Wednesday, January 1, 2020

Tahun Baru Yang Tetap Sama


Tahun baru yang tetap sama, dan tidak terasa baru.

Salah satu produk filsafat yang berkembang di abad-19 adalah pragmatisme, sebuah aliran yang beriringin dengan perkembangan kapitalisme Amerika Serikat yang bangkit sebagi kekuatan baru dalam perekonomian kapitalisme yg masif. Tokohnya adalah William James. Aliran ini menggap bahwa bagimana bahasa menentukan pengetahuan. Menyatakan segala sesuatu bukan pada objektif melainkan subjektif, inilah kenapa sering kita temukan manusia semakin individualistik dan terpolarisasi terhadap sesuatu yang baru dan menganggap sesuatu itu adalah kebenaran dalam dirinya dan urusan hidup bukan lagi sebuah kebersamaan dalam hubungan sosial.

Seperti yg kita hadapi 2019-2020, pada konteks sosial sebagian kelompok masih memiliki kekritisan dalam membaca komdisi dan ingin merubah keadaan menjadi lebih baik, namun yang lain menganggap bahwa pergantian tahun merupakan sesuatu yang memiliki nilai perubahan di dalam diri sampai ada yang ingin merubah kepribadiannya secara keseluruhan, padahal tanpa disadari perubahan individu di tentukan oleh lingkungan yg mempengaruhi kesadaran banyak orang. Dan tahun baru hanyalah sebuah penghambat perubahan jika masih terjebak pada narasi sosial yg diciptakan kapitalisme.

Secara sepintas kita mengikuti waktu, 2019 awal sampai akhir, atau dari Jokowi 1 periode sampai 2 periode, kita melewati 5 kali pergantian tahun dengan suasana yang sama, "ledakan petasan", ramai mogok di jalan untuk turut meramaikan menjemput satu malam yg sakral". Tapi mari kita lihat kedalam, 5 kali pergantian tahun 5 kali ingin berubah; itu artinya dalam kondisi sosial orang-orang tidak berubah kalau 2021 masih juga ingin berubah.

Perubahan yang sebenarnya adalah perubahan secara keseluruhan serta memiliki tujuan dalam merubah keadaan agar tahun baru berikutnya rakyat hidup tidak lagi dalam kesengsaraan. Bagaimna tidak 21 juta hektar lahan pertanian masi saja ada provinsi yg mengalami gizi buruk (NTT,NTB,PAPUA). Yg sampai hari ini juga bukan hanya kasus demikian, perampasan lahan petani, pembantaian orang papua, buruh di PHK serta hanyamendapatkan goceng. Dan kondisi ini masih saja dialami rakyat Indonesia sebagai pekerja upahan juga petani tapi lapar. Tahun kemarin 2018 soal kopra di Maluku Utara, bertepatan pergantian tahun, saudara nasrani kita tidak mampu membeli baju natal sebagai pekerja kopra mereka tinggalkan sehingga mengakibatkan kerugian.

Tahun baru hanyalah sebuah jebakan konteks reality keramaian menyabut tahaun adalah sesuatu yg manifest, tapi sebagian orang lupa hidden susaity alias orang2 yg mengalami bencana ekonomi politik tidak menjadi pembicaraan dalam turut andil menyambut perubahan terkecuali tidak ada lagi kemiskinan dan nenek2 tidak lagi tidur d atas trotoar. Perubahan secara totalitas (ideologi,politik,ekonomi) lah yg membebaskan orang2 yg sengsara nasibnya di bawa tembakan petasan.

Tahun baru hanyalah sebuah fenomena bagi orang-orang yg memiliki kesadaran naif dgn menyambut kesenangan di atas penderitaan banyak orang, pemerintah tahu betul sebuah momen yg pas untuk menghipnotis rakyat kelas menengah agar mempengaruhi rakyat krlas bawah pula untuk menjaga kestabilan kekayaan pribadi serta  mengamankan korporat dengan dalill,  'zikir akbar di jalan raya, sentral strategis yang umum inilah kebanyakan orang menggap bahwa ceramah ustad bisa membawa kedamaian perubahan serta harapan bisa terkabul lewat do'a'.

Tapi kalau kita bertanya, apakah do'a ini dapat merubah orang miskin menjadi kaya serta bebas berekspresi dalam kesadaran pendapat, ? Jawabannya tidak kalau hanya berdo'a. Dan iya jika perombakan struktur serta pencapainnya bisa mengintegrasikan kaum miskin (buruh tani dan nelayay) dibawah komando buruh untuk mencapai perubahan dalam satu kekuatan politik.

No comments: