Monday, April 8, 2019


Secara psikologis Cinta ialah emosi (romantik) yang pasti dirasakan manusia, penyebabnya bermacam-macam ada rasa nyaman, akrab, bahkan nafsu . Namun, sejatinya Cinta itu misteri datang tak diinginkan hilang tak disangka-sangka kadang membawa keindahan kadang membawa kesedihan. MISTERI

Ini adalah suatu kisah seorang insan manusia yang mencintai seseorang yang tak pernah bisa untuk dimiliki.

Jika kalian sering kali mencintai seseorang yang tidak mungkin dimiliki dan bingung "kenapaaa?" mungkin jawaban dibawah membantu kalian.

1. Kita menikmati sensasi dari pengejaran.

Tidak ada yang berharga yang mudah didapatkan. Orang-orang menyukai tantangan, dan lebih suka menang. Bagi pikiran manusia, sesuatu yang terlalu mudah diperoleh dianggap kurang berharga daripada sesuatu yang harus diusahakan dengan keras.


Hal yang sama berlaku untuk kedekatan: Mendapat respon bagus dari seseorang yang perhatiannya kita coba dapatkan seperti dianugerahi piala. Menyenangkan, mengagumkan, bahagia. Sesimpel itu.

2. Kita memiliki rasa takut akan komitmen.

Kadang-kadang, kita begitu mementingkan nilai suatu hal, sehingga kita hidup dalam ketakutan yang terus-menerus pada hari kita akhirnya mendapatkannya. Beberapa orang menolak pernikahan karena alasan yang tepat ini. Ketakutan berasal dari rasa tidak mampu kita, dan prospek merusak "mimpi". Banyak hubungan gagal karena gagasan seseorang tentang seseorang jauh melebihi kenyataan dari orang itu.

Karena hal ini beberapa dari kita lebih menikmati proses mendapatkan daripada proses menjalankan. Oh, manusia.

3. Harga Diri.

Kita tidak berbicara tentang kesombongan yang mendorong orang untuk mengambil rumah dengan luas 5ha. atau membagikan uang setiap 3 hari sekali. Tapi ini soal kesombongan perasaan yang terhubung dengan rasa harga diri kita, dan memengaruhi cara kita memandang diri sendiri.

Secara alami, kita adalah makhluk yang sia-sia: kita suka merasa istimewa, menarik, dan penting. Faktanya adalah, ketika kita jatuh cinta pada seseorang yang “tidak terjangkau” dan kasih sayang kita tidak dibalas, kita mulai mempertanyakan keinginan kita.

Pertanyaan-pertanyaan seperti, "Apakah saya tidak layak untuk orang itu?" Atau "Apa yang salah dengan saya?" Suatu cara kita mensiasati keadaan adalah dengan melanjutkan pencarian imajinasi terhadap orang yang tidak dapat dicapai dengan harapan bahwa konsistensi imajinasi semata-mata akan mengubah narasi cerita.

4. Insecure

Terkadang, kita menjadi begitu diliputi oleh keraguan diri dan kebencian diri sehingga kita melupakan satu hal penting: kita layak dicintai.

Beberapa orang begitu terbiasa meragukan harga diri mereka sendiri sehingga satu-satunya cara mereka dapat melawannya adalah dengan mendapatkan sesuatu yang sebelumnya telah dicoba dan gagal dicapai oleh orang lain.

Memaksakan keadaan lebih tepatnya, "YANG PENTING YAKIN" nah ini semboyan utama mereka.

5. Sederhana saja: pertimbangkan hukum penawaran dan permintaan.

Anda mungkin bertanya-tanya apa hubungan ekonomi dengan emosi. Sebenarnya banyak. Dalam psikologi sosial, itu disebut sebagai "prinsip kelangkaan". Kita cenderung menginginkan hal-hal ketika mereka susah didapatkan yang menjelaskan mengapa item "limited edition" selalu begitu populer dan harganya lebih tinggi daripada barang biasa.

Pada dasarnya, itu adalah sifat manusia untuk merasakan sesuatu yang tidak bisa kita miliki sebagai lebih berharga. Bahkan ketika ada alternatif yang lebih "nyaman", kebanyakan dari kita masih akan memilih yang "tidak tersedia".

Dari perspektif ini, tidak sulit untuk memahami mengapa kita merasa bahwa seseorang yang lebih sulit untuk mendapatkannya secara otomatis dianggap lebih menarik.

Pada dasarnya.. Kita sebagai manusia memang terlahir dalam keadaan tidak tergapai untuk seseorang, namun kita lebih memilih untuk mencoba menggapai sesuatu yang tidak tergapai bagi kita.
Jika kita merenung sejenak, mengapa kita menggapai sesuatu yang tidak tergapai. Sementara.. Ada orang yang berusaha menggapai kita mati-matian.

Roses are red
Violets are blue
If you love to get
Start with grateful.

Menurut kalian gimana sih FALLING IN LOVE WITH PEOPLE WE CAN'T HAVE ituitu ?

APAKAH ANARKIS ITU “KIRI”
Menjawab persinggungan anarkisme dan sosialisme, serta identitas kiri

Pertanyaan ini selalu muncul. Dan sering dijadikan legitimasi bahwa para anarkis “berbohong” mengenai isu yang diperjuangkan. Para anarkis dianggap tidak peduli dengan penindasan kapitalisme hanya karena “anarkis bukan kiri” (dan ini yang sering digunakan para anti anarkis online. WTF). Tapi, bagaimana sebenarnya anarkisme menempatkan diri di dalam “spektrum politis” terutama saat melawan kapitalisme? Artikel ini bisa disebut sebagai rangkuman dari Anarchist FAQ “Apakah Kaum Anarkis Sosialis juga Sosialis?” (Bagian A.1.4)

Pada dasarnya semua “cabang” anarkis menolak kapitalisme (anarko kapitalisme yang ditolak oleh para anarkis akan saya bahas lain waktu). Dasar penolakan ini adalah kapitalisme didasarkan dari penindasan dan eksploitasi. Proudhon mengatakan bahwa anarkisme melihat “eksploitasi kapitalistis dan kepemilikan berhenti di mana-mana (dan) sistem upah dihapuskan”. Karena “baik pekerja … akan dengan mudahnya bekerja pada pemilik-kapitalis-penyelenggara; atau ia akan ikut serta… pada kasus pertama pekerja disubordinasi, tereksploitasi : kondisi permanennya adalah kepatuhan…dalam kasus kedua ia mengembalikan martabatnya sebagai seorang manusia dan warga negara… ia merupakan bagian organisasi produksi, di mana ia berada sebelumnya namun sebagai buruh… kita tidak perlu ragu, karena kita tidak punya pilihan… memang perlu membentuk suatu SERIKAT di antara para buruh… karena tanpa itu, mereka akan tetap berhubungan sebagai sub ordinat dan superior, dan akan muncul dua… kasta tuan dan buruh upahan, yang merupakan hal menjijikkan bagi masyarakat yang bebas dan demokratis”.  Berkman menambahkan “Oleh karenanya semua kaum kaum anarkis anti kapitalis. Jika buruh memiliki kesejahteraan yang dihasilkan, tidak ada kapitalisme”

Voltairine d Cleyre mengatakan “pekerja sejati akan mengatur diri sendiri, memutuskan kapan, dimana, dan bagaimana sesuatu akan dikerjakan “. Seorang anarkis individual, Joseph A Labadie mengatakan “Dikatakan bahwa anarkisme bukan sosialisme. Hal ini adalah kesalahan. Anarkisme adalah sosialisme sukarela. Ada dua jenis sosialisme, arkistis dan anarkistis, otoriter dan liberal, negara dan bebas. Malah, setiap proposisi bagi perbaikan sosial adalah menambah atau mengurangi kekuasaan kehendak eksternal dan pemaksaan terhadap individu. Karena mereka menambahnya, mereka disebut arkistis; jika mereka menguranginya mereka anarkistis”. (Anarchism: What It Is and What It Is Not”) dan menambahkan Labadie menyatakan di banyak kesempatan bahwa “semua anarkis adalah sosialis namun tidak semua sosialis adalah anarkis”.

Dari pernyataan para pemikir awal anarkis ini, bisa dilihat bahwa kaum anarkis mengedepankan sosialisme sebagai praktik. Sosialisme anarkisme menolak semua birokrasi otoritarian yang mengatasnamakan serikat pekerja. Anarkisme menyetujui adanya serikat. Terutama di dalam perjuangan melawan kapitalisme. Tapi bukan berarti serikat menjadi “tuan” baru bagi para pekerja dengan memaksakan kekuasaan kehendak eksternal (bentuk serikat) diatas kehendak individu. Masyarakat anarkis, sesuai definisi, harus didasarkan pada perkumpulan buruh, bukan upah. Hanya buruh yang berserikat yang akan “mengurangi kekuasaan kehendak eksternal dan pemaksaan terhadap individu” selama jam kerja dan manajemen diri terhadap pekerjaan oleh mereka yang bekerja menjadi cita-cita utama dari sosialisme sejati. Perspektif ini dapat dilihat ketika Joseph Labadie berpendapat bahwa perserikatan dagang adalah “contoh meraih kebebasan dengan berserikat” dan bahwa “tanpa serikatnya, pekerja lebih merupakan seorang budak majikannya dibandingkan jika ia berserikat.” (Different Phases of The Labour Question).

Tapi, makna sosialisme bergeser. Marxisme dianggap sebagai “sosialisme sejati” dan hanya dengan komunisme kita akan mewujudkan sosialisme. Pendapat ini yang sejak awal internasionale ditolak para anarkis. Bakunin sendiri mengingatkan pemuja Marx untuk melawan “birokrasi merah” sebagai “pemerintahan despotik terburuk”. Bahkan Bakunin, Stirner, sampai Proudhon sudah meramalkan kengerian sosialisme negara. Dan terbukti, dengan hadirnya Marxis Leninisme dan Uni Soviet . tetapi, pemikiran sosialis anarkis tetap berbagi beberapa pemikiran Marxis (tanpa Leninis). Dan Bakunin serta Benjamin Tucker menerima analisis dan kritik kapitalis Marx. Sebaliknya, Marx sendiri banyak dipengaruhi oleh buku The Ego and Its Own karya Max Stirner, yang berisi kritik brilian mengenai apa yang disebut Marx sebagai komunisme “vulgar” seperti juga sosialisme negara. Ada juga elemen gerakan Marxis yang hampir sama dengan anarkisme sosial (khususnya cabang anarkisme sosial, anarki sindikalis —contohnya, Anton Pannekoek, Rosa Luxembourg, Paul Mattick, dan lain-lain yang sangat jauh berbeda dari Lenin. Oleh karena itu pada dasarnya anarkisme merupakan bentuk sosialisme, yang berdiri tegak sebagai oposisi langsung terhadap apa yang biasa didefinisikan sebagai “sosialisme” (contoh: kepemilikan dan kontrol negara). Daripada “rencana pemusatan” yang dihubungkan oleh banyak orang dengan kata “sosialisme”, kaum anarkis membela kerjasama dan serikat bebas antara individu, tempat kerja, dan komunitas sehingga dengan demikian melawan sosialisme “negara” sebagai bentuk kapitalisme negara yang di dalamnya “setiap pria (dan wanita) akan menjadi penerima upah, dan negara hanyalah pembayarnya”.

Maka, menyebut “kiri” atau sosialis tidak bisa dengan berpaku pada satu pemikiran. Anarkisme merupakan sosialisme, berdasarkan pola pikir anarkis yang menyepakati nilai-nilai sosialisme. Tetapi anarkis bukanlah sosialisme ketika sosialisme hanya dipahami sebagai sosialisme negara ala komunisme. Sebaliknya, komunisme pun tidak dapat disebut sosialis jika sosialisme dipahami sebagai penolakan segala bentuk pemusatan kapitalisme dan penindasan, termasuk negara. Membingungkan? Tidak juga. Untuk mengurangi kebingungan, sebagian besar anarkis menyebut diri sebagai “anarkis” saja karena sudah pasti seorang anarkis adalah juga sosialis.

Bagaimana dengan pertanyaan pertama tadi? apakah anarkisme itu kiri? Mungkin pernyataan dari Noam Chomsky bisa membantu:
“Jika aliran kiri dipahami dengan memasukkan ‘Bolshevisme’, maka aku akan dengan tegas memisahkan diri dari aliran kiri. Lenin adalah salah satu musuh terbesar sosialisme.”

Lagipula, bukankah kanan atau kiri hanyalah identitas dalam struktur sosial. Dan seperti biasa, para anarkis tidak peduli masalah identitas. Lalu, bagaimana? Apakah perlu disibukkan dengan kekirian anarkisme?

Dosa Lenin

Membicarakan sosialisme, terutama komunisme, tentu banyak orang yang akan menyebut Uni Soviet. Uni Soviet dikultuskan sebagai perwujudan sosialisme dalam praktik. Dan secara otomatis, Lenin menjadi “nabi” yang dianggap merealisasikan sosialisme (tentunya dengan metode komunisme). Namun, apakah benar Lenin membawa sosialisme?  Chomsky berpendapat: “Jika aliran kiri dipahami dengan memasukkan ‘Bolshevisme’, maka aku akan dengan tegas memisahkan diri dari aliran kiri. Lenin adalah salah satu musuh terbesar sosialisme.” Mengapa Lenin sebegitu dibenci oleh Chomsky, para anarkis, dan juga para sosialis bahkan marxis? Jika kita berbicara Lenin sebagai musuh sosialisme, tentu kita akan berbicara tentang produk dari Lenin: Bolshevik dan Uni Soviet.

Sosialisme bisa dibilang sebagai dasar dari segala isme kontra kapitalisme dan bentuk penindasan lain. Dan pemerintahan Uni Soviet “menggambarkan diri” sebagai sosialis yang melindungi sosialisme. Kediktatoran proletar dianggap terjadi pada Uni Soviet. Benarkah?

Marx dan Engels melihat kediktatoran proletar dengan cara yang berbeda dari pandangan diktator abad 20. Bahkan pengertian “pemerintahan” sendiri bukanlah sebuah sistem otoritarian.Marx dan  Engels berpendapat bahwa bentuk kediktatoran proletariat sangat nyata dalam komune Paris di 1871. Marx menyatakan Komune Paris sebagai “itulah pemerintahan (masyarakat) kelas pekerja” (The Civil War in France, Marx 1891) dan sangat memuji komune Paris sebagai utopia sosialisme.  Dan Engels mengatakan “akhir-akhir ini, para sosial demokrat terteror oleh kalimat: kediktatoran proletariat.  Baiklah, hadirin sekalian, apakah kalian tahu bentuk kediktatoran ini? Lihatlah komune Paris. Itulah kediktatoran proletariat”. Tapi apakah komune Paris ini seperti yang dilakukan Uni Soviet? Tegasnya, apakah Uni Soviet adalah bentuk kediktatoran proletariat yang diidamkan oleh Marx dan Engels, melihat komune Paris? Komune Paris bukanlah sebuah bentuk kediktatoran dimana satu pemimpin menentukan arah perjuangan semua orang. Seluruh masyarakat komune Paris memiliki kesempatan untuk berpartisipasi, sederhananya, demokrasi langsung. Tidak ada kepeloporan, semua benar-benar berasal dari kelas pekerja. Disini lah letak perbedaan pelaksanaan Uni Soviet dengan cita-cita Marx tentang kediktatoran proletariat.

Mengapa Uni Soviet terbentuk dengan “menyeleweng” dari bentuk kediktatoran proletariat Marx? Masalah mendasar adalah pergeseran fungsi “konspirator” dan “kolaborator” dari sebuah revolusi. Lenin beserta Bolshevik adalah konspirator yang (seharusnya) “memicu pembentukan proses revolusi”. Pekerja sebagai agen revolusi harus mengambil alih hasil produksi dan mengatur industri dalam partisipasi langsung. Dan yang utama kelas pekerja harus berproduksi  “dari masing-masing sesuai dengan kemampuannya, untuk masing-masing menurut kontribusinya.” Bolsheviksme tidak menempatkan diri sebagai itu. Dan tidak menempatkan kelas pekerja sebagaimana sosialisme menempatkan. Lenin dan para kolaborator lain menjadi “kontrol” baru bagi para pekerja Rusia. Mereka membentuk kedisiplinan baru, dan menjadi instrumen penjaga kedisiplinan. Dengan kekuatan dan pengaruhnya, Lenin (dan Trotsky) menghancurkan segala potensi libertarian demi terbentuknya partai tunggal. Tokoh seperti Roxa Luxembourg adalah korban dari aksi ini. Dan pada akhirnya Lenin, dengan bantuan Trotsky, membentuk transisi dari perlawanan revolusi menjadi “State priest”. Kondisi ini menempatkan partai sebagai “hakim pengatur dari atas” yang artinya massa adalah objek dari keteraturan ini. Semua ini terbukti setelah Oktober 1917.

Sejarawan Bolshevik, E. H. Carr, menulis “kecenderungan spontan dari pekerja untuk mengorganisir komite pabrik dan untuk ikut campur dalam manajemen pabrik menjadi hadir dengan revolusi dimana memimpin pekerja untuk percaya bahwa peralatan produktif dalam sebuah negara adalah milik mereka dan dapat dioperasikan oleh mereka atas kehendak mereka dan kemampuan mereka”. Tapi, para “state priest” lebih memahami, dan menghancurkan komite pabrik (salah satunya dimana Roxa Luxembourg berada) dan mengurangi peran organ Soviet dalam kendali mereka. Pada 3 November, Lenin mengumumkan “Draft Decree on Workers’ Control” yang menguji sejenis kontrol yang “bertanggung jawab pada negara untuk memelihara kendali tegas dan mendisiplinkan dan melindungi properti”. Pada akhir tahun, Lenin menyatakan bahwa “kita melampaui kontrol pekerja untuk menciptakan supreme council dari ekonomi nasional” yang menurut Carr adalah untuk “mengganti, menyerap, dan meniadakan sistem kontrol pekerja”. Salah satu serikat menshevik menyesalkan; kepemimpinan bolshevik menunjukkan penyesalan yang sama dalam aksi, dengan menghancurkan ide-ide sosialisme.

Chomsky menjelaskan, setelah kejadian diatas, Lenin segera mengeluarkan dekrit dimana kepemimpinan harus berdasarkan “kekuatan diktatorial” diatas pekerja, dimana harus menyetujui “kepatuhan absolut pada satu perintah” dan “dalam kepentingan sosialisme,’ harus ‘kepatuhan tak terbantahkan pada satu perintah dari pemimpin para pekerja” (bandingkan dengan cita-cita Marx). Lenin dan Trotsky merealisasikan dengan militerasi pekerja, perubahan sosial menuju tentara pekerja dibawah kendali mereka. Dan implementasi macam ini membuahkan masa-masa berdarah dalam Uni Soviet: hilangnya demokrasi, lahirnya aristrokasi partai, sampai pembantaian oposan (dimana oposisi adalah bagian dari dialektis yang dipromosikan Marx). Sedikit menyinggung aristrokasi partai, dalam buku “God That Failed” dijabarkan berbagai pengalaman para “buangan” Uni Soviet ketika berhadapan dengan partai, yang tidak lagi menjadi alat kelas pekerja menyuarakan pendapat, namun sebagai kelas elit baru yang memberi kendali pada kelas pekerja yang notabene sebagai anggota partai.  Semua sikap Lenin inilah yang menjadi “dosa” yang mengkaburkan sosialisme. Sosialisme tidak lagi dianggap pembebasan, tetapi menjadi sebuah struktur sosial baru yang opresif.

Lenin bertanggung jawab atas kaburnya nilai sosialisme dalam pemerintahan Uni Soviet. Dia meletakkan pondasi “kepemimpinan absolut” dimana pekerja kembali menjadi objek dalam sistem produksi Uni Soviet. Kegagalan dalam memahami sosialisme dalam pemikiran Leninis (yang akhirnya dimanifesti Stalin), dan kesalahpahaman model leninis, memberi dampak besar baik dalam perlawanan (marxisme) dan kehidupan sosial barat, dan tidak hanya disana. Maka perlu diambil sikap dalam menyelamatkan ide sosialis.  Jangan ada lagi aristrokasi, kontrol pekerja, dan pembredelan kebebasan dalam nama sosialisme.


(Henri Bergson )


Bagi saya, hal yang paling mengecewakan sempitnya pengetahuan. "Intuisionisme"

Intuisionisme (berasal dari bahasa Latin: intuitio yang berarti pemandangan) adalah suatu aliran filsafat yang menganggap adanya satu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia, yaitu intuisi . Tokoh aliran ini diantaranya dalah Henri Bergson . Intuisionisme selalu berdebat dengan paham rasionalisme . 

Ini seakan menjadi kecanduan yang tidak terlihat. Mengapa aku menjadi begitu saja? implusif bahkan perasaan cemas yang sama sekali tidak dapat diperhitungkan oleh keadaanku sendiri. Rasanya seperti ego tetapi ini adakalanya menjadi suara batin. Kebingungan seperti mengejar dominan antara batin dan pikiran.

Apakah ini pikiran? Apakah ini juga suara terdalam? Atau mungkinkah ini cara kehendak ingin memiliki? Aku rasa saat ini aku bukan diriku, tidak tenang, cemas, sedikit rindu, menunggu. Aku pikir apakah ini kekaguman yang dibentuk pikiran? Mungkin ini keadaan alamiah kita memuja diri yang lain? Menjadi manusia seakan menjadi misteri bagi dirinya sendiri, hanya kegelisahan batin, seakan merindukan yang sebelumnya tidak dirindukan.

Gerak yang diinginkan tetapi tidak diingini. Menginginkan diterima, dicintai bahkan ditunggu keberadaaanya. Bidadari dari sana apakah kau juga merasa kau bukan dirimu saat ini? Melelahkan tetapi menghernakan, sejenak hilang ketika perasaan ini tersambut. Ketika bidadari antusias dengan cerita, dengan candaan dan gagasan akan nasib kita kedepan. Bahkan aku seperti ada dalam duniaku, kemudian hilang lagi, terjebak lagi dalam fana.

Dirasa ini seperti petualangan batin, bagaimana ketika batin ini rindu untuk teruji. Kata mereka ini cinta, rindu bahkan ini lompatan untuk kehidupan yang sesunggunya. Aku menikmatinya, mencoba membacanya, bahkan menjadi kontrol bagi batinku sendiri. Yang kadang larut dalam diam, kecurigaan yang tidak berdasar, menebak rasa dari kejauhan.

Aku menikmatinya dengan tenggelam, membaca filsafat cinta lagi. Kata plato, athur scopenhaur, jalaluddin rumi, jaen paul satre dan tokoh-tokoh lain. Malam dan musik-musik juga lagu yang indah. Membayangkan bayangan dirimu yang menggetarkan hati. Wajahmu yang manis anugrah terindah mata ini untuk melihatnya.

Mengingatmu, aku terbawa kepada masa lalu. Gadis kecil yang manis menghampiri kita masa itu. Membawa kantong plastik dan bertanya sesuatu dengan polosnya. Apakah itu? Rasanya aku ingin menanyakanmu, siapa namamu, dalam batinku terasirat dengan vision kau seperti jodohku. Imajinasi menunjuk kita akan bertemu ditempat yang sama dimasa depan. Dalam khayal jika semesta mengizinkan berjodoh kita bertemu suatu saat nanti.

Seperti berperang lagi, aku dan batinku, pikiranku dan batinku, raga dan khayalanku. Mimpi-mimpi yang berulang akankah kau membawa kita untuk selamanya? Menjadi tetua untuk pembawa cahaya di masa depan? Untuk kemuliaan dunia kita, keadilan, menghapus rasa sengsara, untuk kemanusiaan. Kita tidak akan tahu kalau kita tidak pernah mencoba.

Dalam lagu fix you milik coldplay, cahaya akan memuntunmu pulang. Kebahagiaan di antara duka dan nestapa, yang hilang lalu kembali. Aku akan membenahimu seperti kau juga membenahiku, tanpa sadar, tanpa ketukan gendang. Petualangan batin ini biarlah seperti semsestinya, tentang bagaimana takdir akan berkerja selanjutnya. Aku beruntung menemukanmu apapun takdir kita nanti, tetapi dalamnya keinginanku satukalah kita takdir.

Sunday, April 7, 2019


Hai, skripsik yang malang, kalau kamu bisa bicara, kamu pasti bilang seperti ini kayaknya 

Kamu itu maksudnya apa sih? Kemarin kamu semangat , ngerjain skripsi dari pagi sampai malam meskipun kamu tidak melupakan kesehatanmu juga, kamu rela nungguin dosen berjam-jam dari pagi sampai tiba dosenmu bisa ditemui-bahkan sebelum mobil dosenmu terparkir rapi di halaman gedung fakultasmu demi mendapat petunjuk jalan agar kita bisa berteman baik nantinya.

Kamu juga rela dan sabar memperbaiki skripsi meskipun kamu telah memperbaikinya berkali-kali demi memperkenalkan kepada dosen dan teman-temanmu lewat seminar yang kamu paparkan dengan sempurna. Setelah kamu berhasil memperkenalkan kepada teman-temanmu, kamu juga berhasil menjalankan janji yang kamu tulis tentang selama tiga bulan lamanya, kamu juga sudah memberi teman baru berupa bab baru lagi di tubuh skripsi , tapi kenapa kamu belum menyelesaikan semuanya secara tuntas?

Apa aku terlalu mengusikmu sehingga kau tidak mau lagi berteman denganku? Atau aku terdaftar menjadi salah beban dalam fikiranmu? Apa kamu malu berteman denganku lagi sehingga kamu belum mengenalkanku kepada teman dan dosenmu untuk kedua kalinya?
Ayolah, jangan menyerah terhadapku . Saat kamu mendekatiku dulu, saat itu juga aku merasa bangga terhadapmu karena kamu mau mendekatiku dengan tulus meskipun aku tahu, banyak ketakutan yang melingkupi fikiranmu. Aku ingin kamu menyelesaikanku sampai tuntas tanpa membiarkanku terlalu lama sendiri dengan sejuta tanya yang menyelimutiku.

Aku masih ingin berteman baik denganmu, meskipun aku tahu, harus ada banyak hal yang kamu persiapkan untuk menyempurnakan bagian tubuhku. Jangan tinggalkan aku terlalu lama ya, wahai kamu yang telah menjadi sahabatku beberapa bulan terakhir.”
Saat aku berusaha menciptakan suasana percakapanku dengan skripsiku, aku merasa bersalah karena telah meninggalkannya dua bulan terakhir ini. Seakan-akan aku belum menyelesaikan janji yang telah ku buat untuk masa studiku, dosenku, ibuku, bahkan untuk diriku sendiri. Aku juga tidak mengerti kenapa aku tersendat dalam penyelesaian tulisanku ini.

Ah, mungkin karena aku belum berdamai dengan pikiranku, yang berasumsi bahwa aku harus mempersiapkan banyak hal sebagai jaminan, bahwa aku dan skripsiku beneran teman baik tanpa ada yang harus mempertanyakan kebenaran keberadaannya. Dan asumsi itu memang harus terwujud.

“Maafkan aku yang membiarkanmu sendiri beberapa bulan terakhir wahai skripsiku yang mau berteman baik denganku beberapa bulan terakhir. Bukannya aku bermaksud demikian, tetapi aku perlu banyak persiapan untuk menyempurnakan keberadaanmu, agar kelak saat aku ditanyakan mengenai dirimu, aku bisa memaparkannya dengan sempurna tanpa ada kekurangan sedikitpun yang bisa membanggakanmu juga bahwa kamu gak salah pilih telah berteman baik denganku.

Aku masih butuh banyak waktu untuk mempersiapkan semuanya. Kamu juga tahu kan bahwa selama ini aku lamban dalam menyelesaikan beberapa hal, karena aku terlalu banyak mengulur waktu dengan berfikir tanpa mau melaksanakannya dengan segera.
Bersabarlah wahai skripsiku, karena aku akan memperkenalkanmu kembali kepada teman-temanku dan dosenku nantinya, bahkan aku akan menceritakan semuanya tentangmu di depan dosen penguji dan pembimbingku. Akan ku buat dirimu bangga dengan memperkenalkan kamu banyak teman baru di perpustakaan sana karena kamu menjadi salah satu pengisi rak tempat skripsi yang lain berada.

Jangan takut aku meninggalkanmu ya skripsiku, karena selama ini aku juga berusaha sekuat tenaga untuk membukamu lagi, menulis lagi di tubuhmu, dan akan menyempurnakan setiap bab yang menjadi pelengkap keberadaanmu. Jangan pernah lelah menyemangatiku saat aku mulai goyah dengan suasana sekitarku, ingatkan aku terus tentang janjiku selama ini terhadapmu, dan jangan pernah tinggalkan aku meskipun aku sering meninggalkanmu sendirian dalam bab di laptop kecilku ini.

Aku akan menyelesaikanmu dengan segera. Itu janjiku. Tetap menjadi sahabat baikk  skripsi, yang lewat kamu, akan mengantarkanku nantinya ke pintu baru yang harus ku buka, agar aku bisa melihat dan membuka pintu lain yang masih tertutup. Semangat buat kita berdua . Ingat janjiku . Aku akan melengkapi bagian tubuhmu dengan segera. Ya, sesegera mungkin.”
Tetap tunggu aku menepati janjiku kepadamu wahai skripsiku yang telah berteman baik denganku selama ini.

Dan dan berberapa cerita temanku. Ada pula seorang teman bercerita bahwa ia telah menyerahkan skripsi untuk dosen pembimbingnya.Ia disuruh datang kembali seminggu kemudian. Tapi ketika datang, skripsi yang telah dijanjikan itu belum diperiksa karena terlalu banyak skripsi yang ditangani.

Seorang teman juga bercerita masalah lain. Ia menggambarkan dengan analogi yang apik. Katanya, ketika dua gajah berkelahi maka semut dan rumputlah yang menjadi korban. Ia menjadi bingung dan frustrasi karena pembimbing I dan pembimbing II skripsinya bersikeras pada ide masing-masing.

Seorang teman juga terang-terangan merekayasa hasil penelitian. Alasannya karena ia tahu skripsinya akan berakhir di lemari atau tempat yang sedikit lebih baik dari tong sampah. Ini juga menjadi satu motif mereka yang terkadang terpaksa mendaur ulang bulat-bulat skripsi orang lain.

Ada pula trauma skripsi yang membesut gejala research phobia. Setelah menyelesaikan skripsi, mereka menutup diri dan menolak bergelut dengan hal-hal yang berbau penelitian. Begitu mendengar kata penelitian, kening berkerut seperti kembali ke masa suram.
Kalau kita terjun ke lapisan bawah, kita juga akan berhadapan dengan gejala lain yang sudah menjadi rahasia umum.

Dosa akademik

Di samping itu, praktik dosa akademik tumbuh subur dari waktu ke waktu yaitu penjualan jasa pembuatan skripsi. Timbulnya sikap yang tidak terpuji seperti ini, tentu tidak salah jika kita bertanya; Apakah masih relevan pemberlakukan skripsi sebagai syarat akhir bagi lulusan perguruan tinggi atau universitas? Bagaimana kalau seandainya skripsi ditanggalkan dari kurikulum?

Pada universitas sering dikenal falsafah Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tiga pilar yang menjadi acuan seorang mahasiswa atau mahasiswi yang belajar di universitas: pendidikan, penelitian dan pengabdian. Skripsi adalah salah satu ejawantah dari penelitian. Karena itu, ini menjadi alasan mengapa skripsi itu menjadi penting. Ada yang mengatakan kalau dulu di Malaysia angka kecelakaan jalan raya sangat tinggi. Persoalan itu mendorong pemerintah Malaysia untuk menggiring ilmuan melakukan penelitian. Hasil dari penelitian tersebut melahirkan kebijakan baru yang tepat sasaran dan bisa menjadi solusi bagi upaya menekan angka kecelakaan di jlan raya. Dengan begitu, banyak nyawa telah terselamatkan. Ini menjadi salah satu contoh manfaat penelitian yang dapat dirasakan oleh khalayak.
Dalam konteks di atas memang penelitian memberi dampak yang dapat dirasa dalam kehidupan sosial. Tapi bagaimana dengan kondisi penelitian di perguruan-perguruan tinggi tempat kita? Adakah hasil penelitian yang telah memberi dampak signifikan pada kehidupan?

Agaknya sulit menjawab pertanyaan ini. Pada praktiknya, di tempat kita skripsi nyaris tidak memberi sumbangsih apa-apa. Hanya menjadi formalitas untuk sah mendapat gelar sarjana dan ijazah. Selebihnya menjadi momok yang ditakuti oleh sebagian besar mahasiswa yang notabene digelari masyarakat ilmiah. Dalam kehidupan akademik kita, antara penelitian dan realita masih berjalan sendiri-sendiri. Permasalahan urgen yang muncul lain dan yang diteliti pun lain.

Kebanyakan mahasiswa terutama mahasiswa strata satu seperti belum siap berada pada tahapan penelitian. Banyak di antara mereka belum selesai dengan tahapan berpikir kritis, ilmiah dan kelihaian membangun argumentasi. Maka ketika tiba-tiba berhadapan dengan penelitian, terasa seperti tiba-tiba menabrak tembok. Bisa jadi ini juga permasalahan dari mahasiswa sendiri karena kebanyakan masih terlihat kurang membaca. Beberapa bahkan bersikap anti-text.

Apakah Tri Dharma Perguruan Tinggi itu telah menjadi hukum yang tak bisa diganggu-gugat lagi? Kalau pun kita masih bersikukuh dengan penerapan skripsi sebagai syarat akhir pembelajaran di universitas, hendaknya perlu dipertimbangkan kembali beberapa hal: Pertama, makna substantif dari tujuan melakukan penelitian. Apakah tujuan utamanya semata-mata untuk syarat lulus belaka? Bukankah pemantapan logika berpikir dalam menganalisa persoalan dan keterampilan menulis menjadi satu tujuan ideal yang ingin dicapai?

Kedua, hendaknya perguruan tinggi memasukkan mata kuliah etika penelitian untuk mengurangi kadar plagiasi alias penciplakan. Selama ini mata kuliah ini sangat kurang (kalau tak ingin dikatakan tidak ada sama sekali). Kasus penjiplakan tentu bukan barang baru di tempat kita. Hampir setiap dosen pembimbing pernah menemui mahasiswa bimbingannya menjiplak hasil karya orang lain.

Etika penelitian

Ketiadaan atau minimnya mata kuliah etika penelitian ini juga bisa membuat kita permisif atau akrab dengan budaya copy paste. Lama-lama terbentuk dalam pikiran kita bahwa itu hanyalah persoalan biasa dan lazim. Kita nyaris tidak mungkin menghapus menu copy paste pada komputer, tetapi menumbuhkan kesadaran untuk tidak terhanyut pada kebiasaan copy paste sangat tidak menutup kemungkinan.

Ketiga, memanfaatkan hasil penelitian supaya tidak ada kesan siasia. Seorang teman pernah berseloroh, setiap tahun universitas menerima ratusan hasil penelitian tapi hampir tak satu pun terlihat bermanfaat bagi kehidupan. Dalam pada ini terlihat adanya missing link antara universitas dan masyarakat. Universitas menjadi penyumbang gelar tapi miskin kontribusi. 

Skripsi-skripsi hanya menjadi dokumen yang tersimpan rapi di menara gading.
Memfungsikan hasil penelitian juga menjadi reward yang membuat mahasiswa merasa dihargai dan tidak lesu dalam meneliti. Beberapa instansi pemerintah seperti Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) mungkin bisa diajak menjadi partner. Pemberian penghargaan hasil penelitian terbaik tahunan selain gelar cumlaude juga menjadi satu alternatif.

Dan, terakhir yang juga tak kalah penting adalah para dosen pembimbing hendaknya tetap santun dan menjadi pembimbing yang baik, bukan pembimbang.

Friday, April 5, 2019


Paulo Freire adalah tokoh pendidikan yang sangat kontroversial. Ia menggugat sistem pendidikan yang telah mapan dalam masyarakat Brasil. Bagi dia, sistem pendidikan yang ada sama sekali tidak berpihak pada rakyat miskin tetapi sebaliknya justru mengasingkan dan menjadi alat penindasan oleh penguasa. Karena pendidikan yang demikian hanya menguntungkan penguasa maka harus dihapuskan dan digantikan dengan sistem pendidikan yang baru. Sebagai jalan keluar atas kritikan tajam itu maka Freire menawarkan suatu sistem pendidikan alternatif yang menurutnya relevan bagi masyarakat miskin dan tersisih. Kritikan dan pendidikan altenatif yang ditawarkan Freire itu menarik untuk dipakai menganalisis permasalahan pendidikan di Indonesia.

Walaupun harus diakui bahwa konteks yang melatarbelakangi lahirnya pemikiran yang kontroversial mengenai pendidikan itu berbeda dengan konteks Indonesia. Namun di balik kesadaran itu, ada keyakinan bahwa filsafat pendidikan yang ada di belakang pemikiran Freire dan juga metodologi
pendidikan yang ditawarkan akan bermanfaat dalam “membedah” permasalahan pendidikan di Indonesia.
Pandangan Paulo Freire Tentang Pendidikan. Pandangan Paulo Freire tentang pendidikan tercermin dalam kritikannya yang tajam terhadap sistem pendidikan dan dalam pendidikan alternatif yang ia tawarkan. Baik kritikan maupun tawaran konstruktif Freire keduanya lahir dari suatu pergumulan dalam konteks nyata yang ia hadapi dan sekaligus merupakan refleksi filsafat pendidikannya yang berporos pada pemahaman tentang manusia.

a. Konteks Yang Melatarbelakangi Pemikiran Paulo Freire.

Hidup Freire merupakan suatu rangkaian perjuangan dalam konteksnya. Ia lahir tanggal 19 September 1921
di Recife, Timur Laut Brasilia. Masa kanak-kanaknya dilalui dalam situasi penindasan karena orang tuanya
yang kelas menengah jatuh miskin pada tahun 1929. Setamat sekolah menengah, Freire kemudian belajar
Hukum, Filsafat, dan Psikologi. Sementara kuliah, ia bekerja “part time” sebagai instuktur bahasa Potugis di
sekolah menengah. Ia meraih gelar doktor pada tahun 1959 lalu diangkat menjadi profesor. Dalam kedudukannya sebagi dosen, ia menerapkan sistem pendidikan “hadap-masalah” sebagai kebalikan dari pendidikan “gaya bank”. Sistem pendidikan hadap masalah yang penekanan utamanya pada penyadaran nara didik menimbulkan kekuatiran di kalangan para penguasa. Karena itu, ia dipenjarakan pada tahun 1964 dan kemudian diasingkan ke Chile. Pengasingan itu, walaupun mencabut ia dari akar budayanya yang menimbulkan ketegangan, tidak membuat idenya yang membebaskan “dipenjarakan”, tetapi sebaliknya ide itu semakin menyebar ke seluruh dunia. Ia mengajar di Universitas Havard, USA pada tahun 1969-1970. Ia pernah menjadi konsultan bidang pendidikan WCC.
Pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan lahir dari pergumulannya selama bekerja bertahun-tahun di tengah-tengah masyarakat desa yang miskin dan tidak “berpendidikan”. Masyarakat feodal (hirarkis) adalah struktur masyarakat yang umum berpengaruh di Amerika Latin pada saat itu. Dalam masyarakat feodal yang hirarkis ini terjadi perbedaan mencolok antara strata masyarakat “atas” dengan strata masyarakat “bawah”. Golongan atas menjadi penindas masyarakat bawah dengan melalui kekuasaan politik dan akumulasi kekayaan, karena itu menyebabkan golongan masyarakat bawah menjadi semakin miskin yang sekaligus semakin menguatkan ketergantungan kaum tertindas kepada para penindas itu.
Dalam kehidupan masyarakat yang sangat kontras itu, lahirlah suatu kebudayaan yang disebut Freire dengan
kebudayaan “bisu”. Kesadaran refleksi kritis dalam budaya seperti ini tetap tidur dan tidak tergugah. Akibatnya waktu lalu hanya dilihat sebagai sekat hari ini yang menghimpit. Manusia tenggelam dalam “hari ini” yang panjang, monoton dan membosankan sedangkan eksistensi masa lalu dan masa akan datang belum disadari. Dalam kebudayaan bisu yang demikian itu kaum tertindas hanya menerima begitu saja segala perlakuan dari kaum penindas. Bahkan, ada ketakutan pada kaum tertindas akan adanya kesadaran tentang ketertindasan mereka. Itulah dehumanisasi karena bahasa sebagai prakondisi untuk menguasai realitas hidup telah menjadi kebisuan. Diam atau bisu dalam konteks yang dimaksud Freire bukan karena protes atas perlakuan yang tidak adil. Itu juga bukan strategi untuk menahan intervensi penguasa dari luar. Tetapi, budaya bisu yang terjadi adalah karena bisu dan bukan membisu. Mereka dalam budaya bisu memang tidak tahu apa-apa. Mereka tidak memiliki kesadaran bahwa mereka bisu dan dibisukan. Karena itu, menurut Freire untuk menguasai realitas hidup ini termasuk menyadari kebisuan itu, maka bahasa harus dikuasai. Menguasai bahasa berarti mempunyai kesadaran kritis dalam mengungkapkan realitas. Untuk itu, pendidikan yang dapat membebaskan dan memberdayakan adalah pendidikan yang melaluinya nara didik dapat mendengar suaranya yang asli. Pendidikan yang relevan dalam masyarakat berbudaya bisu adalah mengajar untuk memampukan mereka mendengarkan suaranya sendiri dan bukan suara dari luar termasuk suara sang pendidik. Dalam konteks yang demikian itulah Freire bergumul.  Ia terpanggil untuk membebaskan masyarakatnya yang tertindas dan yang telah “dibisukan”. Pendidikan “gaya bank” dilihatnya sebagai salah satu sumber yang mengokohkan penindasan dan kebisuan itu. Karena itulah, ia menawarkan pendidikan “hadapmasalah” sebagai jalan membangkitkan kesadaran masyarakat bisu .

b. Kritikan Paulo Freire Terhadap Pendidikan “Gaya Bank”.

Dalam sistem pendidikan yang diterapkan di Brasilia pada masa Freire, anak didik tidak dilihat sebagai yang dinamis dan punya kreasi tetapi dilihat sebagai benda yang seperti wadah untuk menampung sejumlah rumusan/dalil pengetahuan. Semakin banyak isi yang dimasukkan oleh gurunya dalam “wadah” itu, maka semakin baiklah gurunya. Karena itu semakin patuh wadah itu semakin baiklah ia. Jadi, murid/nara didik hanya menghafal seluruh yang diceritrakan oleh gurunya tanpa mengerti. Nara didik adalah obyek dan bukan subyek. Pendidikan yang demikian itulah yang disebut oleh Freire sebagai pendidikan “gaya bank”. Disebut pendidikan gaya bank sebab dalam proses belajar mengajar guru tidak memberikan pengertian kepada nara didik, tetapi memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada siswa untuk disimpan yang kemudian akan dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan. Nara didik adalah pengumpul dan penyimpan sejumlah pengetahuan, tetapi pada akhirnya nara didik itu sendiri yang “disimpan” sebab miskinnya daya cipta. Karena itu pendidikan gaya bank menguntungkan kaum penindas dalam melestarikan penindasan terhadap sesamanya manusia.
Pendidikan “gaya bank” itu ditolak dengan tegas oleh Paulo Freire. Penolakannya itu lahir dari pemahamannya tentang manusia. Ia menolak pandangan yang melihat manusia sebagai mahluk pasif yang tidak perlu membuat pilihan-pilihan atas tanggung jawab pribadi mengenai pendidikannya sendiri. Bagi Freire manusia adalah mahluk yang berelasi dengan Tuhan, sesama dan alam. Dalam relasi dengan alam, manusia tidak hanya berada di dunia tetapi juga bersama dengan dunia. Kesadaran akan kebersamaan dengan dunia menyebabkan manusia berhubungan secara kritis dengan dunia. Manusia tidak hanya bereaksi secara refleks seperti binatang, tetapi memilih, menguji, mengkaji dan mengujinya lagi sebelum melakukan tindakan. Tuhan memberikan kemampuan bagi manusia untuk memilih secara reflektif dan bebas. Dalam relasi seperti itu, manusia berkembang menjadi suatu pribadi yang lahir dari dirinya sendiri. Bertolak dari pemahaman yang demikian itu, maka ia menawarkan sistem pendidikan alternatif sebagai pengganti pendidikan “gaya bank” yang ditolaknya. Sistem pendidikan alternatif yang ditawarkan Freire disebut pendidikan “hadap-masalah”.

c. Pendidikan “Hadap-Masalah”: Suatu Pendidikan Alternatif.

Pendidikan “hadap-masalah” sebagai pendidikan alternatif yang ditawarkan oleh Freire lahir dari konsepsinya tentang manusia. Manusia sendirilah yang dijadikan sebagai titik tolak dalam pendidikan hadap-masalah. Manusia tidak mengada secara terpisah dari dunia dan realitasnya, tetapi ia berada dalam dunia dan bersama-sama dengan realitas dunia. Realitas itulah yang harus diperhadapkan pada nara didik supaya ada kesadaran akan realitas itu. Konsep pedagogis yang demikian didasarkan pada pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi untuk berkreasi dalam realitas dan untuk membebaskan diri dari penindasan budaya, ekonomi dan politik.
Kesadaran tumbuh dari pergumulan atas realitas yang dihadapi dan diharapkan akan menghasilkan suatu tingkah laku kritis dalam diri nara didik. Freire membagi empat tingkatan kesadaran manusia, yaitu :

1) Kesadaran intransitif, 
Dimana seseorang hanya terikat pada kebutuhan jasmani, tidak sadar akan sejarah dan tenggelam dalam masa kini yang menindas.

2) Kesadaran semi intransitif atau kesadaran magis
Kesadaran ini terjadi dalam masyarakat berbudaya bisu, dimana masyarakatnya tertutup. Ciri kesadaran ini adalah fatalistis. Hidup berarti hidup di bawah kekuasaan orang lain atau hidup dalam ketergantungan.

3) Kesadaran Naif.

 Pada tingkatan ini sudah ada kemampuan untuk mempertanyakan dan mengenali realitas, tetapi masih ditandai dengan sikap yang primitif dan naif, seperti: mengindentifikasikan diri dengan elite, kembali ke masa lampau, mau menerima penjelasan yang sudah jadi, sikap emosi kuat, banyak berpolemik dan berdebat tetapi bukan dialog.

4) Kesadaran kritis transitif. 

Kesadaran kritis transitif ditandai dengan kedalaman menafsirkan masalah-masalah, percaya diri dalam berdiskusi, mampu menerima dan menolak. Pembicaraan bersifat dialog. Pada tingkat ini orang mampu merefleksi dan melihat hubungan sebab akibat.
Bagi Freire pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang menumbuhkan kesadaran kritis transitif. Memang ia tidak bermaksud bahwa seseorang langsung mencapai tingkatan kesadaran tertinggi itu, tetapi belajar adalah proses bergerak dari kesadaran nara didik pada masa kini ke tingkatan kesadaran yang di atasnya. Dalam proses belajar yang demikian kontradiksi guru-murid (perbedaan guru sebagai yang menjadi sumber segala pengetahuan dengan murid yang menjadi orang yang tidak tahu apa-apa) tidak ada. Nara didik tidak dilihat dan ditempatkan sebagai obyek yang harus diajar dan menerima. Demikian pula sebaliknya guru tidak berfungsi sebagai pengajar. Guru dan murid adalah sama-sama belajar dari masalah yang dihadapi. Guru dan nara didik bersama-sama sebagai subyek dalam memecahkan permasalahan. Guru bertindak dan berfungsi sebagai koordinator yang memperlancar percakapan dialogis. Ia adalah teman dalam memecahkan permasalahan. Sementara itu, nara didik adalah partisipan aktif dalam dialog tersebut.
Materi dalam proses pendidikan yang demikian tidak diambil dari sejumlah rumusan baku atau dalil dalam buku paket tetapi sejumlah permasalahan. Permasalahan itulah yang menjadi topik dalam diskusi dialogis itu yang diangkat dari kenyataan hidup yang dialami oleh nara didik dalam konteksnya sehari-hari, misalnya dalam pemberantasan buta huruf. Pertamatama peserta didik dan guru secara bersama-sama menemukan dan menyerap tema-tema kunci yang menjadi situasi batas (permasalahan) nara didik. Tema-tema kunci tersebut kemudian didiskusikan dengan memperhatikan berbagai kaitan dan dampaknya. Dengan proses demikian nara didik mendalami situasinya dan mengucapkannya dalam bahasanya sendiri. Inilah yang disebut oleh Freire menamai dunia dengan bahasa sendiri. Kata-kata sebagai hasil penamaan sendiri itu kemudian dieja dan ditulis. Proses demikian semakin diperbanyak sehingga nara didik dapat merangkai kata-kata dari
hasil penamaannya sendiri.

d. Relevansi Pemikiran Freire dalam Konteks Indonesia.

Allen J.Moore mengatakan bahwa konsep Freire yang dirumuskan dalam konteks Amerika Latin tidak bisa
diterapkan begitu saja dalam konteks yang berbeda sebab situasinya dan permasalahannya tidak sama.
Peringatan Moore ini adalah satu kendali supaya kita tidak bertindak naif dalam menganalisis suatu permasalahan dalam konteks yang khas. Hal itu sekaligus menjadi peringatan supaya kritikan Freire dapat dipakai secara kritis dalam menganalisis permasalahan pendidikan di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Memang harus diakui bahwa konteks permasalahan Amerika Latin, khususnya Brasilia tidak sama persis dengan permasalahan dalam masyarakat Indonesia, tetapi dalam banyak hal kita menemukan persamaan. Masyarakat Indonesia yang terdiri atas suku-suku adalah masyarakat hierarkis yang nampak dalam strata sosial yang mempunyai sebutan khas di berbagai daerah.  Walaupun strata sosial ini sudah tidak terlalu nampak tetapi justru telah lahir suatu strata sosial baru yang prakteknya hampir sama dengan feodalisme tradisional. Pemegang kendali dalam feodalisme modern adalah kelompok pedagang/pengusaha yang menguasai ekonomi lebih dari setengah kekayaan yang ada. Kelompok tersebut mengakumulasikan kekayaan kurang lebih 80 % kekayaan Indonesia padahal jumlah mereka tidak lebih dari 20 % dari jumlah penduduk. Kedua kelompok “penindas” tersebut semakin memperkokoh kekuasaannya sebab secara praktik hanya mereka yang mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi yang sangat mahal dan terpola dalam sistem kekuasaan itu. Generasi itulah yang kemudian menjadi pewaris “tahta penindasan”. Kalau ada dari kelompok rakyat kecil yang mampu mengecap pendidikan tinggi, ia akan berubah menjadi pemegang kendali feodalisme baru itu baik dalam rangka balas dendam maupun dalam “penindasan” terhadap sesamanya kaum “tertindas”.
Salah satu kritikan Freire adalah pendidikan yang berupaya membebaskan kaum tertindas untuk menjadi penindas baru. Bagi Freire pembebasan kaum tertindas tidak dimaksudkan supaya ia bangkit menjadi penindas yang baru, tetapi supaya sekaligus membebaskan para penindas dari kepenindasannya.
Dalam proses belajar mengajar, pemerintah Republik Indonesia telah mengupayakan untuk menerapkan pendekatan cara belajar siswa aktif (CBSA), tetapi hanya metodenya sajalah yang CBSA. Sementara materi yang disampaikan masih merupakan barang asing yang tidak lahir dari dalam konteks dimana manusia itu ada sehingga pada akhirnya siswa kembali menjadi “bank” penyimpanan sejumlah pengetahuan. Memang siswa aktif belajar dan mungkin berdiskusi dalam kelas tetapi yang  didiskusikan dan dipelajari dalam kelas adalah sejumlah dalil dan rumus yang tidak punya hubungan dengan kehidupannya. Lagi pula relasi guru-siswa adalah pengajar dan yang diajar. Siswa adalah yang belum tahu dan harus diberitahu sedangkan guru adalah yang sudah tahu dan akan memberitahukan. Bukankah itu semua yang disebut oleh Paulo Freire dengan pendidikan “gaya bank”?
Marthen Manggeng/www.oaseonline.org/
dan berbagai sumber.