Semakin dewasanya dunia seakan memaksa manusia sebagai insan yang sangat konsumerisme dan meterialistik, saya bukanlah seorang penganut paham marxisme yang patuh atau mungkin filsuf lainnya seperti aristoteles, Spinoza atau bahkan Erich Fromm yang sangat mengerti betul deretan karya Karl Marx mengenai sosialis dan humanis.
Pada awalnya, Berkembangnya sebuah peradaban dari abad ke abad membuat sebuah tatanan sosialis seakan berjalan mengikuti waktu dengan taat, dapat kita lihat pada abad ke-19 dimana sosialisme sampai pada akhir perang dunia I begitu bermakna humanis dan semacam gerakan spiritual pada beberapa benua, namun semakin cepat berjalannya waktu pada abad ke20-21 sosialisme kalah ketika berhadapan dengan semangat kapitalis yang dalam perjalanan awal ingin digusur oleh sosialisme, bahkan sosialisme dalam perjalanan sejarahnya tidak lagi dipandang sebagai gerakan pembebasan martabat namun banyak kalangan yang menganggap sebagai eksklufif gerakan kebangkitan ekonomi kelas buruh yang dengan sendirinya tujuan sosialisme dan humanistic terlupakan dan hanya sebgai pemanis bibir saja, yakni kembali menjadikan ekonomi sebagai tujuan utamanya.
Layaknya cita-cita demokrasi yang kehilangan akar spiritualitasnya, demikian pun cita-cita sosialisme kehilangan kedalamannya yaitu profetis-mesianis-perdamaian, keadilan dan persaudaraan manusia. Lebih jelasnya sosialisme dan humanistic digunakan sebagai alat mendongkrak ekonomi beberapa kelas dan telah melangkah jauh dari cita-cita dan tujuan awal mereka.
Itulah manusia dengan sifat aslinya, namun lebih daripada hal diatas yang saya paparkan saya akan berusaha untuk menjelaskan secara singkat dalam tulisan ini tentang bagaimana “Memanusiakan Manusia dan Menjayakan Manusia”. Diantara pembaca tulisan ini seakan bertanya keras nan bisu dalam sebuah tempat terdalam dihatinya tentang kata “Memanusiakan Manusia”. Yah, kata diatas saya ambil karena sebuah kesedihan mendalam ketika hari ini manusia telah melangkah terlalu jauh, bertindak terlalu gila atas realita hidup yang mengelilinginya. Memanusiakan adalah kata yang mewakili tulisan ini, semoga setiap paragraph singkat ini dapat menyadaprkan dan menumbuhkan jiwa-jiwa atau sisi kemanusiaan dalam diri kita masing-masing sehingga sepatutnya sadar bahwa apa yang sebenarnya kita hadapai tak lebih dari kebodohan dan keserakahan kita yang dahulu menginisiasi langkah serakah kita.
Alur tulisan saya kali ini adalah befokus pada kegiatan manusia pada abad ke 21 menuju abad 20 agar kiranya manusia menyadari apa langkah-langkah penuh penyesalan yang telah mereka perbuat. Pada tahapan awal saya akan masuk sedikit lebih dalam tentang kerusakan/factor pengrusak ketertiban dan kedamaian yang bahkan dimana PBB pun seakan menutup erat mata dan telinga mereka dari fenomena ini, Yah, Potensi Nuklir dan Bom Atom. Sebuah prestasi terbesar intelek manusia dimana senjata nuklir menjadi bahan untuk saling mengancam, saling membunuh dan saling menakuti negara lain dan disatu sisi mereka seakan tak menyadari bahwa realitanya yang menjadi tuan atas mereka semua adalah nuklir tersebut, manusia yang menciptakan nuklir namun sekarang dapat dilihat bahwa nuklirlah yang menjadi tuan, bukan lagi hamba. Kekuatan maha dasyat manusia seakan menjadi musuh umat manusia, dan sepatutnya kita berfikir bahwa masih adakah waktu untuk membalikkan arus ini.? Dapatkah kita kembali mengubahnya dan menjadi tuan atas situasi, bukannya situasi yang mengatur kita.? Mampukah kita mengatur barbarism yang semakin mengakar, yang membuat kita coba menyelesaikan masalah hanya dengan satu cara yang nyatanya tidak mampu menyelesaikan persoalan, kekerasan dan kekuatan atas senjata dan pembunuhan?
“sepatutnya kita merenung dan berfikir sejenak persoalan yang dihadapi oleh umat manusia”