Showing posts with label Kampus. Show all posts
Showing posts with label Kampus. Show all posts

Monday, April 22, 2019

(Pict contoh dari Kriteria diferensiasi  sosial berdasarkan ciri fisik dan adat istiadat)


Anthroplogi di ambil dari dua kata yaitu "anthropos" yang berasal dari yunani dan berarti manusia dan "logos" yang berarti wacana (bukan universal), dan secara istilah bisa di artikan ilmu yang mempelajari tentang manusia, terdengar mirip dengan sosiologi tapi bisa di lihat dari konteks pembahasan yang dimana antropologi lebih kepada budaya/etnis tertentu suatu masyarakat lain dengan sosiologi yang membahas sifat, perilaku, dan perkembangan masyarakat.
Pembahasan kali ini adalah salah satu dasar ilmu antropologi yaitu:

-Struktur sosial
-Ketidaksamaan sosial
-Dan diferensiasi sosial

1. Struktur sosial

A. Struktur sosial

Adalah pola hidup hubungan masyarakat yang saling timbal balik baik bersifat horizontal maupun vertikal dalam tingkatan nya.

B. Ciri-ciri struktur sosial

Seluruh kebudayaan masyarakat Mengacu pada organisatoris nyata pada sosial yang bersifat tahapan statis pada perkembangan nya.

C. Bentuk-bentuk struktur sosial

-Interested social structure
-Keanggotaan dalam kelompok sosial yang berasal dari latar belakang ras, agama dan suku yang berbeda.

- Consolidated social structure
Rivalitas masyarakat tentang penguatan identitas keanggotaan dalam kelompok sosial/masyarakat, yang biasa nya memunculkan primordialisme dan etnosentrisme.

D. Fungsi struktur sosial

-Pengawas sosial
-Sebagai penekan antar manusia dan penyifatan, norma, perilaku maupun kepercayaan kelompok sosial/masyarakat tertentu.
-Menanamkan disiplin sosial
-Masyarakat mendapatkan edukasi tentang kebiasaan, kepercayaan dan sikap suatu kelompok/masyrakat.

2. Ketidaksamaan sosial

A. Definisi ketidaksamaan sosial

Perbedaan ragam masyarakat dalam berinteraksi di sebut ketidaksamaan sosial, perbedaan penghargaan dan pola nya terhadap sesuatu memberikan tingkatan prestise lebih tinggi, contoh nya pada suatu masyarakat, seorang yang memiliki jasa pada penduduk setempat di anggap sebagai petuah/petinggi di banding dengan seorang yang punya kekayaan material, maka penduduk akan memberi prestise kepada petuah lebih dari masyarakat biasa.

B. Perbedaan ketidaksamaan

-Secara horizontal, yaitu perbedaan masyarakat yang parameter nya tidak ada tingkatan lebih tinggi maupun rendah. Contohnya perbedaan dalam jenis kelamin, mata pencaharian, ras, agama, sistem kekerabatan serta organisasi sosial lainya. Ini terjadi secara alamiah. Dalam sosiologi diistilahkan sebagai diferensiasi sosial.
-Secara vertikal yaitu pembedaan antar masyarakat yang menunjukan tingkatan sesuatu bisa lebih rendah maupun lebih tinggi. Contoh dalam hal pendidikan dan kekayaan, Ini merupakan dampak dari interaksi individu atau kelompok dalam masyarakat yang menghasilkan lapisan atau kelas-kelas sosial. Dalam sosiologi diistilahkan sebagai stratifikasi sosial.

C. Faktor ketidaksamaan sosial

-Ciri fisik yang dapat menghasilkan perbedaan atas jenis kelamin, warna kulit, maupun ukuran tubuh,termasuk ras atau suku bangsa.
-Kemampuan atau potensi diri yang dapat menghasilkan perbedaan atas dasar profesi, kekayaan,hobi dan sebagainya.
-Geografis yang dapat menghsilkan perbedaan mata pencaharian.
-Budaya yang dapat menghasilkan perbedaan atas dasar sistem kepercayaan atau agama, ideologi, sistem nilai, norman dan kekerabatan.
-latar belakang sosial yang dapat menghasilkan perbedaan tingkat pendidikan, peranan, prestise,dan kekuasaan.

3. Diferensiasi Sosial

A. Definisi diferensiasi sosial

-Pemebedaan masyarakat secara mendatar tanpa ada tingkatan petinggi atau di bawah nya berdasarkan ciri fisik tertentu, walaupun masih ada masyarakat yang rasialisme.
-Plural society, pengelompokan horizontal diistilahkan dengan kemajemukan sosial. Pengelompokan berdasarkan profesi dan jenis kelamin disebut heterogenitas sosial.

B. Kriteria diferensiasi  sosial

1. Ras
-Mongoloid( kulit kuning dan coklat),
-Negroid (kulit hitam)
-Kaukasoid(kulit putih)
-Diluar ras pokok ini, terdapat ras khusus, seperti:
Austroloid,Veddoid, Polynesia,dan Ainu.
2. Suku bangsa
3. Suku bangsa memiliki ciri-ciri paling mendasar yakni kesamaan budaya. Suku bangsa memiliki kesamaan
4.  Ciri fisik
5.  Kesenian
6.  Bahasa daerah
7.  Adat istiadat
8.  Agama
9.  Keyakinan pribadi tentang anutan(dogma) masyarakat yang berkaitan dengan sistem budaya, kepercayaan dan pandangan dunia.
10. Profesi
11. Profesi berkaitan dengan pekerjaan manusia dengan janji suatu kekhususan dalam bidang bersangkutan.
12. (Profesi dan pekerjaan itu berbeda)
13. Jenis kelamin
14. Jenis kelamin dan gender jelas berbeda, jenis kelamin lebih kepada ciri fisik biologis seseorang sedangkan gender merujuk pada peranan personal.

Tuesday, April 9, 2019


Mahasiswa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang yang belajar di perguruan tinggi. Sedangkan demonstrasi dalam KKBI berarti penyataan protes yang dikemukakan secara massa, jadi dapat disimpulkan bahwa demonstrasi mahasiswa adalah pernyataan protes yang dikemukakan secara massa oleh orang yang belajar di perguruan tinggi.

Sejak dasawarsa 60-an mahasiswa sudah lekat dengan peran sebagai penyambung lidah rakyat lewat kegiatan demonstrasi-demonstrasinya. Hal tersebut tak lepas dari keberhasilan mahasiswa (dengan tentunya bantuan dari ABRI 'sekarang TNI' ) menurunkan rezim Soekarno atau yang lebih kita kenal sebagai Orde Lama.

Dan tak berhenti disana, bahkan secara konsisten pada tiap dasawarsa mahasiswa selalu hadir menyuarakan suara rakyat. Meski zaman dan para pelakunya (mahasiswa) berganti dari mulai Soe Hok Gie, Ubedilah Badrun, hingga mahasiswa-mahasiswa yang hari ini ditahun 2017 sedang mengenyam bangku kuliah. Mahasiswa selalu hadir menjadi garda terdepan dalam menyuarakan keadaan masyarakat.

Dalam kegiatan-kegiatan orientasi mahasiswa baru (Ospek/MPA/Masa Pengenalan) kita sering diperdengarkan 3 fungsi mahasiswa oleh senior-senior kampus yaitu : Agent of Change, Social Control, dan Iron Stock. Bahkan belakangan ini bertambah menjadi 4 dengan Moral Force hingga kemudian diartikan secara umum menjadi alasan utama turunnya mahasiswa ke jalan (red: demonstrasi). Sampai saat ini penulis tidak pernah tau dari mana asal fungsi ini tersebut, penulis hanya tau alasan mahasiswa turun ke jalan lewat tulisan dalam catatan harian Soe Hok Gie yang kemudian dibukukan dengan judul “Catatan Seorang Demonstran” yang berbunyi “Kalau rakyat Indonesia terlalu melarat, maka secara natural mereka akan bergerak sendiri. Dan kalau ini terjadi, maka akan terjadi chaos. Lebih baik mahasiswa yang bergerak.”

3 +1 fungsi mahasiswa tersebut mempunyai makna yang luas, komprehensif, dan butuh pemahaman yang mendalam. Sedangkan dalam kutipan Hok Gie sendiri secara simpel dapat penulis tarik kesimpulan sederhana bahwa mahasiswa hari ini turun berdemonstrasi murni untuk menyuarakan suara rakyat. Dan perlu dicatat bahwa angkatan Gie dikemudian hari menjadi awal mitos “mahasiswa penyambung suara rakyat”.

Mahasiswa UIN hari ini mengelarkan aksi penyegelan kantor GEBENUR di kutip di halaman Serambi.com bahwasa nya Ratusan mahasiswa kembali melancarkan aksi protes terhadap pemberian izin tambang PT Emas Mineral Murni (EMM) di Kantor Gubernur Aceh, Banda Aceh, Selasa (9/4/2019).

Selain berorasi, massa juga 'menyegel' kantor dinas Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah tersebut. Penyegelan dilakukan dengan digantungkan selembar spanduk di depan kantor Gubernur, tepat pada tulisan Kantor Gubernur Aceh.

Sementara beberapa mahasiswa berdiri diatas beton pagar sambil meneriakan, "Kantor Gubernur kami segel," kata mereka sambil mengepal tangan ke atas.

Hari ini kita di sadarkan bahwa pemimpin terlalu apatis dengan keadaan masyarakat yang menginginkan keterbukaan tentang sebuah ekosistem perekonomi bangsa di mana masyarakat dan mahasiswa hanya inggin merasa tahu apa yang di kelola oleh pemerintahan tampa lebih oleh karena itu pemimpim sekarang tidak lebih seperti musang yang lari ketika ada keramaian. Tidak lebih seperti masa ketika Hitler mulai membuas maka kelompok Inge School berkata tidak. Mereka (pemuda-pemuda Jerman ini) punya keberanian untuk berkata "tidak". Mereka, walaupun masih muda, telah berani menentang pemimpin-pemimpin gang-gang bajingan, rezim Nazi yang semua identik. Bahwa mereka mati, bagiku bukan soal. Mereka telah memenuhi panggilan seorang pemikir. Tidak ada indahnya (dalam arti romantik) penghukuman mereka, tetapi apa yang lebih puitis selain bicara tentang kebenaran.

Agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi “manusia-manusia yang biasa”. Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia.
Soe Hok Gie

Friday, April 5, 2019


Paulo Freire adalah tokoh pendidikan yang sangat kontroversial. Ia menggugat sistem pendidikan yang telah mapan dalam masyarakat Brasil. Bagi dia, sistem pendidikan yang ada sama sekali tidak berpihak pada rakyat miskin tetapi sebaliknya justru mengasingkan dan menjadi alat penindasan oleh penguasa. Karena pendidikan yang demikian hanya menguntungkan penguasa maka harus dihapuskan dan digantikan dengan sistem pendidikan yang baru. Sebagai jalan keluar atas kritikan tajam itu maka Freire menawarkan suatu sistem pendidikan alternatif yang menurutnya relevan bagi masyarakat miskin dan tersisih. Kritikan dan pendidikan altenatif yang ditawarkan Freire itu menarik untuk dipakai menganalisis permasalahan pendidikan di Indonesia.

Walaupun harus diakui bahwa konteks yang melatarbelakangi lahirnya pemikiran yang kontroversial mengenai pendidikan itu berbeda dengan konteks Indonesia. Namun di balik kesadaran itu, ada keyakinan bahwa filsafat pendidikan yang ada di belakang pemikiran Freire dan juga metodologi
pendidikan yang ditawarkan akan bermanfaat dalam “membedah” permasalahan pendidikan di Indonesia.
Pandangan Paulo Freire Tentang Pendidikan. Pandangan Paulo Freire tentang pendidikan tercermin dalam kritikannya yang tajam terhadap sistem pendidikan dan dalam pendidikan alternatif yang ia tawarkan. Baik kritikan maupun tawaran konstruktif Freire keduanya lahir dari suatu pergumulan dalam konteks nyata yang ia hadapi dan sekaligus merupakan refleksi filsafat pendidikannya yang berporos pada pemahaman tentang manusia.

a. Konteks Yang Melatarbelakangi Pemikiran Paulo Freire.

Hidup Freire merupakan suatu rangkaian perjuangan dalam konteksnya. Ia lahir tanggal 19 September 1921
di Recife, Timur Laut Brasilia. Masa kanak-kanaknya dilalui dalam situasi penindasan karena orang tuanya
yang kelas menengah jatuh miskin pada tahun 1929. Setamat sekolah menengah, Freire kemudian belajar
Hukum, Filsafat, dan Psikologi. Sementara kuliah, ia bekerja “part time” sebagai instuktur bahasa Potugis di
sekolah menengah. Ia meraih gelar doktor pada tahun 1959 lalu diangkat menjadi profesor. Dalam kedudukannya sebagi dosen, ia menerapkan sistem pendidikan “hadap-masalah” sebagai kebalikan dari pendidikan “gaya bank”. Sistem pendidikan hadap masalah yang penekanan utamanya pada penyadaran nara didik menimbulkan kekuatiran di kalangan para penguasa. Karena itu, ia dipenjarakan pada tahun 1964 dan kemudian diasingkan ke Chile. Pengasingan itu, walaupun mencabut ia dari akar budayanya yang menimbulkan ketegangan, tidak membuat idenya yang membebaskan “dipenjarakan”, tetapi sebaliknya ide itu semakin menyebar ke seluruh dunia. Ia mengajar di Universitas Havard, USA pada tahun 1969-1970. Ia pernah menjadi konsultan bidang pendidikan WCC.
Pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan lahir dari pergumulannya selama bekerja bertahun-tahun di tengah-tengah masyarakat desa yang miskin dan tidak “berpendidikan”. Masyarakat feodal (hirarkis) adalah struktur masyarakat yang umum berpengaruh di Amerika Latin pada saat itu. Dalam masyarakat feodal yang hirarkis ini terjadi perbedaan mencolok antara strata masyarakat “atas” dengan strata masyarakat “bawah”. Golongan atas menjadi penindas masyarakat bawah dengan melalui kekuasaan politik dan akumulasi kekayaan, karena itu menyebabkan golongan masyarakat bawah menjadi semakin miskin yang sekaligus semakin menguatkan ketergantungan kaum tertindas kepada para penindas itu.
Dalam kehidupan masyarakat yang sangat kontras itu, lahirlah suatu kebudayaan yang disebut Freire dengan
kebudayaan “bisu”. Kesadaran refleksi kritis dalam budaya seperti ini tetap tidur dan tidak tergugah. Akibatnya waktu lalu hanya dilihat sebagai sekat hari ini yang menghimpit. Manusia tenggelam dalam “hari ini” yang panjang, monoton dan membosankan sedangkan eksistensi masa lalu dan masa akan datang belum disadari. Dalam kebudayaan bisu yang demikian itu kaum tertindas hanya menerima begitu saja segala perlakuan dari kaum penindas. Bahkan, ada ketakutan pada kaum tertindas akan adanya kesadaran tentang ketertindasan mereka. Itulah dehumanisasi karena bahasa sebagai prakondisi untuk menguasai realitas hidup telah menjadi kebisuan. Diam atau bisu dalam konteks yang dimaksud Freire bukan karena protes atas perlakuan yang tidak adil. Itu juga bukan strategi untuk menahan intervensi penguasa dari luar. Tetapi, budaya bisu yang terjadi adalah karena bisu dan bukan membisu. Mereka dalam budaya bisu memang tidak tahu apa-apa. Mereka tidak memiliki kesadaran bahwa mereka bisu dan dibisukan. Karena itu, menurut Freire untuk menguasai realitas hidup ini termasuk menyadari kebisuan itu, maka bahasa harus dikuasai. Menguasai bahasa berarti mempunyai kesadaran kritis dalam mengungkapkan realitas. Untuk itu, pendidikan yang dapat membebaskan dan memberdayakan adalah pendidikan yang melaluinya nara didik dapat mendengar suaranya yang asli. Pendidikan yang relevan dalam masyarakat berbudaya bisu adalah mengajar untuk memampukan mereka mendengarkan suaranya sendiri dan bukan suara dari luar termasuk suara sang pendidik. Dalam konteks yang demikian itulah Freire bergumul.  Ia terpanggil untuk membebaskan masyarakatnya yang tertindas dan yang telah “dibisukan”. Pendidikan “gaya bank” dilihatnya sebagai salah satu sumber yang mengokohkan penindasan dan kebisuan itu. Karena itulah, ia menawarkan pendidikan “hadapmasalah” sebagai jalan membangkitkan kesadaran masyarakat bisu .

b. Kritikan Paulo Freire Terhadap Pendidikan “Gaya Bank”.

Dalam sistem pendidikan yang diterapkan di Brasilia pada masa Freire, anak didik tidak dilihat sebagai yang dinamis dan punya kreasi tetapi dilihat sebagai benda yang seperti wadah untuk menampung sejumlah rumusan/dalil pengetahuan. Semakin banyak isi yang dimasukkan oleh gurunya dalam “wadah” itu, maka semakin baiklah gurunya. Karena itu semakin patuh wadah itu semakin baiklah ia. Jadi, murid/nara didik hanya menghafal seluruh yang diceritrakan oleh gurunya tanpa mengerti. Nara didik adalah obyek dan bukan subyek. Pendidikan yang demikian itulah yang disebut oleh Freire sebagai pendidikan “gaya bank”. Disebut pendidikan gaya bank sebab dalam proses belajar mengajar guru tidak memberikan pengertian kepada nara didik, tetapi memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada siswa untuk disimpan yang kemudian akan dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan. Nara didik adalah pengumpul dan penyimpan sejumlah pengetahuan, tetapi pada akhirnya nara didik itu sendiri yang “disimpan” sebab miskinnya daya cipta. Karena itu pendidikan gaya bank menguntungkan kaum penindas dalam melestarikan penindasan terhadap sesamanya manusia.
Pendidikan “gaya bank” itu ditolak dengan tegas oleh Paulo Freire. Penolakannya itu lahir dari pemahamannya tentang manusia. Ia menolak pandangan yang melihat manusia sebagai mahluk pasif yang tidak perlu membuat pilihan-pilihan atas tanggung jawab pribadi mengenai pendidikannya sendiri. Bagi Freire manusia adalah mahluk yang berelasi dengan Tuhan, sesama dan alam. Dalam relasi dengan alam, manusia tidak hanya berada di dunia tetapi juga bersama dengan dunia. Kesadaran akan kebersamaan dengan dunia menyebabkan manusia berhubungan secara kritis dengan dunia. Manusia tidak hanya bereaksi secara refleks seperti binatang, tetapi memilih, menguji, mengkaji dan mengujinya lagi sebelum melakukan tindakan. Tuhan memberikan kemampuan bagi manusia untuk memilih secara reflektif dan bebas. Dalam relasi seperti itu, manusia berkembang menjadi suatu pribadi yang lahir dari dirinya sendiri. Bertolak dari pemahaman yang demikian itu, maka ia menawarkan sistem pendidikan alternatif sebagai pengganti pendidikan “gaya bank” yang ditolaknya. Sistem pendidikan alternatif yang ditawarkan Freire disebut pendidikan “hadap-masalah”.

c. Pendidikan “Hadap-Masalah”: Suatu Pendidikan Alternatif.

Pendidikan “hadap-masalah” sebagai pendidikan alternatif yang ditawarkan oleh Freire lahir dari konsepsinya tentang manusia. Manusia sendirilah yang dijadikan sebagai titik tolak dalam pendidikan hadap-masalah. Manusia tidak mengada secara terpisah dari dunia dan realitasnya, tetapi ia berada dalam dunia dan bersama-sama dengan realitas dunia. Realitas itulah yang harus diperhadapkan pada nara didik supaya ada kesadaran akan realitas itu. Konsep pedagogis yang demikian didasarkan pada pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi untuk berkreasi dalam realitas dan untuk membebaskan diri dari penindasan budaya, ekonomi dan politik.
Kesadaran tumbuh dari pergumulan atas realitas yang dihadapi dan diharapkan akan menghasilkan suatu tingkah laku kritis dalam diri nara didik. Freire membagi empat tingkatan kesadaran manusia, yaitu :

1) Kesadaran intransitif, 
Dimana seseorang hanya terikat pada kebutuhan jasmani, tidak sadar akan sejarah dan tenggelam dalam masa kini yang menindas.

2) Kesadaran semi intransitif atau kesadaran magis
Kesadaran ini terjadi dalam masyarakat berbudaya bisu, dimana masyarakatnya tertutup. Ciri kesadaran ini adalah fatalistis. Hidup berarti hidup di bawah kekuasaan orang lain atau hidup dalam ketergantungan.

3) Kesadaran Naif.

 Pada tingkatan ini sudah ada kemampuan untuk mempertanyakan dan mengenali realitas, tetapi masih ditandai dengan sikap yang primitif dan naif, seperti: mengindentifikasikan diri dengan elite, kembali ke masa lampau, mau menerima penjelasan yang sudah jadi, sikap emosi kuat, banyak berpolemik dan berdebat tetapi bukan dialog.

4) Kesadaran kritis transitif. 

Kesadaran kritis transitif ditandai dengan kedalaman menafsirkan masalah-masalah, percaya diri dalam berdiskusi, mampu menerima dan menolak. Pembicaraan bersifat dialog. Pada tingkat ini orang mampu merefleksi dan melihat hubungan sebab akibat.
Bagi Freire pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang menumbuhkan kesadaran kritis transitif. Memang ia tidak bermaksud bahwa seseorang langsung mencapai tingkatan kesadaran tertinggi itu, tetapi belajar adalah proses bergerak dari kesadaran nara didik pada masa kini ke tingkatan kesadaran yang di atasnya. Dalam proses belajar yang demikian kontradiksi guru-murid (perbedaan guru sebagai yang menjadi sumber segala pengetahuan dengan murid yang menjadi orang yang tidak tahu apa-apa) tidak ada. Nara didik tidak dilihat dan ditempatkan sebagai obyek yang harus diajar dan menerima. Demikian pula sebaliknya guru tidak berfungsi sebagai pengajar. Guru dan murid adalah sama-sama belajar dari masalah yang dihadapi. Guru dan nara didik bersama-sama sebagai subyek dalam memecahkan permasalahan. Guru bertindak dan berfungsi sebagai koordinator yang memperlancar percakapan dialogis. Ia adalah teman dalam memecahkan permasalahan. Sementara itu, nara didik adalah partisipan aktif dalam dialog tersebut.
Materi dalam proses pendidikan yang demikian tidak diambil dari sejumlah rumusan baku atau dalil dalam buku paket tetapi sejumlah permasalahan. Permasalahan itulah yang menjadi topik dalam diskusi dialogis itu yang diangkat dari kenyataan hidup yang dialami oleh nara didik dalam konteksnya sehari-hari, misalnya dalam pemberantasan buta huruf. Pertamatama peserta didik dan guru secara bersama-sama menemukan dan menyerap tema-tema kunci yang menjadi situasi batas (permasalahan) nara didik. Tema-tema kunci tersebut kemudian didiskusikan dengan memperhatikan berbagai kaitan dan dampaknya. Dengan proses demikian nara didik mendalami situasinya dan mengucapkannya dalam bahasanya sendiri. Inilah yang disebut oleh Freire menamai dunia dengan bahasa sendiri. Kata-kata sebagai hasil penamaan sendiri itu kemudian dieja dan ditulis. Proses demikian semakin diperbanyak sehingga nara didik dapat merangkai kata-kata dari
hasil penamaannya sendiri.

d. Relevansi Pemikiran Freire dalam Konteks Indonesia.

Allen J.Moore mengatakan bahwa konsep Freire yang dirumuskan dalam konteks Amerika Latin tidak bisa
diterapkan begitu saja dalam konteks yang berbeda sebab situasinya dan permasalahannya tidak sama.
Peringatan Moore ini adalah satu kendali supaya kita tidak bertindak naif dalam menganalisis suatu permasalahan dalam konteks yang khas. Hal itu sekaligus menjadi peringatan supaya kritikan Freire dapat dipakai secara kritis dalam menganalisis permasalahan pendidikan di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Memang harus diakui bahwa konteks permasalahan Amerika Latin, khususnya Brasilia tidak sama persis dengan permasalahan dalam masyarakat Indonesia, tetapi dalam banyak hal kita menemukan persamaan. Masyarakat Indonesia yang terdiri atas suku-suku adalah masyarakat hierarkis yang nampak dalam strata sosial yang mempunyai sebutan khas di berbagai daerah.  Walaupun strata sosial ini sudah tidak terlalu nampak tetapi justru telah lahir suatu strata sosial baru yang prakteknya hampir sama dengan feodalisme tradisional. Pemegang kendali dalam feodalisme modern adalah kelompok pedagang/pengusaha yang menguasai ekonomi lebih dari setengah kekayaan yang ada. Kelompok tersebut mengakumulasikan kekayaan kurang lebih 80 % kekayaan Indonesia padahal jumlah mereka tidak lebih dari 20 % dari jumlah penduduk. Kedua kelompok “penindas” tersebut semakin memperkokoh kekuasaannya sebab secara praktik hanya mereka yang mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi yang sangat mahal dan terpola dalam sistem kekuasaan itu. Generasi itulah yang kemudian menjadi pewaris “tahta penindasan”. Kalau ada dari kelompok rakyat kecil yang mampu mengecap pendidikan tinggi, ia akan berubah menjadi pemegang kendali feodalisme baru itu baik dalam rangka balas dendam maupun dalam “penindasan” terhadap sesamanya kaum “tertindas”.
Salah satu kritikan Freire adalah pendidikan yang berupaya membebaskan kaum tertindas untuk menjadi penindas baru. Bagi Freire pembebasan kaum tertindas tidak dimaksudkan supaya ia bangkit menjadi penindas yang baru, tetapi supaya sekaligus membebaskan para penindas dari kepenindasannya.
Dalam proses belajar mengajar, pemerintah Republik Indonesia telah mengupayakan untuk menerapkan pendekatan cara belajar siswa aktif (CBSA), tetapi hanya metodenya sajalah yang CBSA. Sementara materi yang disampaikan masih merupakan barang asing yang tidak lahir dari dalam konteks dimana manusia itu ada sehingga pada akhirnya siswa kembali menjadi “bank” penyimpanan sejumlah pengetahuan. Memang siswa aktif belajar dan mungkin berdiskusi dalam kelas tetapi yang  didiskusikan dan dipelajari dalam kelas adalah sejumlah dalil dan rumus yang tidak punya hubungan dengan kehidupannya. Lagi pula relasi guru-siswa adalah pengajar dan yang diajar. Siswa adalah yang belum tahu dan harus diberitahu sedangkan guru adalah yang sudah tahu dan akan memberitahukan. Bukankah itu semua yang disebut oleh Paulo Freire dengan pendidikan “gaya bank”?
Marthen Manggeng/www.oaseonline.org/
dan berbagai sumber.

Monday, March 11, 2019


Pagi itu mentari terasa lebih hangat dari biasanya, cahaya pagi memanggil, memasuki jiwa yang sedang bergembira. Hangat dan kegembiraan itu masih kuingat hingga sekarang. Bagaimana bisa kulupa? Merekalah sumber kehangatan itu, Ayah dan Ibuku.

Satu hal yang kukagumi dari mereka, mereka tidak pernah menuntutku. Mereka tidak pernah mengkotak-kotakan aku harus menjadi A, B, C, atau D. Hal inilah yang menjadikanku seperti sekarang, mereka memberikanku kepercayaan. Akulah yang harus menjadi nahkoda di kapalku sendiri, akulah yang nantinya memutuskan kemana kapalku akan berlabuh, dan mereka mempercayai itu semua kepadaku.
Kepercayaan dari mereka sangat berarti, mereka percaya aku dapat menghadapi gelombang pasang ditengah-tengah lautan, mereka percaya aku dapat menerjang badai di malam hari, tidak pernah khawatir aku tersesat, tidak pernah khawatir kapalku karam, karena mereka yakin aku mampu mengatasi masalahku sendiri. Hal ini membentukku menjadi nahkoda yang kuat, yang kokoh tak tertandingi.

Tidaklah berlebihan rasanya bila aku ingin mengganjar kepercayaan mereka dengan sebuah Mahakarya. Kembali lagi teringat di pagi itu, kehangatan yang terpancar membuatku tersadar bahwa inilah buah dari kepercayaan yang mereka pupuk di dalam diriku.
Terdengar klise memang, tetapi memang itulah yang diinginkn oleh seluruh Ayah dan Ibu di dunia, tidak terkecuali Ayah dan Ibuku. Ketahuilah bahwa mereka tidak pernah meminta apa-apa. Tercapainya mimpi-mimpiku adalah sebuah ganjaran yang paling sempurna untuk seluruh kepercayaan yang telah mereka berikan.

Perjuanganku belum usai, kepercayaan itu akan terus mengiringi perjalananku. Suatu hari aku pernah merasa lelah, rasanya ingin usai, rasanya sudah tidak sanggup lagi mengejarkan puluhan paper yang terdiri dari beribu kata-kata ilmiah. Tetapi disaat yang sama pula aku tersadar, aku teringat wajah mereka di pagi itu, kehangatan dan kegembiraan itu, kepercayaan itu, yang tak akan pernah aku khianati.

Setiap aku terjatuh, wajah mereka di pagi hari itu pulalah yang membangunkanku. Teruntuk Ayah dan Ibu, mimpiku semakin dekat, aku ingin kalian menyaksikan, dan merasakan Mahakarya terbesarku yang kupersembahkan untuk kalian si pemberi kehangatan.

Saturday, September 17, 2016


Perkembangan gaya hidup mahasiswa
Penelitian ini berupaya melihat dan menemukan bagaimana bentuk-bentuk dari fetisisme komoditas yang terjadi pada gaya hidup mahasiswa dan bagaimana fetisisme komoditas mempengaruhi penyikapan reflektif pada mahasiswa. Berdasarkan penelitian yang dilakukan maka peneliti mendapatkan suatu kesimpulan bahwasanya  persoalan gaya hidup bukan hanya problematika kelas atas yang berlimpah harta, namun saat ini dari kelas manapun bisa meniru dan memakai gaya hidup tertentu, meskipun hanya untuk berpura-pura. Sehingga gaya hidup sekarang bukan hanya monopoli kelas tertentu tapi telah menjadi lintas kelas. Gaya hidup modern sendiri akan mendorong seorang individu untuk mendefinisikan sikap, nilai-nilai, dan menunjukkan kekayaan serta posisi sosial seseorang melalui segala properti yang dimilikinya. Berbagai konstruk sosial tersebut akan menumbuhkan sifat fetish yang mendorong seseorang  pada suatu bentuk pemujaan terhadap berbagai komoditas atau wujud kebendaan. Bentuk-bentuk fetisisme komoditas dalam gaya hidup mahasiswa sendiri dapat dilihat dari gaya hidup modern diantaranya perayaan di Mall, Euforia di Bioskop dan penggunaan media elektonik maupun jejaring jejaring sosial (cyberspace). Mahasiswa dan Mahasiswi  ini rata-rata memiliki pilihan barang-barang bermerek dengan berbagai latar belakang yang berbeda. Mereka mempunyai motivasi masing-masing dalam pemilihan merek yakni sebagai bentuk ekspresi diri, mendapatkan jaminan kualitas bagus, fashionable dan trendsetter, serta adanya rasa kebahagiaan dan kebanggaan. Semuanya mahasiswa dalam penelitian ini terlibat dalam konsumsi terhadap merek. Atas dasar selera, ikut-ikutan dan ada pula yang karena gengsi. Hal ini menunjukkan nilai pakai suatu barang yang pada hakekatnya penting tidak terlalu diperhatikan lagi  dan yang paling utama dicari informan dalam penelitian ini adalah kebanyakan dari nilai simbolik dan prestisnya.
Fetisisme komoditas pada akhirnya memberikan dampak pada penurunan kualitas penyikapan reflektif mahasiswa yakni adanya pengejaran pada situs-situs dan atribut gaya hidup. Hal tersebut dapat terjadi apabila individu masih tidak nyaman dengan gaya hidup yang mereka jalani, individu akan selalu merasa ada hasrat yang kurang dan berusaha untuk mengejarnya. Pada akhirnya pengejaran secara terus menerus tersebut akan menyebabkan konsumtivisme pada status simbol. Manusia menjadi kehilangan hakekatnya sebagai mahluk personal, yang memiliki kebebasan dalam menentukan dirinya sendiri. Sehingga sulit mengenali mana yang benar-benar penting baginya atau tidak. Dari hal tersebut individu yang tercipta pada akhirnya menjadi individu yang mengikuti arus saja terombang ambing dengan berbagai pilihan, atau bahkan sudah masuk didalamnya dan sulit keluar karena alasan gengsi dan sebagainya.
Dengan pola konsumsi yang terus menerus tanpa dibarengi adanya kesadaran akan segala sesuatu (sikap reflektif)  maka dari sanalah yang menumbuhkan terjadinya fetisisme. Dan status quo kapitalisme dipertahankan oleh perilaku individu yang di dalamnya melalui cara konsumsi dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga dapat dikatakan bahwa keterkaitan antara fetisisme dengan kapitalisme bahwa fetisisme menjadi salah satu pondasi kuat yang menyebabkan kapitalisme tetap bertahan.







Daftar Pustaka
Baudrillard. 2011. Masyarakat konsumsi.Yogyakarta:  Kreasi wacana.
          Baudrillard, Jean. 1981. For a Critique of the Political Economy of the  Sign, St. Louis: Telos Press. dengan keberhasilan dalam prestasi saja namun tidak terlepas juga dari gaya hidup modern yang salah satunya adalah gaya hidup konsumeris. Permasalahan konsumeris sendiri sudah lama ada, namun yang menjadi masalah adalah hal tersebut kian meningkat seiring perkembangan zaman. Dimana salah satunya ditopang oleh adanya kapitalisme konsumsi yang  benar-benar telah ikut berperan penting dalam mengubah gaya hidup dan membentuk masyarakat konsumen. Selain itu juga dengan peran media (baik media cetak maupun elektronik) yang mana menjadi ladang gaya hidup. Sehingga dapat dilihat bagaimana mahasiswa masa kini  melakukan pilihan dalam menggunakan waktu luangnya maupun terkait dengan apa-apa yang dikonsumsinya. Dengan berbagai bentuk gaya hidup yang ada membuat adanya bentuk-bentuk pengejaran keinginan terhadap obyek-obyek material yang tampak nyata dalam kehidupan mahasiswa. Pengejaran ini termotivasi oleh bentuk-bentuk fetisisme komoditas yang sering kali terselubung. Bahkan mungkin juga tidak disadari oleh mahasiswa itu sendiri.
Mahasiswa dan berbagai atribut yang melekat padanya baik intelektual maupun gaya hidup menjadi pesona tersendiri yang melekat pada tiap-tiap individu. Beragamnya tipe mahasiswa membuat pendeskripsian makna dari figur seorang mahasiswa tergantung dari bagaimana seseorang menggunakan identitasnya sebagai seorang mahasiswa. Figur mahasiswa dalam kehidupan sosial cenderung dilekati oleh kualitas atribusi intelektual. Khusus, di Indonesia sendiri dalam sejarahnya mahasiswa dinilai merupakan elemen penting dalam pergerakan sosial-politik dalam negeri. Disisi lain, pola kehidupan mahasiswa sendiri mengalami perubahan bukan hanya dari peralihan iklim sosial-politik yang ada di Indonesia. Keberadaan temuan-temuan teknologi mutakhir, juga memberi pengaruh besar pada kehidupan mahasiswa yakni pengaruh pada perubahan gaya hidup mahasiswa baik itu yang menuju pada hal positif maupun negatif.
Adanya iklim “nyaman” dan terbuka dalam kehidupan mahasiswa ditambah dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan teknologi serta dominasi saluran informasi yang dijejali dengan berbagai hiburan, komedi dan iklan-iklan yang menggiurkan, telah sedikit atau banyak menggeser cara pandang mahasiswa terhadap kehidupan riil yang ada pada masyarakat. Disisi lain, hal ini juga dipengaruhi oleh citraan-citraan gaya hidup mahasiswa dalam acara pertelevisian. Televisi, media utama budaya populer, adalah penyalur yang sempurna bagi pelampiasan hasrat konsumerisme dan fetisisme. Fetisisme adalah praktik pemujaan yang membuat nilai substansial dari sesuatu menjadi hilang hingga yang terjadi kemudian adalah nilai tukar semata. Terlebih lagi, karena masyarakat masih terbiasa dengan budaya lisan, maka menonton selebritas tampil di televisi, menjadi kenikmatan yang tidak tertandingi.
Gaya hidup modern tersebut mendorong seorang individu untuk mendefinisikan sikap, nilai-nilai, dan menunjukkan kekayaan serta posisi sosial seseorang melalui segala properti yang dimilikinya. Gaya hidup bermewah-mewahan yang sebelumnya terbatas pada masyarakat kelas atas, kini cenderung terjadi pula pada berbagai lapisan masyarakat, meskipun dalam variasi yang berbeda.

Fetisisme obyek dalam gaya hidup mahasiswa cenderung dimuati penanda-penanda khas seperti kaum muda, intelektual, peka teknologi, maupun  “gaul dan funcy”.  Bagus (1996:240) mengemukakan “Fetisisme sendiri  adalah sikap yang mengkultuskan sebuah objek tertentu lantaran objek itu diyakini memiliki kekuatan atau roh. Manakala sikap ini dikaitkan dengan term ”komoditi”, maka yang dimaksud  adalah pemujaan terhadap sebuah produk lantaran daya pesonanya yang memikat. Fetisisme komoditi, dengan demikian, menegaskan keberhasilan iklan dalam penciptaan sebuah mitos. Konsumsi yang dihasilkan dalam sikap fetisis itu adalah sebuah konsumsi yang absurd.
Oleh karena itu, fetisisme obyek dalam gaya hidup mahasiswa memunculkan suatu pertanyaan penting. Yakni mengenai apakah fetisisme telah mengakibatkan suatu reduksi kesadaran lapisan kelompok sosial mahasiswa secara umum. Lantas sejauhmana reduksi ini terjadi dan dampaknya bagi aktivisme mahasiswa yang selama ini menjadi salah satu poros kekuatan sosial-politik yang patut diperhitungkan. Terlebih lagi, mahasiswa dalam struktur sosial masyarakat Indonesia cenderung dinilai sebagai golongan intelektual muda dan dalam rekam sejarahnya senantiasa menjadi penggerak perubahan. Budaya permukaan ini mendangkalkan informasi yang harusnya dipahami secara substansial. Bukan hanya dengan pengemasan bagus tanpa makna yang jelas. Di sini, peranan mahasiswa sebagai insan akademik yang seharusnya berperan. Ironisnya mahasiswa justru tidak sadar akan hal ini. Hal ini tentunya sedikit banyak akan membawa pergeseran pandangan masyarakat terhadap sosok mahasiswa. Dengan demikian, fetisisme dalam gaya hidup mahasiswa bukan hanya suatu fenomena pergeseran pandangan mahasiswa yang pada dasarnya hanya menyangkut kelompok mahasiswa secara tertutup begitu saja. Namun lebih jauh lagi, akan memberi dampak terhadap konstelasi sosial-politik bangsa Indonesia dimasa mendatang.
Dari beragamnya fenomena sosial mengenai gaya hidup, kajian tersebut menjadi penting saat ini, signifikansinya adalah bahwa dalam wacana konsumerisme dan budaya popular, identitas menjadi persoalan yang serius, karena identitas yang dikembangkan selalu identitas yang dikontruksikan secara sosial oleh elit budaya sehingga dirasa  menjadi suatu hal yang menarik mengingat tidak ada ruang didalamnya bagi pengembangan apa yang disebut kesadaran diri menuju identitas yang otentik.
Dalam tulisan ini yang menjadi fokus penelitian ialah ; 1). Bagaimana bentuk-bentuk fetisisme komoditas yang terjadi pada gaya hidup mahasisiswa Universitas Airlangga Surabaya? 2). Bagaimana fetisisme komoditas yang terjadi pada gaya hidup mahasiswa berdampak pada kualitas penyikapan reflektif ?. Sedangkan yang menjadi tujuan penulisan dalam penelitian ini ialah 1).Untuk memberikan gambaran dan mengenali bentuk-bentuk fetisisme komoditas yang terjadi pada gaya hidup mahasisiswa khususnya di Universitas Airlangga Surabaya dan 2). Untuk menganalisis fetisisme komoditas yang terjadi pada gaya hidup mahasisiswa di Surabaya dan dampaknya pada kualitas penyikapan reflektif seorang mahasiswa.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif  berparadigma interpretif. Dalam melakukan studi dan pembahasan tentang fetisisme komoditas ini menggunakan pisau analisis teori kritis yakni dikaji dengan menggunakan teori yang dikemukakan oleh Baudrillard tentang masyarakat konsumsi, konsep manusia satu dimensi dari Herbert Marcuse, dan konsep habitus dari Bourdieu.
Pada awalnya pengkajian tentang fetisisme diperkenalkan dan didorong oleh  Marx dan Freud. Dari beberapa penjelasan dan kajian pemikirannya diketahui bahwa Marx dan Freud adalah para pemikir yang berangkat dari tradisi modernisme. Adalah Baudrillard yang telah memulai perlakuan terhadap fetisisme sebagai sesuatu yang bekerja dalam lalu lintas penandaan sosial. Baudrillard  melengkapi konsep fetisisme komoditas Marx dengan meneliti fetisisme nilai guna dan dampak sosial pada aktivitas konsumsi. Baudrillard juga mengembangkan pemahaman Freud mengenai nilai godaan (seksual) yang terdapat pada obyek untuk memahami hasrat subyek terhadap obyek-oyek dalam sirkulasi tanda yang kemudian membentuk keluasan aktivitas konsumsi. Baudrillard sebagai salah satu tokoh yang dianggap memperkenalkan semangat postmodern dalam melihat permasalahan fetisisisme dan apa saja yang berkaitan dengannya dari sudut pandang yang berbeda dari dua pemikir diatas.
Untuk konsep one dimensional man  sendiri, Marcuse melihat masyarakat telah mengalami dominasi teknologi sehingga menjadi masyarakat teknokratis. Dominasi ini membawa empat dampak bagi masyarakat. Pertama, muncul bentuk-bentuk kontrol baru. Kedua, tertutupnya semesta dunia politik. Ketiga, desublimasi reprsif dan keempat hilangnya fungsi kritis. Serta konsep Bourdieu tentang habitus yang berguna untuk memuat penjelasan mengenai berbagai disposisi yang menetapkan selera.Perkembangan gaya hidup modern pada mahasiswa berkembang bukan hanya pada satu universitas saja, namun juga merata pada berbagai universitas yang ada. Baik universitas negeri maupun swasta sama-sama tidak mau merasa tertinggal dalam urusan gaya hidup. Semuanya mengembangan berbagai bentuk gaya hidup yang khas yang tentu saja mengacu pada gaya hidup modern yang up to date.  Dalam hal ini salah satunya juga yang tidak ketinggalan yakni  mahasiswa pada universitas Airlangga.
Dalam kebudayaan modern, fetisisme ditunjukkan melalui meleburkannya subyek kedalam dunia obyek sebagai tanda yang dibaca dan dipertukarkan. Seperti halnya dengan bagaimana pilihan yang dilakukan seseorang dalam menggunakan waktu luangnya maupun terkait dengan segala hal yang dikonsumsinya.  Dengan perkembangan pada gaya hidup yang saat ini lebih beragam maka gaya hidup sendiri merupakan salah satu bentuk dari budaya konsumen. Hal ini dikarenakan gaya hidup yang dilakukan seseorang menyangkut soal konsumsi akan barang maupun jasa. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa salah satu bentuk dari gaya hidup dapat dilihat dari penggunaan waktu luangnya maupun dari pilihan konsumsi terhadap segala sesuatu.
Pada masa sekarang penggunaan waktu luang cenderung digunakan untuk lebih menikmati hidup dengan santai, fun dan hedon.  Mal karena itulah dipilih oleh sebagian besar informan sebagai tempat yang sesuai dengan gaya hidup masa kini. Mal hadir sebagai obat bagi masyarakat untuk “mengurangi” kepenatan hidup yang dirasakan oleh sebagian orang.  Dan ngemal bagi anak muda khususnya sebagian mahasiwa merupakan akivitas yang sama pentingnya dengan mengikuti kuliah di kampus.  Pesona mal telah menyilaukan setiap orang yang pergi kesana. Bagaimana tidak, mal bukan hanya menawarkan ruang seperti tempat makan, outlet pakaian, serta outlet barang-barang bermerek, namun juga lebih dari itu mal menawarkan cita rasa dan gengsi bagi setiap orang yang datang kesana. Meskipun mal adalah sebuah pasar, tapi seseorang yang datang ke mal tidak semata bertujuan melakukan transaksi jual-beli. Sebuah konsep hiperkomoditi, yang mengembangkan sebuah bentuk luar biasa dari pasar yang mana menyediakan “apa saja” yang dibutuhkan oleh manusia modern.
Selain mal penggunaan waktu luang lainnya terkait gaya hidup adalah dengan menikmati bioskop. Secara fungsional bioskop merupakan tempat yang digunakan untuk memutar film terbaru bersama banyak orang dengan suasana yang disesuikan dengan film yang ditampilkan. Namun yang terjadi pada masa sekarang ini, bioskop selain berfungsi sebagai tempat untuk menonton pemutaran film perdana juga digunakan sebagai ajang untuk menambah image si penonton bahwa si penonton tersebut adalah anak yang gaul dan up to date terhadap film. Maka tidaklah mengherankan budaya tontonan berkembang dengan pesatnya. Hal yang sama juga terjadi pada penggunaan media jejaring sosial yang berkembang dengan pesatnya. Selain untuk mengisi waktu dengan menenonton film di bioskop, berjalan-jalan di mal, para informan juga mengisi waktunya dengan pengguanaan media elektonik, seperti halnya handphone, facebook, twitter, maupun bentuk-bentuk lainya. Dengan memiliki dan meng up date akun jejaring sosial terbaru maka bisa dipastikan seseorang akan mendapat label dari masyarakat ataupun teman sepermainanya  bahwa dirinya termasuk pribadi yang gaul. Gaul karena selain bisa bersosialisasi dimanapun juga dan dengan siapapun juga. Terkait dengan apa yang dikonsumsi, salah satunya adalah mengkonsumsi barang bermerek (branded). Dikatakan demikian karena kebanyakan yang terjadi dalam konsumsi barang branded, seseorang dalam hal ini informan (mahasiswa) melakukannya bukan hanya didasarkan atas fungsi dari merek tersebut, namun lebih dari itu ada sesuatu makna lain yang terkandung dalam sebuah produk tersebut.
Mahasiswa dan Mahasiswi  rata-rata memiliki pilihan barang-barang bermerek dengan berbagai latar belakang yang berbeda, mereka mempunyai motivasi masing-masing dalam pemilihan merek ini. Mahasiswa dalam penelitian ini terlibat dalam konsumsi terhadap merek. Atas dasar selera, ikut-ikutan dan ada pula yang karena gengsi. Mahasiswa dan Mahasiswi  ini rata-rata memiliki pilihan barang-barang bermerek dengan berbagai latar belakang yang berbeda. Mereka mempunyai motivasi masing-masing dalam pemilihan merek yakni sebagai bentuk ekspresi diri, mendapatkan jaminan kualitas bagus, fashionable dan trendsetter, serta adanya rasa kebahagiaan dan kebanggaan. Hal ini menunjukkan nilai pakai suatu barang yang pada hakekatnya penting tidak terlalu diperhatikan lagi  dan yang paling utama dicari informan dalam penelitian ini adalah kebanyakan dari nilai simbolik dan prestisnya.
Dari beragamnya fenomena sosial mengenai gaya hidup tersebut diatas,   maka hal itu merupakan fetisisme sebagai sesuatu yang bekerja dalam lalu lintas penandaan sosial. Merujuk pada Baudrillard (1981:63) yang menerangkan objek sebagai tanda-tanda dalam aturan nilai penandaan yang bisa digolongkan antara dua keterangan, fungsionalitas dan pemeragaan yang sebenarnya dilebih-lebihkan (ostention). Kedua keterangan tersebut dapat menjadi bagian dari objek yang sama sehingga objek dapat menjadi perangkat yang menggabungkan “keserampangan dengan tampilan sebuah fungsionalitas”. Dan apabila suatu objek lebih menunjukkan suatu pemeragaan yang dilebih-lebihkan (ostention), serta apabila tanda dari nilai tersebutlah yang menumbuhkan keinginan seseorang terhadap objek tersebut, maka objek tersebut berubah menjadi fetish. Dikarenakan konsep kapitalisme yang menyebabkan seseorang memiliki kebutuhan palsu. Maka untuk mendekatkan realitas dengan imajinasi, kapitalis menciptakan subtitusi-subtitusi berupa bermacam gaya hidup, estetika, ritual, prestise dan identitas simbolis dibalik pemilikan sebuah komoditi sehingga manusia mendapatkan kepuasan yang tidak riil tapi imajiner.
Seperti halnya merujuk pada pemikiran Herbert Marcuse dalam bukunya One Dimensional Man (1964:35) bahwa kebanyakan kebutuhan yang ditawarkan untuk rileks, bersenang-senang untuk berperilaku dan mengkonsumsi sesuai dengan iklan adalah termasuk kebutuhan palsu. Kebutuhan-kebutuhan palsu ini merupakan tuntutan sosial yang perwujudannya berupa nilai-nilai dalam relasi sosial seperti status sosial, prestise, eksistensi, dan citra, yang dinyatakan melalui berbagai komoditas yang diperoleh dengan jalan konsumerisme. Padahal dari adanya fetisisme komoditas tersebut tidak menyumbangkan sesuatu dalam identitas budaya selain budaya konsumerisme tinggi bahkan individu dibiarkan kosong dan membiarkan diri dikendalikan. Selera, kelakuan, pilihan rasa, dan penilaian individu dimanipulasi dan sehingga semakin tidak memiliki diri sendiri. sehingga orang ketagihan untuk membeli bukan karena kebutuhan (need) mereka atau menikmati apa yang dibeli tetapi untuk (want) keinginan  sendiri atau status sosial yang semu sekaligus penunjuk bahwa individu tersebut bagian dari suatu kelas sosial tertentu.
Seseorang menjadi korban fetisisme komoditas manakala relasi sosial dan apresiasi budaya diobjektifikasi melalui pemujaan. Ketika setiap orang menghidupinya dalam rutinitas keseharian sehingga kadang sulit untuk menemukan dimensi politis yang melekat padanya, bahwa ‘sesuatu’ telah memanipulasi kesadaran dan mengarahkan tindakan manusia. Seperti halnya apa yang dikemukan oleh Baudrillard bahwa fungsi utama objek-objek konsumen bukanlah pada kegunaan atau manfaatnya, melainkan lebih pada fungsi sebagai nilai-tanda atau nilai-simbol yang disebarluaskan melalui iklan-iklan gaya hidup dari berbagai media. Hal ini menyebabkan individu menerima identitas dalam hubungannya dengan orang lain bukan dari siapa dan apa yang dilakukannya, namun dari tanda dan makna yang mereka konsumsi, miliki dan tampilkan dalam interaksi sosial. Dalam masyarakat konsumen, tanda adalah cerminan aktualisasi diri individu yang paling meyakinkan.
Dalam kasus ini, individu diburu sekaligus dikejar dengan harga absurd karena memberi penekanan pada rasa pede dan eksklusif. Lantaran eksklusif, maka juga akan menghadirkan rasa prestise dan statuspun tentu akan meningkat. Hal ini terjadi sebagai akibat dari rangsangan kebutuhan-kebutuhan palsu yang membuat seseorang berpikir bahwa mereka harus memiliki apa yang (mereka pikir) mereka butuhkan dan inginkan. Oleh karena itu, kecenderungan yang seperti pada kasus di atas pada akhirnya akan membuat identitas dan subyektivitas seseorang mengalami transformasi. Proses transformasi itu terjadi misalnya ketika seseorang mulai mengekspresikan gaya hidupnya dengan kepemilikan objek-objek dan penggunaan benda-benda, dengan penekanan utamanya tidak pada nilai fungsionalnya, akan tetapi pada nilai-nilai simbolisnya. Dalam hal ini bahwa menunjukkan adanya beberapa faktor diantaranya dengan menggunakan atau mengkonsumsi produk tersebut maka akan terbentuklah kelas sosial yang ada dalam diri seseorang. Dengan adanya pembedaan kelas sosial tersebut membuat proses identifikasi yang berbeda dari komoditas yang dimiliki yang mengandung  nilai simbolis. Dimana komoditas yang dikonsumsi menjadi wakil dari kehadiran dirinya.
Merujuk apa yang dikemukakan oleh Baudrillard (2011:260) bahawa manusia konsumsi tidak pernah benar-benar tahu akan kebutuhannya sendiri dan ketiadaan refleksi tentang dirinya sendiri, semuanya berkutat pada tanda-tanda yang di dalamnya ada motif dan tujuan-tujuan
tertentu.
 Pada akhirnya disinilah manusia mengalami kegagalan bereksistensi dan kehilangan otensitas dirinya sebagai manusia. Dengan menjadi otentik (asli), menjadi diri sendiri merupakan proses yang sangat penting. Keselarasan antara apa yang diyakini dengan apa yang dihayati sehari-hari dalam tindakan, sangat jarang ditemui pada zaman ini. Otentisitas memberi makna kesadaran akan eksistensi pribadi dalam kehidupan ini. Bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri, seperti apa dirinya bahkan apakahi sebenarnya yang sedang terjadi. Konsumerisme dan gaya hidup individu maupun kelompok yang terjadi dalam setiap aspek kehidupan seseorang, membuat seseorang tidak sadar akan dirinya. Manusia menjadi kehilangan hakekatnya sebagai mahluk personal, yang memiliki kebebasan dalam menentukan dirinya sendiri.
 Dengan adanya fetisisme dan bentuk-bentuknya yang kadangkala tidak disadari membuat kesalafahaman dalam memandang sebuah obejek (sesuatu). Sehingga seseorang akan  dibuat percaya diri hanya setelah memakai dan mengkonsumsi suatu produk tertentu. Dalam menyikapi hal ini jelas terlihat kalau identitas seseorang sebagai manusia telah diletakkan pada benda, yang mana jika seseorang memakainya, akan merasa memiliki identitas yang diinginkan sedangkan jika seseorang tersebut tidak memakainnya maka hilanglah kepercayaan dirinya.
Sekian banyak pilihan model gaya hidup yang ditawarkan dalam masyarakat sesungguhnya adalah hasil pergulatan diri sendiri dalam pencairan identitas dan sensibilitas dengan lingkungan dimana seseorang hidup, sekalipun mungkin tidak adanya kesadaran tentang perubahan diri yang mendominasi dalam pembentukan nilai,cita rasa, gaya sampai tampilan diri (Chaney, 2004:11).
Dengan pola konsumsi yang terus menerus tanpa diikuti adanya kesadaran akan segala sesuatau maka itulah yang membangun terjadinya fetisisme. Fetisisme bekerja dengan membangun kelas atas atau penguasa kapital yang merencanakan pola konsumsi dan menciptakan kelas menengah dalam jumlah massif untuk mengikuti pola konsumsi ‘kelas atas’ tersebut. Sehingga apa yang diciptakan fetisisme sebenarnya merupakan bentuk differensiasi sosial antara kelas atas dan kelas menengah serta jarak sosial antara keduanya yang selamanya dikendalikan oleh pihak yang berkuasa, yaitu kelas atas. Maka disinilah habitus yang  merupakan sebuah pengkondisian. Dimana dalam suatu kelas terbentuk melalui proses sosialisasi, artinya reproduksi tatanan sosial terjadi dengan bertitik tolak pada konsep habitus ini.
Salah satu faktor yang penting mempengaruhi pemakaian benda-benda bermerk dalam masyarakat kapitalis adalah angka produksi barang-barang baru mempunyai arti bahwa perjuangan untuk memperoleh benda-benda posisional (Hirsh, 1976), benda-benda yang mendefinisikan status sosial dalam kelompok masyarakat atas, merupakan sesuatu yang relatif. Suplai benda-benda baru yang dikehendaki karena sesuai dengan mode atau perebutan benda-benda bermerk yang ada, oleh kelompok masyarakat bawah, mengakibatkan munculnya efek pengejaran yang tidak ada hentinya dimana kelompok masyarakat atas akan terus menginvestasikan barang-barang (informasional) baru dalam upaya memaparkan kembali jarak masyarakat yang telah ada sebelumnya (Featherstone, 2008:42).
Disinilah konsep Bourdieu tentang habitus berguna untuk memberikan penjelasan mengenai berbagai disposisi yang menentukan selera. Dengan habitus, Bourdieu merujuk pada berbagai disposisi yang tidak disadari disposisi disposisi inilah yang “yang membentuk kesatuan tak-sadar suatu kelas”, skema-skema klasifikasi, pilihan-pilihan yang dianggap benar yang tampak jelas dalam pengertian seseorang mengenai ketepatan dan validitas selerannya akan berbagai benda dan praktek budaya, seni, makanan, hari libur, hobi, dan seterusnya.

Penelitian ini berupaya melihat dan menemukan bagaimana bentuk-bentuk dari fetisisme komoditas yang terjadi pada gaya hidup mahasiswa dan bagaimana fetisisme komoditas mempengaruhi penyikapan reflektif pada mahasiswa. Berdasarkan penelitian yang dilakukan maka peneliti mendapatkan suatu kesimpulan bahwasanya  persoalan gaya hidup bukan hanya problematika kelas atas yang berlimpah harta, namun saat ini dari kelas manapun bisa meniru dan memakai gaya hidup tertentu, meskipun hanya untuk berpura-pura. Sehingga gaya hidup sekarang bukan hanya monopoli kelas tertentu tapi telah menjadi lintas kelas. Gaya hidup modern sendiri akan mendorong seorang individu untuk mendefinisikan sikap, nilai-nilai, dan menunjukkan kekayaan serta posisi sosial seseorang melalui segala properti yang dimilikinya. Berbagai konstruk sosial tersebut akan menumbuhkan sifat fetish yang mendorong seseorang  pada suatu bentuk pemujaan terhadap berbagai komoditas atau wujud kebendaan. Bentuk-bentuk fetisisme komoditas dalam gaya hidup mahasiswa sendiri dapat dilihat dari gaya hidup modern diantaranya perayaan di Mall, Euforia di Bioskop dan penggunaan media elektonik maupun jejaring jejaring sosial (cyberspace). Mahasiswa dan Mahasiswi  ini rata-rata memiliki pilihan barang-barang bermerek dengan berbagai latar belakang yang berbeda. Mereka mempunyai motivasi masing-masing dalam pemilihan merek yakni sebagai bentuk ekspresi diri, mendapatkan jaminan kualitas bagus, fashionable dan trendsetter, serta adanya rasa kebahagiaan dan kebanggaan. Semuanya mahasiswa dalam penelitian ini terlibat dalam konsumsi terhadap merek. Atas dasar selera, ikut-ikutan dan ada pula yang karena gengsi. Hal ini menunjukkan nilai pakai suatu barang yang pada hakekatnya penting tidak terlalu diperhatikan lagi  dan yang paling utama dicari informan dalam penelitian ini adalah kebanyakan dari nilai simbolik dan prestisnya. 
Fetisisme komoditas pada akhirnya memberikan dampak pada penurunan kualitas penyikapan reflektif mahasiswa yakni adanya pengejaran pada situs-situs dan atribut gaya hidup. Hal tersebut dapat terjadi apabila individu masih tidak nyaman dengan gaya hidup yang mereka jalani, individu akan selalu merasa ada hasrat yang kurang dan berusaha untuk mengejarnya. Pada akhirnya pengejaran secara terus menerus tersebut akan menyebabkan konsumtivisme pada status simbol. Manusia menjadi kehilangan hakekatnya sebagai mahluk personal, yang memiliki kebebasan dalam menentukan dirinya sendiri. Sehingga sulit mengenali mana yang benar-benar penting baginya atau tidak. Dari hal tersebut individu yang tercipta pada akhirnya menjadi individu yang mengikuti arus saja terombang ambing dengan berbagai pilihan, atau bahkan sudah masuk didalamnya dan sulit keluar karena alasan gengsi dan sebagainya.
Dengan pola konsumsi yang terus menerus tanpa dibarengi adanya kesadaran akan segala sesuatu (sikap reflektif)  maka dari sanalah yang menumbuhkan terjadinya fetisisme. Dan status quo kapitalisme dipertahankan oleh perilaku individu yang di dalamnya melalui cara konsumsi dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga dapat dikatakan bahwa keterkaitan antara fetisisme dengan kapitalisme bahwa fetisisme menjadi salah satu pondasi kuat yang menyebabkan kapitalisme tetap bertahan.







Daftar Pustaka
Baudrillard. 2011. Masyarakat konsumsi.Yogyakarta:  Kreasi wacana.
          Baudrillard, Jean. 1981. For a Critique of the Political Economy of the  Sign, St. Louis: Telos Press.