Seperti biasa, ketika pikiran sudah suntuk dengan segala macam urusan kuliah dan kerjaan, aku selalu menyempatkan waktuk untuk nongkrong di tempat yang kusebut sebagai "rumah kedua". Entah energi apa yang membuatku selalu rindu ke sana. Mungkin aku hanya butuh teman ngobrol. Dan di sana lah, aku selalu menemukan apa yang kucari.
Tidak biasanya, sekre itu terlihat ramai. Ya, biasanya juga ramai tapi aku rasa nggak seramai malam menjelang tengah malam itu. Kulihat beberapa orang tengah asyik mengobrol sembari bersendau gurau. Raut wajah bahagia terpancar di wajah mereka. Ah, betapa kebahagiaan itu teramat sederhana ya, pikirku saat itu.
Sejujurnya, melihat mereka bisa berkumpul, mengobrol, dan tertawa bersama membuatku iri sekaligus bernostalgia. Sebab, setahun yang lalu pun aku mengalami hal yang sama. Tentunya, bersama teman-temanku. Namun kini, masing-masing dari kami sudah sibuk dengan urusan masing-masing. Bukan, bukan karena sudah tidak peduli lagi.
Melainkan ada beberapa hal, ada beberapa mimpi, ada beberapa keinginan yang ingin diwujudkan. Dan menurutku, memang sudah seharusnya begitu. Bukankah prioritas akan selalu berubah sering dengan berlalunya waktu?
Aku teringat masa-masa ketika masih mengenakan seragam putih abu-abu. Bukan waktu yang singkat mengingat dari Senin hingga Sabtu, sejak pukul 07.00 hingga 14.00, aku selalu bertemu orang yang sama. Selama tiga tahun, tak kurang, malah justru berlebih. Bertemu, mengobrol, bercanda. Ketiganya adalah hal yang selalu kurindukan.
Rasanya, dulu, aku bebas ingin bertemu siapa saja, di mana saja, dan kapan saja. Tinggal menemuinya ke kelas, main ke rumahnya atau hanya sekadar janjian akan bertemu di suatu tempat. Terutama dengan sahabat-sahabatku, teman seperjuanganku, betapa mudahnya kami berjumpa di berbagai kesempatan. Karena toh, kami memang sering berada di satu kepanitiaan, satu organisasi bahkan satu kelas.
Namun sekarang, aku hanya bisa menantikan masa liburan, berharap agar bisa berkumpul lagi dengan mereka. Itupun tidak semua orang bisa kutemui karena –sekali lagi– ada banyak hal yang harus diselesaikan. Dan seringkali waktu libur kami tidaklah sama.
Begitu pula ketika mencintai seseorang. Ya, akupun pernah mencintai, bahkan benar-benar mencintai. Entah sudah berapa banyak harapan, mimpi sekaligus doa yang aku panjatkan kepada Sang Penguasa Langit. Semua berhubungan dengannya. Tak lupa, aku juga selalu memulai hari dengan lamunan tentangnya dan kembali tidur dengan bayangan tentangnya.
Kini, sudah setahun lebih aku terbiasa tanpa dirinya. Sudah tidak bemakna apalagi membekas. Dan aku baik-baik saja. Bahkan lebih baik. Terima kasih.
Lain waktu, aku berjumpa dengan wanita lain, yang kupikir saat itu adalah yang terbaik. Ia menawarkan berbagai mimpi kepadaku, menginginkan agar mimpi-mimpi itu kami wujudkan bersama. Dia wanita yang baik, tetapi bukankah menjadi orang baik saja tidak cukup ya? Bukankah hidup dalam mimpi itu berarti hidup yang semu? Hingga akhirnya, aku memutuskan untuk menyudahi bermimpi bersamanya. Bukan karena kemudian dia menjadi seorang yang jahat. Bukan. Aku hanya mencoba realistis. Bermimpi itu baik, tetapi aku rasa lebih baik lagi kalau kita berusaha untuk mewujudkan mimpi itu, kan.
Terkadang aku berpikir, mengapa kita selalu dipertemukan kemudian dipisahkan?
Pertanyaan yang menurutku sungguh bodoh mengingat dalam hidup pasti akan ada pertemuan yang dibarengi dengan perpisahan. Sebagaimana sebuah awalan yang pasti dan selalu akan berakhir. Dan orang-orang pun datang dan pergi, silih berganti.
Ada yang melintas secara singkat, namun menorehkan kenangan yang membekas.
Ada yang sudah lama berjalan bersama, bahkan merajut mimpi-mimpi bersama, berharap bahwa mimpi itu bisa diwujudkan bersama, namun pada akhirnya kehadirannya tiada lagi bermakna.
Ada yang berada nan jauh berada di sana, setiap hari menitipkan doa sekaligus salam kerinduan dan berharap agar mendapatkan balasan, namun sosoknya tak kunjung datang. Hingga akhirnya saling melupakan.
Ada pula yang datang pergi, tak tahu diri, seolah dirinya tidak pernah ada dan apalagi hadir di kehidupan kita. Semua orang, yang datang dan pergi, bagaikan kepingan puzzle. Yang saling melengkapi dan membentuk sebuah gambaran kehidupan.
Meskipun untuk menyatukan kepingan-kepingan itu, kita harus merasa ‘kosong’ terlebih dahulu. Menantikan kehadiran kepingan yang tepat untuk mengisi kekosongan itu. Lalu, kepingan yang lain pun menghilang lagi. Dan begitu seterusnya.
Mau tidak mau, suka tidak suka, perpisahan akan selalu hadir di setiap pertemuan. Dan aku hanyalah satu dari sekian banyak orang yang bersedih hati ketika menghadapi perpisahan. Namun, aku percaya, segala sesuatu selalu memiliki alasan. Perpisahan, sepahit apapun itu, pasti akan menjadi sebuah permulaan. Dan semoga selalu menjadi permulaan yang baik.
No comments:
Post a Comment