Sebelum nya sudah saya bahas tentang bagaimana bila seseorang hidup dalam dua dunia?
Dalam pemamparan saya tentang sebagaimana seseorang hidup di dalam dua dunia. Dunia pertama adalah dunia realita tempat dia benar-benar berpijak, dan lainnya merupakan dunia yang dibuat atas dasar alam pikirannya. Kehidupan semacam itu dapat terjadi pada gangguan jiwa psikotik, dan dari berbagai gangguan psikotik yang ada, skizofrenia adalah yang terbanyak.
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang ditandai dengan adanya distorsi realita, disorganisasi, dan gangguan psikomotor. Penderita skizofrenia tidak dapat membedakan dia hidup dalam realita atau dalam alam pikirannya sendiri (autistik). Penyakit ini bersifat kronis, sering kambuh, dan menyebabkan penurunan fungsi yang semakin lama semakin berat bila tidak mendapatkan pertolongan medis yang adekuat.
Kita semua terpesona oleh mimpi. Orang-orang yang, seperti halnya aku sendiri yang bermimpi dengan sangat jelas seringkali memiliki pengalaman “terperangkap” dalam sebuah mimpi yang kita percayai bahwa itu nyata. Perasaan lega luar biasa yang menyertai keterjagaan memang sangat murni. Namun, aku seringkali bertanya-tanya mengapa?
Dalam hal ini kalau kita mengatakan bahwa mimpi adalah realitas, kita membuat distingsi atau perbedaan yang tegas antara pengalaman-pengalaman kita ketika terjaga dan ketika tertidur. Dapatkah kita sepenuhnya yakin bahwa “dunia mimpi” adalah ilusi, dan “dunia jaga” adalah nyata? Dapatkah bahwa yang terjadi justru sebaliknya, atau bahwa kedua dunia itu sama-sama nyata, ataupun kedua-duanya sama sekali tidak nyata? Apakah kriteria realitas yang dapat kita gunakan untuk memutuskan persoalan?
Tanggapan yang biasa adalah mengklaim bahwa mimpi adalah pengalaman pribadi, sementara dunia yang kita persepsikan ketika terjaga adalah konsisten dengan pengalaman-pengalaman yang lain. Tetapi ini tidak membantu. Aku sering menjumpai karakter-karakter mimpi dari orang yang memastikanku bahwa karakter mimpi mereka nyata, dan sama-sama mengalami pengalaman-pengalaman mimpi seperti mimpiku. Dalam kehidupan sadar, aku harus mengambil kata orang lain untuk itu, bahwa mereka betul-betul mempersepsikan sebuah dunia yang serupa dengan dunia milikku, karena aku tidak dapat betul-betul berbagi dengan pengalaman mereka.
Bagaimana aku dapat membedakan antara klaim murni dengan klaim yang dibuat oleh karakter ilusif yang cukup kompleks, tetapi tak sadar? Juga, tidak ada gunanya menunjukkan fakta bahwa mimpi seringkali tidak jelas, terputus-putus dan tidak masuk akal. Apa yang disebut dunia nyata seringkali tampaknya sama dengan keadaan setelah minum beberapa gelas anggur, atau ketika sadar dari pembiusan.
Seperti yang pernah kubaca , Plato percaya bahwa realitas itu terbagi menjadi dua wilayah.
Satu wilayah adalah dunia indra, yang mengenainya kita
hanya dapat mempunyai pengetahuan yang tidak tepat atau tidak
sempurna dengan menggunakan lima indra kita. Di dunia indra
ini, "segala sesuatu berubah" dan tidak ada yang permanen.
Dalam dunia indra ini tidak ada sesuatu yang selalu ada, yang
ada hanyalah segala sesuatu yang datang dan pergi.
Wilayah yang lain adalah dunia ide, yang mengenainya kita
dapat memiliki pengetahuan sejati dengan menggunakan akal
kita. Dunia ide ini tidak dapat ditangkap dengan indra, tetapi ide
(atau bentuk-bentuk) itu kekal dan abadi.
Menurut Plato, manusia adalah makhluk ganda.
Kita memiliki
tubuh yang "berubah" yang tidak terpisahkan dengan dunia indra, dan
tunduk pada takdir yang sama seperti segala sesuatu yang lain di
dunia ini—busa sabun, misalnya.
Semua yang kita indrai didasarkan
pada tubuh kita dan karenanya tidak dapat dipercaya. Namun, kita
juga memiliki jiwa yang abadi—dan jiwa inilah dunianya akal.
Dan, karena tidak bersifat fisik, jiwa dapat menyelidiki dunia ide.
Aku harus buru-buru menekankan bahwa Plato sedang
menggambarkan suatu jalan hidup yang ideal, sebab tidak semua
manusia membiarkan jiwanya bebas untuk memulai perjalanan ke
dunia ide, Kebanyakan orang bergantung pada "bayangan" ide di
dunia indra. Mereka melihat seekor kuda—dan kuda yang lain.
Namun, mereka tidak pernah mengerti bahwa setiap kuda itu hanyalah
tiruan yang buram. Yang dikemukakan Plato adalah jalan sang
filosof.
Plato menekankan bahwa
menggambarkan suatu jalan hidup yang ideal, sebab tidak semua
manusia membiarkan jiwanya bebas untuk memulai perjalanan ke
dunia ide, Kebanyakan orang bergantung pada "bayangan" ide di
dunia indra. Mereka melihat seekor kuda—dan kuda yang lain.
Jika kamu melihat sebuah bayang-bayang, kamu akan
mengira bahwa pasti ada sesuatu yang menimbulkan bayang-bayang
itu. Kamu melihat bayang-bayang seekor binatang. Kamu kira itu
mungkin seekor kuda, tapi kamu tidak begitu yakin. Kamu berbalik
dan melihat kuda itu sendiri—yang tentu saja benar-benar lebih indah
dan lebih tegas bentuknya daripada "bayang-bayang kuda" yang
kabur. Plato juga percaya bahwa semua fenomena alam itu
hanyalah bayang-bayang dari bentuk atau ide yang kekal.
Tapi kebanyakan orang sudah puas dengan kehidupan di tengah bayangbayang. Mereka tidak memikirkan apa yang membentuk bayangbayang itu. Mereka mengira hanya bayang-bayang itulah yang ada tanpa pernah menyadari bahwa bayang-bayang tersebut,
sesungguhnya, hanyalah bayang-bayang. Dan dengan begitu, mereka
tidak mengindahkan keabadian jiwa mereka sendiri.
Menurut Plato, tubuh manusia terdiri dari tiga bagian: kepala,
dada, dan perut. Untuk setiap bagian ini ada bagian jiwa yang terkait.
Akal terletak di kepala, kehendak terletak di dada, dan nafsu terletak
di perut. Masing-masing dari bagian jiwa ini juga memiliki cita-cita,
atau "kebajikan".
Akal mencita-citakan kebijaksanaan, Kehendak
mencita-citakan keberanian, dan Nafsu harus dikekang sehingga
kesopanan dapat ditegakkan. Hanya jika ketiga bagian itu berfungsi
bersama sebagai suatu kesatuan sajalah, kita dapat menjadi seorang
individu yang selaras atau "berbudi luhur". Di sekolah, seorang anak
pertama-tama harus belajar untuk mengendalikan nafsu mereka, lalu
ia harus mengembangkan keberanian, dan akhirnya akal akan
menuntunnya menuju kebijaksanaan.
Plato membayangkan sebuah negara yang dibangun dengan cara
persis seperti tubuh manusia yang terdiri dari tiga bagian itu. Jika
tubuh mempunyai kepala, dada, dan perut, negara mempunyai
pemimpin, pembantu, dan pekerja (para petani, misalnya).
Di sini Plato secara jelas menggunakan ilmu pengobatan Yunani sebagai
model.
Sebagaimana manusia yang sehat dan selarasm empertahankan keseimbangan dan kesederhanaan, begitu pula
negara yang "baik" ditandai dengan adanya kesadaran setiap orang
akan tempat mereka dalam keseluruhan .
Seperti setiap aspek dari filsafat Plato, filsafat politiknya ditandai
dengan rasionalisme. Terciptanya negara yang baik bergantung pada
apakah negara itu diperintah oleh akal. Sebagaimana kepala
mengatur tubuh, maka para filosoflah yang harus mengatur
masyarakat.
Menurut Aristoteles,
"bentuk" manusia terdiri dari jiwa, yang mempunyai bagian yang
menyerupai tanaman, bagian binatang, dan bagian rasional. Dan kini
kita bertanya: bagaimana mestinya kita hidup? Apa yang diperlukan
untuk menjalani kehidupan yang baik? Jawabannya: Manusia dapat
mencapai kebahagiaan dengan memanfaatkan seluruh kemampuan dan
kecakapannya.
Aristoteles berpendapat ada tiga bentuk kebahagiaan.
Bentuk pertama kebahagiaan adalah hidup senang dan nikmat. Bentuk kedua
adalah menjadi warga negara yang bebas dan bertanggung jawab.
Bentuk ketiga adalah menjadi seorang ahli pikir dan filosof.
Aristoteles selanjutnya menekankan bahwa ketiga kriteria itu harus
ada pada saat yang sama agar manusia dapat menemukan kebahagiaan
dan kepuasan. Dia menolak segala bentuk ketidakseimbangan. Jika
dia hidup pada zaman ini, dia mungkin akan mengatakan bahwa
seseorang yang hanya mengembangkan tubuhnya pasti menjalani
kehidupan yang sama tak seimbangnya dengan orang yang hanya
memanfaatkan kepalanya. Kedua ekstrem itu merupakan ungkapan
suatu cara hidup yang tidak sehat.
Hal yang sama berlaku dalam hubungan antarmanusia, yang di
dalamnya Aristoteles mendukung "Jalan Tengah".
Kita tidak bolehb ersikap pengecut dan tidak pula gegabah, tetapi berani (terlalu
sedikit keberanian berarti pengecut, terlalu banyak berarti gegabah), tidak kikir dan tidak pula boros tetapi longgar (tidak cukup longgar berarti kikir, terlalu longgar berarti boros). Hal yang sama berlaku
untuk makan. Akan berbahaya kalau kita makan terlalu sedikit, tapi juga berbahaya jika makan terlalu banyak. Etika Plato maupun Aristoteles menggemakan ajaran pengobatan Yunani hanya dengan
menjaga keseimbangan dan kesederhanaan sajalah, maka aku dapat
mencapai kehidupan yang bahagia atau "selaras".
No comments:
Post a Comment