba tanyakan pada prajurit TNI/Polri yang pernah berperang Aceh. Menyesal, tidak, ketika peluru mereka mengenai anak-anak? Bagaimana perasaan mereka ketika teman mereka wafat dalam tugas?

Coba tanyakan pula pada korban perkosaan, apakah mereka ikhlas menjadi warga negara Indonesia? Kemudian, apakah anak-anak tidak berhak mendapatkan damai? Meraih masa depan, bukan berlarian menghindari peluru.

Pendekatan militeristik tidaklah cocok digunakan untuk rakyat sendiri. Jika ingin Papua damai, dan ingin Aceh sepenuh hati bersama Indonesia, diplomasi cara terbaik.

Namun jika memang tak mampu menyelesaikan dengan cara-cara diplomatik dan simpatik, biarlah Papua dan Aceh merdeka.

Tuesday, August 20, 2019

1.  Papua bergolak.! dipicu oleh adanya bandera merah putih yang DIDUGA dirobek di asrama Mahasiwa Papua di surabaya.

Kemudian muncul Oknum Ormas yg berhasil memprovokasi massa untuk menyerbu asrama. Padahal,, dari pengakuan mahasiswa, mereka tidak tahu siapa pelaku yang telah melakukan perobekan terhadap bendera.

Gayung bersambut,, muncullah Oknum Ormas yg berhasil memprovokasi suasana sehingga Massa & Aparat hadir untuk "menyerbu" asrama.

Pertanyaannya, siapa pelaku perobekan bendera dan oknum ormas yang memprovokasi sehingga kerusuhan yang dibumbui faktor SARA & RACISM pecah di Papua ?

2. UAS Tetiba dilaporkan sejumlah pihak karena dianggap melakukan penistaan agama dalam konten ceramahya. Padahal ceramah UAS tidak dilakukan ditempat umum.

Siapa yang memviralkan pertama kali video yang sudah tiga tahun berlalu itu? Apa artinya? tujuannya? motifnya?

Yang jelas,, semakin ramai di sosmed maka akan semakin lengkap narasi permusuhan antar golongan. Belum lagi amarah umat di pancing2 oleh beberapa konten ceramah beberapa pendeta yg begitu menista.

Luar biasa,, ini semua kebetulan..?? atau ada creatornya.?

3. Apabila kemarahan publik sampai meluas karena di treatment oleh dua issue, yakni rasis kesukuan dan intoleran agama,, maka itu jalan legal untuk merekayasa konflik horizontal...

4 Dalang intelektual nampaknya DIDUGA ada dibalik ini semua, sengaja menggunakan lagu lama dengan memancing perseturuan lewat issue SARA. Dampaknya,, persatuan dan kesatuan menjadi semakin berjarak menganga.

Maka Saudara,, rawatlah Indonesia kita,, karena damai itu sungguh mahal harganya. Mari menjadi pejuang literasi yang menyejukkan  dan mencerahkan.

5. Menolak_Lupa

a  Agustus ini,, Parlemen terdesak oleh berbagai elemen yg meminta untuk pengesahan RUU P-KS yg memiliki resonansi pertentangan internal yg kuat.

b. Oktober nanti, Indonesia akan melantik Presiden Terpilih by Situng dan Putusan MK, namun menabrak Pasal 6 UUD 1945 yang mengharuskan agar pemenang pilpres memperoleh kemenangan di 50% wilayah provinsi dengan perolehan suara minimum sebesar 20 persen di masing2 provinsi.

c. Di tengah Nilai Utang yang menggurita dan Merosotnya neraca perdagangan yg berkorelasi pada turunnya indeks perekonomian Nasional, Indonesia justru menghadapi issue perpindahan Ibukota dengan kebutuhan biaya yg besarannya luar biasa. Konon, 30% biaya akan dicover melalui APBN, dan 70% oleh Dana pihak ketiga.

Wednesday, August 14, 2019



Kehidupan tak selamanya enak juga gak selamanya susah mulu. Kehidupan seperti gelombang gempa di seismograf. Kadang tenang dilain waktu juga ada getaran yang super dahsyat. Di saat hidup sedang enak, jangan sampai lupa bahwa itu hanyalah posisi sementara. Pasti akan ada cobaan dibalik enaknya hidup.

Yang mampu bertahan sampai akhir hanyalah mereka yang mempunyai tujuan jelas, target terukur. Terkadang kita menelan mentah-mentah apa yang kita pelajari, tidak mencerna secara matang. Orang yang super sukses pasti seringkali kita lihat atau membaca kisah suksesnya. Namun semua kisah sukses tak begitu mendetail. Orang yang sukses pasti pernah mengalami keadaan terpuruk yang luar biasa. Jika dibandingkan dengan kita sekarang mungkin tidak ada apa-apanya.

Ada beberapa orang yang tidak suka bekerja dalam suatu sistem dengan alasan 'aturan' bisa membuatnya terbatas dalam bergerak. Sah-sah saja, ada juga yang suka bekerja dalam suatu sistem. Boleh juga. Tidak ada yang memaksakan mau bekerja dalam suatu sistem atau tidak, asalkan tujuan yang akan dicapai memang bisa dicapai dengan hasil yang maksimal. Yang perlu digaris bawahi adalah: semua yang terjadi di dunia bahkan alam semesta ini berjalan sesuai dengan sistemnya, berurutan dan tidak saling mendahului satu sama lainnya. MULTI TASKING ITU TIDAK ADA, yang ada hanyalah kecepatan dalam memproses.

Target hidup yang jelas akan membuat seseorang mampu bertahan dalam keadaan apapun, dengan target juga akan tercipta strategi yang baik. Boleh saja memiliki target yang super tinggi, selama target tersebut terukur. Jangan menelan mentah-mentah kisah orang sukses, otak kita berbeda dengan mereka sekalipun sama bahan pembuatnya. Yang kita bicarakan adalah kapasitas, bukan bentuk fisik otak.

Jika orang lain bisa kita juga bisa. Kalimat ini bisa saja menjadi bumerang yang akan menghancurkan karir seseorang. Karena target yang tidak jelas atau target terlalu tinggi tanpa perhitungan yang matang, akhirnya mengalami kegagalan dan malah tidak mau bangkit lagi. Banyak orang yang memang tidak menyukai perhitungan, tetapi pada kenyataan hidup hitungan akan selalu ada. Boleh lah orang tidak menyukai hitungan yang rumit, berarti kita hanya perlu mempermudah hitungan saja, tidak serta merta menghilangkan hitungan tersebut dalam hidup.

Target terukur dan analisa yang baik akan membuat jalan kita mudah dalam mencapai target, dan jika gagal bisa melakukan evaluasi karena ada data historis dalam bentuk perhitungan yang sudah dibuat. Akan ada langkah dan strategi baru lagi yang akan tercipta. Jangan hanya karena rumor otak kanan lebih tinggi kemudian kita akan melupakan perhitungan, jangan sampai. Tuhan sudah menciptakan sesuatu sesuai dengan takarannya, tidak mungkin ada kekurangan atau kelebihan didalamnya. Sekali lagi jangan menelan mentah-mentah apa yang sudah dipelajari jika belum ada bukti.
Orang yang suka mendengarkan musik berarti otak kanan lebih dominan. Ini sering sekali saya jumpai, kalau mau pukul rata, berarti semua anak muda dominan otak kanannya, dan orang tua tidak. Karena memang yang menyukai musik kebanyakan adalah anak-anak muda. Dan jika di simpulkan lagi, sekarang ini (jika masih muda) berarti kita dominan otak kanan, dan ketika tua akan dominan otak kiri ? Loh kenapa bisa begitu ?

Seseorang tidak peduli apakah dia dominan otak kiri atau otak kanan seperti yang banyak di bahas di buku-buku, kesuksesan dalam mencapai target itu tergantung dari usah masing-masing orang dan strategi yang mereka gunakan. Kalau ada orang yang sukses dengan cara tidak biasanya bukan berarti dia dominan otak kanan, tetapi lebih kepada karena dia mampu menciptakan strategi yang menurutnya lebih efektif daripada cara biasanya. Artinya seseorang mempunyai pola yang berbeda-beda dalam mencapai targetnya.

Target yang jelas dalam hidup akan menciptakan strategi yang baik dalam mencapainya, jangan menelan langsung apa saja yang baru dibaca atau dipelajari. Dominan otak kiri dan kanan hanya rumor saja, karena memang belum ada fakta ilmiahnya. Dan jika ada silakan kritik saya. Setiap orang mempunyai pola tersendiri dalam mencapai target hidupnya. Setiap yang terjadi di dunia ini berjalan di dalam suatu sistem raksasa, suka tidak suka sebenarnya kita sudah masuk dalam sistem tersebut. Multi tasking itu juga sebenarnya tidak ada, yang ada hanyalah kecepatan saja. Bisa mengerjakan sesuatu dalam satu waktu tidak bisa dikatakan multi tasking, karena semua pasti dijalankan berurutan. Tidak mungkin Anda sedang mandi sekaligus langsung bisa memasak, sekalipun bisa pasti tetap dilakukan secara berurutan.

Friday, August 9, 2019



Bagaimana korporat besar menjadi “anarkis” yang mengendalikan dunia

Masih terhanyut dalam “SEXY KILLER” effect? Didalamnya kita ditunjukkan bagaimana perusahaan tambang menjadi kendali atas kebijakan negara. Mungkin kita sering mendengar oligarki: pemerintahan yang dikendalikan oleh sekelompok orang kaya. Nah, kali ini saya akan membahas salah satu bentuk pemerintahan yang sedekat nadi, namun penuh dengan bayang-bayang konspirasi. Sebuah sistem pemerintahan yang pernah benar-benar mengendalikan bangsa kita selama 3 abad secara terang-terangan, sekaligus semisterius bayang-bayang New World Order. Tidak, saya tidak akan membahas Freemason atau Zionis (karena saya termasuk golongan skeptis pada konspirasi). Dan kekuatan ekonomi sebuah korporat yang lebih besar dari Indonesia. Kali ini saya akan membahas: Korporatokrasi.

Korporatokrasi dapat dipahami sesederhana kita memahami demokrasi, aristokrasi, monarki, dsb. Korporatokrasi adalah gabungan dari kata korporat dan kratia (seperti demokrasi yang gabungan demos dan kratia). Sederhananya, korporatokrasi adalah sistem pemerintahan dimana kebijakan politis dan ekonominya ditentukan oleh korporasi dan didasarkan kepentingan korporat. Sebenarnya, kata ini awalnya dipakai sebagai “sindiran” kepada sistem pemerintahan Amerika Serikat. Kata ini memiliki makna berbeda dengan korporatisme, yang didefinisikan sebagai kelompok masyarakat tertentu dengan kesamaan kepentingan. Kata ini muncul dalam The Price of Civilization karya ekonom Jeffrey Sachs. Konsep korporatokrasi digunakan sebagai kritis kepada globalisasi, Bank Dunia, dan pasar bebas.

Korporat memiliki kapital yang besar dan berkepentingan meningkatkan produksi serta perdagangan hasil produksinya. Kekuatan kapital inilah yang menjadi motor dari kapitalisme. Dalam praktik pemerintahan, kapital milik perusahaan menjadi kekuatan kontrol bagi sistem pemerintahan. Korporat memanfaatkan kekuatan finansialnya untuk mengendalikan berbagai kebijakan yang menguntungkan mereka. Kejahatan finansial, pengemplangan pajak, pengrusakan alam dalam skala industrial, dan pemodalan perang secara ilegal adalah beberapa contoh korporatokrasi bekerja. Korporat memiliki cukup kekuatan untuk mengubah hukum negara sesuai kebutuhan mereka. Dalam skala besar, korporat mampu mengendalikan kekuatan bersenjata sebuah negara, bahkan membentuk “pengamanan bersenjata” secara privat. Dan kita tidak hanya berbicara korporat yang bergerak di bitang produksi senjata, pembangunan infrastruktur, atau eksploitasi sumber daya alam saja.

Kekuatan korporat ini tidak berhenti di industri “seksi” seperti diatas. Korporasi di bidang produksi kebutuhan primer, fashion, elektronik, teknologi, sampai retail dan media massa juga memiliki kekuatan dan kepentingan untuk mengatur masyarakat sebuah negara. Mereka mampu mengendalikan keran imporr ekspor, perijinan (yang seringkali melanggar AMDAL), hingga opini publik. Penelitian oleh Corporate Watch, Global Policy Forum, dan Institute for Policy Studies (IPS) pada tahun 2000 menunjukkan fakta mengenai bangkitnya korporatokrasi yang seharusnya sudah ditekan oleh pemerintahan barat. Tapi, yang terjadi 19 tahun kemudian, adalah korporasi benar-benar mengendalikan pemerintahan secara luas. Kekuatan korporasi ini sukses mempertahankan status quo sosial ekonomi masyarakat, dimana status quo ini menjadi sumber tenaga kerja ahli (dan murah) serta mempertahankan selera pasar untuk selalu konsumtif pada hasil produksi mereka. Sebagai gambaran, laporan mengenai 100 kekuatan ekonomi besar dunia, 51 diantaranya adalah korporasi, dan sisanya adalah negara. Wal-Mart memiliki kekuatan ekonomi lebih besar dari 161 negara di dunia. Mitsubishi memiliki kekuatan lebih besar daripada negara dengan populasi tertinggi ke-4 di dunia: INDONESIA. General Motors lebih kuat dari Denmark. Dan Ford lebih kuat dari Afrika Selatan.

Sedikit membahas korporatokrasi yang sedekat nadi, kekuatan dan pengaruh sebuah korporat pernah menguasai Indonesia secara terang-terangan: VEREENIGDE OOSTINDISCHE COMPAGNIE atau disingkat VOC! Bahkan, mungkin kita bisa sedikit “bangga” karena VOC adalah perusahaan multinasional pertama di dunia dan pioner dari sistem pembagian saham. Nah, kita bisa melihat (bahkan dari buku sejarah sekolah) bagaimana VOC memiliki kekuatan dan kepentingan dalam mengendalikan sistem politik dan ekonomi Indonesia pada masa pendudukannya. Inilah contoh sebuah korporatokrasi yang terang-terangan mengendalikan sebuah kelompok masyarakat luas. VOC memiliki tentara sendiri, mampu mendirikan pangkalan dan pabrik sesuai kebutuhan mereka, hingga menentukan kebijakan budaya. Di Belanda sendiri, VOC bisa dikatakan sebagai sebuah negara dalam negara. Sebuah negara yang didirikan bukan berdasarkan sejarah bangsa, perjuangan massa, atau garis keturunan yang “suci”. VOC lahir dari semangat perdagangan, produksi, dan eksploitasi sumber daya alam.

Korporasi besar memiliki kekuatan yang menempatkan mereka diatas segala bentuk kendali pemerintahan. Mereka (baik secara tersembunyi atau terang-terangan) berada di posisi kendali atas alat produksi dan pasar (baca: masyarakat luas). Mereka mampu untuk berproduksi dengan mengabaikan kepatuhan pada hukum (atau sekurang-kurangnya membentuk hukum). Korporatokrasi adalah bentuk anarko kapitalisme yang nyata. Mereka tidak memiliki kepatuhan pada tatanan apapun, kecuali kepentingan. Dan mereka membentuk kesadaran individu melalui berbagai “propaganda” media massa (sedikit banyak saya singgung dala “Major Brand adalah Candu”).

Lalu, bagaimana dengan hari ini. Apakah kalian merasakan, bagaimana korporatokrasi hadir sebagai bentuk kendali atas masyarakat? Meskipun pada hari ini tidak ada kekuatan ekonomi serupa VOC, tapi apakah kalian menyadari kehadiran korporat sebagai “negara”? Apakah hari ini, kita sudah tidak hidup dalam negara “sejati”, dan hidup dalam negara bernama Shell, Chevron, IBM, BBC, Freeport, dan sejenisnya?

Sunday, August 4, 2019


Bangsa ini sedang sakit, sakit parah, bahkan komplikasi. Bangsa ini sudah jatuh, tertimpa tangga pula.
Seiring berjalannya waktu, makin banyak problem baru bermunculan, padahal di waktu yang sama problem yang lama belum berakhir. Semua penyakit ini memiliki obat yang sama, jawaban yang sama, dan jawaban ini seringkali kita dengar bahkan bisa dikatakan sebuah jawaban klise. Iya, jawabannya ada di edukasi, edukasi, dan edukasi.
Bukan, bukan bermaksud saya mengatakan bahwa bangsa ini bodoh, tolol, bego, dungu ataupun lainnya. Hanya saja bangsa ini belum bisa menerima informasi dan juga hanya menerima informasi sesuai keinginan dirinya. [1] Perlu bukti konkret? Lihat saja di youtube, twitter ataupun media lainnya, banyak orang yang percaya akan bentuk bumi yang datar, apa berarti mereka bodoh? Oh tidak, banyak juga yang pintar secara akademik mempercayai hal ini. Bukti lain? Lihat diluar sana masih banyak yang mempermasalahkan bahwa kiri = komunis = ateis karena propaganda saat orba mengatakan PKI membantai umat beragama.
Kenyataannya? ‘Founding Father’ bangsa ini memiliki pandangan kiri dan membantai kirifobia layaknya islamofobia, dan juga ia salah satu tokoh dalam Marhaenisme (pandangan kiri), iya dia ini Ir. Soekarno. Salah satu tokoh besar negara yang karyanya sering digunakan oleh pergerakan mahasiswa adalah seorang komunis, iya dia adalah Tan Malaka dengan karyanya yang berjudul ‘Madilog’.
Lebih jauh lagi? Konflik PKI pada masa itu sangatlah kompleks dan tidak berhubungan sama sekali dengan ateis maupun kepercayaan lainnya, PKI yang kalian kenal ateis pernah mengucapkan selamat natal kepada anggotanya.
Saya ulangi, bangsa ini sakit parah. Banyak dari mereka yang mementingkan ego dan mengutamakan emosi disaat menghadapi isu terpanas dibandingkan tabayyun. Iya, ulama bisa salah bahkan orang yang lebih baik secara akhlak dan ilmu agamanya pernah melakukan kesalahan, berikut contohnya :
– Khulafaur rashidin, sahabat nabi, Usman Bin Affan bisa salah karena menerapkan sistem nepotisme dimasa kepemerintahannya.
– Nabi Adam dan Siti Hawa pernah bersalah karena memakan buah Khuldi yang dilarang oleh Allah. Namun mereka segera bertobat sehingga diampuni oleh Allah: “Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” [Al A’raaf 23]
– Nabi Yunus pernah “bersalah” karena meninggalkan kaumnya. Setelah 33 tahun berdakwah, cuma 2 orang saja yang mau mendengar seruannya. Sebetulnya itu wajar sebab manusia biasa, setelah 3 tahun dakwah tidak ada yang mendengar, paling sudah berhenti. Namun Nabi Yunus segera bertobat sehingga beliau bebas dari dosa (maksum): “Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: “Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” [Al Anbiyaa’ 87]
– Nabi Musa secara tidak sengaja pernah membunuh orang. Beliau tidak sadar akan kekuatan pukulannya:
“Dan Musa masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah, maka didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-laki yang berkelahi; yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir’aun). Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu. Musa berkata: “Ini adalah perbuatan syaitan sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata (permusuhannya).
Musa berdoa : “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku.” Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Al Qashash 15:16]
– Nabi Muhammad pernah ditegur Allah karena mengharamkan madu untuk dirinya sendiri untuk menyenangkan istrinya :
“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [At Tahrim 1]
Apa maksud ane membawa kejadian di atas? Stop menganggap ulama adalah manusia tidak bersalah dan bersikap kritislah terhadap semuanya, iya bahkan tulisan ini anda mempunyai hak untuk mengkritisinya. Sadar, tidak? Bangsa ini mudah digiring opininya karena ada dua faktor, yaitu :
– Mereka tidak paham apa-apa
– Mereka menerima informasi yang mereka inginkan saja (cognitive bias)
Mereka tidak paham apa-apa karena jarang membaca buku, iya bangsa ini sudah tertinggal jauh, menurut PISA pada tahun 2015 Indonesia berada di peringkat 66 dari 72 negara dalam hal literasi, menyedihkan bukan?
Mereka yang menerima informasi sesuai keinginan mereka karena tidak ingin merasa disalahkan, dilecehkan, ataupun direndahkan karena ketidaktahuannya. Iya, mereka sangat sombong, naif, dan angkuh.
Tapi, dari bangsa ini apa tidak ada yang sadar akan ini dan ingin mengubahnya? Ada, bahkan bisa dibilang banyak yang sadar ini, tapi mereka masih dianggap sebelah mata karena cara penyampaian mereka yang salah. Hadeuh, untuk contoh ini sering terlihat di sosial media, merendahkan kubu yang tidak paham, berkata kasar dalam argumen kepada orang yang bahkan tidak memahami apa itu argumen yang secara tidak langsung argumen mereka ditolak hanya karena kata-kata kasar itu, dan lainnya.
Seperti yang sudah saya tulis di awal tulisan ini, obatnya hanya edukasi, baik edukasi secara akademik maupun non akademik, baik secara literasi maupun emosi. Kita satu bangsa, mengalami satu rasa perjuangan yang sama, memiliki hutang budi yang sama terhadap pahlawan karena berhasil memerdekakan bangsa ini, kenapa tidak berangkulan tangan dan berusaha keluar dari kejadian ini?

Thursday, May 16, 2019

(Foto, Pak Harto, Bu Tien dan Mbak Tutut kecil, sekitar tahun 1949)



PERNIKAHAN PAK HARTO

Mungkin banyak yang belum mengetahui bahwa pernikahan Pak Harto dan Ibu Tien dilaksanakan dalam kondisi yang sangat sederhana, hal ini Pak Harto kisahkan dalam Otobiografinya, Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya.

Pernikahan kami dilangsungkan pada 26 Desember 1947 di Solo, pada waktu itu saya berusia 26 tahun dan Hartinah, istri saya, dua tahun lebih muda dari saya.

Dari tempat tugas saya di Yogya saya naik sebuah kendaraan dinas tua menuju Solo. Saya mengenakan pakaian pengantin, serapi-rapinya untuk waktu yang tidak tenang itu. Sebilah keris terselip di punggung saya. Waktu akan naik kendaraan itu, terasa bukan main repotnya. Sulardi yang mengantar saya, mengganggu saya sepanjang jalan.

Perkawinan kami dilangsungkan pada sore hari dengan disaksikan oleh keluarga dan teman-teman Hartinah. Cukup banyak, sebab keluarga Pak Soemoharjomo (orang tua Bu Tien), cukup terpandang dan disegani di kota ini. Dari pihak saya hadir Sulardi dan kakaknya.

Tetapi kejadian yang bagi saya sangat penting ini sayang tak ada yang mengabadikannya dengan potret. Maklumlah, keadaan serba darurat.

Malam harinya diadakan selamatan, tetapi cuma bisa dengan memasang beberapa buah lilin, karena kota Solo waktu itu harus digelapkan, di waktu malam, mencegah terjadinya bahaya besar jika Belanda melakukan serangan udara lagi.

Tiga hari sesudah perkawinan, saya boyong istri saya ke Yogya. Saya harus kembali menjalankan tugas militer saya. Dan kemudian istri saya mulai dengan tugasnya sebagai istri Komandan Resimen. Dunia yang baru baginya, sekalipun sebelum ini ia giat dalam Palang Merah, dekat dengan barisan-barisan pejuang.

Alhasil, perkawinan kami  tidak didahului dengan cinta-cintaan seperti yang dialami anak muda di tahun delapan puluhan. Kami berpegang pada pepatah "witing tresna jalaran saka kulina", datangnya cinta karena bergaul dari dekat.

Sc: Buku otobiografi
Soeharto , pikiran , ucapan dan tindakan saya

Wednesday, May 15, 2019


4 Kepribadian Manusia (Sanguin, Koleris, Melankolis, Plegmatis)

Dengan memposting tentang hal ini, bukan berarti bahwa saya ahli dalam bidang psikologi lho. Postingan ini hanya ingin memberikan gambaran bahwa dalam kehidupan kita sehari-hari, akan berhubungan dengan 4 macam kepribadian manusia yang berbeda-beda. Sehingga setelah mengetahui perbedaan itu, diharapkan bisa timbul rasa saling memahami antar sesama.

Nah 4 kepribadian yang terdapat dalam diri manusia antara lain:
Sanguin → dijuluki si "Populer" karena pandai persuasif dan ingin terkenal.
Koleris → dijuluki si "Kuat" karena sering dominan dan kompetitif.
Melankolis → dijuluki si "Sempurna" karena perfeksionis dan serba teratur.
Plegmatis → dijuluki si "Cinta Damai" karena kesetiaannya dan menghindari konflik.

4 kepribadian diatas tidak ada yang lebih bagus atau lebih jelek, sebab masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan. Sekarang mari kita ulas kekuatan dan kelemahan dari 4 kepribadian tersebut.

SANGUIN

Kekuatan :
Suka bicara.
Secara fisik memegang pendengar, emosional dan demonstratif.
Antusias dan ekspresif.
Ceria dan penuh rasa ingin tahu.
Hidup di masa sekarang.
Mudah berubah (banyak kegiatan / keinginan).
Berhati tulus dan kekanak-kanakan.
Senang kumpul dan berkumpul (untuk bertemu dan bicara).
Umumnya hebat di permukaan.
Mudah berteman dan menyukai orang lain.
Senang dengan pujian dan ingin menjadi perhatian.
Menyenangkan dan dicemburui orang lain.
Mudah memaafkan (dan tidak menyimpan dendam).
Mengambil inisiatif/ menghindar dari hal-hal atau keadaan yang membosankan.
Menyukai hal-hal yang spontan.

Kelemahan :
Suara dan tertawa yang keras (bahkan terlalu keras).
Membesar-besarkan suatu hal / kejadian.
Susah untuk diam.
Mudah ikut-ikutan atau dikendalikan oleh keadaan atau orang lain (suka ikutan Gank).
Sering minta persetujuan, termasuk hal-hal yang sepele.
RKP (Rentang Konsentrasi Pendek) alias pelupa.
Dalam bekerja lebih suka bicara dan melupakan kewajiban (awalnya saja antusias).
Mudah berubah-ubah.
Susah datang tepat waktu jam kantor.
Prioritas kegiatan kacau.
Mendominasi percakapan, suka menyela dan susah mendengarkan dengan tuntas.
Sering mengambil permasalahan orang lain, menjadi seolah-olah masalahnya.
Egoistis alias suka mementingkan diri sendiri.
Sering berdalih dan mengulangi cerita-cerita yg sama.
Konsentrasi ke "How to spend money" daripada "How to earn/save money".

KOLERIS

Kekuatan :
Senang memimpin, membuat keputusan, dinamis dan aktif.
Sangat memerlukan perubahan dan harus mengoreksi kesalahan.
Berkemauan keras dan pasti untuk mencapai sasaran/ target.
Bebas dan mandiri.
Berani menghadapi tantangan dan masalah.
"Hari ini harus lebih baik dari kemarin, hari esok harus lebih baik dari hari ini".
Mencari pemecahan praktis dan bergerak cepat.
Mendelegasikan pekerjaan dan orientasi berfokus pada produktivitas.
Membuat dan menentukan tujuan.
Terdorong oleh tantangan dan tantangan.
Tidak begitu perlu teman.
Mau memimpin dan mengorganisasi.
Biasanya benar dan punya visi ke depan.
Unggul dalam keadaan darurat.

Kelemahan :
Tidak sabar dan cepat marah (kasar dan tidak taktis).
Senang memerintah.
Terlalu bergairah dan tidak/susah untuk santai.
Menyukai kontroversi dan pertengkaran.
Terlalu kaku dan kuat/ keras.
Tidak menyukai air mata dan emosi tidak simpatik.
Tidak suka yang sepele dan bertele-tele / terlalu rinci.
Sering membuat keputusan tergesa-gesa.
Memanipulasi dan menuntut orang lain, cenderung memperalat orang lain.
Menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan.
Workaholics (cinta mati dengan pekerjaan).
Amat sulit mengaku salah dan meminta maaf.
Mungkin selalu benar tetapi tidak populer.

MELANKOLIS

Kekuatan :
Analitis, mendalam, dan penuh pikiran.
Serius dan bertujuan, serta berorientasi jadwal.
Artistik, musikal dan kreatif (filsafat & puitis).
Sensitif.
Mau mengorbankan diri dan idealis.
Standar tinggi dan perfeksionis.
Senang perincian/memerinci, tekun, serba tertib dan teratur (rapi).
Hemat.
Melihat masalah dan mencari solusi pemecahan kreatif (sering terlalu kreatif).
Kalau sudah mulai, dituntaskan.
Berteman dengan hati-hati.
Puas di belakang layar, menghindari perhatian.
Mau mendengar keluhan, setia dan mengabdi.
Sangat memperhatikan orang lain.

Kelemahan :
Cenderung melihat masalah dari sisi negatif (murung dan tertekan).
Mengingat yang negatif & pendendam.
Mudah merasa bersalah dan memiliki citra diri rendah.
Lebih menekankan pada cara daripada tercapainya tujuan.
Tertekan pada situasi yg tidak sempurna dan berubah-ubah.
Melewatkan banyak waktu untuk menganalisa dan merencanakan.
Standar yang terlalu tinggi sehingga sulit disenangkan.
Hidup berdasarkan definisi.
Sulit bersosialisasi (cenderung pilih-pilih).
Tukang kritik, tetapi sensitif terhadap kritik/ yg menentang dirinya.
Sulit mengungkapkan perasaan (cenderung menahan kasih sayang).
Rasa curiga yg besar (skeptis terhadap pujian).
Memerlukan persetujuan

PLEGMATIS

Kekuatan :
Mudah bergaul, santai, tenang dan teguh.
Sabar, seimbang, dan pendengar yang baik.
Tidak banyak bicara, tetapi cenderung bijaksana.
Simpatik dan baik hati (sering menyembunyikan emosi).
Kuat di bidang administrasi, dan cenderung ingin segalanya terorganisasi.
Penengah masalah yg baik.
Cenderung berusaha menemukan cara termudah.
Baik di bawah tekanan.
Menyenangkan dan tidak suka menyinggung perasaan.
Rasa humor yg tajam.
Senang melihat dan mengawasi.
Berbelaskasihan dan peduli.
Mudah diajak rukun dan damai.

Kelemahan :
Kurang antusias, terutama terhadap perubahan/ kegiatan baru.
Takut dan khawatir.
Menghindari konflik dan tanggung jawab.
Keras kepala, sulit kompromi (karena merasa benar).
Terlalu pemalu dan pendiam.
Humor kering dan mengejek (Sarkatis).
Kurang berorientasi pada tujuan.
Sulit bergerak dan kurang memotivasi diri.
Lebih suka sebagai penonton daripada terlibat.
Tidak senang didesak-desak.
Menunda-nunda / menggantungkan masalah.

Sekarang sudah tahu kan antara perbedaan sanguin, koleris, melankolis dan plegmatis? Setiap orang bisa saja memiliki 4 kepribadian sekaligus, namun pasti akan ada 1 kepribadian yang lebih dominan diantara yang lain.

Saturday, April 20, 2019


Jasmerah
Jangan melupakan sejarah!!
Pengetahuan umum tentang sejarah Kartini.

Mengapa Harus Kartini?
Emansipasi Wanita seharusnya ditujukan pada Cut Nyak Dien, bukan pada RA. Kartini

Menurut penulis buku Zaynur Ridwan dalam akun jejaring Facebooknya, emansipasi wanita seharusnya ditujukan kepada Cut Nyak Dien, bukan kepada RA Kartini.

Melihat hati seorang Pahlawan dari kata-katanya :

Kartini : Duh, Tuhan, kadang aku ingin, hendaknya TIADA SATU AGAMA pun di atas dunia ini. Karena agama-agama ini, yang justru harus persatukan semua orang, sepanjang abad-abad telah lewat menjadi biang-keladi peperangan dan perpecahan, dari drama-drama pembunuhan yang paling kejam. (6 Nopember 1899)

Cut Nyak Dien : Islam adalah AGAMA KEBENARAN dan harus diperjuangkan di tanah Aceh sampai akhir darah menitik.

Kartini : Hatiku menangis melihat segala tata cara ala ningrat yang rumit itu…

Cut Nyak Dien : Kita perempuan seharusnya tidak menangis di hadapan mereka yang telah syahid (Disampaikan pada anaknya Cut Gambang ketika ayahnya, Teuku Umar tertembak mati)

Kartini : Aku mau meneruskan pendidikanku ke Holland, karena Holland akan menyiapkan aku lebih baik untuk tugas besar yang telah kupilih. (Surat Kartini kepada Ny. Ovink Soer, 1900)

Cut Nyak Dien : Untuk apa bersahabat dengan Ulanda Kaphe (Belanda Kafir) yang telah membakar masjid-masjid kita dan merendahkan martabat kita sebagai muslim!

Idealnya seorang Pahlawan memperjuangkan kemerdekaan dari kolonialisme bukan kesetaraan yang tak jelas. Kartini tidak melalui satu medan perang pun, Kartini tidak hidup di hutan dan tidak pernah merasakan kehilangan suami dan anaknya, Kartini menggunakan peluru ‘pena’ dengan berkirim surat pada teman2 Feminis-nya di Belanda utk memperjuangkan hak perempuan yang menurutnya ‘dikekang’ oleh budaya Jawa khususnya ningrat. Jadi musuh Kartini bukan kolonial Belanda tapi adat ningrat Jawa. Mestinya ia jadi pahlawan bagi kaum Bumiputera Jawa.

Cut Nyak Dien berjuang dari hutan ke hutan, bahkan ketika matanya mulai rabun dan penyakit encoknya kambuh, ia tidak berhenti berjuang. Ia melihat dua suaminya tertembak oleh Belanda, gugur di medan perang. Ia kehilangan anak perempuannya yang lari ke hutan ketika ia ditangkap dan dibuang ke Sumedang. Ia membangkitkan semangat jihad masyarakat Aceh ketika masjid-masjid mereka dibakar Belanda. Inilah pahlawan sejati yang seharusnya direnungi perjuangannya setiap tahun, perempuan yang melawan penjajah Belanda, bukan yang meminta bantuan Belanda dan bersahabat dengan mereka selama masa penjajahan.

MENGAPA BELANDA LEBIH MEMILIH KARTINI, BUKAN CUT NYAK DIEN ATAU DEWI SARTIKA?

Tiar Anwar Bachtiar
(Peneliti INSISTS dan Kandidat Doktor Sejarah UI)

Mengapa harus Kartini? Mengapa setiap 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?

Pada dekade 1980-an, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsya W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik pengkultusan R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia. Tahun 1988, masalah ini kembali menghangat, menjelang peringatan hari Kartini 21 April 1988. Ketika itu akan diterbitkan buku Surat-Surat Kartini oleh F.G.P. Jacquet melalui penerbitan Koninklijk Institut voor Tall-Landen Volkenkunde (KITLV).

Tulisan ini bukan untuk menggugat pribadi Kartini. Banyak nilai positif yang bisa kita ambil dari kehidupan seorang Kartini. Tapi, kita bicara tentang Indonesia, sebuah negara yang majemuk. Maka, sangatlah penting untuk mengajak kita berpikir tentang sejarah Indonesia. Sejarah sangatlah penting. Jangan sekali-kali melupakan sejarah, kata Bung Karno. Al-Quran banyak mengungkapkan betapa pentingnya sejarah, demi menatap dan menata masa depan.

Banyak pertanyaan yang bisa diajukan untuk sejarah Indonesia. Mengapa harus Boedi Oetomo, Mengapa bukan Sarekat Islam? Bukankah Sarekat Islam adalah organisasi nasional pertama? Mengapa harus Ki Hajar Dewantoro, Mengapa bukan KH Ahmad Dahlan, untuk menyebut tokoh pendidikan? Mengapa harus dilestarikan ungkapan ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani sebagai jargon pendidikan nasional Indonesia?

Bukankah katanya, kita berbahasa satu: Bahasa Indonesia? Tanyalah kepada semua guru dari Sabang sampai Merauke. Berapa orang yang paham makna slogan pendidikan nasional itu? Mengapa tidak diganti, misalnya, dengan ungkapan Iman, Ilmu, dan amal, sehingga semua orang Indonesia paham maknanya.

Kini, kita juga bisa bertanya, Mengapa harus Kartini? Ada baiknya, kita lihat sekilas asal-muasalnya. Kepopuleran Kartini tidak terlepas dari buku yang memuat surat-surat Kartini kepada sahabat-sahabat Eropanya, Door Duisternis tot Licht, yang oleh Armijn Pane diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang.

Buku ini diterbitkan semasa era Politik Etis oleh Menteri Pengajaran, Ibadah, dan Kerajinan Hindia Belanda Mr. J.H. Abendanon tahun 1911. Buku ini dianggap sebagai grand idea yang layak menempatkan Kartini sebagai orang yang sangat berpikiran maju pada zamannya. Kata mereka, saat itu, tidak ada wanita yang berpikiran sekritis dan semaju itu.

Beberapa sejarawan sudah mengajukan bukti bahwa klaim semacam itu tidak tepat. Ada banyak wanita yang hidup sezamannya juga berpikiran sangat maju. Sebut saja Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (terakhir pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita.

Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.

Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-ide dalam surat, Dewi Sartika dan Rohana Kudus sudah lebih jauh melangkah dengan mewujudkan ide-ide mereka dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).

Kalau saja ada yang sempat menerbitkan pikiran-pikiran Rohana dalam berbagai surat kabar itu, apa yang dipikirkan Rohana jauh lebih hebat dari yang dipikirkan Kartini. Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pocut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita.

Di Aceh kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati. Aceh juga pernah dipimpin oleh Sultanah (sultan wanita) selama empat periode (1641-1699). Posisi sulthanah dan panglima jelas bukan posisi rendahan.

Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? — Apa karena Cut Nyak dibenci penjajah?— Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.

Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan, begitu kata Rohana Kudus.

Bayangkan, jika sejak dulu anak-anak kita bernyanyi: Ibu kita Cut Nyak Dien. Putri sejati. Putri Indonesia…, mungkin tidak pernah muncul masalah Gerakan Aceh Merdeka. Tapi, kita bukan meratapi sejarah, Ini takdir. Hanya, kita diwajibkan berjuang untuk menyongsong takdir yang lebih baik di masa depan. Dan itu bisa dimulai dengan bertanya, secara serius: Mengapa Harus Kartini?

Sunday, April 14, 2019


73 tahun silam, bangsa Indonesia memerdekakan dan membebaskan diri dari kekuasaan kolonial Belanda dan Jepang. Tiga ratus lima puluh tahun dibawah kekuasaan pemerintah Belanda dan tiga setengah tahun dibawah pendudukan Jepang. Membebaskan negeri ini dari kedua kekuasaan penjajah itu, bukan hal gampang, rakyat Indonesia merelakan darah mereka tumpah-ruah, harta mereka pergi, keluarga mereka terpisah untuk selamanya. Tujuannya bebas dari penjajahan, bebas dari tanam paksa dan bebas dari romusha. Pekik kemerdekaan melalui UU Dasar 1945 disebutkan, sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa…dan penjajahan dimuka bumi ini harus dihapuskan tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan keadilan. Alinea yang lain, menciptakan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Setelah 73 tahun Indonesia merdeka, apakah benar-benar sudah bebas dari penjajahan. Dan apakah bebas dari rasa lapar, bebas dari dari ketakutan. Saya menyaksikan keadaan masi terus berlasung dengan penjajah yang berbeda.


Menurut saya rendahnya pendapatan bukan merupakan ukuran kemiskinan, namun kita bisa lihat bahwa kurangnya pendapatan dapat memengaruhi rendahnya tingkat kesejahtraan, rendahnya tingkat kesehatan, pendidikan dan lainnya. Kita menyaksikan begitu banyak orang menderita sakit tanpa ke rumah sakit, tanpa pertolongan dokter karena mereka tak memiliki uang. Bila kita membuka angka statistik, penduduk negeri ini masih miskin. Kemiskinan penduduk yang hidup dibawa dua dollar perhari memang hanya naik turun dari periode pemerintahan ke pemerintahan yang lain. Kita masih menyaksikan kantong kemiskinan dimana. Hampir semua provinsi kita saksikan memiliki perkampungan kumuh, dan hari ini kita juga masih menyaksikan pengemis di jalan-jalan hampir di seluruh wilayah negeri. Memang negeri ini secara fisik sudah merdeka, namun secara hakiki masih jauh dari panggang dan api. Jurang antara kaya dan miskin begitu berjarak, begitu menganga.

Secara fisik kita menyaksikan gedung pencakar langit menghiasi tanah air begitu mega, kita juga menyaksikan begitu kontras, masih banyak orang tidur dibawa kolong jembatan tidak memiliki rumah, menggunakan ruang dibawah jalan tolong untuk tidur. Kita juga menyaksikan orang tidur didalam kotak bersegi empat di trotoar tidak memiliki rumah. Di trotoar kita juga menyaksikan orang memakai mobil Cadilac, Lexus,Jaguar Sport dan Ferarri. Dengan begitu, mungkin kita bertanya, sudahkah kita warnai negara indonesia menikmati kemerdekaan ini


Melihat negeri ini secara fisik adalah negara kaya sumber mineral, namun hasil hanya sebagian kecil dinikmati oleh penduduk negeri. Bila pada zaman kolonial,Vereenigde Oostindische Compagnie-VOC sudah menguras kekayaan alam negeri ini sejakabad ke-15.VOC mengangkut hasil mineral dan rempah ke negeri mereka di eropa sana. Namun di zaman kemerdekaan, yang sudah berusia 73 tahun, pengangkutan hasil bumi dari tanah air masih terus berlangsung dan hasilnya hanya dinikmati segelintir orang di kekuasaan. Bila dulu usaha dagangadalah VOC, sekarang Trans National Corporation-TNC. Bila dulu dinikmati oleh pemerintah kerjaan belanda, maka sekarang dinikmati oleh sebagian kecil elite yang duduk di kekuasaan negara. Mereka memakan dan menikmati kekayaan bukan hanya dari cara halal, mereka juga melakukan cara haram untuk menikmati kekayaan itu, misalnya korupsi, perampasan tanah rakyat. Pemerintahan kolonial hak untuk hidup rakyat Indonesia, bila melawan tidak segan mereka membunuhnya. VOC setelah mendapat hak Octrooi atau hak khusus untuk memperkuat kekuasaan dagang seperti hak mencetak uang sendiri, hak mendirikan benteng dan membentuk tentara, hak melakukan perundingan dengan raja-raja di Indonesia, hak monopoli dan mengangkat gubernur jenderal.Mendapatkan kekuatan melalui hak Octooi, VOC menggunakan kekerasan untuk menaklukkan rakyat Indonesia yang coba melawan terhadap keinginan mereka. Sebagai contoh, di pulau Maluku VOC mengadakan patroli laut yang disebut pelayaran Hongi dengan tujuan Untuk menangkap dan menghukum rakyat yang menjual/menyelundupkan rempah-rempah ke Portugis dan Inggris. Tidakkan serupa, juga kita masih menyaksikan begitu banyak perampasan tanah disertai kekerasan terjadi di tanah airyang dilakukan oleh TNC. Bahkan, demi TNC, Polisi di negeri rela menembak rakyatnya sendiri, rela menghilangkan nyawa rakyatnya sendiri. Sepertinya tanah lebih berharga dari nyawa. Bedanya, bila dulu kita menyaksikan perampasan harta rakyat dilakukan oleh tentara belanda dan jepang, sekarang dilakukan oleh polisi kita sendiri, polisi yang gaji-nya dibayar oleh rakyat, polisi yang senjatanya dibeli rakyat, lalu dipakai membunuh rakyatnya sendiri.Mungkin penguasa negeri ini hanya memahami makna kemerdekaan untuk dirinya sendiri, membunuh rakyat sekalipun yang penting pendapatan negara dan pertumbuhan ekonomi disumbang TNC itu.


Ir Soekarno, Presiden pertama RI pernah menyampaikan bahwa, Pangan merupakan soal mati hidupnya suatu bangsa; apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka malapetaka. Oleh karena itu perlu usaha secara besar-besaran, radikal, dan revolusioner. Ironisnya hari ini kita. Itulah sebabnya Soekarno meletakkan salah satu fondasi utama negeri ini adalah pertanian, karena penduduknya sebagian besar tinggal di pedesaan dan mereka mayoritas petani.

 Melihat dan membaca surat kabar hampir setiap tahun terdengar ada warga negara menderita kelaparan, menderita kekurangan gizi.

Di Papua Barat misalnya,bila musim kemarau datang, kita mendengar penduduk disana kekurangan pangan dan mereka kelaparan.Kalimantan Timur, yang dikenal dengan kabupaten kaya raya, ternyata banyak memiliki warga yang miskin, terutama di daerah pedalaman yang hanya menggantungkan hidupnya dengan makan satu kali dalam sehari. Di masyarakat miskin perkotaan, kita masih menjumpai banyak anak kekurangan gizi.

Angka kematian balita masih cukup tinggi hari ini, karena mereka kekurangan gizi.Memang sebenarnya pemerintah telah membangun infrastruktur pertanian seperti membangun irigasi dan membuat jalan, dan penyedia energi, namun infrastruktur itu hanya sebagian kecil dinikmati oleh rakyat miskin untuk membangun ketahanan pangan, karena berbayar. Parahnya lagi, sebagai negara pertanian, namun kita masih sering melihat pemerintah melakukan impor kedelai, impor beras, impor gula, kelangkaan cabai.Saya menyaksikan bahwa dibulan puasa tahun  (2012) kelangkaan kebutuhan pokok dipasar seperti kedelai dan lainnya serta-merta memicu melabungkan harga kebutuhan pokok. Saya menyimpulkan keadaan ini menujukkan betapa rapuh-nya ketahanan pangan di negeri yang kata, penyanyi Koesi Plus" tanah surga". Saya juga sependapat dengan Koes Plus, tanah surga, namun saya menambahkan surga bagi para "TNC". Bila demikian, kedaulatan pangan yang seringkali digemborkan pemerintah itu, mungkin tinggal cerita. Hari ini dilaporkan sekitar 13-an juta jiwa terancam rawan pangan . Parahnya lagi dan kotradiksi,pada tahun 2010 terdapat dua puluh persen penduduk Indonesia di atas usia 18 tahun yang termasuk gemuk dan obesitas. Hal ini karena pertumbuhan konsumsi kelas menengah atas naik, karena pendapatan mereka meningkat. Saya juga bisa menyebut yang kaya konsumsinya meningkat, yang miskin konsumsinya menurun.

Buktinya sampai 73 tahun usia kemerdekaan, kita masih terus saja memenuhi kebutuhan pokok sebagian pangan dari impor.


Saya ketika duduk di sekolah dasar, guru kelas memberi tugas kepada saya sebagai pembaca mukadimmah UU Dasar 1945 dan sering juga pemimpin upacara.

Tugas diberikan guru ini seringkali bergantian. Saya masih ingat salah satu alinea dari pembukaan yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Bait itu kalau kita pahami, Founding Farther negeri menetapkan pendidikan sebagai salah tujuan untuk memajukan kesejahteraan umum. Meskipun pada hari ini,73 tahun usia Indonesia, dana pendidikan dalam anggaran pendapatan belanja negara telah menduduki peringkat teratas dari segi jumlah, kita masih merasakan bahwa pendidikan di negeri ini sangat mahal.

Layaknya seperti di negara maju. Ironisnya lagi, kita sering mendengar pemerintah menyampaikan di depan umum bahwa pendidikan adalah gratis, tetapi faktanya tidak semanis itu. Uang pungutan sana, pungutan sini, uang masuk, uang dan lain-lain menjadikan biaya sekolah menjadi lebih mahal dari yang disampaikan oleh para pejabat negara.


Pada akhirnya saya menyimpulkan 73 tahun usia kemerdekaan negara yang bhineka secara fisik telah mencapai kemerdekaan mengumandangkan proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945 dan diakui secara luas oleh bangsa-bangsa lain di dunia.

 Namun makna kemerdekaan yang sesungguhnya masih belum bisa dikatakan merdeka, karena merdeka berarti bebas, bebas dari rasa lapar, bebas dari ketakutan.Hari ini kemiskinan masih menganga, kelaparan masih terjadi dan pendidikan masih mahal. Gangguan keamanan masih terjadi diberbagai negeri ini, nyawa begitu mudahnya melayang, dan entah dihilangkan oleh aparat negara maupun dihilangkan karena bencana alam.

Penghilangan nyawa juga karena daerah-daerah meminta untuk merdeka. Kalau mau jujur, mungkin saya bisa menyebutnya, negara masih gagal untuk memenuhi kebutuhan rakyat seperti apa yang dicita-citakan para pendiri negara ini sejak awal,Oleh karena itu, marilah kita merenung kembali makna kemerdekaan yang hakiki. bila tidak, boleh jadi Indonesia yang saat ini adalah negara bhineka, mungkin saja kedepan itu hilang bila harapan untuk rakyat itu tak terpenuhi.

Sebab saya menyebutnya, ancaman utama negara ini bukan datang dari negara tetangga atau negara lain seperti Malaysia, Singapura, Philipina dan lainnya, namun ancaman real di usia kemerdekaan 73 tahun ini adalah kelaparan, kemiskinan, pemerintahan yang buruk berupa meraja-lelalnya.

Itulah sebabnya penyebab ini harus diatasi dengan segera sehingga kita menjadi satu kesatuan yang untuh. Sehingga makna kemerdekaan yang kita rasakan sekarang bukan sekedar merdeka terdengar ditelinga merdeka berarti bebas dari melek huruf, bebas dari kelapran, bebas dari kemiskinan dan bebas dari rasa takut dirampas tanahnya, orang-orang di negeri ini bebas dari perampokkan kemerdekaanya.

Sunday, April 7, 2019


Hai, skripsik yang malang, kalau kamu bisa bicara, kamu pasti bilang seperti ini kayaknya 

Kamu itu maksudnya apa sih? Kemarin kamu semangat , ngerjain skripsi dari pagi sampai malam meskipun kamu tidak melupakan kesehatanmu juga, kamu rela nungguin dosen berjam-jam dari pagi sampai tiba dosenmu bisa ditemui-bahkan sebelum mobil dosenmu terparkir rapi di halaman gedung fakultasmu demi mendapat petunjuk jalan agar kita bisa berteman baik nantinya.

Kamu juga rela dan sabar memperbaiki skripsi meskipun kamu telah memperbaikinya berkali-kali demi memperkenalkan kepada dosen dan teman-temanmu lewat seminar yang kamu paparkan dengan sempurna. Setelah kamu berhasil memperkenalkan kepada teman-temanmu, kamu juga berhasil menjalankan janji yang kamu tulis tentang selama tiga bulan lamanya, kamu juga sudah memberi teman baru berupa bab baru lagi di tubuh skripsi , tapi kenapa kamu belum menyelesaikan semuanya secara tuntas?

Apa aku terlalu mengusikmu sehingga kau tidak mau lagi berteman denganku? Atau aku terdaftar menjadi salah beban dalam fikiranmu? Apa kamu malu berteman denganku lagi sehingga kamu belum mengenalkanku kepada teman dan dosenmu untuk kedua kalinya?
Ayolah, jangan menyerah terhadapku . Saat kamu mendekatiku dulu, saat itu juga aku merasa bangga terhadapmu karena kamu mau mendekatiku dengan tulus meskipun aku tahu, banyak ketakutan yang melingkupi fikiranmu. Aku ingin kamu menyelesaikanku sampai tuntas tanpa membiarkanku terlalu lama sendiri dengan sejuta tanya yang menyelimutiku.

Aku masih ingin berteman baik denganmu, meskipun aku tahu, harus ada banyak hal yang kamu persiapkan untuk menyempurnakan bagian tubuhku. Jangan tinggalkan aku terlalu lama ya, wahai kamu yang telah menjadi sahabatku beberapa bulan terakhir.”
Saat aku berusaha menciptakan suasana percakapanku dengan skripsiku, aku merasa bersalah karena telah meninggalkannya dua bulan terakhir ini. Seakan-akan aku belum menyelesaikan janji yang telah ku buat untuk masa studiku, dosenku, ibuku, bahkan untuk diriku sendiri. Aku juga tidak mengerti kenapa aku tersendat dalam penyelesaian tulisanku ini.

Ah, mungkin karena aku belum berdamai dengan pikiranku, yang berasumsi bahwa aku harus mempersiapkan banyak hal sebagai jaminan, bahwa aku dan skripsiku beneran teman baik tanpa ada yang harus mempertanyakan kebenaran keberadaannya. Dan asumsi itu memang harus terwujud.

“Maafkan aku yang membiarkanmu sendiri beberapa bulan terakhir wahai skripsiku yang mau berteman baik denganku beberapa bulan terakhir. Bukannya aku bermaksud demikian, tetapi aku perlu banyak persiapan untuk menyempurnakan keberadaanmu, agar kelak saat aku ditanyakan mengenai dirimu, aku bisa memaparkannya dengan sempurna tanpa ada kekurangan sedikitpun yang bisa membanggakanmu juga bahwa kamu gak salah pilih telah berteman baik denganku.

Aku masih butuh banyak waktu untuk mempersiapkan semuanya. Kamu juga tahu kan bahwa selama ini aku lamban dalam menyelesaikan beberapa hal, karena aku terlalu banyak mengulur waktu dengan berfikir tanpa mau melaksanakannya dengan segera.
Bersabarlah wahai skripsiku, karena aku akan memperkenalkanmu kembali kepada teman-temanku dan dosenku nantinya, bahkan aku akan menceritakan semuanya tentangmu di depan dosen penguji dan pembimbingku. Akan ku buat dirimu bangga dengan memperkenalkan kamu banyak teman baru di perpustakaan sana karena kamu menjadi salah satu pengisi rak tempat skripsi yang lain berada.

Jangan takut aku meninggalkanmu ya skripsiku, karena selama ini aku juga berusaha sekuat tenaga untuk membukamu lagi, menulis lagi di tubuhmu, dan akan menyempurnakan setiap bab yang menjadi pelengkap keberadaanmu. Jangan pernah lelah menyemangatiku saat aku mulai goyah dengan suasana sekitarku, ingatkan aku terus tentang janjiku selama ini terhadapmu, dan jangan pernah tinggalkan aku meskipun aku sering meninggalkanmu sendirian dalam bab di laptop kecilku ini.

Aku akan menyelesaikanmu dengan segera. Itu janjiku. Tetap menjadi sahabat baikk  skripsi, yang lewat kamu, akan mengantarkanku nantinya ke pintu baru yang harus ku buka, agar aku bisa melihat dan membuka pintu lain yang masih tertutup. Semangat buat kita berdua . Ingat janjiku . Aku akan melengkapi bagian tubuhmu dengan segera. Ya, sesegera mungkin.”
Tetap tunggu aku menepati janjiku kepadamu wahai skripsiku yang telah berteman baik denganku selama ini.

Dan dan berberapa cerita temanku. Ada pula seorang teman bercerita bahwa ia telah menyerahkan skripsi untuk dosen pembimbingnya.Ia disuruh datang kembali seminggu kemudian. Tapi ketika datang, skripsi yang telah dijanjikan itu belum diperiksa karena terlalu banyak skripsi yang ditangani.

Seorang teman juga bercerita masalah lain. Ia menggambarkan dengan analogi yang apik. Katanya, ketika dua gajah berkelahi maka semut dan rumputlah yang menjadi korban. Ia menjadi bingung dan frustrasi karena pembimbing I dan pembimbing II skripsinya bersikeras pada ide masing-masing.

Seorang teman juga terang-terangan merekayasa hasil penelitian. Alasannya karena ia tahu skripsinya akan berakhir di lemari atau tempat yang sedikit lebih baik dari tong sampah. Ini juga menjadi satu motif mereka yang terkadang terpaksa mendaur ulang bulat-bulat skripsi orang lain.

Ada pula trauma skripsi yang membesut gejala research phobia. Setelah menyelesaikan skripsi, mereka menutup diri dan menolak bergelut dengan hal-hal yang berbau penelitian. Begitu mendengar kata penelitian, kening berkerut seperti kembali ke masa suram.
Kalau kita terjun ke lapisan bawah, kita juga akan berhadapan dengan gejala lain yang sudah menjadi rahasia umum.

Dosa akademik

Di samping itu, praktik dosa akademik tumbuh subur dari waktu ke waktu yaitu penjualan jasa pembuatan skripsi. Timbulnya sikap yang tidak terpuji seperti ini, tentu tidak salah jika kita bertanya; Apakah masih relevan pemberlakukan skripsi sebagai syarat akhir bagi lulusan perguruan tinggi atau universitas? Bagaimana kalau seandainya skripsi ditanggalkan dari kurikulum?

Pada universitas sering dikenal falsafah Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tiga pilar yang menjadi acuan seorang mahasiswa atau mahasiswi yang belajar di universitas: pendidikan, penelitian dan pengabdian. Skripsi adalah salah satu ejawantah dari penelitian. Karena itu, ini menjadi alasan mengapa skripsi itu menjadi penting. Ada yang mengatakan kalau dulu di Malaysia angka kecelakaan jalan raya sangat tinggi. Persoalan itu mendorong pemerintah Malaysia untuk menggiring ilmuan melakukan penelitian. Hasil dari penelitian tersebut melahirkan kebijakan baru yang tepat sasaran dan bisa menjadi solusi bagi upaya menekan angka kecelakaan di jlan raya. Dengan begitu, banyak nyawa telah terselamatkan. Ini menjadi salah satu contoh manfaat penelitian yang dapat dirasakan oleh khalayak.
Dalam konteks di atas memang penelitian memberi dampak yang dapat dirasa dalam kehidupan sosial. Tapi bagaimana dengan kondisi penelitian di perguruan-perguruan tinggi tempat kita? Adakah hasil penelitian yang telah memberi dampak signifikan pada kehidupan?

Agaknya sulit menjawab pertanyaan ini. Pada praktiknya, di tempat kita skripsi nyaris tidak memberi sumbangsih apa-apa. Hanya menjadi formalitas untuk sah mendapat gelar sarjana dan ijazah. Selebihnya menjadi momok yang ditakuti oleh sebagian besar mahasiswa yang notabene digelari masyarakat ilmiah. Dalam kehidupan akademik kita, antara penelitian dan realita masih berjalan sendiri-sendiri. Permasalahan urgen yang muncul lain dan yang diteliti pun lain.

Kebanyakan mahasiswa terutama mahasiswa strata satu seperti belum siap berada pada tahapan penelitian. Banyak di antara mereka belum selesai dengan tahapan berpikir kritis, ilmiah dan kelihaian membangun argumentasi. Maka ketika tiba-tiba berhadapan dengan penelitian, terasa seperti tiba-tiba menabrak tembok. Bisa jadi ini juga permasalahan dari mahasiswa sendiri karena kebanyakan masih terlihat kurang membaca. Beberapa bahkan bersikap anti-text.

Apakah Tri Dharma Perguruan Tinggi itu telah menjadi hukum yang tak bisa diganggu-gugat lagi? Kalau pun kita masih bersikukuh dengan penerapan skripsi sebagai syarat akhir pembelajaran di universitas, hendaknya perlu dipertimbangkan kembali beberapa hal: Pertama, makna substantif dari tujuan melakukan penelitian. Apakah tujuan utamanya semata-mata untuk syarat lulus belaka? Bukankah pemantapan logika berpikir dalam menganalisa persoalan dan keterampilan menulis menjadi satu tujuan ideal yang ingin dicapai?

Kedua, hendaknya perguruan tinggi memasukkan mata kuliah etika penelitian untuk mengurangi kadar plagiasi alias penciplakan. Selama ini mata kuliah ini sangat kurang (kalau tak ingin dikatakan tidak ada sama sekali). Kasus penjiplakan tentu bukan barang baru di tempat kita. Hampir setiap dosen pembimbing pernah menemui mahasiswa bimbingannya menjiplak hasil karya orang lain.

Etika penelitian

Ketiadaan atau minimnya mata kuliah etika penelitian ini juga bisa membuat kita permisif atau akrab dengan budaya copy paste. Lama-lama terbentuk dalam pikiran kita bahwa itu hanyalah persoalan biasa dan lazim. Kita nyaris tidak mungkin menghapus menu copy paste pada komputer, tetapi menumbuhkan kesadaran untuk tidak terhanyut pada kebiasaan copy paste sangat tidak menutup kemungkinan.

Ketiga, memanfaatkan hasil penelitian supaya tidak ada kesan siasia. Seorang teman pernah berseloroh, setiap tahun universitas menerima ratusan hasil penelitian tapi hampir tak satu pun terlihat bermanfaat bagi kehidupan. Dalam pada ini terlihat adanya missing link antara universitas dan masyarakat. Universitas menjadi penyumbang gelar tapi miskin kontribusi. 

Skripsi-skripsi hanya menjadi dokumen yang tersimpan rapi di menara gading.
Memfungsikan hasil penelitian juga menjadi reward yang membuat mahasiswa merasa dihargai dan tidak lesu dalam meneliti. Beberapa instansi pemerintah seperti Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) mungkin bisa diajak menjadi partner. Pemberian penghargaan hasil penelitian terbaik tahunan selain gelar cumlaude juga menjadi satu alternatif.

Dan, terakhir yang juga tak kalah penting adalah para dosen pembimbing hendaknya tetap santun dan menjadi pembimbing yang baik, bukan pembimbang.

Wednesday, March 27, 2019


Semakin dewasa, beberapa hal mengalami pergeseran makna yang cukup signifikan. Bukan, ini bukan cuma perkara pasangan ataupun perasaan. Hey, hidup tak sekadar tetek bengek hati saja ‘kan? Jika mau melirik dalam, pergeseran makna juga terjadi di urusan pertemanan.

Ikatan yang satu ini boleh jadi tak sesering itu diperhatikan. Namun, selalu ada yang menarik untuk diangkat, dibicarakan, kemudian dimasukkan dalam kompartemen penuh kenangan. Di akhir hari, kita akan sepakat bahwa pertemanan adalah soal siapa yang akhirnya bertahan — setelah dihadapakan pada berbagai keadaan.
Tidak semua orang beruntung ditempatkan dalam pertemanan yang membangun. Ikatan yang bukan cuma sekadar berisi kumpul-kumpul, tapi juga membuat otak dan semangat mengebul.

Perkawanan yang baik memberi kita ruang hangat baru selekat keluarga. Tempat kita bisa diterima, didorong, kemudian berkembang sebagai manusia. Tidak berlebihan rasanya jika kemudian perkawanan dilabeli sebagai ikatan keluarga yang bisa dipilih sendiri. Sebab di sini dukungan selekat saudara sendiri bisa datang dari berbagai sisi.
Pertemuan yang ala kadarnya tidak menyurutkan ikatan yang ada. Jika ditanya siapa orang terdekat dalam hidupmu yang keluar adalah nama-nama mereka. Beberapa cerita juga hanya bisa dibagi pada orang-orang ini saja. Dengan sabar mereka akan mendengar keluh kesah dan impian-impian anehmu tanpa mengernyitkan alis mata.Mungkin kalau tiba-tiba kamu beralih profesi menjadi penulis kacangan yang karyanya tak pernah dimuat mereka juga akan jadi pendukung utama yang paling memahaminya. Ada beberapa rencana dan impian yang hanya bisa kalian wujudkan bersama. Tak mungkin di lingkaran pertemanan lainnya. Sekedar pergi ke luar kota dan menginap beberapa malam saja. Terlihat sederhana memang, tapi siapa yang bersedia menjadi pengendara layaknya sopir bus antar kota? Siapa yang bisa tetap asyik walau hanya makan kurang dari 10 ribu rupiah tiap kalinya?
Kamu tak perlu ada setiap waktu bagi sahabat yang kau cintai dan mencintaimu. Jala persahabatan lah yang akan melekatkan kalian, saat rindu sudah mulai bertalu.

Terima kasih Tuhan, telah kau tempatkan kami dalam jala macam itu.

Friday, December 25, 2015

Ketika Ada seorang Anak yang MENGELUH Terus kepada ibunya dan menceritakan MASALAHNYA.

Ibu nya tidak BEGITU memperdulikan Anak nya ini.. karena ibu nya terus Memasak Air sampai Mendidih... terus ibu nya Berkata kepada Anak nya , MASALAH Itu seperti air yang Mendidih ini , tergantung Bagaimana kita menyikapinya.. terus ibu nya menyuruh Anak itu Mengambil KENTANG, TELOR, KOPI.

  • Masukkan KENTANG Ke air yg mendidih maka KENTANG Yang keras berubah jadi LEMBEK.. Itu seperti type MANUSIA yang keras begitu ada masalah berubah jadi LEMBEK tdk berdaya dan PESIMIS
  • Masukkan TELOR Kedalam air yg mendidih , maka TELOR Yang LEMBEK berubah jadi keras.. itu seperti manusia yang begitu ada MASALAH terus berubah jadi keras dan EMOSI..
  • Masukkan KOPI kedalam air yang Mendidih, maka KOPI Tadi berubah menjadi Wangi dan sangat NIKMAT.. Itu lah manusia yang BAIK yang dapat Merubah MASALAH menjadi suatu yang BERMANFAAT.
MARI Kita Bangun kebersamaan dan menjalin persatuan dan Kesatuan untuk memecahkan suatu permasalahan.