DI tengah maraknya isu politik dan kemiskinan, isu pendidikan kembali mencuat ke permukaan.
Sesungguhnya pendidikan Aceh berada pada fase anomali (ketidaknormalan).
Anomali itu bukan saja berada pada level sekolah sampai dengan Dinas Pendidikan (Disdik), tapi juga pada level perguruan tinggi (PT) di Aceh. Malah beberapa kasus tata kelola pembiayaan PT yang bersumber dari APBA dan APBN berakhir di persidangan. Dampak esensial dari anomali ini adalah kehilangan saling percaya (trust) antarlembaga yang mengurusi pendidikan di Aceh (Diknas dan PT). Kehilangan saling percaya (karena sikap anomali) berakhir pada melakukan program sesuka-suka.
Bukan lagi berbasis pada kebutuhan, melainkan pada kekuasaan dan kepentingan.
Dengan dana otonomi khusus (otsus) seharusnya pendidikan Aceh meningkat, tapi karena terjadinya anomali, pendidikan Aceh selalu berada pada level bawah dibandingkan daerah lain di Indonesia. Fakta menyebutkan bahwa pembangunan sektor pendidikan Aceh masih mementingkan pembangunan infrastuktur, tapi meninggalkan pembangunan mutu pendidikan. Karena itulah, fasiltas sekolah di Aceh cukup memadai, tapi mutu pendidiknya sangat kurang. Contohnya, masih banyak tenaga pendidik yang belum memiliki sertifikasi.
Dari fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa keberadaan fasilitas pendidikan tidak mengkhawatirkan, melainkan yang perlu dibenahi adalah pada sektor peningkatan mutu harus menjadi prioritas. Satu faktor peningkatan mutu bukan lagi membangun ruang kelas baru, tapi lebih penting adalah penyediaan alat-alat laboratorium, sertifikasi pengajar, dan peningkatan kualitas tenaga pengajar dan kelulusan siswa.
Sudah seharusnya, Gubernur, Wakil Gubernur, Kepala Dinas Pendidikan Aceh dan Rektor Perguruan Tinggi di Aceh tidak boleh buang badan, kemudian saling menyalahkan di media. Dinas Pendidikan Aceh dan kampus seperti Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), UIN Ar-Raniry, Universitas Malikussaleh (Unimal) dan Universitas Teuku Umar (UTU) harus bersinergi untuk menyusun target-target prioritas pembangunan pendidikan Aceh yang sesuai kebutuhan dan ketersediaan anggaran secara transparan.
Mereduksi praktik klasik
Pendidikan merupakan proses untuk meningkatkan, memperbaiki, mengubah pengetahuan, keterampilan dan sikap serta tata laku seseorang atau kelompok orang, dalam usaha mencerdaskan kehidupan manusia melalui kegiatan bimbingan pengajaran dan pelatihan. Pendidikan sebagai suatu lembaga tidak langsung menghasilkan produk tetapi terjadi melalui usaha pemberian jasa baik oleh tenaga pengajar, administrasi maupun pengelola
Namun realitasnya, tata kelola pendidikan di Aceh, sepertinya kehilangan makna dari defenisi pendidikan itu sendiri. Berdasarkan data, Disdik Aceh setidaknya untuk meningkatkan, memperbaiki, mengubah pengetahuan masyarakat Aceh harus mereduksi enam praktik klasik yang masih terjadi.
Editor : Kuli Pena
No comments:
Post a Comment