Wednesday, December 18, 2019


Dari semua yang telah ditulis, aku hanya mencintai apa yang ditulis seseorang dengan darahnya. Menulislah dengan darah dan kau akan dapati bahwa darah itu roh.

Bukan suatu kemungkinan yang mudah memahami darah yang asing; aku membenci orang-orang yang malas yang suka membaca.

Dia yang tidak melakukan apapun kepada pembaca, dialah yang telah mengetahui siapa pembaca. Seabad lagi dipenuhi pembaca- dan roh itu sendiri akan membusuk.
Bahwa semua orang diperbolehkan belajar membaca, pada akhirnya itu tidak hanya akan merusak tulisan tapi juga pemikiran.

Dulu roh adalah Tuhan, sekarang ia menjadi manusia, dan kini bahkan telah menjadi orang banyak. Dia yang menulis dalam darah dan pepatah tidak ingin dibaca, tapi ingin dihafalkan.

Di pegunungan jarak yang paling pendek adalah garis lurus dari puncak yang satu ke puncak lain, tapi untuk melewati itu, kau harus punya kaki yang panjang. Pepatah adalah puncak-puncak dan mereka yang mendengarnya harus tinggi dan besar.
Hawanya murni dan langka, bahaya ada di dekatnya dan roh penuh dengan kelicikan yang penuh kesukaan: segalanya bersesuaian satu sama lain.

Aku menginginkan setan-setan di sekitarku, sebab aku berani. Keberanian yang mengusir semua hantu , menciptakan setan untuk dirinya sendiri - sebab keberanian itu ingin tertawa.

Aku tidak lagi merasa sama dengan dirimu; sebab awan yang kulihat ada di bawahku, awan hitam yang berat dan kutertawakan - masih merupakan awan geledek bagimu.
Kalian memandang ke atas ketika kalian merindukan pujian; tapi aku justru menunduk ke bawah sebab aku telah ditinggikan.

Siapa di antara kalian yang dapat tertawa dan sekaligus ditinggikan?
Yaitu dia yang memanjat gunung tertinggi, mentertawakan semua tragedi dan realitas yang tragis.
Berani, tak acuh, sinis, menindas - demikian yang di inginkan kebijaksanaan dari diri kita; kebijaksanaan adalah seorang wanita, dan ia hanya mencintai pejuang.

Kalian berkata kepadaku, "Hidup itu sulit untuk dijalani."
Tapi untuk apa kalian berbangga di pagi hari dan menyerah di malam hari?
Hidup itu sulit: tapi tidak usahlah kalian berlagak rapuh seperti itu di hadapanku! Kita semua adalah keledai-keledai beban yang kuat.

Apa persamaan kita dengan kuncup Mawar yang gemetar karena di jatuhi stetes embun,  memang kita mencintai hidup,  bukan karena kita inggin hidup,  tapi karena kita inggin mencintai.

Cinta selalu mengandung kegilaan,  tapi kegilaan mengandung nalar di dalam nya.  Dan bagi diriku yang menghargai hidup ini,  tampak kupu-kupu,  gelembung sabun dan lain nya yang mirip seperti itu di antara kita mereka lah yang paling mengenal kesukaan.

Melihat rupa rupa yang ringan konyol,  cantik dan lincah ini yamg terbang kesana kemari - itulah yang membuat Zarathustra menyanyi dan melacurkan air mata.

Aku hanya harus percaya satu Tuhan yang mengerti bagaimana menari. Dan ketika melihat iblisku  aku mendapati bahwa dia serius, total dalam dan khitmad. Dan dialah roh berat- olehnya semua benda jatuh.
Bukan dengan amarah,  tapi dengan tawa kita membunuh,  mari marilah kita binasakan roh berat ini!.
Aku telah belajar berjalan sejak itu aku telah membiarkan diriku berlari.
Aku telah belajar terbang dan sejak itu aku tidak perlu di lempar untuk tiba pada suatu tempat.
Sekarang aku ringan,  dan aku terbang sekarang melihat diriku sendiri di bawah diriku,  sebab tuhan sedang menari dalam diriku
Demikian sabda Zarathustra

Friday, December 6, 2019


Ada yang tak biasa di antara ratusan stan pameran terbesar di kota ini. Ketika banyak stan menjajakan dagangan berupa pakaian, kosmetik, dan lainnya, ada seorang perempuan menjual luka.

Penampilannya tak jauh beda dengan penjaga stan lainnya. Seperti sales promotion girl lainnya, dia terlihat seksi. Pakaiannya keluaran kekinian. Umurnya masih dua puluh lima tahunan. Dengan senyum yang selalu mengembang di bibir, pengunjung seakan tak melihat hal aneh padanya.

Namun stan yang dijaganya tak menawarkan apa pun. Etalase dibiarkan kosong. Dekorasi juga tak terlalu menarik karena didominasi warna hitam.
"Saya hanya menjual luka. Luka yang tak pernah habis dimakan usia. Ribuan tahun yang akan datang, luka itu tetap ada. Luka yang abadi."

Dia memberi penjelasan kepada seorang pemuda. Mungkin mahasiswa. Pemuda itu tersenyum dan kemudian pergi dengan perasaan aneh.

"Saya hanya menjual luka. Luka yang tak pernah dimiliki orang lain. Siapa pun tak pernah merasakan, termasuk Anda."
Kalimat itu dia tujukan kepada lelaki tua dengan tongkat di tangan kanannya. Jalannya sudah tak segesit saat masih muda. Bahkan tanda-tanda keperkasaan sama sekali tak tampak. Laki-laki itu ditemani cucunya yang masih berumur sepuluh tahun. Hanya melempar senyum kecut, kemudian berlalu. Menerobos lalu lalang pengunjung yang riuh.

Dan, pernahkan kamu memahami yang aku rasakan? Sejak kepergianmu menjelang senja, aku selalu menunggu. Kamu memang tak meninggalkan janji, tapi aku yakin perjalanan bisa kita lanjutkan bersama.

 Bukankah kita belum sampai ujung?
Sejak kepergianmu, aku tak lagi naik gunung dengan alasan mencari jati diri. Aku hanya ingin kamu kembali dan aku selalu menjual luka. Luka yang tiba-tiba datang menjelang senja, menjelang malam, menjelang pagi, menjelang siang. Luka yang selalu datang kapan saja karena kau tak meninggalkan penawar.

Aku selalu berpindah dari satu kota ke kota lain dengan harapan kita bertemu. Aku ingin bercerita kepadamu tentang apa-apa yang aku alami dan tak mungkin aku tulis di sini. Terlalu banyak cerita yang tak bisa diketahui banyak orang yang harus kamu ketahui. Ya, hanya kamu.

"Bolehkah saya membeli secuil lukamu. Mungkin bisa membuat lega meski tak akan menyembuhkan. Kamu mau menjual dengan harga berapa? Hanya secuil. Tidak banyak karena saya juga sedang terluka."
Perempuan itu mendongak. Mencari arah datangnya suara. Di hadapannya telah berdiri seorang pria. Tapi bukan kamu, Dan. Dia memakai kacamata tipis dengan rambut dibiarkan memanjang tergerai. Kaus oblongnya agak kumal. Aku suka dandanannya karena mengingatkan tentang kamu, Dan. Tapi kamu tanpa kacamata.

"Kenapa kamu ingin membeli luka saya sedangkan kamu sedang terluka?"
"Hanya secuil."
"Ini bukan masalah ukuran. Ini tentang luka. Meski secuil tetap menyakitkan."
"Mungkin kita punya kepekaan yang berbeda. Mungkin secuil tak akan menyakitkan bagi saya. Bolehkah?"
Pria itu menatap penuh harap. Perempuan itu, sang penjual luka, mencoba menahan diri. Dia tak ingin merasakan seperti yang dia rasakan saat dengan Dan. Dia tak mau jatuh cinta lagi yang bisa saja justru menambah luka, bukan menghilangkannya.

Cinta memang selalu memabukkan. Cinta selalu memberi harapan. Dia merasakannya bersama Dan. Merasakan cinta yang memabukkan. Cinta yang selalu bergelora dari detik ke detik, menit ke menit. Tapi cinta pula yang kemudian menjadi prahara yang tak berkesudahan sejak Dan pergi menjelang sore. Menjelang masa yang selalu memberi harapan.

"Bolehkah saya membeli secuil?"
Perempuan itu tergagap. Dia baru menyadari di depannya masih ada pria itu. Pria dengan dandanan biasa tapi unik. Dan, aku tak mau jatuh cinta kepadanya.

"Kenapa Anda tertarik dengan luka saya?"
"Karena Anda menjualnya. Saya belum pernah bertemu perempuan seperti Anda, yang menjual luka meski mungkin tanpa pembeli bahkan dikatakan aneh. Apalagi di tempat seperti ini. Anda tentu punya alasan mengapa menjual luka. Mungkin bukan luka biasa yang dimiliki orang-orang di luaran sana. Tak mungkin Anda menjualnya kalau semua orang pernah merasakan atau memiliki luka yang sama. Semoga analisis saya salah."

 Dan, aku tak ingin menceritakan kepadanya.
 "Anda mungkin akan menjadi pembeli pertama luka saya."
 "Berarti saya akan mendapat bonus?"
 Perempuan penjual luka tersenyum. Pria calon pembeli luka tersenyum.
 Dan, aku akhirnya bisa menjual secuil luka itu. Kepada seorang pria yang entah datang dari mana, kemudian menawar luka yang selalu tersimpan rapi meski selalu bergejolak dan meronta. Dia seakan memaksa.

 Setelah ini aku tak akan pergi ke mana-mana. Aku ingin menetap di kota ini. Aku tak ingin lagi menjajakan luka seperti yang sudah aku lakukan di beberapa kota. Aku tak mau luka ini habis dan menggerus kenangan bersamamu. Biarkan hanya secuil yang terjual dan bagian lain tetap tersimpan seperti sediakala.

SENJA hampir habis. Perempuan itu masih duduk di kursi di pinggir jalan pusat keramaian. Matanya memandang lurus, menatap lalu-lalang kendaraan yang tak putus-putus seperti iring-iringan rayap pindah rumah. Menatap senyum bahagia yang menerobos dari balik semua mobil.
Di kursi lain di sebelah kanannya ada sepasang muda-mudi sedang kasmaran.

 Dari tatapan mata mereka keluar cinta. Dari tangan mereka yang saling bertautan keluar cinta. Dari jarak duduk mereka yang tak tersekat keluar cinta.
Perempuan itu iri. Dia kemudian melengos. Berdiri lalu melangkah ke sudut lain. Mencari pemandangan yang lebih segar di taman yang tiba-tiba muncul seakan disulap sebelum gelaran akbar di kota ini. Para petinggi beberapa negara datang dan terpuaskan karena mendapat suguhan sesuai harapan.

Tapi mereka tak pernah tahu, kota ini penuh luka. Luka yang muncul dari janji-janji manis para penguasa saat masa kampanye. Bagi mereka, kesejahteraan adalah hal mutlak yang harus dimiliki setiap orang. Maka, mereka menjaminnya kalau terpilih kelak.

Janji manis memang selalu memabukkan. Tapi siapa peduli dengan koar-koar mereka? Tak ada mau tahu meski kemudian mendatangi tempat pemungutan suara dan memilih satu di antara foto yang ada di kertas suara saat di dalam bilik.

Bukan, bukan karena hati nurani. Tapi karena beberapa saat sebelumnya ada seseorang datang ke rumah dan memberikan aplop. Entah apa isinya.
Ada luka yang selalu tersimpan di kiri kanan jalanan yang selalu penuh sesak oleh kendaraan keluaran terbaru. Ada luka yang terpampang di spanduk taman kota. Ada luka di pohon-pohon penyejuk yang akarnya keropos.

Perempuan itu masih berjalan. Menyusuri jalan yang khusus untuk pedestrian di depan gedung-gedung tua peninggalan masa kolonial. Pikirannya mengambang. Hendak terbang menembus ruang-ruang seantero kota.

Langkahnya berbelok ke sebuah kafe. Masih sepi. Dia duduk di dekat jendela. Memesan minuman dengan kadar alkohol rendah. Waitress datang mengantar pesanan. Dibukanya kaleng minuman dan diteguk isinya.
Di luar, berjejer bendera Merah Putih di tiang depan masing-masing kafe. Berkibar.

Dan, aku kesepian. Bolehkah kujual luka kota ini? Sebab aku sudah janji tak akan kujual lukaku lagi.

Monday, November 18, 2019


Filsafat cinta, frase yang penuh dugaan. Ada pertanyaan penting yang harus dijawab sebelum kita berfilsafat tentang cinta. Bukan tentang apa itu cinta, bukan tentang mengapa kita mencinta. Tapi tentang fakta para filsuf, mengapa mereka jarang membicarakan soal cinta?

Setiap perhelatan peristiwa di masa lalu selalu menyisakan kesan jika diingat-ingat kembali. Tentu saja yang biasanya diinginkan hanyalah kisah-kisah yang indah-indah, yang membangkitkan semangat batin, yang layak dikenang. Kalau yang menyedihkan? kembalikan saja pada perspektif personal setiap orang. Tapi kisah yang menyedihkan juga perlu diingat-ingat agar kita senantiasa sadar dan menghargai sebuah nilai kehidupan. Biasanya, kisah populer yang banyak bermuatan kenangan indah namun sekaligus menyedihkan adalah soal yang satu ini cinta.

Saya bukan orang yang berpengalaman soal ini, termasuk pengalaman dari membaca. Buku bacaan yang saya gemari adalah filsafat. Jikalau kamu buka buku-buku tentang filsafat, sangat jarang ditemukan tulisan bertemakan cinta. Memang sih, Plato dan Aristoteles menulis banyak hal tentang hubungan emosional antar manusia, soal kebahagiaan, soal persahabatan, soal cinta. Dibuku Lysis dan Nichomachean Ethic misalnya, dituliskan hal-hal sederhana yang dialami oleh manusia sehari-hari, tetapi semuanya lebih banyak dikemas untuk kebahagiaan yang sifatnya transendental, tentang bagaimana seharusnya kita menjalani hidup.

Jikalau menilik karya filsafat yang ditulis oleh para pemikir muslim, khususnya di abad pertengahan, tidak beda jauh dengan bapak-bapak pendahulu dari Yunani. Filsafat Al Kindi, Al Farabi, Ibn Sina, Al Ghazali dan kawan-kawan lebih banyak bertemakan teologi-filsafat ketimbang tema sosial-emosional sehari-hari. Ibn Khaldun banyak menulis tentang hubungan sosial, tapi itu soal peradaban, -meskipun karyanya ‘Mukkadimah’-nya menurut saya wajib dibaca, merugilah mereka yang sempat mampir ke dunia tanpa baca ‘Mukkadimah’-.

Belakangan, para filsuf abad 18 dan 19, mengkritik soal yang satu ini, yakni mengapa para pemikir besar sangat jarang membicarakan soal cinta? padahal cinta adalah persoalan sehari-hari yang melekat dalam kehidupan setiap insan. Arthur Schopenhouer adalah salah satu orang yang mengkritik paling keras. Pikirannya yang suka melayang-layang, menuntunnya pada sebuah kesimpulan, “para filsuf sengaja meninggalkan persoalan cinta kepada para penyair dan orang-orang yang histeria”, katanya. Menurut saya, bisa jadi. Toh kalau soal cinta diambil juga oleh para filsur, para penyair bahas apa dong? orang histeria makan apa? Schopenhouer benar meski jelas-jelas ngawur.

‘A Man without Love Story’, judul ini ditulis tanpa bermaksud menyinggung siapapun, kecuali bagi yang merasa saja. Saya mem-posting artikel ini sebagai orang yang gelisah sekaligus sepandangan dengan Schopenhouer. Saya juga mau mengatakan dengan lantang “mengapa para filsuf jarang membicarakan soal cinta? padahal cinta adalah persoalan yang serius!”

‘A Man without Love Story’ adalah para filsuf yang mengabaikan soal cinta dalam karya-karyanya. Hampir tak ada filsafat cinta. Meskipun saya terkagum pada karya Plato, tapi sisi lain dari Plato tetap memperlihatkan dirinya sebagai orang biasa. Begitu pula para filsuf lainnya, mereka juga orang biasa. Aristotle lebih patut menjadi teladan sepertinya. Ia menikah, memiliki seorang istri dan anak-anak. Karyanya jauh lebih lengkap ketimbang gurunya itu, termasuk tulisannya yang gayeng tentang kebahagiaan, persahabatan, dan cinta.

Peradaban Yunani sekitar lima abad sebelum masehi memang menginspirasi banyak hal tentang kehidupan. Di sisi lain itu menunjukkan, meski saat itu agama yang berkembang politeis, bukan berarti filsafatnya buruk. Hanya sayang, betapa sulit mencari tulisan jaman itu yang relevan dengan masa kini, terutama soal cinta. Tak ada filsafat cinta. Filsafat oh filsafat

Sunday, November 17, 2019


Kebahagiaan. Sebuah kata yang biasa kita dengar, sangat bermakna namun sering kali menjadi rancu. Ada yang mengatakan kesuksesan berjalan beriringan dengan kebahagiaan. Sukses membangun rumah tangga, sukses dalam studi, sukses dalam karier, sukses dalam hal agama. Yah, tentu anda membayangkan seorang pengusaha cerdas dan saleh yang rumah tangganya baik-baik saja. Di situ merangkum semuanya. Tapi benarkah kebahagiaan benar-benar ia dapatkan? Belum tentu.

Inilah beberapa faktanya. Dalam dunia usaha, persaingan yang saling menjatuhkan banyak terjadi. Untuk itu, dia harus bisa masuk dalam dunia persaingan itu dan prinsipnya adalah prinsip perang. Yang kuat yang menang. Apakah hatinya akan bahagia kalau kemudian dia berhasil memenangkan peperangan? Karena dengan demikian berarti ada korban yang dikalahkan. Untuk mendapatkan tender misalnya, suap menyuap adalah hal biasa. Untuk memenangkan pasar, maka membuat sebuah dominasi merupakan sebuah tuntutan. Lalu apakah dengan menarik diri berarti juga dia sudah bahagia? Belum tentu juga. Bagaimana dia bertahan hidup? Hanya dengan kesuksesan finansiallah kemudian kesuksesan-kesuksesan lain tercapai.

Menurut Baudrillard, kebahagiaan yang sekarang banyak dipegang masyarakat umumnya sudah bergeser. Menurut Jean Baudrillard,tatanan masyarakat dewasa ini didasari oleh rasionalitas hedonisme yang bertumpu pada pemuasan kebutuhan dan kesenangan melalui konsumsi. Budaya-budaya dan nilai-nilai lokal dengan segala macam kearifannya yang penuh dengan ajaran-ajaran mengenai kesalehan, kesederhanaan, gotong royong, dan pengekangan hasrat atau nafsu telah mengalami banyak pergeseran menjadi kehidupan yang bertumpu pada moral hedonistik yang mengedepankan pemborosan yang disebarkan oleh media massa.

Baudrillard membandingkan kenyataan tersebut dengan kenyataan kehidupan palaeolithic (masyarakat makmur pertama yang hidup beberapa ratus tahun silam) sebagaimana digambarkan oleh Marshall Sahlins dalam artikelnya ‘The First Affluent Society’.Pada jaman dahulu, masyarakat Kalahari (salah satu suku primitif di Australia yang hidup pada jaman berburu dan meramu) yang hidup dalam ‘kemiskinan’ (kalau kita lihat dalam perspektif jaman sekarang) dan keterbatasan, namun menurutnya, mereka sebenarnya makmur. Orang-orang primitif dalam masyarakat tersebut tidak memiliki benda, properti, perangkat produksi atau pekerjaan. Mereka berburu, meramu kebutuhan sehari-hari mereka sebagai suatu bentuk kesenangan. Lebih dari itu, mereka saling berbagi makanan atau apapun dengan anggota kelompok mereka. Selain itu, meskipun mereka hidup diantara kelimpahan sumber daya alam, mereka tidak melakukan eksploitasi atau mendayagunakannya secara secara berlebihan. Point ini adalah sesuatu yang penting berkaitan dengan prinsip konsumsi, tidak mengeksploitasi tapi bisa menabung sebagai sebuah tanggung jawab masa depan yang mungkin tidak disadari.

Sahlins juga melihat bahwa masyarakat primitif itulahmasyarakat yang benar-benar makmur. Masyarakat sekarang hanya memiliki tanda-tanda kemakmuran saja walaupun mereka memiliki perangkat produksi yang besar. Kemiskinan itu bisa dilihat dalam hal hubungan relasional diantara sesama manusia. Menurut Sahlins kemakmuran yang sebenarnya bukan terletak pada kepemilikan barang-barang, tetapi pada pertukaran yang nyata diantara sesama manusia. Bagi Baudrillard, rasionalitas hidup masyarakat modern saat ini yang senantiasa berorientasi dan merujuk pada objek-objek material bukanlah sifat dasar manusia atau sesuatu yang alamiah terjadi begitu saja.

Pada jaman dahulu, kebahagiaan juga sudah dipikirkan secara sistematis oleh Plato. Pada salah satu tulisannya, Plato menyebut salah seorang bernama Gorgias. Tentu saja ia lebih merupakan tokoh fiksi yang digunakan sebagai simbol untuk menggambarkan orang-orang pada jamannya. Gorgias di dalam tulisan Plato berpendapat, bahwa kebahagiaan seseorang terletak di dalam kemampuannya untuk mewujudkan apa yang ia inginkan, apapun bentuknya.

Gorgias menegaskan bahwa jika orang memiliki kemampuan ini, ia akan mendapatkan apapun yang dinginkan, tak peduli seberapapun sulitnya. Inilah kebaikan tertinggi yang bisa diraih manusia, yakni mencapai apapun yang diinginkannya, demikian kata Gorgias. Mungkin inilah sebentuk hedonism klasik.

Namun kemudian Plato membuat kritikan akan filsafat kebahagiaan yang semacam itu. Manusia memiliki beragam keinginan, tujuan, cita-cita, hasrat, dan ambisi yang saling tumpang tindih di dalam dirinya. Orang seringkali tidak menyadari beragam keinginan saling bertarung di dalam dirinya ini, karena dibutuhkan kemampuan berpikir reflektif dan kritis yang tinggi untuk mengenalinya, sementara semakin sedikit orang jaman ini yang memiliki kemampuan itu.

Lalu, menanggapi argumen Gorgias yang semacam itu, Plato memberikan kita sebuah analogi; orang yang memuaskan keinginannya itu seperti orang yang menggaruk kulitnya, ketika terasa gatal, dan itu terasa nikmat serta memuaskan. Akan tetapi adakah orang di dunia ini yang mau menghabiskan hidupnya untuk menggaruk kulitnya terus menerus? Tentu saja tidak. Keinginan untuk menggaruk memang memuaskan, tetapi sifatnya sangatlah sementara.

Memang orang suka menggaruk ketika kulitnya gatal, namun ia tidak mungkin menghabiskan hidupnya untuk menggaruk kulitnya yang gatal, walaupun itu seringkali sangat memuaskan rasanya. Maka manusia haruslah memilih hasrat ataupun keinginan apa yang ingin dipuaskannya, karena tidak mungkin ia menghabiskan hidupnya untuk memenuhi hasrat dan keinginan rendah terus menerus. Harus ada nilai lain yang diperjuangkan.

Aristoteles adalah murid Plato, dan ia memiliki pendapat yang berbeda dengan gurunya. Bagi Aristoteles memang setiap orang perlu perencanaan di dalam hidupnya. Namun yang terpenting bukanlah perencanaan itu sendiri, melainkan tujuan akhir yang mengarahkan perencanaan itu. Tujuan itu mengatasi semua hasrat dan keinginan yang ada di dalam diri manusia. Setelah orang sampai pada tujuan itu, maka ia tidak lagi menginginkan apapun. Pertanyaannya kemudian, kalau sudah tercapai ngapain? Menikmatinya?

Bayangkan anda pengusaha yang sukses, sekarang tidak bekerjapun anda mendapatkan uang seperti Bill Gates. Pertanyaannya, habis sukses ngapain? Berdoa menunggu hidup berakhir?

Kemudian kita diingatkan dengan seorang tokoh bernama Nietzsche, seorang filsuf Jerman abad ke-19. Baginya pertarungan antara hasrat dan keinginan di dalam diri manusia bisa menciptakan kenikmatan tertentu. Ketika salah satu keinginan tersebut menjadi kenyataan, maka akan tercipta perasaan bangga dan kagum, yang menimbulkan rasa kenikmatan di dalam diri. Pemenuhan keinginan terus menerus juga akan mencegah orang merasa bosan, akibat hidup yang selalu menjalani rutinitas belaka.

Dalam hal ini Nietzsche membedakan dua macam manusia, yakni manusia yang lemah dan manusia yang kuat. Bagi orang lemah kebahagiaan itu sama dengan ketenangan jiwa, yang muncul dari harmoni kehidupan. Inilah ideal orang bahagia di dalam agama-agama yang menurut Nietzsche menandakan lemahnya seseorang. Sementara bagi orang kuat, kebahagiaan itu sama dengan mengiyakan dorongan-dorongan manusiawi di dalam diri manusia, termasuk di dalamnya dorongan untuk menguasai, kebebasan, dan penegasan diri yang kuat. Orang yang kuat bagi Nietzsche akan menolak semua bentuk ketenangan maupun harmoni, karena itu melemahkan daya juang manusia.

Nietzsche mengingatkan bahwa hasrat dan keinginan manusia itu tidak akan pernah bisa diatur, apalagi dimusnahkan. Bahkan keinginan untuk memusnahkan keinginan itu adalah sebuah keinginan juga. Hasrat dan keinginan yang bertarung di dalam diri manusia itu menciptakan tegangan, dan tegangan itu sebenarnya bisa memberikan kenikmatan dalam jangka pendek, serta kebahagiaan dalam jangka panjang, demikian kata Nietzsche. Perjalanan untuk mewujudkan keinginan adalah sebuah tantangan. Orang butuh tantangan di dalam hidupnya, sehingga ia bisa terus berkembang. Tantangan demi tantangan dalam hidup bisa memberikan alasan bagi orang untuk terus belajar. Di dalam proses itu ia akan merasa bahagia.

Kebahagiaan Dalam Refleksi Saya

Begitulah sejarah kebahagiaan. Tidak sesederhana itu sebenarnya sejarah pemikiran kebahagiaan. Tapi, dengan menggabungkan semua teori kebahagiaan yang ada akhirnya kita bisa menarik kesimpulan yaitu nilai sebuah perjuangan untuk mewujudkan apa yang kita inginkan. Di dalamnya memuat sebuah kesadaran, tanggung jawab, manajemen hasrat, dan tentu saja pengorbanan. Bukan hasil dan bagaimana kita mengonsumsinya yang akhirnya menentukan sebuah kebahagiaan, tapi bagaimana memperjuangkan sesuatu yang kita sadari bernilai itulah yang membentuk kebahagiaan kita. Tidak semua keinginan harus dipenuhi, meskipun tidak semuanya jelek. Misalnya saja, membaca dan menulis tidak mungkin membaca sambil menulis. Harus dipilih salah satu. Ketika pilihan itu didasari pada kesadaran pribadi dan bukan pertama-tama didikte oleh pihak lain, maka di situlah orang bisa berbahagia. Butuh ruang yang agak panjang untuk menuliskan makna kebahagiaan yang sesungguhnya tapi intinya orang tidak akan pernah puas dengan apa yang dia peroleh. Di situlah serunya kehidupan manusia.

Kebahagiaan itu, terletak pada apa yang kita perjuangkan, bukan pada penilaian orang lain. Meminjam teori seorang psikolog besar, Sigmund Freud, kita bisa menemukan kebahagiaan yang sebenarnya. Menurut Freud, dalam diri manusia ada id, ego, dan super ego. Id adalah dorongan-dorongan liar. Superego adalah kumpulan aturan dan moralitas yang ditanamkan oleh lingkungan sosial sedari kecil. Sementara ego adalah individualitas seseorang, atau bisa dikatakan juga sebagai jati dirinya. Ketiganya harus berada di dalam situasi harmonis dengan ego sebagai pemimpinnya.

Friday, November 15, 2019


Apa yang anda lakukan, ketika anda berbeda pendapat dengan sahabat anda? Apa yang anda lakukan, ketika anda berkonflik tajam dengan kolega anda? Apa yang anda lakukan, ketika anda memiliki visi hidup dan keinginan yang berbeda ekstrem dengan kekasih anda? Biasanya orang akan mengambil satu pilihan, yakni pergi; cari pacar lagi, cari teman lagi, cari tempat kerja lain yang lebih cocok, atau cari kolega lain yang mengerti jalan pikiran kita.

Di dalam tulisan ini, dengan berbekal pemaparan yang amat menarik dari O’Dwyer, saya akan mencoba menjelaskan pandangan Žižek tentang cinta. Seperti biasa, pandangannya amat dipengaruhi oleh aliran filsafat sekaligus psikoanalisis yang ia dalami selama ini. Sebagai upaya pengembangan, saya juga akan mencoba menarik konsekuensi logis pandangan Žižek khusus untuk konteks pernikahan. Bagi Žižek, cinta adalah suatu untuk mencintai yang seolah “tak dapat dicintai”. Cinta lahir dari kebebasan, dan tidak pernah dapat diperintahkan, apalagi dipaksakan. Saya akan jelaskan lebih jauh.

Slavoj Žižek dikenal sebagai seorang filsuf psikoanalis ternama di dunia. [1] Ia memiliki gaya yang unik dalam menyampaikan pemikirannya. Seringkali ia tidak menolak kontradiksi (bersatunya hal-hal yang berbeda, seperti jahat sekaligus baik, hitam sekaligus putih), melainkan melihatnya sebagai suatu gerak realitas yang alamiah.

Salah satu argumennya yang paling banyak tampil di berbagai forum adalah, bahwa budaya massa sekarang ini, mulai dari film sampai dengan berbagai bentuk gaya hidup, adalah suatu bentuk mitos ataupun tipuan yang menutupi realitas ganjil yang tersembunyi di baliknya. “Dia”, demikian tulis O’Dwyer, “bukan filsuf biasa, karena ia berpikir dan menulis dengan gaya yang ceroboh sekaligus menyenangkan, ia terus membuat filsafat dengan penuh resiko menjadi menyenangkan.” (O’Dwyer, 2012)

Titik tolak Žižek adalah salah satu ajaran Kristiani tentang cinta, yakni cintailah tetanggamu. Dalam arti ini, menurut saya, kata tetangga bisa diartikan sebagai orang lain, “yang lain” dari saya. Pertanyaan berikutnya adalah, siapa itu orang lain, siapa itu “yang lain” dari saya? Untuk menjawab pertanyaan ini, Žižek mengutip pendapat Lacan, orang lain, termasuk tetanggamu, adalah the real itu sendiri. The real adalah yang tak terduga, yang memecah kita dari rutinitas keseharian. “The real”, demikian tulis O’Dwyer tentang Žižek, “adalah orang lain dengan segala kelemahan, kerapuhan, keanehan, dan kesalahan yang sifatnya traumatik.” (O’Dwyer, 2012)

Mencintai orang lain berarti mencintai tidak hanya sisi-sisi baiknya, tetapi juga sisi-sisi traumatis yang tak terduga, yang terkandung di dalam dirinya. Mencintai yang terduga berarti tidak mencintai sama sekali, karena kita sudah menebak, dan mengkalkulasi dirinya. Mencintai baru bisa dianggap sungguh mencintai, ketika kita mencintai orang-orang yang tak terduga, yang tak dapat kita terka, yang tak dapat kita bungkus dalam kesempitan konsep pikiran maupun keinginan kita.

Di dalam dunia sehari-hari, kita sering mendengar kata-kata luhur, seperti toleransi, kasih universal, dan kesetaraan antar manusia. Menurut Žižek, di balik keluhuran kata-kata ini, ada keengganan yang tersembunyi, yakni keengganan untuk bersentuhan dengan “yang lain”, yang tak terduga, dan traumatik. Artinya, wacana yang bersifat luhur tentang cinta kepada manusia lain seringkali justru mematikan upaya kita untuk sungguh mencintai “yang lain”, yang tak terduga, dan traumatik. Orang lain, sejatinya, selalu berbeda, dan selalu mengancam cara hidup dan gaya berpikir kita dengan keberbedaannya tersebut.

Berpikir tentang toleransi, kesetaraan, dan kasih jelas membuat kita berharap, bahwa orang lain akan juga bersikap sama, yakni bersikap baik pada kita. Di dalam realitas, harapan semacam ini tidak akan terwujud. Yang kita dapatkan, dari harapan semacam ini, adalah kekecewaan, karena orang lain ternyata tak dapat diduga, dan bahkan bertindak sama sekali tidak seperti yang kita harapkan. Orang lain, pada dasarnya, adalah traumatik dan mengancam. Cinta yang sesungguhnya adalah mencintai orang yang membuat kita traumatik dan merasa terancam, karena perbedaan yang ia tampilkan.

Pada titik ini, Žižek, sebagaimana dibaca oleh O’Dwyer, mulai berbicara soal hakekat dari manusia, apa artinya menjadi manusia. Tentu saja, seperti bisa langsung ditebak, konsep Žižek tentang manusia bernuansa ganjil dan gelap. Ia tidak berbicara tentang kemanusiaan universal yang bersifat luhur dan mulia, melainkan tentang manusia yang berbeda, yang lain, yang tak terduga, yang tak tertebak, yang mengancam stabilitas sosial yang sudah ada, manusia yang penuh dengan ketidakpastian dan kontradiksi pada dirinya sendiri. Dalam ketidakpastiannya itu, manusia menjadi sesuatu yang lain, yang terasing, dari apa yang umum, dari apa yang sudah diterima sebagai sesuatu yang baku.

Orang lain adalah suatu realitas yang unik, yang tak dapat kita kurung dalam harapan ataupun pikiran yang kita punya. Orang lain adalah realitas yang nyata, yang tak dapat kita hindari dengan ilusi-ilusi harapan yang kita punya tentangnya. Membayangkan bahwa orang lain bisa selalu sesuai dengan apa yang kita harapkan dan pikirkan adalah ilusi yang menciptakan konsep-konsep luhur, seperti toleransi, dan kasih universal.

Mudah bagi kita untuk mencintai orang-orang miskin, orang-orang yang tak mampu, sakit, kelaparan, ataupun kaum minoritas yang jinak. Mudah juga bagi kita, demikian kata Žižek, untuk mencintai orang lain, selama orang lain itu tidak mengganggu hidup kita, cukup jauh dari kita, dan ada jarak yang terus memisahkan saya dengan mereka. Namun, itu bukanlah cinta. Itu hanya tawar menawar. Cinta yang sejati bisa terlihat, ketika orang masuk ke dalam hidup kita tanpa jarak, tanpa rencana, dan kita bisa tetap mencintainya.

Kedekatan itu seringkali menyesakkan. Perbedaan seringkali membuat kita cemas, membuat rutinitas yang telah kita bangun menjadi hancur, dan harus dipikir ulang. Perbedaan yang dekat dengan kita memaksa kita berpikir ulang tentang semuanya. Ketidakmampuan mengelola perbedaan yang mendekat secara tajam dalam hidup kita bisa membuat cinta berubah menjadi kebencian. Dalam arti ini, cinta dan kebencian hanyalah setipis benang. Bahkan Žižek mengatakan, bahwa cinta mengandaikan kemungkinan adanya kebencian di dalamnya.

Mencintai berarti mencintai yang traumatis, yang tak terduga, dan yang mengancam kita dengan perbedaan yang ia tawarkan. Cinta adalah komponen utama dalam pernikahan. Pernikahan yang mengharapkan adanya harmoni akan berujung pada kekecewaan yang mendalam. Justru di dalam pernikahan, belajar dari Žižek, kita perlu untuk siap pada yang tak terduga, tak tertebak, yang mengancam kita untuk mengubah segala hal yang kita pegang selama ini. Pernikahan adalah the real itu sendiri.

Di dalam pernikahan, mudah sekali untuk mencintai orang yang memberi kita kedamaian. Mudah sekali juga untuk mencintai orang yang memberikan kita kebahagiaan. Namun, realitas tidak seperti itu. Banyak pasangan berpisah, karena mereka tidak siap pada yang tak terduga, yang mungkin muncul di dalam hubungan mereka. Di dalam pernikahan, mencintai berarti mencintai “yang traumatis”. Selain itu, bersiaplah untuk bercerai.

Pola berpikir yang sama bisa diterapkan di arena politik. Di alam demokrasi, perbedaan adalah udara yang kita hirup sehari-hari. Yang juga mesti diingat adalah, demokrasi mengandaikan adanya cinta. Bukan cinta yang mengharapkan orang lain (dari etnis, suku, ras, ataupun agama lain) untuk bertindak sesuai keinginan kita, melainkan cinta yang berusaha untuk melampaui dirinya sendiri dengan mencintai orang-orang lain (dari etnis, suku, ras, ataupun agama lain) yang seolah tak dapat dicintai.

Di tengah kerumitan hidup dan kekacauan realitas, Žižek mengajak kita untuk tetap untuk mencintai, terutama mencintai mereka “yang tak dapat dicintai”.

[1] Tulisan ini diinspirasikan sekaligus dikembangkan dari tulisan Kathleen O’Dwyer yang berjudul Žižek on Love dalam http://www.philosophynow.org/issues/77/Žižek_on_Love