Showing posts with label filsafat. Show all posts
Showing posts with label filsafat. Show all posts

Saturday, June 22, 2019



Pengantar

Soekarno adalah manusia Indonesia yang dilahirkan zaman, terlahir tanggal 6 juni 1901 dari ayah seorang guru (pegawai gubernemen asal Blitar) dan ibu seorang ningrat Bali kasta Brahmana.

Dari kontek ini, kita dapati tiga peluang karakter Soekarno, antara lain :

1. Sebagai anak guru, punya peluang untuk sekolah dan juga berpeluang untuk memiliki tekad belajar serta membaca berbagai buku bacaan, sekaligus tertanam nilai-nilai tradisional jawa yang cenderung sinkretis.

2. Sebagai turunan Brahmana, berpeluang untuk memiliki rasa  keagamaan yang kuat, termasuk hal yang sifatnya mistis.

3. Sebagai orang yang lahir dari pemberontakan terhadap adat (pernikahan Bapak-ibunya), berpeluang juga untuk memiliki nilai-nilai pemberontakan. ( baca : pergerakan-perubahan), juga liberal mengingat perbedaan agama orang tuanya ( Bapak : Islam, Ibu : Hindu Bali).

Sebagaimana lazimnya orang jawa suka akan wayang, demikian pula Soekarno sangat menyukai wayang, dan idolanya adalah Bima yang selalu tanpa kompromi dengan bukan golongannya tetapi bisa kompromi dengan sesamanya. ( baca : Soekarno tak pernah kompromi dengan Belanda, tapi ia bisa kompromi dengan jepang, Soekarno bisa kompromi dengan Syahrir, Hatta, H. Agus Salim, dan bahkan dengan kader-kader komunis).

Soekarno dengan Marhaenisme,

Suatu saat, ketika Soekarno tinggal di Ciateul Bandung (Rumah Bu Inggit Garnasih), jalan-jalan disepanjang jalan buah batu sampai disekitar Bojongsoang Dia menemukan Petani dan terjadilah dialog kira-kira seperti begini :

Soekarno               : Siapa namamu ?

Petani                      : Marhaen

Soekarno               : Berapa petak sawahmu ?

Petani                      : Satu petak ini yang diatasnya ada gubug kami, dengan satu istri dan satu anak.

Soekarno                : Siapa yang garap ?, bagaimana panennya ?

Petani                      : yang garap saya sendiri dan hasilnya cukup untuk kehidupan kamibertiga.

Itulah ide dari Marhaenisme, punya sendiri digarap sendiri dan cukup untuk menghidupi keluarga sendiri. ( Soekarno penyambung lidah rakyat, Cindy Adams)

Soekarno dan Islam,

Soekarno sempat tinggal di rumah HOS Cokroaminoto tokoh dan ketua Syarekat Islam di Surabaya (sebelum ke Bandung dan berteman dengan Sema’un tokoh Komunis dan SM Kartosuwiryo tokoh Darul Islam), bahkan istri pertama beliau adalah putri pak Cokro yang bernama Utari. Jelas bahwa Islam yang dipelajari ndari mertuanya adalah Islam pergerakan yang penuh dengan binamika perjuangan kemerdekaan.

Di Bandung, Soekarno sempat bertemu dengan Ulama Persatuan Islam (PERSIS) Ahmad Hasan seorang arab singapur. Pada saat itu Soekarno tertarik dengan gaya A. Hasan dalam berdakwah terutama hal-hal mengenai prilaku khurafat dan tahayul yang sangat diberantas oleh ulama tersebut. Dialog Soekarno dan A Hasan mengenai Islam terekam dalam surat-surat dari Endeh (Soekarno saat itu dibuang ke Endeh Flores)

Masih di Bandung, suatu saat terjadi dialog kecil antara Soekarno dengan H. Agus Salim (Pejuang, ulama dan politikus Syarekat Islam) mengenai Ketuhanan, hasil tukar pikiran itu membua Soekarno belum puas. Ia berkata : ” Saya belum tahu benar arti Allah, tetapi saya merasa kepastian adanya Allah.”. Dan H. Agus Salim mengatakan bahwa Soekarno muda itu sungguh keras kepala. (Presiden RI dari masa ke masa, Tom Finaldin dan Sali Iskandar, H, Drs)

Ketika dibuang ke Bengkulu, Soekarno dekat dengan keluarga Muhamadiyah dan sering berdialog tentang Islam dengan tokoh Muhamadiyah Bengkulu (awal pertemuan dengan ibu Fatmawati sebagai putri tokoh Muhamadiyah).

Dinamika politik, dinamika kekuasaan dan dinamika pemikiran Soekarno dan Islam mencapai puncaknya pada saat menjelang akhir kekuasaanya, oekarno sempat digelari Pahlawan Islam oleh sejumlah organisasi kaum muslimin.

Soekarno dan Neokolim,

Karakter Bima, jiwa Marhaen, bahkan nilai-nilai Islam memang tidak cocok dengan NEOKOLIM ( Neo Kolonialisme dan Imperialisme). Ketiga sudut pandang itu menggelora dalam pernyataan Soekarno bahwa Malaysia adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pemahaman Soekarno terhadap kedudukan Kerajaan Inggris di Malaysia sebagai bentuk penjajahan baru (Neo Kolonialisme) vdan system keberadaan Kerajaan Inggris di Malaysia adalah Imperialisme yang harus diusir dan diperangi. Jadi konsep NEKOLIM ramai dipropagandakan sebagai alasan untuk mengambil Malaysia ke pangkuan NKRI dan perang melawan Inggris.

Kecenderungan untuk mengambil kebijaksanaan dari ketiga nilai tersebut pun muncul, ketika Soekarno menggagas politik luar negeri yang bebas aktif dengan memunculkan pihak netral yang disebut Gerakan  Non Blok, berani keluar dari PBB dan mengajak Negara-negara Asia-Afrika untuk membuat PBB tandingan (Konfrensi Asia-Afrika)

Bisa jadi,  Pemahaman bentuk negara Islam yang ada di benak Soekarno adalah masyarakat madani (baca riwayat sidang-sidang BPUPKI, PPKI terutama sidang-sidang panitia sembilan yang monumental dengan Piagam Jakarta-nya),  Sisi lain gagasan Daulah Islamiah yang merupakan masalah klise umat Islam perlu disikapi dengan arif dan bijaksana serta lebih mengutamakan nilai-nilai konfrehenswif ukhuwah islamiyah dan sistem Negara Islam.

Penutup
Soekarno, jelas kiprahnya dari mulai era politik etika belanda (dibuka sekolah pribumi), periode gerakan pemuda-pemuda (Young celebes, Young Ambon, Young Sumatra, Young Java, Youn Islamiten), Sumpah Pemuda, perjuangan fisik hingga proklamasi kemerdekaan.

Kalaupun kemudian, kejatuhan Soekarno diindikasikan lantaran haus kekuasaan, dicap komunis adalah manusiawi sebagai proses regenerasi, bahwa bangsa Indonesia (baca : umat Islam) memiliki naluri untuk selalu berperan dalam proses kebangsaan dan kenegaraan Republik Indonesia.

Jelas pula bahwa ajaran Islam dinamis dan konstruktif sesuai dengan rasa sosial manusia dan ketakberdayaannya (manusia).

Friday, June 21, 2019


Sebenarnya agama dengan filsafat bukan dua entitas yang secara otomatis selalu saling berlawanan satu sama lain, dalam sejarah banyak ditemukan persesuaian diantara keduanya, misal ketika filosof klasik berupaya menggunakan metode yang biasa digunakan dalam filsafat untuk membuktikan keharusan adanya Tuhan desainer ketertataan alam semesta-pencipta alam semesta melalui pembuktian argument rasional, dan harmonisasi seperti itu bisa terjadi hanya bila pada awal mulanya manusia bisa menempatkan keduanya pada tempat yang semestinya secara benar. Begitupun Menurut Franz Rosenzweig beliau ingin menyatukan antara filsafat dan agama. Karena beliau disamping menjadi seorang filsuf beliau juga merangkap sebagai seorang ahli agama.

Faktor pertentangan yang terjadi untuk mengantisipasi adanya benturan pandangan diantara keduanya kelak. Dan pertentangan itu terjadi karena pada dasarnya di awal, manusia tidak menempatkan agama dan filsafat pada tempat yang semestinya, misal dengan menempatkan filsafat secara sejajar dengan agama atau lebih jauh lagi menempatkannya diatas agama. Sebelum kita berbicara secara lebih jauh tentang adanya benturan diberbagai sisi antara agama dengan filsafat maka kita harus terlebih dahulu secara mendasar mengetahui hakikat agama dan juga hakikat filsafat sehingga kala terjadi benturan antara keduanya kita bisa memahami latar belakang terjadinya benturan itu serta bisa menempatkan dimana agama harus diletakkan dan dimana filsafat harus diletakan.

Kita akan mengetahui dan memahami sisi manapun dari agama bila itu selalu dikaitkan dengan Tuhan dan akan mengetahui sisi manapun dari filsafat bila itu selalu dikaitkan dengan manusia.mengenai kelebihan dan kekurangannya pun akan kita ketahui bila kita melekatkan agama dengan sifat Tuhan dan filsafat dengan sifat manusia.

Sebaliknya kita akan menemukan kerancuan apabila kita menyandarkan atau mengembalikan agama kepada manusia, misal menganggap agama sebagai sesuatu yang berasal dari manusia atau ciptaan seorang yang disebut ‘nabi’ dan disisi lain mengkultuskan filsafat sebagai ibu atau parameter kebenaran, dengan prinsip cara pandang seperti itu agama hanya akan menjadi obyek penghakiman dan bulan bulanan filsafat.
Sehingga dengan prinsip seperti itu apakah stigma-stigma negatif yang berasal dari filsuf pemikir tertentu didunia filsafat terhadap agama itu seperti stigma agama hanya ajaran moral atau agama suatu yang irrasional. secara keilmuan bersifat valid? apakah filsafat memiliki meteran atau teropong yang sempurna atau memadai untuk melihat dan menilai agama secara keseluruhan dan kemudian merasa layak menghakiminya dengan pemberian stigma negatif itu.

Friday, May 24, 2019



Idealisme sendiri bila diartikan secara bahasa berasal dari dua kata yaitu ideal dan isme (paham). Idealisme memiliki tiga arti dalam KBBI, namun untuk bahasan ini, penulis kira definisi berikut yang lebih pas. Idealisme adalah hidup atau berusaha hidup menurut cita-cita, menurut patokan yang dianggap sempurna. Jadi dengan kata lain, idealisme sangat erat kaitanya dengan arti ideal bagi setiap orang atau kelompok.

Idealisme sendiri pada dasarnya adalah perubahan, terlepas dari apakah perbuahan itu baik atau buruk. Perubahan terjadi ketika tidak adanya kepuasan terhadap kondisi terkini, atau kesalahan atas suatu hal. Perubahan hanya dapat dilakukan ketika ada keberanian, dan Keberanian untuk melakukan perubahan adalah implementasi nyata dari idealisme.

Idealisme sendiri tumbuh secara perlahan dalam jiwa seseorang dan termanifestasikan dalam bentuk perilaku, sikap, ide ataupun cara berpikir, yang bersumber dari pengalaman, pendidikan, kultur budaya dan kebiasaan. Bersikap Idealis, realistis maupun pragmatis, merupakan suatu pilihan bagi kita, khususnya mahasiswa. Bahkan ketiganya terkadang dilakukan.

Berbicara idealis dalam kondisi saat ini harus diakui pasti dihadapkan pada pro kontra. Karena memang idealisme sering berlawanan dengan konsep pragmatis. Akan tetapi kalau berkaca pada sejarah dan realitas yang ada, orang yang berpegang teguh dalam memperjuangkan idealismenyalah yang selalu dikenang dan menjadi inspirasi bagi setiap generasi.

Salah satunya contoh sikap Soe Hok Gie, yang kini menjadi buah bibir di kalangan mahasiswa hingga kini. Padahal pada kala itu ia berani melawan arus dan tak gentar dikecam maupun diancam. Ia rela diasingkan bahkan dikucilkan penguasa, hanya karena bersikukuh dalam memperjuangkan idealismenya.

Selain itu, dalam berbagai sumber tulisan yang pernah saya baca, banyak sekali tokoh yang memperjuangkan idelismenya. Sebut saja Marthin Luther, yang menentang geraja Khatolik Eropa. Saat itu banyak orang mencemoohkanya sabagai seorang yang idealis, dengan menafikan kenyataan di lapangan dan keamanan hidupnya sendiri. Namun dengan kekuatan idealismenya yang luar biasa, Marthin luther mampu melahirkan Gerakan Reformasi pada masa itu, dan tetap bertahan hingga hari ini.

Lalu potret lainnya idelisme yang dipegang Socrates. Ia sosok yang menganggap bahwa demokrasi Athena pada saat itu adalah demokrasi yang buruk, dan pemerintahan yang busuk serta korup. Atas pernyataan yang lantang disampaikan dan disebarluaskan itulah, ia dipaksa meneguk racun atas perintah senat Athena, sebagai bentuk hukuman karena telah menghina senat Athena. Padahal kerabat serta murid-muridnya telah mengingatkan agar tidak terlalu idealisme.

Lalu Presiden pertama Indonesia Soekarno, yang kita kenal sebagai Proklamator kemerdekaan Indonesia, sewaktu kecil dia sudah terbiasa disuguhkan dengan perbudakan kaum pribumi oleh penjajah. Namun ketika beranjak dewasa, dia mulai menyadari bahwa tindakan itu salah. Baru setelah itu, dia mulai mewalan arus, berjuang melawan penjajah. Walaupun dalam perjuanganya ia harus rela keluar masuk penjara, rela bertaruh tenaga, pikiran, harta dan nyawanya demi menggelorakan idealisme kebebasan untuk Bumi Pertiwi.

Itulah deretan contoh nyata yang dilakukan para pendahulu kita. Apakah kita mampu mengambil hikmah dari perjalanan mereka yang meneguhkan idealisme sampai hayat hidupnya? jawabanya ada pada diri kita masing-masing, sekuat apa kita menahan godaan dan cobaan. Maka kita akan menuai hasilnya kelak dikemudian hari.

Idelisme sendiri tidak hanya dimiliki oleh individu, tapi dimiliki juga oleh setiap sekelompok atau golongan. Tidak usah jauh-jauh kita bernostalgia dengan sejarah perjuangan idelisme,
Kalau berbicaara logika, memang tidak masuk akal, ketika Soe Hok Gie, Soekarno, Marthin Luther, Socrates, serta sekarang sekelompok mahasiswa rela bertaruh tenaga, waktu dan pikiran, bahkan nyawa hanya karena memperjuangkan idealisme?Pertanyaanya apakah sebegitunya mahalnya idealisme? tentunya serangakain kisah tadi, telah terukir menjadi sejarah bagi kita semua.

Sehingga penulis menganggap Idealisme sendiri mahal harganya dan orang yang melakukannya akan menuai kebaikan di kemudian hari. Mari kita sebagai generasi penerus bangsa untuk mencoba dan melaksanakan idealisme itu sendiri meski sering dihadapkan pada beragam cobaan dan godaan yang dapat meruntuhkan Idealisme sendiri. Mumpung masih menjadi pelajar dan mahasiswa kita harus mencoba melakukannya. Karena ketika kita masuk dalam ruang kelompok tertentu semisal partai politik, Idealisme sangat sulit dilaksanakan karena akan berbenturan dengan beragam kebijakan yang tidak sesuai dengan hati nurani. Kalaupun kita mempertahankan idealiasme, maka resikonnya kita akan terlempar dalam percaturan politik bahkan dipecat dari kader partai. Jadi, mumpung kita mahasiswa kita harus bisa memegang teguh sikap dan kebijakan tersebut agar tetap kokoh dalam sanubari kita. Semoga.

Tuesday, April 30, 2019


Izinkan aku untuk sedikit bercerita ditengah terangnya bintang-bintang dan cahaya bulan yang menenangkan. Tak terasa dinginnya angin malam, terkalahkan oleh rindu yang lebih menelisik hingga ku tak mampu memejamkan mata tanpa bayang-bayangmu.

Wahai separuh hatiku, aku kini sedang bersandar pada bantalan-bantalan rindu yang menggunung. Sesungguhnya kita memang terbentang jarak, tapi kita masih dapat menikmati langit yang sama -- meski tak harus berdampingan. Maka aku selalu tenang menikmati langit sampai tak terasa semakin gelap. Kurasakan angin yang meniupkan kehadiranmu dihatiku, kulihat senyummu membentang di antara terangnya bintang dan gelapnya malam.
Jika kau tahu, hati ini selalu berkecamuk antara rindu bercampur dengan rasa takut menjadi senyawa yang bernama “resah”. Aku selalu ingin tahu kabarmu, keadaanmu hari ini, selalu ingin tahu siapa yang bercengkrama denganmu di sana, ingin tahu siapa saja yang bisa dengan mudahnya menikmati senyum dan tawamu setiap hari, ya aku mulai posesif dan semakin posesif atasmu.

Itu yang sesungguhnya selalu kurasakan, tapi seperti yang kukatakan padamu dulu, aku takut. Takut, ketika posesif-ku mengubah kita. Ketika rasa yang semula utuh semakin memudar dari hari ke hari, yang selalu orang lain katakan jenuh atau bosan. Maka sebisa mungkin kututupi rasa ini yang begitu hebat meratap.

Wahai separuh hatiku, percayalah pada kuatnya cinta dan takdir Tuhan. Jika kau untukku, maka sejauh apapun jarak terbentang tak akan menjadi alasan pemisah. Apapun yang kau lakukan disana, aku tak mampu mengetahuinya. Mata ini memang terbatas, tapi tidak dengan mata kepercayaan yang akan selalu melihatmu setiap harinya. Ingatlah kata-kataku, bahwa aku telah memutuskan untuk mengizinkanmu singgah dihati ini, tandanya kaulah pemenangnya.

Kugenggam tanganmu tanpa melihatmu. Maka yang kupinta darimu hanyalah, “Jangan sampai suatu hari nanti, saat aku kembali menengok ke arahmu aku melihat keburukan yang sama sekali tak ingin kutahu. Karena aku hanya ingin tahu bahwa kamu tetap menjadi yang terbaik di mataku, selalu dan tak pernah berubah.”
Semoga kita selalu mampu bertahan, tak lelah berjuang, dan bisa dengan hebat menepis kejenuhan. Tak terkoyak oleh irisan rindu yang kian lama kian mengikis rasa ingin bertemu. Semoga kau di sana selalu mampu menikmati rindu ini sebagai cemilan malammu yang mengasyikan sehingga tak ada satupun yang mampu menggantikanku meski hanya dalam mimpi tidurmu.

Monday, April 29, 2019




Master propaganda Third Reich dan diktator dari "kehidupan" keseniannya selama 12 tahun, Joseph Goebbels, dilahirkan dari sebuah keluarga pekerja Katolik taat di Rheydt, Rhineland, tanggal 29 Oktober 1897. Dia disekolahkan di sekolah Katolik Roma dan kemudian belajar sejarah dan sastra di Universitas Heidelberg di bawah bimbingan Profesor Friedrich Gundolf, seorang sejarawan dan sastrawan berdarah Yahudi yang dikenal sebagai pengagum Goethe sejati dan juga teman dekatnya pujangga Stefan George.

Goebbels ditolak masuk ketentaraan selama berlangsungnya Perang Dunia Pertama karena kaki pincangnya - hasil dari terkena polio di masa balita. Penolakan ini, dan juga akibat dari pengalaman pahit lain yang menimpanya karena ketidaksempurnaan fisik dan kekurang gantengan wajahnya, akan mempengaruhi hidup Goebbels sampai akhir hayatnya. Sebagai kompensasi dari tongkrongannya sendiri yang jauh dari kesan orang Jerman yang tinggi besar, rambut pirang dan mata biru, maka Goebbels berusaha "menutupinya" dengan cara begitu bersemangat dan getol mempromosikan ideologi ras Arya begitu dia masuk NSDAP pada tahun 1922. Sebuah kontradiksi tepatnya.

Permusuhan terhadap para intelek yang diusung oleh "Doktor Kecil" ini, ditambah lagi dengan pandangan ekstrimnya terhadap ras manusia secara umum dan Yahudi secara khusus, belum lagi semangatnya yang menggebu-gebu untuk menghancurkan segala hal yang "suci" dan "tabu", telah mendatangkan simpati dari rakyat Jerman kebanyakan yang sudah muak akan kebangkrutan tatanan sosial dan ekonomi yang menjerumuskan mereka pasca Perang Dunia I.

Pada awalnya Goebbels menemukan penyaluran akan ide-idenya yang nyeleneh itu dalam puisi, drama, dan gaya hidup Bohemia yang dianutnya. Tapi di luar dari novel ekspresionisnya, Michael: ein Deutsches Schicksal in Tagebuchblattern (1926), tak ada "sesuatu" yang keluar dari usaha-usaha kesusastraan pertamanya. Dalam tubuh Partai Nazi-lah semua bakat Goebbels yang melimpah dalam hal pidato, propaganda, oportunisme dan ideologi radikal menemukan tempat yang tepat. Semuanya bermuara pada pemujaannya yang tidak tanggung-tanggung terhadap orang yang mengangkatnya, dan siapa lagi kalau bukan Adolf Hitler.

Pada tahun 1925 dia dijadikan manajer bisnis NSDAP distrik Ruhr, dan pada akhir tahun tersebut Goebbels sudah menjadi kolaborator utama dari Gregor Strasser, pimpinan sayap sosial-revolusioner Jerman Utara dari partai tersebut. Goebbels mendirikan dan menjadi editor utama dari Nationalsozialistischen Briefe (Surat Nasional-Sosialis) dan publikasi lainnya yang dikeluarkan oleh Strasser bersaudara, yang menyuarakan pandangan proletarian anti-kapitalis dan pendorong utama dari penilaian radikal atas segala nilai yang dianut masyarakat Jerman pada saat itu. Sebenarnyalah Goebbels merupakan simpatisan kaum Bolsewik Rusia yang komunis, dan hal itu diwujudkan dalam evaluasinya yang terkenal atas Uni Soviet (dimana dalam pandangannya, mereka merupakan kelompok Nasionalis dan juga Sosialis) yang berbunyi: "Soviet merupakan sekutu alami Jerman dalam melawan nafsu setan dan kebobrokan Barat."

Tahukah anda bahwa pada awalnya Goebbels merupakan pembenci Hitler sejati? Pada tahun-tahun ini dia, yang telah ikut mengarang draft program-program yang diajukan oleh golongan Kiri Nazi dalam Konferensi Hannover tahun 1926, menyerukan dikeluarkannya "Borjuis kacangan Adolf Hitler dari Partai Nasional Sosialis". Insting politik yang tajam dan sikap oportunismenya kemudian mengemuka ketika dengan santainya ia berganti haluan menjadi pengikut Hitler di tahun itu juga, yang langsung dihargai setimpal dengan penunjukannya sebagai pimpinan Nazi distrik Berlin-Brandenburg pada bulan November tahun 1926.

Ditempatkan di sebuah organisasi kecil yang penuh konflik ternyata tidak membuat karir Goebbels meredup. Dengan cepat dia berhasil mengambil-alih kontrol dan dominasi Strasser bersaudara di Jerman Utara, juga monopoli mereka dalam hal jurnalisme partai. Pada tahun 1927 Goebbels mendirikan dan menjadi editor dari koran mingguan Der Angriff (Serangan). Dia juga merancang poster, menerbitkan propagandanya sendiri, mengorganisir parade-parade megah, dan mengatur strategi agar para bodyguard-nya aktif dalam pertempuran di jalanan dan Beer-Hall melawan kaum Komunis. Kesemuanya telah menambah melambungnya nama seorang Joseph Goebbels dalam jajaran partai Nazi yang sedang berkembang.

Pada tahun 1927 "Si Marat dari Berlin Merah, si mimpi buruk dan setan-nya sejarah" telah menjadi demagog paling ditakuti di ibukota Jerman, yang telah menjadi master dari pidato berapi-api penarik massa dengan memanfaatkan suaranya yang berat dan bertenaga, ditambah dengan retorika dan gerak tubuh yang mempesona siapapun yang mendengarkannya. Goebbels bisa dikatakan seorang agitator yang seakan tak punya rasa lelah dalam mewujudkan program-programnya, dan mempunyai bakat luar biasa ketika dia harus melumpuhkan lawan-lawannya dengan menggunakan kombinasi dari hasutan, bujukan, dan tuduhan yang berbisa. Dia tahu bagaimana caranya memobilisasi rasa takut dari begitu banyak pengangguran Jerman ketika Resesi Besar (Malaise) melanda negara tersebut di akhir tahun 1920-an. Psikologi nasional dikendalikannya tanpa kesukaran berarti dengan "kalkulasi sedingin es".

Dengan skill seorang master propaganda, dia telah mengubah seorang pelajar dan germo Berlin, Horst Wessel, menjadi martir paling terkenal Partai Nazi! Tidak hanya itu, Goebbels juga menyediakan slogan, mitos, dan gambaran ideal tentang pesan-pesan Nasional-Sosialisme yang secara kilat menyebar menghunjam ke hati kebanyakan rakyat Jerman.

Tentu saja Hitler tidak tutup mata terhadap prestasi luar biasa Goebbels yang telah mengubah sebuah cabang kecil partai di Berlin menjadi organisasi paling solid di seluruh Jerman Utara! Pada tahun 1929 dia menunjuk manusia "kecil" ini menjadi pimpinan Propaganda Reich dari NSDAP. Ketika mengenang peristiwa tersebut beberapa tahun kemudian (24 Juni 1942), Hitler berkata, "Dr. Goebbels telah dianugerahi oleh dua hal yang tanpanya maka situasi di Berlin tak akan pernah dapat dikendalikan: fasilitas verbal dan intelektualitas... Bagi Dr. Goebbels, yang tak mendapat cukup tempat di partai ketika dia mulai berkiprah, dia telah memenangkan Berlin dalam kata yang sebenar-benarnya."

Tentu saja Hitler pantas berterimakasih pada pemimpin propaganda-nya tersebut, yang merupakan kreator utama dan organisator dari pemujaan terhadap sang Führer, juga yang telah memberikan gambaran sebagai Messiah dan penyelamat Jerman. Tidak hanya itu, Goebbels secara cerdik menyulap Hitler menjadi manusia-setengah-dewa sekaligus membuat rakyat Jerman "menyerah sepasrah-pasrahnya" terhadap keinginan Führer mereka dengan hanya mengandalkan manajemen podium yang cerdik dan manipulasi. Pada dasarnya Goebbels adalah orang yang sarkastis dan selalu menghindari etika/tatanan moral ketika dia "menjual" Hitler ke rakyat Jerman. Hitler secara dahsyat digambarkan sebagai seorang penyelamat Jerman dari tangan dominasi Yahudi, oportunis dan Marxis, juga merupakan pengusung kebangkitan Jerman paling terpercaya.

Sebagai seorang wakil Reichstag dari tahun 1928, dia secara terbuka mengungkapkan rasa sinisme dan penentangannya akan sistem Republik, dengan menyatakan: "Kita memasuki Reichstag dengan tujuan untuk mempersenjatai diri sendiri dengan senjata demokrasi dari arsenalnya langsung. Kita menjadi wakil Reichstag dengan tujuan agar ideologi Weimar akan menjadi penolong utama kita dalam balik menghancurkannya."

Penolakan yang dalam dan berakar dari Goebbels terhadap humanisme, dorongannya untuk menyebarkan kebingungan juga rasa benci dan pemujaan, ambisinya akan kekuasaan dan penguasaannya akan teknik-teknik persuasi massa mencapai puncaknya dalam kampanye pemilu tahun 1932, ketika dia memainkan peran penting dalam membawa Hitler menjadi sorotan utama panggung politik Jerman. Atas perannya tersebut, dia dihadiahi dengan jabatan sebagai Menteri Propaganda dan Pencerahan Publik tanggal 13 Maret 1933, yang memberi dia kontrol penuh atas semua media komunikasi: radio, pers, penerbitan, sinema, dan seni-seni lainnya.

Dia menggerakkan "koordinasi" penuh Nazi akan kehidupan dan kebudayaan masyarakat dengan begitu cepatnya, secara cerdas mengkombinasikan propaganda, suap dan terorisme, "membersihkan" seni atas nama idealisme rakyat, membawahi para editor dan jurnalis dalam kontrol negara, dan tak lupa menghapuskan semua elemen Yahudi dari posisi-posisi berpengaruh baik di politik, ekonomi, maupun seni. Pada tanggal 10 Mei 1933 dia menyelenggarakan ritual akbar "pembakaran buku" di Berlin, dimana hasil-hasil karya pengarang Yahudi, Marxis dan yang dianggap "subversif" lainnya secara resmi dibakar di depan massa dengan menggunakan api unggun yang besarnya amit-amit.

Goebbels menjadi seorang "pemukul" Yahudi yang tak kenal ampun, dengan seringkali menggunakan penggambaran aliansi antara sosok "penyandang dana Yahudi internasional" di London dan Washington, dengan rekan hopeng-nya, "Bolsewik Yahudi", di Moskow. Mereka semua ditahbiskan sebagai musuh utama Third Reich. Dalam hari perayaan kemenangan partai tahun 1933, Goebbels menyerang "penetrasi Yahudi terhadap semua profesi kemasyarakatan (hukum, medis, properti, teater, dll.), dan mengklaim bahwa boykot negara luar terhadap Jerman yang digalang secara licik oleh para Yahudi telah memprovokasi adanya aksi tandingan di dalam negeri yang diorganisasi Nazi."

Kebencian Goebbels terhadap kaum Yahudi, yang sejalan dengan kebenciannya terhadap kaum kaya dan intelek, merupakan akumulasi dari pengalamannya di masa muda yang selalu direndahkan dan dilecehkan. Pada saat yang bersamaan, hal tersebut juga menjadi kambing hitam "ideal" bagi pencarian musuh bersama masyarakat Jerman, untuk mendukung pomobilisasian massa dan simpati orang banyak.
Selama lima tahun Goebbels menjadi orang terdepan pemerintahan Nazi dalam hal konsolidasi di dalam negeri dan mencari simpati dunia internasional. Kesempatan terbaiknya datang ketika terjadi peristiwa Kristallnacht (Malam Kristal) tanggal 9-10 November 1938, yang dia manfaatkan sebaik-baiknya dengan cara membakar amarah rakyat dengan pidatonya yang berapi-api di depan para pimpinan partai yang berkumpul di Münich Altes Rathaus (Balai Kota Tua) dalam acara peringatan terhadap peristiwa Beer-Hall Putsch.

Tentu saja, hubungan antara dia dengan sang Führer yang dipujanya berjalan begitu eratnya. Dia bersama istri (Magda) dan keenam anaknya merupakan tamu tetap yang selalu disambut dengan baik di tempat peristirahatan Hitler yang berlokasi di Berchtesgaden, pegunungan Alpine. Pada tahun 1938, ketika Magda bertekad untuk menceraikannya karena kasus perselingkuhan tanpa henti yang dilakukan Goebbels dengan para artis cantik, adalah Hitler yang turun tangan langsung untuk meluruskan situasi dengan menyuruh Magda membatalkan niatnya, dan di lain pihak meminta Goebbels menghentikan kebiasaan buruknya tersebut. Dasar sudah memuja setengah mati, kedua suami istri ini benar-benar menjalankan titah dari Führer mereka, dan sejak saat itu tak pernah terdengar lagi kisah skandal dalam keluarga Goebbels!

Selama berlangsungnya Perang Dunia II, hubungan antara Goebbels dan Hitler semakin bertambah intim, terutama ketika situasi peperangan di berbagai front makin memburuk dan menjadi tugas utama Menteri Propaganda lah untuk mendorong rakyat Jerman berusaha lebih gigih lagi. Setelah Sekutu bersikeras untuk memaksakan penyerahan tanpa syarat, Goebbels malah menjadikan hal ini menjadikan satu keuntungan besar dengan meyakinkan para pendengarnya bahwa tak ada pilihan bagi mereka semua selain kemenangan atau kehancuran! Dalam pidatonya yang terkenal tanggal 8 Februari 1943 di Berlin Sportpalast, Goebbels telah menciptakan sebuah atmosfir yang mengaduk-aduk emosi liar para pendengarnya, dan membuat mereka mendukung penuh gagasannya untuk mobilisasi perang total. Manusia satu ini memang tak pernah kehilangan nyali dan semangat dalam hal-hal beginian. Sudah menjadi makanan sehari-hari bagi dirinya untuk membakar massa lewat orasi-orasinya yang disiarkan luas di radio, koran, dan media massa lainnya. Dia selalu memanfaatkan ketakutan Jerman akan datangnya "gerombolan dari Asia yang tak kenal ampun", dan memanfaatkan dengan sebaik-baiknya kontrol atas pers, film dan radio untuk mempertahankan moral rakyat agar jangan sampai merosot. Diciptakannya mitos "senjata rahasia" yang akan membalik kekalahan menjadi kemenangan, dan juga tentang adanya benteng tak tertembus di pegunungan dimana pertahanan terakhir akan diadakan!

Karena pemikiran cepat dan aksi menentukan yang dilakukannya pada sore tanggal 20 Juli 1944 lah yang menyelamatkan Nazi dan Hitler, ketika dia mengisolasi para konspirator (Stauffenberg dkk) di Kementerian Perang, dengan mendapat bantuan dari pasukan-pasukan yang setia. Tak lama kemudian dia mencapai ambisinya untuk menjadi warlord front domestik, setelah Hitler menunjuknya sebagai panglima perang total yang berkuasa penuh pada bulan Juli 1944.

Setelah mendapat kekuasaan tertinggi untuk menggerakkan dan mengarahkan populasi sipil (dan bahkan untuk mendistribusikan orang untuk keperluan Angkatan Bersenjata), Goebbels semakin gigih mendorong pengorbanan rakyat Jerman lebih besar lagi. Tapi dengan situasi yang sudah begitu buruknya sehingga Jerman hanya tinggal menunggu kejatuhannya, sudah terlambat untuk melakukan apa-apa selain hanya menambah kebingungan dan dislokasi. Dengan semakin dekatnya akhir perang, Goebbels, orang yang dari pertama sudah dikenal sebagai sang oportunis sejati, kini tampil menjadi pengikut Führer paling setia. Dia membawa serta keluarganya ke bunker pengap yang ditempati Hitler dan menghabiskan hari-hari terakhir mereka disana. Dia begitu yakinnya bahwa Nazi telah menghancurkan semua jembatan dan bangunan yang tersisa (dan juga terpesona oleh bayang-bayang kehancuran total), sehingga kata-kata terakhir yang diucapkannya sebagai salam perpisahan adalah: "Ketika kami berpulang, biarkanlah bumi bergetar!"

Tak lama setelah Hitler bunuh diri, Goebbels mengacuhkan testamen politik terakhir Hitler yang mengangkatnya sebagai Kanselir Reich yang baru, dan memutuskan untuk mengikuti langkah pujaannya tersebut. Dia memerintahkan kepada seorang dokter SS agar keenam anaknya yang masih kecil disuntik dengan racun mematikan, tak lama setelahnya dia memerintahkan pula agar prajurit SS lain menembak dia bersama istrinya Magda. Semuanya itu terjadi tanggal 1 Mei 1945, hanya 1 hari setelah bunuh diri Hitler! Dengan karakter egomania dan kecemerlangan intuisi yang dimilikinya, dia membuat juga testamen terakhir tak lama sebelum dia tewas. Testamen itu berbunyi: "Kami akan tercatat dalam sejarah sebagai negarawan terbesar sepanjang masa, atau juga kriminal terbesar.

Monday, April 15, 2019



“Tidak ada orang jujur yang bisa menjadi kaya, karena ketidakjujuran selalu mendapat bayaran lebih daripada kejujuran; Sehingga semakin kaya seseorang makin tidak jujur dan tidak baik adanya” (Plato)

 Ironi hidup di negeri “pemimpin kaya rakyat menderita.”

Indonesia untaian zamrud katulistiwa adalah sebuah negeri bagaikan mutiara yang berserakan terhampar dari sabang sampai merauke. Keindahan negeri yang terposisikan sebagai poros silang strategis antar benua dan antar samudera mengandung kekayaan alam yang luar biasa sampai sampai disebut dalam Al-quran (Dia membiarkan dua lautan mengalir, yang keduanya kemudian bertemu dan dari keduanya keluar mutiara dan marjan Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan?. Sebuah negeri yang Geography Destiny-nya merupakan negeri bahari.

Pesona negeri ini tak lekang oleh banyaknya jutaan penyair yang mengaguminya, sampai takkan habis kata tuk melukiskannya. Ribuan bahkan jutaan pelawat dari pelosok dunia mengunjungi negeri yang pesonanya tak pernah pudar berlipstikan warna abadi, kekayaannya bagaikan mata air yang tak pernah kering. Ribuan jenis buah-buahan dan makanan laksana surga dengan air sungai yang mengalir sepanjang masa.

Dongeng-dongeng dan cerita nenek moyang tentang nusantara yang gemah ripah loh jinawi bukan merupakan isapan jempol belaka. Bukanlah cerita fiktif semacam penghibur untuk sekedar anak bayi yang dininabobokkan, kita sebagai anak bangsa yang terlunta ditanah air sendiri. Fakta empiris telah menggambarkan dengan begitu gamblang sekaligus membuktikan betapa melimpahnya kekayaan negeri bahari ini yang bernama Indonesia. Bahkan ribuan tahun yang lalu Aristoteles filsuf yunani telah melukiskan sebuah negeri bahari ini merupakan benua Atlantis yang dilanjutkan oleh penelitian dan penemuan ilmuwan Santos dari Brazil yang melalui penyelidikannya selama 30 tahun, inilah negeri penggalan surga. The lost Paradise.

Sangat ironis, keadaan tersebut justru berbanding terbalik 180 derajat dengan kondisi rakyatnya, yang masih terlilit hidup kesusahan, kebanyakan rakyat masih berada dalam kemiskinan, inilah ironi negeri bahari yang bernama Indonesia.

Pergantian pemimpin negeri ini hanya berpindah tangan saja tetapi tetep saja kelakuan bak zombi berkulit coklat penghisap rupiah, baik sopil maupun militer lihat saja ketika memimpin yang berubah hanya kehidupan pemimpinnya yang bergelimang tumpukan barang mewah dan tidur beralaskan rupiah tetapi rakyat dan bawahan bahkan institusi tetap tidak berubah. Bila negeri ini pemerintah bilang negeri bahari atau negara maritim sekalipun, pernahkah kita membangun Pangkalan TNI AL yang lengkap dari awal yang memenuhi unsur-unsur tugas Pangkalan? Timbulah kalimat “sepertinya negeri ini ada atau tidak ada pemimpinnya sama saja.”

Ibarat anak ayam mati dilumbung padi. Itulah pepatah untuk menggambarkan kondisi riil rakyat Indonesia. Rakyat hidup dinegeri bahari negeri kepulauan nan kaya dan makmur. Pernyataan tersebut bukan sesuatu yang berlebihan, dengan melihat kasat mata potensi yang ada seharusnya rakyat bisa hidup lebih maju dan sejahtera bahkan bisa lebih sejahtera dibandingkan penduduk Eropa, China, Jepang bahkan juga Amerika sekalipun. Realitasnya adalah rakyat hidup dalam kemiskinan dan kesusahan. Dengan data BPS desember 2014 jumlah penduduk miskin pada maret 2014 sebanyak 28, 28 juta orang (11,25 persen).

Boleh percaya atau tidak dengan data tersebut walaupun dikeluarkan oleh institusi resmi akan tetapi realitanya adalah kemiskinan dinegeri ini jauh lebih besar dari data yang ada. Argumentasinya adalah ukuran miskin dan kemiskinan yang dirilis pemerintah menggunakan ukuran dan perspektif sendiri yang tidak rasional. Bahkan menurut ukuran bank dunia, kemiskinan yang ada di Indonesia masih lebih besar dari data yang dikeluarkan oleh BPS.

Kemiskinan yang terjadi di negeri ini diperkirakan masih lebih dari 60 persen atau sekitar 150 juta jiwa lebih dari jumlah penduduk Indonesia tahun 2015 sekitar 250 juta jiwa. Intinya dengan kekayaan negeri bahari yang melimpah ini kemiskinan masih besar. Menurut Safii Maarif dalam bukunya, Islam dalam bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (edisi kedua, mizan 2015) “Soal angka kemiskinan saya kira yang dilansir BPS itu salah karena faktanya ada setengah dari penduduk yang tidak bisa makan tiga kali sehari.”

Dunia ini akan cukup untuk memenuhi kebutuhan semua makhluknya, namun tak pernah cukup untuk memuaskan satu orang manusia. Berantas korupsi hingga akar-akarnya namun jangan sentuh Istana.

Sangat mengenaskan nasib rakyat negeri bahari Indonesia. Entah karena apa, nasib dan kehidupannya begitu nista dan ironis. Tinggal dan sebagai pewaris dari segala kekayaan alam dari tempat lahir dan leluhur mereka, namun waktu demi waktu kehidupan yang layak seakan enggan menghampiri.

 Tahun berganti tahun hingga abad berganti abad, penindasan dan penjajahan tak pernah beranjak dari kehidupan kita sebagai bangsa. Hanya bentuk dan pelakunya yang berubah dan berganti. Hingga kini kita telah merdeka lebih dari setengah abad, namun esensi kemerdekaan yang berarti rakyat hidup dalam kondisi sejahtera dan terlindungi oleh hukum yang adil seakan akan jauh panggang dari api, seakan-akan hanya fatamorgana dan ilusi yang dibangun oleh para penguasa yang telah tega membiarkan rakyat dalam kenestapaan dan penderitaan.

Harapan untuk hidup lebih baik setelah kekuasaan rezim orde baru telah tumbang masih sangat jauh dari kenyataan. Reformasi yang berlangsung hampir telah melahirkan demokrasi belum mampu mengubah kehidupan rakyat secara signifikan, bahkan telah melahirkan sejumlah elit baru beserta antek-anteknya yang menikmati secara berlebihan dari kekayaan negara. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sistem politik demokrasi dan reformasi telah melahirkan para penindas baru hanya penampilan dan gayanya yang berbeda. Demokrasi telah menghasilkan para pemimpin dan pejabat yang korup, apakah salah bila kita katakan negara kita adalah negeri bahari tempat sarangnya para koruptor?

Dari data yang kita baca dan kita dengar dari berita berita televisi, pemberitaan tentang koruptor hampir tiap hari dan ini bukan drama tetapi yang sebenarnya terjadi, itupun yang ketangkap atau sesuai pesanan padahal yang nyuruh nangkeppun juga korupsi.

Sejarah panjang korupsi dinegeri ini adalah sejarah panjang umat manusia yang take for granted, sudah bawahan orok kata orang Jakarta. Sifat korupsi sudah melekat dengan diri manusia sejak lahir, sama halnya dengan kebutuhan manusia terhadap seks, makan, minum dan sebagainya. Perbedaannya adalah sifat dan perilaku korup berdampak buruk pada kehidupan manusia yang lain, karena korupsi adalah bentuk sifat keserakahan manusia yang tak akan pernah terpuaskan.

Sebab utama korupsi adalah mental dan watak yang dipenuhi nafsu untuk hidup bermewah-mewah dari para pemegang amanah rakyat, alias para penguasa. Nafsu yang sudah melekat dalam diri setiap manusia, maka kemampuan dan kekuasaan untuk mengendalikannya adalah kunci sesorang menjadi korup ataukah amanah.

 Sejarah korupsi diIndonesia merupakan sejarah panjang yang terjadi pada umat manusia diseluruh dunia. Penyakit bawaan orok ini mulai menjadi masif sejak pertama kali VOC memasuki wilayah Nusantara. Dari berbagai sejarah, VOC bangkrut akibat korupsi merajalela yang diambil alih langsung oleh kerajaan Belanda sekitar tahun 1800-an. Aliansi politik yang berpihak kepada VOC yang memuluskan semangat kolonialisme mereka pada bangsa-bangsa di Nusantara. Maka saat itu praktik-praktik suap dan upeti atau gratifikasi terjadi secara terbuka.

Setelah Indonesia merdeka, sistem multipartai saat Orde Lama, mengakibatkan persaingan dan kompetisi yang tidak sehat dalam perpolitikan kita dan partai yang berkuasa akhirnya tergiur untuk melakukan korupsi demi menggali dana-dana untuk politik atau kampanye. Era itu semua hal identik dengan semboyan dan simbol-simbol revolusioner. Maka keputusan pemerintahan Orde Lama menggiatkan gerakan anti korupsi dikenal dengan nama “Operasi Budhi”, mirip-mirip revolusi mental yang kini digaungkan oleh pemerintah sekarang, meski kini gaungnya nyaris tak terdengar karena kala gaduh dengan riuh rendahnya pemberitaan media massa tentang beraneka ragam polemik menyangkut persoalan bangsa lainnya termasuk masalah korupsi pejabat yang masih sedap-sedap dilihat di televisi hampir tiap hari. Dalam praktiknya semangat pemberantsan korupsi pada jaman Bung Karno juga banyak mengalami kendala dan hadangan. Apalagi jika menyangkut pejabat tinggi negara, apalagi memiliki kedekatan-kedekatan khusus dengan sang Presiden.

Rezim Orde Lama pimpinan Sukarno tumbang, Penggantinya Jendral Soeharto mengampanyekan bahwa Orde Baru akan memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah rusak akibat sala urus Orde Lama. Berjalannya waktu korupsi di era Orde Baru juga semakin subur, dan berjalannya waktu operasi tatib yang dikomandoi oleh Laksamana Sudomo akhirnya kempes ditengah jalan. Perlahan tapi pasti, eksistensinya hilang tanpa bekas seperti debu yang dihempas angin.

Saat ini menurut data dari ICW trend korupsi dikalangan pejabat pemerintah baik dieksekutif, legislatif maupun yudikatif semakin marak dan bahkan semakin naik baik dari kuantitas maupun kualitasnya. Catatan yang dirilis oleh ICW dari kasus-kasus korupsi yang terjadi sejak 2010-2014 terus mengalami kenaikan, terutama periode 2013-2014.

Jumlah kasus korupsi yang ditangani oleh penegak hukum, baik kejaksaan, kepolisian dan komisi pemberantsan korupsi pada tahun 2010 adalah 436 kasus. Tahun 2011 sebanyak 448 kasus, tahun 2012 sebanyak 402 kasus, tahun 2013 naik menjadi 560 kasus. Sementara oknum tersangkut kasus korupsi juga terus meningkat pada tahun 2010 sebanyak 1.157 orang, tahun 2013 sebanyak 1.271 tersangka. Maka tidaklah berlebihan bila kita katakan negeri bahari ini adalah sarang para koruptor yang kasusnya terungkap sejak 2005 hingga 2014.

“Kejahatan yang paling sempurna adalah kejahatan yang dilakukan oleh negara. Dibalik setiap harta yang melimpah terdapat kejahatan (Balzac)”

Pihak militer Indonesia telah terlibat dalam kegiatan ekonomi sejak permulaan 1950-an. Hal tersebut dilakukan dalam rangka mencari pendapatan diluar anggaran biasa bagi kepentingan operasi masing-masing komando dan kesatuan militer. Namun ini juga demi kepentingan pribadi politik para perwira dan faksi. Rata-rata bisnis tersebut bersifat ilegal dan vulgar. Bentuk berbagai pungutan dalam pengangkutan barang, penyelundupan dan memberikan perlindungan bagi kejahatan terorganisasi. Ketika rezim militer orde baru berkuasa, bisnis militer bahkan menjadi kegiatan yang resmi dengan mendirikan perusahaan-perusahaan milik militer. Dalam praktiknya, perusahaan-perusahaan milik militer tersebut bekerja sama dengan pihak kapital swasta. Meskipun kini, diera reformasi bisnis-bisnis militer secara resmi telah sangat dikurangi, namun praktik-praktik bisnis dengan pola pendekatan kekuasaan masih marak terjadi. Pemainnya lebih variatif, baik tokoh militer maupun sipil yang memiliki kedudukan kuat dalam politik.

Dari sedikit gambaran diatas, menunjukkan kepada kita bahwa praktik-praktik bisnis dengan model dan cara mafia hingga kini masih terus berlangsung. Maka tidak heran jika kita melihat kehidupan disekitar kita secara gamblang bisa kita rasakan. Sekelompok orang memiliki kekayaan yang sangat luar biasa besarnya disisi lain, dan ini kelompok mayoritas masyarakat hidup dalam kemiskinan dan kesengsaraan. Kata mafia berasal dari italia yang pada awalnya “Mafia” memiliki arti yang positif, yakni laki-laki terhormat yang disebut mafioso. Pimpinannya disebut sebagai Godfather. Dalam perjalanannya, perkumpulan atau organisasi yang terdiri dari orang-orang italia ini banyak melakukan kejahatan-kejahatan yang terorganisasi. Istilah mafia begitu populer ketika imigran Italia mulai masuk ke Amerika dan melakukan bisnis-bisnis ilegal dinegeri Paman Sam.

Setiap wilayah atau bangsa bahkan suku-suku bangsa kegiatan dan aktivitas kejahatan terorganisasi dengan rapi dan juga memiliki istilah sendiri-sendiri, seperti Yakuza di Jepang, Triad di China dan sebagainya. Amerika karena merupakan negara super power dalam banyak hal, termasuk didalamnya dunia seni, baik sastra maupun film, pada akhirnya kata mafia lebih populer untuk menyebut berbagai jenis kegiatan bisnis terorganisasi yang bermain diwilayah abu-abu bahkan melanggar hukum.

Keberadaan mafia di Indonesia kian hari kian mengemuka, salah satunya adalah sektor hukum, sehingga pada tahun 2009 Presiden SBY membentuk Satuan tugas Anti Mafia Hukum berdasarkan surat Keputusan Presiden Nomor 37 tahun 2009 tanggal 30 desember 2009. Menurut Deny Indrayana, Sekretaris Satgas Mafia Hukum diera SBY sembilan wilayah yang menggurita praktik-praktik mafia diantaranya adalah; mafia peradilan, mafia korupsi, mafia pajak dan bea cukai, mafia kehutanan, mafia tambang dan energi, mafia narkoba, mafia tanah, mafia perbankan dan pasar modal, serta mafia perikanan. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa nyaris disemua sektor bisnis yang berhubungan dengan barang dan jasa di Indonesia terindikasi rawan praktik-praktik mafia. Bahkan yang terjadi setelah satgas terbentuk sektor lain yang tidak sepi dari mafia adalah sektor anggaran, bahkan sektor pemakaman di Jakarta, rumah susun dan sebagainya.

Terkoneksi Kepentingan Asing.
Bila ditarik kebelakang secara historis baik para koruptor maupun mafia dan munculnya Undang-Undang penanaman modal ketika masa Presiden Soeharto menjadi sebuah pintu masuk bagi investor migas dunia ke Indonesia. Hal tersebut menjadikan Indonesia salah satu tempat yang menguntungkan dalam bisnis sektor migas.

Agen-agen asing ini dengan sebutan cecunguk asing. Memang praktik pengkhianatan oleh anak bangsa sendiri yang bekerja pada kepentingan politik dan ekonomi asing demi secuil bayaran dengan megorbankan kepentingan nasional sudah terjadi selama berabad-abad dan turun temurun. Para mafioso ini bahkan dikategorikan sebagai orang-orang yang memiliki kedudukan terhormat, dengan pendidikan rata-rata tinggi bahkan lulusan universitas-universitas terbaik diluar negeri.

Apa yang dinyatakan oleh Fuad Bawazir tentang mafia Barkley, mereka para teknokrat merancang pembangunan Indonesia sejak awal orde Baru yang mengadopsi mentah mentah sektor ekonomi versi Bank Dunia, ADB, IMF dan patuh pada instruksi para senator di Washington DC Amerika Serikat. Akhirnya terbukti karena konsep pembangunan semasa Orde Baru dikendalikan oleh kepentingan asing lewat mafioso-mafioso lokal yang disetir oleh IMF dan Bank Dunia, maka fundamental ekonomi kita rapuh, langsung ambruk ketika nilai dolar naik terhadap rupiah, dan Soeharto terpaksa mundur dan meletakkan jabatan Presiden pada mei 1998.

Sejalan dengan pernyataan Ichsanuddin dan Fuad, para mafioso lokal masuk dalam berbagai sektor baik ekonomi maupun migas dan ekonomi, berfikir sangat liberal dan konsepnya lebih berpihak dan menguntungkan para Godfathernya di luar negeri. Bahkan Ichsanuddin menyatakan bahwa organisasi ini terus melakukan kaderisasi mafia hingga saat ini.

Mafia Barkley nama yang sangat populer untuk menyebut para penguasa dibidang kebijakan ekonomi dan keuangan. Maka konsep pembangunan ekonomi kita sejak awal Orde Baru telah dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan asing. Karakteristik terbaca pada sistem ekonomi yang mementingkan pertumbuhan, namun nol dalam pemerataan. Kebijakan ekonomi model tersebut memang tumbuh relatif tinggi dapat tercapai. Namun selain tidak merata, pertumbuhan tersebut sebenarnya keropos karena fundamental ekonomi rapuh, akibatnya terbukti keudian membawah bencana ekonomi besar dan berlarut-larut. Hal tersebut akan diperparah apabila pembangunan hanya mengandalkan utang luar negeri pemerintah. Ketika terjadi ledakan, fundamental ekonomi kita langsung runtuh dan rakyat kecil menjadi babak belur.

Inilah yang harus kita perjuangkan bersama dari lubuk hati yang ikhlas akan muncul pelita-pelita harapan bangsa. Perubahan sosial adalah keniscayaan. Perubahan itu sebuah kepastian yang tidak akan dilawan menjadi seberapa sistematis dan cepat perubahan bisa terjadi. Atau kita lebih senang berjalan lambat seperti kawanan kura-kura atau bergerak dinamis selayaknya semut hitam bak pasukannya Nabi Sulaiman. Meski dunia berpihak kepada kejahatan, karena para penindas pun berkembang biak sangat cepat, Bahkan ketika keadilan sosial, ekonomi, pemerataan, kesejahteraan serta kepastian hukum adalah utopia. Jangan sekalipun kita berpaling dari lahan perjuangan, karena disitulah puncak tertinggi nilai kemanusiaan tumbuh subur. Karena perjuangan mengangkat derajat kemanusian adalah setinggi-tingginya kesalehan sosial.

Tuesday, April 9, 2019


Jauh sebelum Eropa terbuka matanya mencari dunia baru, warga pribumi nusantara hidup dalam kedamaian. Situasi ini berubah drastis saat orang-orang Eropa mulai berdatangan dengan dalih berdagang, namun membawa pasukan tempur lengkap dengan senjatanya. Hal yang ironis, tokoh yang menggerakkan roda sejarah dunia masuk ke dalam kubangan darah adalah dua orang Paus yang berbeda. Pertama, Paus Urbanus II, yang mengobarkan perang salib untuk merebut Yerusalem dalam Konsili Clermont tahun 1096. Dan yang kedua, Paus Alexander VI.

Dalam tempo beberapa tahun saja, Belanda telah menjajah Hindia Timur dan hal itu berlangsung lama hingga baru merdeka pada tahun 1945. Perang Salib tanpa disadari telah membuka mata orang Eropa tentang peradaban yang jauh lebih unggul ketimbang mereka. Eropa mengalami pencerahan akibat bersinggungan dengan orang-orang Islam dalam Perang Salib ini. Merupakan fakta jika jauh sebelum Eropa berani melayari samudera, bangsa Arab telah dikenal dunia sebagai bangsa pedagang pemberani yang terbiasa melayari samudera luas hingga ke Nusantara.

Bahkan kapur barus yang merupakan salah satu zat utama dalam ritual pembalseman para Fir’aun di Mesir pada abad sebelum Masehi, didatangkan dari satu kampung kecil bernama Barus yang berada di pesisir barat Sumatera tengah. Dari pertemuan peradaban inilah bangsa Eropa mengetahui jika ada satu wilayah di selatan bola dunia yang sangat kaya dengan sumber daya alamnya, yang tidak terdapat di belahan dunia manapun.

Negeri itu penuh dengan karet, lada, dan rempah-rempah lainnya, selain itu Eropa juga mencium adanya emas dan batu permata yang tersimpan di perutnya. Tanah tersebut iklimnya sangat bersahabat, dan alamnya sangat indah. Wilayah inilah yang sekarang kita kenal dengan nama Nusantara. Mendengar semua kekayaan ini Eropa sangat bernafsu untuk mencari semua hal yang selama ini belum pernah didapatkannya.

Paus Alexander VI pada tahun 1494 memberikan mandat resmi gereja kepada Kerajaan Katolik Portugis dan Spanyol melalui Perjanjian Tordesillas. Dengan adanya perjanjian ini, Paus Alexander dengan seenaknya membelah dunia di luar daratan Eropa menjadi dua kapling untuk dianeksasi. Garis demarkasi dalam perjanjian Tordesilas itu mengikuti lingkaran garis lintang dari Tanjung Pulau Verde, melampaui kedua kutub bumi. Ini memberikan Dunia Baru kini disebut Benua Amerika kepada Spanyol. Afrika serta India diserahkan kepada Portugis.

Paus menggeser garis demarkasinya ke arah timur sejauh 1.170 kilometer dari Tanjung Pulau Verde. Brazil pun jatuh ke tangan Portugis. Jalur perampokan bangsa Eropa ke arah timur jauh menuju kepulauan Nusantara pun terbagi dua. Spanyol berlayar ke Barat dan Portugis ke Timur, keduanya akhirnya bertemu di Maluku, di Laut Banda. Sebelumnya, jika dua kekuatan yang tengah berlomba memperbanyak harta rampokan berjumpa tepat di satu titik maka mereka akan berkelahi, namun saat bertemu di Maluku, Portugis dan Sanyol mencoba untuk menahan diri.

Pada 5 September 1494, Spanyol dan Portugal membuat perjanjian Saragossa yang menetapkan garis anti-meridian atau garis sambungan pada setengah lingkaran yang melanjutkan garis 1.170 kilometer dari Tanjung Verde. Garis itu berada di timur dari kepulauan Maluku, di sekitar Guam.

Sejak itulah, Portugis dan Spanyol berhasil membawa banyak rempah-rempah dari pelayarannya. Seluruh Eropa mendengar hal tersebut dan mulai berlomba-lomba untuk juga mengirimkan armadanya ke wilayah yang baru di selatan.

Ketika Eropa mengirim ekspedisi laut untuk menemukan dunia baru, pengertian antara perdagangan, peperangan, dan penyebaran agama Kristen nyaris tidak ada bedanya. Misi imperialisme Eropa ini sampai sekarang kita kenal dengan sebutan “Tiga G”: Gold, Glory, Gospel. Seluruh penguasa, raja-raja, para pedagang, yang ada di Eropa membahas tentang negeri selatan yang sangat kaya raya ini.

Mereka berlomba-lomba mencapai Nusantara dari berbagai jalur. Sayang, saat itu belum ada sebuah peta perjalanan laut yang secara utuh dan detil memuat jalur perjalanan dari Eropa ke wilayah tersebut yang disebut Eropa sebagai Hindia Timur. Peta bangsa-bangsa Eropa baru mencapai daratan India, sedangkan daerah di sebelah timurnya masih gelap.

Dibandingkan Spanyol, Portugis lebih unggul dalam banyak hal. Pelaut-pelaut Portugis yang merupakan tokoh-tokoh pelarian Templar (dan mendirikan Knight of Christ), dengan ketat berupaya merahasiakan peta-peta terbaru mereka yang berisi jalur-jalur laut menuju Asia Tenggara.

Peta-peta tersebut saat itu merupakan benda yang paling diburu oleh banyak raja dan saudagar Eropa. Namun ibarat pepatah,“Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga”, maka demikian pula dengan peta rahasia yang dipegang pelaut-pelaut Portugis.

Sejumlah orang Belanda yang telah bekerja lama pada pelaut-pelaut Portugis mengetahui hal ini. Salah satu dari mereka bernama Jan Huygen van Linschoten. Pada tahun 1595 dia menerbitkan buku berjudul Itinerario naer Oost ofte Portugaels Indien, Pedoman Perjalanan ke Timur atau Hindia Portugis, yang memuat berbagai peta dan deksripsi amat rinci mengenai jalur pelayaran yang dilakukan Portugis ke Hindia Timur, lengkap dengan segala permasalahannya.

Buku itu laku keras di Eropa, namun tentu saja hal ini tidak disukai Portugis. Bangsa ini menyimpan dendam pada orang-orang Belanda. Berkat van Linschoten inilah, Belanda akhirnya mengetahui banyak persoalan yang dihadapi Portugis di wilayah baru tersebut dan juga rahasia-rahasia kapal serta jalur pelayarannya.

Para pengusaha dan penguasa Belanda membangun dan menyempurnakan armada kapal-kapal lautnya dengan segera, agar mereka juga bisa menjarah dunia selatan yang kaya raya, dan tidak kalah dengan kerajaan-kerajaan Eropa lainnya.

Pada tahun 1595 Belanda mengirim satu ekspedisi pertama menuju Nusantara yang disebutnya Hindia Timur. Ekspedisi ini terdiri dari empat buah kapal dengan 249 awak dipimpin Cornelis de Houtman, seorang Belanda yang telah lama bekerja pada Portugis di Lisbon. Lebih kurang satu tahun kemudian, Juni 1596, de Houtman mendarat di pelabuhan Banten yang merupakan pelabuhan utama perdagangan lada di Jawa, lalu menyusur pantai utaranya, singgah di Sedayu, Madura, dan lainnya. Kepemimpinan de Houtman sangat buruk.

Dia berlaku sombong dan besikap semaunya pada orang-orang pribumi dan juga terhadap sesama pedagang Eropa. Sejumlah konflik menyebabkan dia harus kehilangan satu perahu dan banyak awaknya, sehingga ketika mendarat di Belanda pada tahun 1597, dia hanya menyisakan tiga kapal dan 89 awak. Walau demikian, tiga kapal tersebut penuh berisi rempah-rempah dan benda berharga lainnya.

Orang-orang Belanda berpikiran, jika seorang de Houtman yang tidak cakap memimpin saja bisa mendapat sebanyak itu, apalagi jika dipimpin oleh orang dan armada yang jauh lebih unggul. Kedatangan kembali tim de Houtman menimbulkan semangat yang menyala-nyala di banyak pedagang Belanda untuk mengikut jejaknya. Jejak Houtman diikuti oleh puluhan bahkan ratusan saudagar Belanda yang mengirimkan armada mereka ke Hindia Timur. Dalam tempo beberapa tahun saja, Belanda telah menjajah Hindia Timur dan hal itu berlangsung lama hingga baru merdeka pada tahun 1945

Pilar Kapitalisme ada lima :
Private Proverty
Self Interest (The Invisible Hands)
Economic Individualism
Competition and Free Market
The Price System
Government-rulemaker-profektor
Goals of Our Economic System
Pada sebuah perekonomian kapitalistik, hal-hal yang dimiliki orang dapat berupa barang atau sumber daya. Pihak didalamnya memainkan peran berganda :

1. Pemerintah melindungi private property
2. Pemerintah membatasi kepemilikkan dan penjualan barang-barang dan jasa-jasa yang mempengaruhi kesehatan, keamanan, dan HAM.

Sistem eknomi kapitalis adalah sebuah organisasi "raksasa" buatan manusia. Sistem kapitalis tidak terlepas dari gejala konjugtur. [konjungtur adalah gerak gelombang kehidupan ekonomi. Hak miliki privat memungkinkan semua orang untuk mengendalikan apa saja yang dimilikinya, menikmati manfaatnya, melaksanakan kontrak-kontrak, sehubungan dengan atau menjualnya atau mewariskannya pihak lain.

Setiap individu apabila diperbolehkan mengejar kepentingan dirinya sendiri tanpa campur tangan pemerintah seakan-akan dibina oleh tangan tak terlihat dalam upaya mencapai hal yang terbaik bagi masyarakat. The Price System = The Market System / Sistem Reward dan Penalti
Setiap barang atau jasa atau sumber daya ekonomi memiliki harga.

The Price System adalah sebuah mekanisme yang sangat menakjubkan. Ia pada intinya adalah sebuah sistem imbalan dan hukuman. Imbalan berupa laba bagi perusahaan-perusahaan dan individu-individu yang mampu bertahan dan hukuman dalam bentuk kerugian atau kemungkinan kebangkrutan (gulung tikar bagi mereka yang tidak stabil).

Doktrin Laissez Faire menyatakan bahwa fungsi-fungsi pemerintah didalam seluruh sistem kapitalis hanya terbatas hingga :

-Tindakan menjaga ketertiban dan keamanan
-Merugikan hak-hak kepemilikkan
-Memajukan persaingan
-Mengeluarkan uang
-Mengumpulkan dana melalui perpajakan

Kapitalisme jaman dulu sangat berbeda dengan kapitalisme kini. Laissez Faire non intervensi pemerintah dalam kehidupan ekonomi, kapitalisme masa kini (kapitalisme modern), pemerintah juga memiliki peran yang lebih penting yaitu mengatur jalannya roda perekonomian yang tidak begitu saja diserahkan kepada sistem pasar dan sistem harga.

Di Amerika Serikat distribusi pendapatan, aktivitas makro ekonomi sangat terencana sedangkan keputusan lain diserahkan kepada pasar atau mekanisme pasar.

Monday, April 8, 2019


APAKAH ANARKIS ITU “KIRI”
Menjawab persinggungan anarkisme dan sosialisme, serta identitas kiri

Pertanyaan ini selalu muncul. Dan sering dijadikan legitimasi bahwa para anarkis “berbohong” mengenai isu yang diperjuangkan. Para anarkis dianggap tidak peduli dengan penindasan kapitalisme hanya karena “anarkis bukan kiri” (dan ini yang sering digunakan para anti anarkis online. WTF). Tapi, bagaimana sebenarnya anarkisme menempatkan diri di dalam “spektrum politis” terutama saat melawan kapitalisme? Artikel ini bisa disebut sebagai rangkuman dari Anarchist FAQ “Apakah Kaum Anarkis Sosialis juga Sosialis?” (Bagian A.1.4)

Pada dasarnya semua “cabang” anarkis menolak kapitalisme (anarko kapitalisme yang ditolak oleh para anarkis akan saya bahas lain waktu). Dasar penolakan ini adalah kapitalisme didasarkan dari penindasan dan eksploitasi. Proudhon mengatakan bahwa anarkisme melihat “eksploitasi kapitalistis dan kepemilikan berhenti di mana-mana (dan) sistem upah dihapuskan”. Karena “baik pekerja … akan dengan mudahnya bekerja pada pemilik-kapitalis-penyelenggara; atau ia akan ikut serta… pada kasus pertama pekerja disubordinasi, tereksploitasi : kondisi permanennya adalah kepatuhan…dalam kasus kedua ia mengembalikan martabatnya sebagai seorang manusia dan warga negara… ia merupakan bagian organisasi produksi, di mana ia berada sebelumnya namun sebagai buruh… kita tidak perlu ragu, karena kita tidak punya pilihan… memang perlu membentuk suatu SERIKAT di antara para buruh… karena tanpa itu, mereka akan tetap berhubungan sebagai sub ordinat dan superior, dan akan muncul dua… kasta tuan dan buruh upahan, yang merupakan hal menjijikkan bagi masyarakat yang bebas dan demokratis”.  Berkman menambahkan “Oleh karenanya semua kaum kaum anarkis anti kapitalis. Jika buruh memiliki kesejahteraan yang dihasilkan, tidak ada kapitalisme”

Voltairine d Cleyre mengatakan “pekerja sejati akan mengatur diri sendiri, memutuskan kapan, dimana, dan bagaimana sesuatu akan dikerjakan “. Seorang anarkis individual, Joseph A Labadie mengatakan “Dikatakan bahwa anarkisme bukan sosialisme. Hal ini adalah kesalahan. Anarkisme adalah sosialisme sukarela. Ada dua jenis sosialisme, arkistis dan anarkistis, otoriter dan liberal, negara dan bebas. Malah, setiap proposisi bagi perbaikan sosial adalah menambah atau mengurangi kekuasaan kehendak eksternal dan pemaksaan terhadap individu. Karena mereka menambahnya, mereka disebut arkistis; jika mereka menguranginya mereka anarkistis”. (Anarchism: What It Is and What It Is Not”) dan menambahkan Labadie menyatakan di banyak kesempatan bahwa “semua anarkis adalah sosialis namun tidak semua sosialis adalah anarkis”.

Dari pernyataan para pemikir awal anarkis ini, bisa dilihat bahwa kaum anarkis mengedepankan sosialisme sebagai praktik. Sosialisme anarkisme menolak semua birokrasi otoritarian yang mengatasnamakan serikat pekerja. Anarkisme menyetujui adanya serikat. Terutama di dalam perjuangan melawan kapitalisme. Tapi bukan berarti serikat menjadi “tuan” baru bagi para pekerja dengan memaksakan kekuasaan kehendak eksternal (bentuk serikat) diatas kehendak individu. Masyarakat anarkis, sesuai definisi, harus didasarkan pada perkumpulan buruh, bukan upah. Hanya buruh yang berserikat yang akan “mengurangi kekuasaan kehendak eksternal dan pemaksaan terhadap individu” selama jam kerja dan manajemen diri terhadap pekerjaan oleh mereka yang bekerja menjadi cita-cita utama dari sosialisme sejati. Perspektif ini dapat dilihat ketika Joseph Labadie berpendapat bahwa perserikatan dagang adalah “contoh meraih kebebasan dengan berserikat” dan bahwa “tanpa serikatnya, pekerja lebih merupakan seorang budak majikannya dibandingkan jika ia berserikat.” (Different Phases of The Labour Question).

Tapi, makna sosialisme bergeser. Marxisme dianggap sebagai “sosialisme sejati” dan hanya dengan komunisme kita akan mewujudkan sosialisme. Pendapat ini yang sejak awal internasionale ditolak para anarkis. Bakunin sendiri mengingatkan pemuja Marx untuk melawan “birokrasi merah” sebagai “pemerintahan despotik terburuk”. Bahkan Bakunin, Stirner, sampai Proudhon sudah meramalkan kengerian sosialisme negara. Dan terbukti, dengan hadirnya Marxis Leninisme dan Uni Soviet . tetapi, pemikiran sosialis anarkis tetap berbagi beberapa pemikiran Marxis (tanpa Leninis). Dan Bakunin serta Benjamin Tucker menerima analisis dan kritik kapitalis Marx. Sebaliknya, Marx sendiri banyak dipengaruhi oleh buku The Ego and Its Own karya Max Stirner, yang berisi kritik brilian mengenai apa yang disebut Marx sebagai komunisme “vulgar” seperti juga sosialisme negara. Ada juga elemen gerakan Marxis yang hampir sama dengan anarkisme sosial (khususnya cabang anarkisme sosial, anarki sindikalis —contohnya, Anton Pannekoek, Rosa Luxembourg, Paul Mattick, dan lain-lain yang sangat jauh berbeda dari Lenin. Oleh karena itu pada dasarnya anarkisme merupakan bentuk sosialisme, yang berdiri tegak sebagai oposisi langsung terhadap apa yang biasa didefinisikan sebagai “sosialisme” (contoh: kepemilikan dan kontrol negara). Daripada “rencana pemusatan” yang dihubungkan oleh banyak orang dengan kata “sosialisme”, kaum anarkis membela kerjasama dan serikat bebas antara individu, tempat kerja, dan komunitas sehingga dengan demikian melawan sosialisme “negara” sebagai bentuk kapitalisme negara yang di dalamnya “setiap pria (dan wanita) akan menjadi penerima upah, dan negara hanyalah pembayarnya”.

Maka, menyebut “kiri” atau sosialis tidak bisa dengan berpaku pada satu pemikiran. Anarkisme merupakan sosialisme, berdasarkan pola pikir anarkis yang menyepakati nilai-nilai sosialisme. Tetapi anarkis bukanlah sosialisme ketika sosialisme hanya dipahami sebagai sosialisme negara ala komunisme. Sebaliknya, komunisme pun tidak dapat disebut sosialis jika sosialisme dipahami sebagai penolakan segala bentuk pemusatan kapitalisme dan penindasan, termasuk negara. Membingungkan? Tidak juga. Untuk mengurangi kebingungan, sebagian besar anarkis menyebut diri sebagai “anarkis” saja karena sudah pasti seorang anarkis adalah juga sosialis.

Bagaimana dengan pertanyaan pertama tadi? apakah anarkisme itu kiri? Mungkin pernyataan dari Noam Chomsky bisa membantu:
“Jika aliran kiri dipahami dengan memasukkan ‘Bolshevisme’, maka aku akan dengan tegas memisahkan diri dari aliran kiri. Lenin adalah salah satu musuh terbesar sosialisme.”

Lagipula, bukankah kanan atau kiri hanyalah identitas dalam struktur sosial. Dan seperti biasa, para anarkis tidak peduli masalah identitas. Lalu, bagaimana? Apakah perlu disibukkan dengan kekirian anarkisme?

Dosa Lenin

Membicarakan sosialisme, terutama komunisme, tentu banyak orang yang akan menyebut Uni Soviet. Uni Soviet dikultuskan sebagai perwujudan sosialisme dalam praktik. Dan secara otomatis, Lenin menjadi “nabi” yang dianggap merealisasikan sosialisme (tentunya dengan metode komunisme). Namun, apakah benar Lenin membawa sosialisme?  Chomsky berpendapat: “Jika aliran kiri dipahami dengan memasukkan ‘Bolshevisme’, maka aku akan dengan tegas memisahkan diri dari aliran kiri. Lenin adalah salah satu musuh terbesar sosialisme.” Mengapa Lenin sebegitu dibenci oleh Chomsky, para anarkis, dan juga para sosialis bahkan marxis? Jika kita berbicara Lenin sebagai musuh sosialisme, tentu kita akan berbicara tentang produk dari Lenin: Bolshevik dan Uni Soviet.

Sosialisme bisa dibilang sebagai dasar dari segala isme kontra kapitalisme dan bentuk penindasan lain. Dan pemerintahan Uni Soviet “menggambarkan diri” sebagai sosialis yang melindungi sosialisme. Kediktatoran proletar dianggap terjadi pada Uni Soviet. Benarkah?

Marx dan Engels melihat kediktatoran proletar dengan cara yang berbeda dari pandangan diktator abad 20. Bahkan pengertian “pemerintahan” sendiri bukanlah sebuah sistem otoritarian.Marx dan  Engels berpendapat bahwa bentuk kediktatoran proletariat sangat nyata dalam komune Paris di 1871. Marx menyatakan Komune Paris sebagai “itulah pemerintahan (masyarakat) kelas pekerja” (The Civil War in France, Marx 1891) dan sangat memuji komune Paris sebagai utopia sosialisme.  Dan Engels mengatakan “akhir-akhir ini, para sosial demokrat terteror oleh kalimat: kediktatoran proletariat.  Baiklah, hadirin sekalian, apakah kalian tahu bentuk kediktatoran ini? Lihatlah komune Paris. Itulah kediktatoran proletariat”. Tapi apakah komune Paris ini seperti yang dilakukan Uni Soviet? Tegasnya, apakah Uni Soviet adalah bentuk kediktatoran proletariat yang diidamkan oleh Marx dan Engels, melihat komune Paris? Komune Paris bukanlah sebuah bentuk kediktatoran dimana satu pemimpin menentukan arah perjuangan semua orang. Seluruh masyarakat komune Paris memiliki kesempatan untuk berpartisipasi, sederhananya, demokrasi langsung. Tidak ada kepeloporan, semua benar-benar berasal dari kelas pekerja. Disini lah letak perbedaan pelaksanaan Uni Soviet dengan cita-cita Marx tentang kediktatoran proletariat.

Mengapa Uni Soviet terbentuk dengan “menyeleweng” dari bentuk kediktatoran proletariat Marx? Masalah mendasar adalah pergeseran fungsi “konspirator” dan “kolaborator” dari sebuah revolusi. Lenin beserta Bolshevik adalah konspirator yang (seharusnya) “memicu pembentukan proses revolusi”. Pekerja sebagai agen revolusi harus mengambil alih hasil produksi dan mengatur industri dalam partisipasi langsung. Dan yang utama kelas pekerja harus berproduksi  “dari masing-masing sesuai dengan kemampuannya, untuk masing-masing menurut kontribusinya.” Bolsheviksme tidak menempatkan diri sebagai itu. Dan tidak menempatkan kelas pekerja sebagaimana sosialisme menempatkan. Lenin dan para kolaborator lain menjadi “kontrol” baru bagi para pekerja Rusia. Mereka membentuk kedisiplinan baru, dan menjadi instrumen penjaga kedisiplinan. Dengan kekuatan dan pengaruhnya, Lenin (dan Trotsky) menghancurkan segala potensi libertarian demi terbentuknya partai tunggal. Tokoh seperti Roxa Luxembourg adalah korban dari aksi ini. Dan pada akhirnya Lenin, dengan bantuan Trotsky, membentuk transisi dari perlawanan revolusi menjadi “State priest”. Kondisi ini menempatkan partai sebagai “hakim pengatur dari atas” yang artinya massa adalah objek dari keteraturan ini. Semua ini terbukti setelah Oktober 1917.

Sejarawan Bolshevik, E. H. Carr, menulis “kecenderungan spontan dari pekerja untuk mengorganisir komite pabrik dan untuk ikut campur dalam manajemen pabrik menjadi hadir dengan revolusi dimana memimpin pekerja untuk percaya bahwa peralatan produktif dalam sebuah negara adalah milik mereka dan dapat dioperasikan oleh mereka atas kehendak mereka dan kemampuan mereka”. Tapi, para “state priest” lebih memahami, dan menghancurkan komite pabrik (salah satunya dimana Roxa Luxembourg berada) dan mengurangi peran organ Soviet dalam kendali mereka. Pada 3 November, Lenin mengumumkan “Draft Decree on Workers’ Control” yang menguji sejenis kontrol yang “bertanggung jawab pada negara untuk memelihara kendali tegas dan mendisiplinkan dan melindungi properti”. Pada akhir tahun, Lenin menyatakan bahwa “kita melampaui kontrol pekerja untuk menciptakan supreme council dari ekonomi nasional” yang menurut Carr adalah untuk “mengganti, menyerap, dan meniadakan sistem kontrol pekerja”. Salah satu serikat menshevik menyesalkan; kepemimpinan bolshevik menunjukkan penyesalan yang sama dalam aksi, dengan menghancurkan ide-ide sosialisme.

Chomsky menjelaskan, setelah kejadian diatas, Lenin segera mengeluarkan dekrit dimana kepemimpinan harus berdasarkan “kekuatan diktatorial” diatas pekerja, dimana harus menyetujui “kepatuhan absolut pada satu perintah” dan “dalam kepentingan sosialisme,’ harus ‘kepatuhan tak terbantahkan pada satu perintah dari pemimpin para pekerja” (bandingkan dengan cita-cita Marx). Lenin dan Trotsky merealisasikan dengan militerasi pekerja, perubahan sosial menuju tentara pekerja dibawah kendali mereka. Dan implementasi macam ini membuahkan masa-masa berdarah dalam Uni Soviet: hilangnya demokrasi, lahirnya aristrokasi partai, sampai pembantaian oposan (dimana oposisi adalah bagian dari dialektis yang dipromosikan Marx). Sedikit menyinggung aristrokasi partai, dalam buku “God That Failed” dijabarkan berbagai pengalaman para “buangan” Uni Soviet ketika berhadapan dengan partai, yang tidak lagi menjadi alat kelas pekerja menyuarakan pendapat, namun sebagai kelas elit baru yang memberi kendali pada kelas pekerja yang notabene sebagai anggota partai.  Semua sikap Lenin inilah yang menjadi “dosa” yang mengkaburkan sosialisme. Sosialisme tidak lagi dianggap pembebasan, tetapi menjadi sebuah struktur sosial baru yang opresif.

Lenin bertanggung jawab atas kaburnya nilai sosialisme dalam pemerintahan Uni Soviet. Dia meletakkan pondasi “kepemimpinan absolut” dimana pekerja kembali menjadi objek dalam sistem produksi Uni Soviet. Kegagalan dalam memahami sosialisme dalam pemikiran Leninis (yang akhirnya dimanifesti Stalin), dan kesalahpahaman model leninis, memberi dampak besar baik dalam perlawanan (marxisme) dan kehidupan sosial barat, dan tidak hanya disana. Maka perlu diambil sikap dalam menyelamatkan ide sosialis.  Jangan ada lagi aristrokasi, kontrol pekerja, dan pembredelan kebebasan dalam nama sosialisme.


(Henri Bergson )


Bagi saya, hal yang paling mengecewakan sempitnya pengetahuan. "Intuisionisme"

Intuisionisme (berasal dari bahasa Latin: intuitio yang berarti pemandangan) adalah suatu aliran filsafat yang menganggap adanya satu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia, yaitu intuisi . Tokoh aliran ini diantaranya dalah Henri Bergson . Intuisionisme selalu berdebat dengan paham rasionalisme . 

Ini seakan menjadi kecanduan yang tidak terlihat. Mengapa aku menjadi begitu saja? implusif bahkan perasaan cemas yang sama sekali tidak dapat diperhitungkan oleh keadaanku sendiri. Rasanya seperti ego tetapi ini adakalanya menjadi suara batin. Kebingungan seperti mengejar dominan antara batin dan pikiran.

Apakah ini pikiran? Apakah ini juga suara terdalam? Atau mungkinkah ini cara kehendak ingin memiliki? Aku rasa saat ini aku bukan diriku, tidak tenang, cemas, sedikit rindu, menunggu. Aku pikir apakah ini kekaguman yang dibentuk pikiran? Mungkin ini keadaan alamiah kita memuja diri yang lain? Menjadi manusia seakan menjadi misteri bagi dirinya sendiri, hanya kegelisahan batin, seakan merindukan yang sebelumnya tidak dirindukan.

Gerak yang diinginkan tetapi tidak diingini. Menginginkan diterima, dicintai bahkan ditunggu keberadaaanya. Bidadari dari sana apakah kau juga merasa kau bukan dirimu saat ini? Melelahkan tetapi menghernakan, sejenak hilang ketika perasaan ini tersambut. Ketika bidadari antusias dengan cerita, dengan candaan dan gagasan akan nasib kita kedepan. Bahkan aku seperti ada dalam duniaku, kemudian hilang lagi, terjebak lagi dalam fana.

Dirasa ini seperti petualangan batin, bagaimana ketika batin ini rindu untuk teruji. Kata mereka ini cinta, rindu bahkan ini lompatan untuk kehidupan yang sesunggunya. Aku menikmatinya, mencoba membacanya, bahkan menjadi kontrol bagi batinku sendiri. Yang kadang larut dalam diam, kecurigaan yang tidak berdasar, menebak rasa dari kejauhan.

Aku menikmatinya dengan tenggelam, membaca filsafat cinta lagi. Kata plato, athur scopenhaur, jalaluddin rumi, jaen paul satre dan tokoh-tokoh lain. Malam dan musik-musik juga lagu yang indah. Membayangkan bayangan dirimu yang menggetarkan hati. Wajahmu yang manis anugrah terindah mata ini untuk melihatnya.

Mengingatmu, aku terbawa kepada masa lalu. Gadis kecil yang manis menghampiri kita masa itu. Membawa kantong plastik dan bertanya sesuatu dengan polosnya. Apakah itu? Rasanya aku ingin menanyakanmu, siapa namamu, dalam batinku terasirat dengan vision kau seperti jodohku. Imajinasi menunjuk kita akan bertemu ditempat yang sama dimasa depan. Dalam khayal jika semesta mengizinkan berjodoh kita bertemu suatu saat nanti.

Seperti berperang lagi, aku dan batinku, pikiranku dan batinku, raga dan khayalanku. Mimpi-mimpi yang berulang akankah kau membawa kita untuk selamanya? Menjadi tetua untuk pembawa cahaya di masa depan? Untuk kemuliaan dunia kita, keadilan, menghapus rasa sengsara, untuk kemanusiaan. Kita tidak akan tahu kalau kita tidak pernah mencoba.

Dalam lagu fix you milik coldplay, cahaya akan memuntunmu pulang. Kebahagiaan di antara duka dan nestapa, yang hilang lalu kembali. Aku akan membenahimu seperti kau juga membenahiku, tanpa sadar, tanpa ketukan gendang. Petualangan batin ini biarlah seperti semsestinya, tentang bagaimana takdir akan berkerja selanjutnya. Aku beruntung menemukanmu apapun takdir kita nanti, tetapi dalamnya keinginanku satukalah kita takdir.

Friday, April 5, 2019


Paulo Freire adalah tokoh pendidikan yang sangat kontroversial. Ia menggugat sistem pendidikan yang telah mapan dalam masyarakat Brasil. Bagi dia, sistem pendidikan yang ada sama sekali tidak berpihak pada rakyat miskin tetapi sebaliknya justru mengasingkan dan menjadi alat penindasan oleh penguasa. Karena pendidikan yang demikian hanya menguntungkan penguasa maka harus dihapuskan dan digantikan dengan sistem pendidikan yang baru. Sebagai jalan keluar atas kritikan tajam itu maka Freire menawarkan suatu sistem pendidikan alternatif yang menurutnya relevan bagi masyarakat miskin dan tersisih. Kritikan dan pendidikan altenatif yang ditawarkan Freire itu menarik untuk dipakai menganalisis permasalahan pendidikan di Indonesia.

Walaupun harus diakui bahwa konteks yang melatarbelakangi lahirnya pemikiran yang kontroversial mengenai pendidikan itu berbeda dengan konteks Indonesia. Namun di balik kesadaran itu, ada keyakinan bahwa filsafat pendidikan yang ada di belakang pemikiran Freire dan juga metodologi
pendidikan yang ditawarkan akan bermanfaat dalam “membedah” permasalahan pendidikan di Indonesia.
Pandangan Paulo Freire Tentang Pendidikan. Pandangan Paulo Freire tentang pendidikan tercermin dalam kritikannya yang tajam terhadap sistem pendidikan dan dalam pendidikan alternatif yang ia tawarkan. Baik kritikan maupun tawaran konstruktif Freire keduanya lahir dari suatu pergumulan dalam konteks nyata yang ia hadapi dan sekaligus merupakan refleksi filsafat pendidikannya yang berporos pada pemahaman tentang manusia.

a. Konteks Yang Melatarbelakangi Pemikiran Paulo Freire.

Hidup Freire merupakan suatu rangkaian perjuangan dalam konteksnya. Ia lahir tanggal 19 September 1921
di Recife, Timur Laut Brasilia. Masa kanak-kanaknya dilalui dalam situasi penindasan karena orang tuanya
yang kelas menengah jatuh miskin pada tahun 1929. Setamat sekolah menengah, Freire kemudian belajar
Hukum, Filsafat, dan Psikologi. Sementara kuliah, ia bekerja “part time” sebagai instuktur bahasa Potugis di
sekolah menengah. Ia meraih gelar doktor pada tahun 1959 lalu diangkat menjadi profesor. Dalam kedudukannya sebagi dosen, ia menerapkan sistem pendidikan “hadap-masalah” sebagai kebalikan dari pendidikan “gaya bank”. Sistem pendidikan hadap masalah yang penekanan utamanya pada penyadaran nara didik menimbulkan kekuatiran di kalangan para penguasa. Karena itu, ia dipenjarakan pada tahun 1964 dan kemudian diasingkan ke Chile. Pengasingan itu, walaupun mencabut ia dari akar budayanya yang menimbulkan ketegangan, tidak membuat idenya yang membebaskan “dipenjarakan”, tetapi sebaliknya ide itu semakin menyebar ke seluruh dunia. Ia mengajar di Universitas Havard, USA pada tahun 1969-1970. Ia pernah menjadi konsultan bidang pendidikan WCC.
Pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan lahir dari pergumulannya selama bekerja bertahun-tahun di tengah-tengah masyarakat desa yang miskin dan tidak “berpendidikan”. Masyarakat feodal (hirarkis) adalah struktur masyarakat yang umum berpengaruh di Amerika Latin pada saat itu. Dalam masyarakat feodal yang hirarkis ini terjadi perbedaan mencolok antara strata masyarakat “atas” dengan strata masyarakat “bawah”. Golongan atas menjadi penindas masyarakat bawah dengan melalui kekuasaan politik dan akumulasi kekayaan, karena itu menyebabkan golongan masyarakat bawah menjadi semakin miskin yang sekaligus semakin menguatkan ketergantungan kaum tertindas kepada para penindas itu.
Dalam kehidupan masyarakat yang sangat kontras itu, lahirlah suatu kebudayaan yang disebut Freire dengan
kebudayaan “bisu”. Kesadaran refleksi kritis dalam budaya seperti ini tetap tidur dan tidak tergugah. Akibatnya waktu lalu hanya dilihat sebagai sekat hari ini yang menghimpit. Manusia tenggelam dalam “hari ini” yang panjang, monoton dan membosankan sedangkan eksistensi masa lalu dan masa akan datang belum disadari. Dalam kebudayaan bisu yang demikian itu kaum tertindas hanya menerima begitu saja segala perlakuan dari kaum penindas. Bahkan, ada ketakutan pada kaum tertindas akan adanya kesadaran tentang ketertindasan mereka. Itulah dehumanisasi karena bahasa sebagai prakondisi untuk menguasai realitas hidup telah menjadi kebisuan. Diam atau bisu dalam konteks yang dimaksud Freire bukan karena protes atas perlakuan yang tidak adil. Itu juga bukan strategi untuk menahan intervensi penguasa dari luar. Tetapi, budaya bisu yang terjadi adalah karena bisu dan bukan membisu. Mereka dalam budaya bisu memang tidak tahu apa-apa. Mereka tidak memiliki kesadaran bahwa mereka bisu dan dibisukan. Karena itu, menurut Freire untuk menguasai realitas hidup ini termasuk menyadari kebisuan itu, maka bahasa harus dikuasai. Menguasai bahasa berarti mempunyai kesadaran kritis dalam mengungkapkan realitas. Untuk itu, pendidikan yang dapat membebaskan dan memberdayakan adalah pendidikan yang melaluinya nara didik dapat mendengar suaranya yang asli. Pendidikan yang relevan dalam masyarakat berbudaya bisu adalah mengajar untuk memampukan mereka mendengarkan suaranya sendiri dan bukan suara dari luar termasuk suara sang pendidik. Dalam konteks yang demikian itulah Freire bergumul.  Ia terpanggil untuk membebaskan masyarakatnya yang tertindas dan yang telah “dibisukan”. Pendidikan “gaya bank” dilihatnya sebagai salah satu sumber yang mengokohkan penindasan dan kebisuan itu. Karena itulah, ia menawarkan pendidikan “hadapmasalah” sebagai jalan membangkitkan kesadaran masyarakat bisu .

b. Kritikan Paulo Freire Terhadap Pendidikan “Gaya Bank”.

Dalam sistem pendidikan yang diterapkan di Brasilia pada masa Freire, anak didik tidak dilihat sebagai yang dinamis dan punya kreasi tetapi dilihat sebagai benda yang seperti wadah untuk menampung sejumlah rumusan/dalil pengetahuan. Semakin banyak isi yang dimasukkan oleh gurunya dalam “wadah” itu, maka semakin baiklah gurunya. Karena itu semakin patuh wadah itu semakin baiklah ia. Jadi, murid/nara didik hanya menghafal seluruh yang diceritrakan oleh gurunya tanpa mengerti. Nara didik adalah obyek dan bukan subyek. Pendidikan yang demikian itulah yang disebut oleh Freire sebagai pendidikan “gaya bank”. Disebut pendidikan gaya bank sebab dalam proses belajar mengajar guru tidak memberikan pengertian kepada nara didik, tetapi memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada siswa untuk disimpan yang kemudian akan dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan. Nara didik adalah pengumpul dan penyimpan sejumlah pengetahuan, tetapi pada akhirnya nara didik itu sendiri yang “disimpan” sebab miskinnya daya cipta. Karena itu pendidikan gaya bank menguntungkan kaum penindas dalam melestarikan penindasan terhadap sesamanya manusia.
Pendidikan “gaya bank” itu ditolak dengan tegas oleh Paulo Freire. Penolakannya itu lahir dari pemahamannya tentang manusia. Ia menolak pandangan yang melihat manusia sebagai mahluk pasif yang tidak perlu membuat pilihan-pilihan atas tanggung jawab pribadi mengenai pendidikannya sendiri. Bagi Freire manusia adalah mahluk yang berelasi dengan Tuhan, sesama dan alam. Dalam relasi dengan alam, manusia tidak hanya berada di dunia tetapi juga bersama dengan dunia. Kesadaran akan kebersamaan dengan dunia menyebabkan manusia berhubungan secara kritis dengan dunia. Manusia tidak hanya bereaksi secara refleks seperti binatang, tetapi memilih, menguji, mengkaji dan mengujinya lagi sebelum melakukan tindakan. Tuhan memberikan kemampuan bagi manusia untuk memilih secara reflektif dan bebas. Dalam relasi seperti itu, manusia berkembang menjadi suatu pribadi yang lahir dari dirinya sendiri. Bertolak dari pemahaman yang demikian itu, maka ia menawarkan sistem pendidikan alternatif sebagai pengganti pendidikan “gaya bank” yang ditolaknya. Sistem pendidikan alternatif yang ditawarkan Freire disebut pendidikan “hadap-masalah”.

c. Pendidikan “Hadap-Masalah”: Suatu Pendidikan Alternatif.

Pendidikan “hadap-masalah” sebagai pendidikan alternatif yang ditawarkan oleh Freire lahir dari konsepsinya tentang manusia. Manusia sendirilah yang dijadikan sebagai titik tolak dalam pendidikan hadap-masalah. Manusia tidak mengada secara terpisah dari dunia dan realitasnya, tetapi ia berada dalam dunia dan bersama-sama dengan realitas dunia. Realitas itulah yang harus diperhadapkan pada nara didik supaya ada kesadaran akan realitas itu. Konsep pedagogis yang demikian didasarkan pada pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi untuk berkreasi dalam realitas dan untuk membebaskan diri dari penindasan budaya, ekonomi dan politik.
Kesadaran tumbuh dari pergumulan atas realitas yang dihadapi dan diharapkan akan menghasilkan suatu tingkah laku kritis dalam diri nara didik. Freire membagi empat tingkatan kesadaran manusia, yaitu :

1) Kesadaran intransitif, 
Dimana seseorang hanya terikat pada kebutuhan jasmani, tidak sadar akan sejarah dan tenggelam dalam masa kini yang menindas.

2) Kesadaran semi intransitif atau kesadaran magis
Kesadaran ini terjadi dalam masyarakat berbudaya bisu, dimana masyarakatnya tertutup. Ciri kesadaran ini adalah fatalistis. Hidup berarti hidup di bawah kekuasaan orang lain atau hidup dalam ketergantungan.

3) Kesadaran Naif.

 Pada tingkatan ini sudah ada kemampuan untuk mempertanyakan dan mengenali realitas, tetapi masih ditandai dengan sikap yang primitif dan naif, seperti: mengindentifikasikan diri dengan elite, kembali ke masa lampau, mau menerima penjelasan yang sudah jadi, sikap emosi kuat, banyak berpolemik dan berdebat tetapi bukan dialog.

4) Kesadaran kritis transitif. 

Kesadaran kritis transitif ditandai dengan kedalaman menafsirkan masalah-masalah, percaya diri dalam berdiskusi, mampu menerima dan menolak. Pembicaraan bersifat dialog. Pada tingkat ini orang mampu merefleksi dan melihat hubungan sebab akibat.
Bagi Freire pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang menumbuhkan kesadaran kritis transitif. Memang ia tidak bermaksud bahwa seseorang langsung mencapai tingkatan kesadaran tertinggi itu, tetapi belajar adalah proses bergerak dari kesadaran nara didik pada masa kini ke tingkatan kesadaran yang di atasnya. Dalam proses belajar yang demikian kontradiksi guru-murid (perbedaan guru sebagai yang menjadi sumber segala pengetahuan dengan murid yang menjadi orang yang tidak tahu apa-apa) tidak ada. Nara didik tidak dilihat dan ditempatkan sebagai obyek yang harus diajar dan menerima. Demikian pula sebaliknya guru tidak berfungsi sebagai pengajar. Guru dan murid adalah sama-sama belajar dari masalah yang dihadapi. Guru dan nara didik bersama-sama sebagai subyek dalam memecahkan permasalahan. Guru bertindak dan berfungsi sebagai koordinator yang memperlancar percakapan dialogis. Ia adalah teman dalam memecahkan permasalahan. Sementara itu, nara didik adalah partisipan aktif dalam dialog tersebut.
Materi dalam proses pendidikan yang demikian tidak diambil dari sejumlah rumusan baku atau dalil dalam buku paket tetapi sejumlah permasalahan. Permasalahan itulah yang menjadi topik dalam diskusi dialogis itu yang diangkat dari kenyataan hidup yang dialami oleh nara didik dalam konteksnya sehari-hari, misalnya dalam pemberantasan buta huruf. Pertamatama peserta didik dan guru secara bersama-sama menemukan dan menyerap tema-tema kunci yang menjadi situasi batas (permasalahan) nara didik. Tema-tema kunci tersebut kemudian didiskusikan dengan memperhatikan berbagai kaitan dan dampaknya. Dengan proses demikian nara didik mendalami situasinya dan mengucapkannya dalam bahasanya sendiri. Inilah yang disebut oleh Freire menamai dunia dengan bahasa sendiri. Kata-kata sebagai hasil penamaan sendiri itu kemudian dieja dan ditulis. Proses demikian semakin diperbanyak sehingga nara didik dapat merangkai kata-kata dari
hasil penamaannya sendiri.

d. Relevansi Pemikiran Freire dalam Konteks Indonesia.

Allen J.Moore mengatakan bahwa konsep Freire yang dirumuskan dalam konteks Amerika Latin tidak bisa
diterapkan begitu saja dalam konteks yang berbeda sebab situasinya dan permasalahannya tidak sama.
Peringatan Moore ini adalah satu kendali supaya kita tidak bertindak naif dalam menganalisis suatu permasalahan dalam konteks yang khas. Hal itu sekaligus menjadi peringatan supaya kritikan Freire dapat dipakai secara kritis dalam menganalisis permasalahan pendidikan di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Memang harus diakui bahwa konteks permasalahan Amerika Latin, khususnya Brasilia tidak sama persis dengan permasalahan dalam masyarakat Indonesia, tetapi dalam banyak hal kita menemukan persamaan. Masyarakat Indonesia yang terdiri atas suku-suku adalah masyarakat hierarkis yang nampak dalam strata sosial yang mempunyai sebutan khas di berbagai daerah.  Walaupun strata sosial ini sudah tidak terlalu nampak tetapi justru telah lahir suatu strata sosial baru yang prakteknya hampir sama dengan feodalisme tradisional. Pemegang kendali dalam feodalisme modern adalah kelompok pedagang/pengusaha yang menguasai ekonomi lebih dari setengah kekayaan yang ada. Kelompok tersebut mengakumulasikan kekayaan kurang lebih 80 % kekayaan Indonesia padahal jumlah mereka tidak lebih dari 20 % dari jumlah penduduk. Kedua kelompok “penindas” tersebut semakin memperkokoh kekuasaannya sebab secara praktik hanya mereka yang mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi yang sangat mahal dan terpola dalam sistem kekuasaan itu. Generasi itulah yang kemudian menjadi pewaris “tahta penindasan”. Kalau ada dari kelompok rakyat kecil yang mampu mengecap pendidikan tinggi, ia akan berubah menjadi pemegang kendali feodalisme baru itu baik dalam rangka balas dendam maupun dalam “penindasan” terhadap sesamanya kaum “tertindas”.
Salah satu kritikan Freire adalah pendidikan yang berupaya membebaskan kaum tertindas untuk menjadi penindas baru. Bagi Freire pembebasan kaum tertindas tidak dimaksudkan supaya ia bangkit menjadi penindas yang baru, tetapi supaya sekaligus membebaskan para penindas dari kepenindasannya.
Dalam proses belajar mengajar, pemerintah Republik Indonesia telah mengupayakan untuk menerapkan pendekatan cara belajar siswa aktif (CBSA), tetapi hanya metodenya sajalah yang CBSA. Sementara materi yang disampaikan masih merupakan barang asing yang tidak lahir dari dalam konteks dimana manusia itu ada sehingga pada akhirnya siswa kembali menjadi “bank” penyimpanan sejumlah pengetahuan. Memang siswa aktif belajar dan mungkin berdiskusi dalam kelas tetapi yang  didiskusikan dan dipelajari dalam kelas adalah sejumlah dalil dan rumus yang tidak punya hubungan dengan kehidupannya. Lagi pula relasi guru-siswa adalah pengajar dan yang diajar. Siswa adalah yang belum tahu dan harus diberitahu sedangkan guru adalah yang sudah tahu dan akan memberitahukan. Bukankah itu semua yang disebut oleh Paulo Freire dengan pendidikan “gaya bank”?
Marthen Manggeng/www.oaseonline.org/
dan berbagai sumber.