Sunday, November 17, 2019

Menalar Kebahagiaan (Plato sampai Nietszche)


Kebahagiaan. Sebuah kata yang biasa kita dengar, sangat bermakna namun sering kali menjadi rancu. Ada yang mengatakan kesuksesan berjalan beriringan dengan kebahagiaan. Sukses membangun rumah tangga, sukses dalam studi, sukses dalam karier, sukses dalam hal agama. Yah, tentu anda membayangkan seorang pengusaha cerdas dan saleh yang rumah tangganya baik-baik saja. Di situ merangkum semuanya. Tapi benarkah kebahagiaan benar-benar ia dapatkan? Belum tentu.

Inilah beberapa faktanya. Dalam dunia usaha, persaingan yang saling menjatuhkan banyak terjadi. Untuk itu, dia harus bisa masuk dalam dunia persaingan itu dan prinsipnya adalah prinsip perang. Yang kuat yang menang. Apakah hatinya akan bahagia kalau kemudian dia berhasil memenangkan peperangan? Karena dengan demikian berarti ada korban yang dikalahkan. Untuk mendapatkan tender misalnya, suap menyuap adalah hal biasa. Untuk memenangkan pasar, maka membuat sebuah dominasi merupakan sebuah tuntutan. Lalu apakah dengan menarik diri berarti juga dia sudah bahagia? Belum tentu juga. Bagaimana dia bertahan hidup? Hanya dengan kesuksesan finansiallah kemudian kesuksesan-kesuksesan lain tercapai.

Menurut Baudrillard, kebahagiaan yang sekarang banyak dipegang masyarakat umumnya sudah bergeser. Menurut Jean Baudrillard,tatanan masyarakat dewasa ini didasari oleh rasionalitas hedonisme yang bertumpu pada pemuasan kebutuhan dan kesenangan melalui konsumsi. Budaya-budaya dan nilai-nilai lokal dengan segala macam kearifannya yang penuh dengan ajaran-ajaran mengenai kesalehan, kesederhanaan, gotong royong, dan pengekangan hasrat atau nafsu telah mengalami banyak pergeseran menjadi kehidupan yang bertumpu pada moral hedonistik yang mengedepankan pemborosan yang disebarkan oleh media massa.

Baudrillard membandingkan kenyataan tersebut dengan kenyataan kehidupan palaeolithic (masyarakat makmur pertama yang hidup beberapa ratus tahun silam) sebagaimana digambarkan oleh Marshall Sahlins dalam artikelnya ‘The First Affluent Society’.Pada jaman dahulu, masyarakat Kalahari (salah satu suku primitif di Australia yang hidup pada jaman berburu dan meramu) yang hidup dalam ‘kemiskinan’ (kalau kita lihat dalam perspektif jaman sekarang) dan keterbatasan, namun menurutnya, mereka sebenarnya makmur. Orang-orang primitif dalam masyarakat tersebut tidak memiliki benda, properti, perangkat produksi atau pekerjaan. Mereka berburu, meramu kebutuhan sehari-hari mereka sebagai suatu bentuk kesenangan. Lebih dari itu, mereka saling berbagi makanan atau apapun dengan anggota kelompok mereka. Selain itu, meskipun mereka hidup diantara kelimpahan sumber daya alam, mereka tidak melakukan eksploitasi atau mendayagunakannya secara secara berlebihan. Point ini adalah sesuatu yang penting berkaitan dengan prinsip konsumsi, tidak mengeksploitasi tapi bisa menabung sebagai sebuah tanggung jawab masa depan yang mungkin tidak disadari.

Sahlins juga melihat bahwa masyarakat primitif itulahmasyarakat yang benar-benar makmur. Masyarakat sekarang hanya memiliki tanda-tanda kemakmuran saja walaupun mereka memiliki perangkat produksi yang besar. Kemiskinan itu bisa dilihat dalam hal hubungan relasional diantara sesama manusia. Menurut Sahlins kemakmuran yang sebenarnya bukan terletak pada kepemilikan barang-barang, tetapi pada pertukaran yang nyata diantara sesama manusia. Bagi Baudrillard, rasionalitas hidup masyarakat modern saat ini yang senantiasa berorientasi dan merujuk pada objek-objek material bukanlah sifat dasar manusia atau sesuatu yang alamiah terjadi begitu saja.

Pada jaman dahulu, kebahagiaan juga sudah dipikirkan secara sistematis oleh Plato. Pada salah satu tulisannya, Plato menyebut salah seorang bernama Gorgias. Tentu saja ia lebih merupakan tokoh fiksi yang digunakan sebagai simbol untuk menggambarkan orang-orang pada jamannya. Gorgias di dalam tulisan Plato berpendapat, bahwa kebahagiaan seseorang terletak di dalam kemampuannya untuk mewujudkan apa yang ia inginkan, apapun bentuknya.

Gorgias menegaskan bahwa jika orang memiliki kemampuan ini, ia akan mendapatkan apapun yang dinginkan, tak peduli seberapapun sulitnya. Inilah kebaikan tertinggi yang bisa diraih manusia, yakni mencapai apapun yang diinginkannya, demikian kata Gorgias. Mungkin inilah sebentuk hedonism klasik.

Namun kemudian Plato membuat kritikan akan filsafat kebahagiaan yang semacam itu. Manusia memiliki beragam keinginan, tujuan, cita-cita, hasrat, dan ambisi yang saling tumpang tindih di dalam dirinya. Orang seringkali tidak menyadari beragam keinginan saling bertarung di dalam dirinya ini, karena dibutuhkan kemampuan berpikir reflektif dan kritis yang tinggi untuk mengenalinya, sementara semakin sedikit orang jaman ini yang memiliki kemampuan itu.

Lalu, menanggapi argumen Gorgias yang semacam itu, Plato memberikan kita sebuah analogi; orang yang memuaskan keinginannya itu seperti orang yang menggaruk kulitnya, ketika terasa gatal, dan itu terasa nikmat serta memuaskan. Akan tetapi adakah orang di dunia ini yang mau menghabiskan hidupnya untuk menggaruk kulitnya terus menerus? Tentu saja tidak. Keinginan untuk menggaruk memang memuaskan, tetapi sifatnya sangatlah sementara.

Memang orang suka menggaruk ketika kulitnya gatal, namun ia tidak mungkin menghabiskan hidupnya untuk menggaruk kulitnya yang gatal, walaupun itu seringkali sangat memuaskan rasanya. Maka manusia haruslah memilih hasrat ataupun keinginan apa yang ingin dipuaskannya, karena tidak mungkin ia menghabiskan hidupnya untuk memenuhi hasrat dan keinginan rendah terus menerus. Harus ada nilai lain yang diperjuangkan.

Aristoteles adalah murid Plato, dan ia memiliki pendapat yang berbeda dengan gurunya. Bagi Aristoteles memang setiap orang perlu perencanaan di dalam hidupnya. Namun yang terpenting bukanlah perencanaan itu sendiri, melainkan tujuan akhir yang mengarahkan perencanaan itu. Tujuan itu mengatasi semua hasrat dan keinginan yang ada di dalam diri manusia. Setelah orang sampai pada tujuan itu, maka ia tidak lagi menginginkan apapun. Pertanyaannya kemudian, kalau sudah tercapai ngapain? Menikmatinya?

Bayangkan anda pengusaha yang sukses, sekarang tidak bekerjapun anda mendapatkan uang seperti Bill Gates. Pertanyaannya, habis sukses ngapain? Berdoa menunggu hidup berakhir?

Kemudian kita diingatkan dengan seorang tokoh bernama Nietzsche, seorang filsuf Jerman abad ke-19. Baginya pertarungan antara hasrat dan keinginan di dalam diri manusia bisa menciptakan kenikmatan tertentu. Ketika salah satu keinginan tersebut menjadi kenyataan, maka akan tercipta perasaan bangga dan kagum, yang menimbulkan rasa kenikmatan di dalam diri. Pemenuhan keinginan terus menerus juga akan mencegah orang merasa bosan, akibat hidup yang selalu menjalani rutinitas belaka.

Dalam hal ini Nietzsche membedakan dua macam manusia, yakni manusia yang lemah dan manusia yang kuat. Bagi orang lemah kebahagiaan itu sama dengan ketenangan jiwa, yang muncul dari harmoni kehidupan. Inilah ideal orang bahagia di dalam agama-agama yang menurut Nietzsche menandakan lemahnya seseorang. Sementara bagi orang kuat, kebahagiaan itu sama dengan mengiyakan dorongan-dorongan manusiawi di dalam diri manusia, termasuk di dalamnya dorongan untuk menguasai, kebebasan, dan penegasan diri yang kuat. Orang yang kuat bagi Nietzsche akan menolak semua bentuk ketenangan maupun harmoni, karena itu melemahkan daya juang manusia.

Nietzsche mengingatkan bahwa hasrat dan keinginan manusia itu tidak akan pernah bisa diatur, apalagi dimusnahkan. Bahkan keinginan untuk memusnahkan keinginan itu adalah sebuah keinginan juga. Hasrat dan keinginan yang bertarung di dalam diri manusia itu menciptakan tegangan, dan tegangan itu sebenarnya bisa memberikan kenikmatan dalam jangka pendek, serta kebahagiaan dalam jangka panjang, demikian kata Nietzsche. Perjalanan untuk mewujudkan keinginan adalah sebuah tantangan. Orang butuh tantangan di dalam hidupnya, sehingga ia bisa terus berkembang. Tantangan demi tantangan dalam hidup bisa memberikan alasan bagi orang untuk terus belajar. Di dalam proses itu ia akan merasa bahagia.

Kebahagiaan Dalam Refleksi Saya

Begitulah sejarah kebahagiaan. Tidak sesederhana itu sebenarnya sejarah pemikiran kebahagiaan. Tapi, dengan menggabungkan semua teori kebahagiaan yang ada akhirnya kita bisa menarik kesimpulan yaitu nilai sebuah perjuangan untuk mewujudkan apa yang kita inginkan. Di dalamnya memuat sebuah kesadaran, tanggung jawab, manajemen hasrat, dan tentu saja pengorbanan. Bukan hasil dan bagaimana kita mengonsumsinya yang akhirnya menentukan sebuah kebahagiaan, tapi bagaimana memperjuangkan sesuatu yang kita sadari bernilai itulah yang membentuk kebahagiaan kita. Tidak semua keinginan harus dipenuhi, meskipun tidak semuanya jelek. Misalnya saja, membaca dan menulis tidak mungkin membaca sambil menulis. Harus dipilih salah satu. Ketika pilihan itu didasari pada kesadaran pribadi dan bukan pertama-tama didikte oleh pihak lain, maka di situlah orang bisa berbahagia. Butuh ruang yang agak panjang untuk menuliskan makna kebahagiaan yang sesungguhnya tapi intinya orang tidak akan pernah puas dengan apa yang dia peroleh. Di situlah serunya kehidupan manusia.

Kebahagiaan itu, terletak pada apa yang kita perjuangkan, bukan pada penilaian orang lain. Meminjam teori seorang psikolog besar, Sigmund Freud, kita bisa menemukan kebahagiaan yang sebenarnya. Menurut Freud, dalam diri manusia ada id, ego, dan super ego. Id adalah dorongan-dorongan liar. Superego adalah kumpulan aturan dan moralitas yang ditanamkan oleh lingkungan sosial sedari kecil. Sementara ego adalah individualitas seseorang, atau bisa dikatakan juga sebagai jati dirinya. Ketiganya harus berada di dalam situasi harmonis dengan ego sebagai pemimpinnya.

No comments: