Sunday, April 7, 2019

OHH SKRIPSI


Hai, skripsik yang malang, kalau kamu bisa bicara, kamu pasti bilang seperti ini kayaknya 

Kamu itu maksudnya apa sih? Kemarin kamu semangat , ngerjain skripsi dari pagi sampai malam meskipun kamu tidak melupakan kesehatanmu juga, kamu rela nungguin dosen berjam-jam dari pagi sampai tiba dosenmu bisa ditemui-bahkan sebelum mobil dosenmu terparkir rapi di halaman gedung fakultasmu demi mendapat petunjuk jalan agar kita bisa berteman baik nantinya.

Kamu juga rela dan sabar memperbaiki skripsi meskipun kamu telah memperbaikinya berkali-kali demi memperkenalkan kepada dosen dan teman-temanmu lewat seminar yang kamu paparkan dengan sempurna. Setelah kamu berhasil memperkenalkan kepada teman-temanmu, kamu juga berhasil menjalankan janji yang kamu tulis tentang selama tiga bulan lamanya, kamu juga sudah memberi teman baru berupa bab baru lagi di tubuh skripsi , tapi kenapa kamu belum menyelesaikan semuanya secara tuntas?

Apa aku terlalu mengusikmu sehingga kau tidak mau lagi berteman denganku? Atau aku terdaftar menjadi salah beban dalam fikiranmu? Apa kamu malu berteman denganku lagi sehingga kamu belum mengenalkanku kepada teman dan dosenmu untuk kedua kalinya?
Ayolah, jangan menyerah terhadapku . Saat kamu mendekatiku dulu, saat itu juga aku merasa bangga terhadapmu karena kamu mau mendekatiku dengan tulus meskipun aku tahu, banyak ketakutan yang melingkupi fikiranmu. Aku ingin kamu menyelesaikanku sampai tuntas tanpa membiarkanku terlalu lama sendiri dengan sejuta tanya yang menyelimutiku.

Aku masih ingin berteman baik denganmu, meskipun aku tahu, harus ada banyak hal yang kamu persiapkan untuk menyempurnakan bagian tubuhku. Jangan tinggalkan aku terlalu lama ya, wahai kamu yang telah menjadi sahabatku beberapa bulan terakhir.”
Saat aku berusaha menciptakan suasana percakapanku dengan skripsiku, aku merasa bersalah karena telah meninggalkannya dua bulan terakhir ini. Seakan-akan aku belum menyelesaikan janji yang telah ku buat untuk masa studiku, dosenku, ibuku, bahkan untuk diriku sendiri. Aku juga tidak mengerti kenapa aku tersendat dalam penyelesaian tulisanku ini.

Ah, mungkin karena aku belum berdamai dengan pikiranku, yang berasumsi bahwa aku harus mempersiapkan banyak hal sebagai jaminan, bahwa aku dan skripsiku beneran teman baik tanpa ada yang harus mempertanyakan kebenaran keberadaannya. Dan asumsi itu memang harus terwujud.

“Maafkan aku yang membiarkanmu sendiri beberapa bulan terakhir wahai skripsiku yang mau berteman baik denganku beberapa bulan terakhir. Bukannya aku bermaksud demikian, tetapi aku perlu banyak persiapan untuk menyempurnakan keberadaanmu, agar kelak saat aku ditanyakan mengenai dirimu, aku bisa memaparkannya dengan sempurna tanpa ada kekurangan sedikitpun yang bisa membanggakanmu juga bahwa kamu gak salah pilih telah berteman baik denganku.

Aku masih butuh banyak waktu untuk mempersiapkan semuanya. Kamu juga tahu kan bahwa selama ini aku lamban dalam menyelesaikan beberapa hal, karena aku terlalu banyak mengulur waktu dengan berfikir tanpa mau melaksanakannya dengan segera.
Bersabarlah wahai skripsiku, karena aku akan memperkenalkanmu kembali kepada teman-temanku dan dosenku nantinya, bahkan aku akan menceritakan semuanya tentangmu di depan dosen penguji dan pembimbingku. Akan ku buat dirimu bangga dengan memperkenalkan kamu banyak teman baru di perpustakaan sana karena kamu menjadi salah satu pengisi rak tempat skripsi yang lain berada.

Jangan takut aku meninggalkanmu ya skripsiku, karena selama ini aku juga berusaha sekuat tenaga untuk membukamu lagi, menulis lagi di tubuhmu, dan akan menyempurnakan setiap bab yang menjadi pelengkap keberadaanmu. Jangan pernah lelah menyemangatiku saat aku mulai goyah dengan suasana sekitarku, ingatkan aku terus tentang janjiku selama ini terhadapmu, dan jangan pernah tinggalkan aku meskipun aku sering meninggalkanmu sendirian dalam bab di laptop kecilku ini.

Aku akan menyelesaikanmu dengan segera. Itu janjiku. Tetap menjadi sahabat baikk  skripsi, yang lewat kamu, akan mengantarkanku nantinya ke pintu baru yang harus ku buka, agar aku bisa melihat dan membuka pintu lain yang masih tertutup. Semangat buat kita berdua . Ingat janjiku . Aku akan melengkapi bagian tubuhmu dengan segera. Ya, sesegera mungkin.”
Tetap tunggu aku menepati janjiku kepadamu wahai skripsiku yang telah berteman baik denganku selama ini.

Dan dan berberapa cerita temanku. Ada pula seorang teman bercerita bahwa ia telah menyerahkan skripsi untuk dosen pembimbingnya.Ia disuruh datang kembali seminggu kemudian. Tapi ketika datang, skripsi yang telah dijanjikan itu belum diperiksa karena terlalu banyak skripsi yang ditangani.

Seorang teman juga bercerita masalah lain. Ia menggambarkan dengan analogi yang apik. Katanya, ketika dua gajah berkelahi maka semut dan rumputlah yang menjadi korban. Ia menjadi bingung dan frustrasi karena pembimbing I dan pembimbing II skripsinya bersikeras pada ide masing-masing.

Seorang teman juga terang-terangan merekayasa hasil penelitian. Alasannya karena ia tahu skripsinya akan berakhir di lemari atau tempat yang sedikit lebih baik dari tong sampah. Ini juga menjadi satu motif mereka yang terkadang terpaksa mendaur ulang bulat-bulat skripsi orang lain.

Ada pula trauma skripsi yang membesut gejala research phobia. Setelah menyelesaikan skripsi, mereka menutup diri dan menolak bergelut dengan hal-hal yang berbau penelitian. Begitu mendengar kata penelitian, kening berkerut seperti kembali ke masa suram.
Kalau kita terjun ke lapisan bawah, kita juga akan berhadapan dengan gejala lain yang sudah menjadi rahasia umum.

Dosa akademik

Di samping itu, praktik dosa akademik tumbuh subur dari waktu ke waktu yaitu penjualan jasa pembuatan skripsi. Timbulnya sikap yang tidak terpuji seperti ini, tentu tidak salah jika kita bertanya; Apakah masih relevan pemberlakukan skripsi sebagai syarat akhir bagi lulusan perguruan tinggi atau universitas? Bagaimana kalau seandainya skripsi ditanggalkan dari kurikulum?

Pada universitas sering dikenal falsafah Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tiga pilar yang menjadi acuan seorang mahasiswa atau mahasiswi yang belajar di universitas: pendidikan, penelitian dan pengabdian. Skripsi adalah salah satu ejawantah dari penelitian. Karena itu, ini menjadi alasan mengapa skripsi itu menjadi penting. Ada yang mengatakan kalau dulu di Malaysia angka kecelakaan jalan raya sangat tinggi. Persoalan itu mendorong pemerintah Malaysia untuk menggiring ilmuan melakukan penelitian. Hasil dari penelitian tersebut melahirkan kebijakan baru yang tepat sasaran dan bisa menjadi solusi bagi upaya menekan angka kecelakaan di jlan raya. Dengan begitu, banyak nyawa telah terselamatkan. Ini menjadi salah satu contoh manfaat penelitian yang dapat dirasakan oleh khalayak.
Dalam konteks di atas memang penelitian memberi dampak yang dapat dirasa dalam kehidupan sosial. Tapi bagaimana dengan kondisi penelitian di perguruan-perguruan tinggi tempat kita? Adakah hasil penelitian yang telah memberi dampak signifikan pada kehidupan?

Agaknya sulit menjawab pertanyaan ini. Pada praktiknya, di tempat kita skripsi nyaris tidak memberi sumbangsih apa-apa. Hanya menjadi formalitas untuk sah mendapat gelar sarjana dan ijazah. Selebihnya menjadi momok yang ditakuti oleh sebagian besar mahasiswa yang notabene digelari masyarakat ilmiah. Dalam kehidupan akademik kita, antara penelitian dan realita masih berjalan sendiri-sendiri. Permasalahan urgen yang muncul lain dan yang diteliti pun lain.

Kebanyakan mahasiswa terutama mahasiswa strata satu seperti belum siap berada pada tahapan penelitian. Banyak di antara mereka belum selesai dengan tahapan berpikir kritis, ilmiah dan kelihaian membangun argumentasi. Maka ketika tiba-tiba berhadapan dengan penelitian, terasa seperti tiba-tiba menabrak tembok. Bisa jadi ini juga permasalahan dari mahasiswa sendiri karena kebanyakan masih terlihat kurang membaca. Beberapa bahkan bersikap anti-text.

Apakah Tri Dharma Perguruan Tinggi itu telah menjadi hukum yang tak bisa diganggu-gugat lagi? Kalau pun kita masih bersikukuh dengan penerapan skripsi sebagai syarat akhir pembelajaran di universitas, hendaknya perlu dipertimbangkan kembali beberapa hal: Pertama, makna substantif dari tujuan melakukan penelitian. Apakah tujuan utamanya semata-mata untuk syarat lulus belaka? Bukankah pemantapan logika berpikir dalam menganalisa persoalan dan keterampilan menulis menjadi satu tujuan ideal yang ingin dicapai?

Kedua, hendaknya perguruan tinggi memasukkan mata kuliah etika penelitian untuk mengurangi kadar plagiasi alias penciplakan. Selama ini mata kuliah ini sangat kurang (kalau tak ingin dikatakan tidak ada sama sekali). Kasus penjiplakan tentu bukan barang baru di tempat kita. Hampir setiap dosen pembimbing pernah menemui mahasiswa bimbingannya menjiplak hasil karya orang lain.

Etika penelitian

Ketiadaan atau minimnya mata kuliah etika penelitian ini juga bisa membuat kita permisif atau akrab dengan budaya copy paste. Lama-lama terbentuk dalam pikiran kita bahwa itu hanyalah persoalan biasa dan lazim. Kita nyaris tidak mungkin menghapus menu copy paste pada komputer, tetapi menumbuhkan kesadaran untuk tidak terhanyut pada kebiasaan copy paste sangat tidak menutup kemungkinan.

Ketiga, memanfaatkan hasil penelitian supaya tidak ada kesan siasia. Seorang teman pernah berseloroh, setiap tahun universitas menerima ratusan hasil penelitian tapi hampir tak satu pun terlihat bermanfaat bagi kehidupan. Dalam pada ini terlihat adanya missing link antara universitas dan masyarakat. Universitas menjadi penyumbang gelar tapi miskin kontribusi. 

Skripsi-skripsi hanya menjadi dokumen yang tersimpan rapi di menara gading.
Memfungsikan hasil penelitian juga menjadi reward yang membuat mahasiswa merasa dihargai dan tidak lesu dalam meneliti. Beberapa instansi pemerintah seperti Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) mungkin bisa diajak menjadi partner. Pemberian penghargaan hasil penelitian terbaik tahunan selain gelar cumlaude juga menjadi satu alternatif.

Dan, terakhir yang juga tak kalah penting adalah para dosen pembimbing hendaknya tetap santun dan menjadi pembimbing yang baik, bukan pembimbang.

No comments: