Tuesday, April 9, 2019


Jauh sebelum Eropa terbuka matanya mencari dunia baru, warga pribumi nusantara hidup dalam kedamaian. Situasi ini berubah drastis saat orang-orang Eropa mulai berdatangan dengan dalih berdagang, namun membawa pasukan tempur lengkap dengan senjatanya. Hal yang ironis, tokoh yang menggerakkan roda sejarah dunia masuk ke dalam kubangan darah adalah dua orang Paus yang berbeda. Pertama, Paus Urbanus II, yang mengobarkan perang salib untuk merebut Yerusalem dalam Konsili Clermont tahun 1096. Dan yang kedua, Paus Alexander VI.

Dalam tempo beberapa tahun saja, Belanda telah menjajah Hindia Timur dan hal itu berlangsung lama hingga baru merdeka pada tahun 1945. Perang Salib tanpa disadari telah membuka mata orang Eropa tentang peradaban yang jauh lebih unggul ketimbang mereka. Eropa mengalami pencerahan akibat bersinggungan dengan orang-orang Islam dalam Perang Salib ini. Merupakan fakta jika jauh sebelum Eropa berani melayari samudera, bangsa Arab telah dikenal dunia sebagai bangsa pedagang pemberani yang terbiasa melayari samudera luas hingga ke Nusantara.

Bahkan kapur barus yang merupakan salah satu zat utama dalam ritual pembalseman para Fir’aun di Mesir pada abad sebelum Masehi, didatangkan dari satu kampung kecil bernama Barus yang berada di pesisir barat Sumatera tengah. Dari pertemuan peradaban inilah bangsa Eropa mengetahui jika ada satu wilayah di selatan bola dunia yang sangat kaya dengan sumber daya alamnya, yang tidak terdapat di belahan dunia manapun.

Negeri itu penuh dengan karet, lada, dan rempah-rempah lainnya, selain itu Eropa juga mencium adanya emas dan batu permata yang tersimpan di perutnya. Tanah tersebut iklimnya sangat bersahabat, dan alamnya sangat indah. Wilayah inilah yang sekarang kita kenal dengan nama Nusantara. Mendengar semua kekayaan ini Eropa sangat bernafsu untuk mencari semua hal yang selama ini belum pernah didapatkannya.

Paus Alexander VI pada tahun 1494 memberikan mandat resmi gereja kepada Kerajaan Katolik Portugis dan Spanyol melalui Perjanjian Tordesillas. Dengan adanya perjanjian ini, Paus Alexander dengan seenaknya membelah dunia di luar daratan Eropa menjadi dua kapling untuk dianeksasi. Garis demarkasi dalam perjanjian Tordesilas itu mengikuti lingkaran garis lintang dari Tanjung Pulau Verde, melampaui kedua kutub bumi. Ini memberikan Dunia Baru kini disebut Benua Amerika kepada Spanyol. Afrika serta India diserahkan kepada Portugis.

Paus menggeser garis demarkasinya ke arah timur sejauh 1.170 kilometer dari Tanjung Pulau Verde. Brazil pun jatuh ke tangan Portugis. Jalur perampokan bangsa Eropa ke arah timur jauh menuju kepulauan Nusantara pun terbagi dua. Spanyol berlayar ke Barat dan Portugis ke Timur, keduanya akhirnya bertemu di Maluku, di Laut Banda. Sebelumnya, jika dua kekuatan yang tengah berlomba memperbanyak harta rampokan berjumpa tepat di satu titik maka mereka akan berkelahi, namun saat bertemu di Maluku, Portugis dan Sanyol mencoba untuk menahan diri.

Pada 5 September 1494, Spanyol dan Portugal membuat perjanjian Saragossa yang menetapkan garis anti-meridian atau garis sambungan pada setengah lingkaran yang melanjutkan garis 1.170 kilometer dari Tanjung Verde. Garis itu berada di timur dari kepulauan Maluku, di sekitar Guam.

Sejak itulah, Portugis dan Spanyol berhasil membawa banyak rempah-rempah dari pelayarannya. Seluruh Eropa mendengar hal tersebut dan mulai berlomba-lomba untuk juga mengirimkan armadanya ke wilayah yang baru di selatan.

Ketika Eropa mengirim ekspedisi laut untuk menemukan dunia baru, pengertian antara perdagangan, peperangan, dan penyebaran agama Kristen nyaris tidak ada bedanya. Misi imperialisme Eropa ini sampai sekarang kita kenal dengan sebutan “Tiga G”: Gold, Glory, Gospel. Seluruh penguasa, raja-raja, para pedagang, yang ada di Eropa membahas tentang negeri selatan yang sangat kaya raya ini.

Mereka berlomba-lomba mencapai Nusantara dari berbagai jalur. Sayang, saat itu belum ada sebuah peta perjalanan laut yang secara utuh dan detil memuat jalur perjalanan dari Eropa ke wilayah tersebut yang disebut Eropa sebagai Hindia Timur. Peta bangsa-bangsa Eropa baru mencapai daratan India, sedangkan daerah di sebelah timurnya masih gelap.

Dibandingkan Spanyol, Portugis lebih unggul dalam banyak hal. Pelaut-pelaut Portugis yang merupakan tokoh-tokoh pelarian Templar (dan mendirikan Knight of Christ), dengan ketat berupaya merahasiakan peta-peta terbaru mereka yang berisi jalur-jalur laut menuju Asia Tenggara.

Peta-peta tersebut saat itu merupakan benda yang paling diburu oleh banyak raja dan saudagar Eropa. Namun ibarat pepatah,“Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga”, maka demikian pula dengan peta rahasia yang dipegang pelaut-pelaut Portugis.

Sejumlah orang Belanda yang telah bekerja lama pada pelaut-pelaut Portugis mengetahui hal ini. Salah satu dari mereka bernama Jan Huygen van Linschoten. Pada tahun 1595 dia menerbitkan buku berjudul Itinerario naer Oost ofte Portugaels Indien, Pedoman Perjalanan ke Timur atau Hindia Portugis, yang memuat berbagai peta dan deksripsi amat rinci mengenai jalur pelayaran yang dilakukan Portugis ke Hindia Timur, lengkap dengan segala permasalahannya.

Buku itu laku keras di Eropa, namun tentu saja hal ini tidak disukai Portugis. Bangsa ini menyimpan dendam pada orang-orang Belanda. Berkat van Linschoten inilah, Belanda akhirnya mengetahui banyak persoalan yang dihadapi Portugis di wilayah baru tersebut dan juga rahasia-rahasia kapal serta jalur pelayarannya.

Para pengusaha dan penguasa Belanda membangun dan menyempurnakan armada kapal-kapal lautnya dengan segera, agar mereka juga bisa menjarah dunia selatan yang kaya raya, dan tidak kalah dengan kerajaan-kerajaan Eropa lainnya.

Pada tahun 1595 Belanda mengirim satu ekspedisi pertama menuju Nusantara yang disebutnya Hindia Timur. Ekspedisi ini terdiri dari empat buah kapal dengan 249 awak dipimpin Cornelis de Houtman, seorang Belanda yang telah lama bekerja pada Portugis di Lisbon. Lebih kurang satu tahun kemudian, Juni 1596, de Houtman mendarat di pelabuhan Banten yang merupakan pelabuhan utama perdagangan lada di Jawa, lalu menyusur pantai utaranya, singgah di Sedayu, Madura, dan lainnya. Kepemimpinan de Houtman sangat buruk.

Dia berlaku sombong dan besikap semaunya pada orang-orang pribumi dan juga terhadap sesama pedagang Eropa. Sejumlah konflik menyebabkan dia harus kehilangan satu perahu dan banyak awaknya, sehingga ketika mendarat di Belanda pada tahun 1597, dia hanya menyisakan tiga kapal dan 89 awak. Walau demikian, tiga kapal tersebut penuh berisi rempah-rempah dan benda berharga lainnya.

Orang-orang Belanda berpikiran, jika seorang de Houtman yang tidak cakap memimpin saja bisa mendapat sebanyak itu, apalagi jika dipimpin oleh orang dan armada yang jauh lebih unggul. Kedatangan kembali tim de Houtman menimbulkan semangat yang menyala-nyala di banyak pedagang Belanda untuk mengikut jejaknya. Jejak Houtman diikuti oleh puluhan bahkan ratusan saudagar Belanda yang mengirimkan armada mereka ke Hindia Timur. Dalam tempo beberapa tahun saja, Belanda telah menjajah Hindia Timur dan hal itu berlangsung lama hingga baru merdeka pada tahun 1945

Pilar Kapitalisme ada lima :
Private Proverty
Self Interest (The Invisible Hands)
Economic Individualism
Competition and Free Market
The Price System
Government-rulemaker-profektor
Goals of Our Economic System
Pada sebuah perekonomian kapitalistik, hal-hal yang dimiliki orang dapat berupa barang atau sumber daya. Pihak didalamnya memainkan peran berganda :

1. Pemerintah melindungi private property
2. Pemerintah membatasi kepemilikkan dan penjualan barang-barang dan jasa-jasa yang mempengaruhi kesehatan, keamanan, dan HAM.

Sistem eknomi kapitalis adalah sebuah organisasi "raksasa" buatan manusia. Sistem kapitalis tidak terlepas dari gejala konjugtur. [konjungtur adalah gerak gelombang kehidupan ekonomi. Hak miliki privat memungkinkan semua orang untuk mengendalikan apa saja yang dimilikinya, menikmati manfaatnya, melaksanakan kontrak-kontrak, sehubungan dengan atau menjualnya atau mewariskannya pihak lain.

Setiap individu apabila diperbolehkan mengejar kepentingan dirinya sendiri tanpa campur tangan pemerintah seakan-akan dibina oleh tangan tak terlihat dalam upaya mencapai hal yang terbaik bagi masyarakat. The Price System = The Market System / Sistem Reward dan Penalti
Setiap barang atau jasa atau sumber daya ekonomi memiliki harga.

The Price System adalah sebuah mekanisme yang sangat menakjubkan. Ia pada intinya adalah sebuah sistem imbalan dan hukuman. Imbalan berupa laba bagi perusahaan-perusahaan dan individu-individu yang mampu bertahan dan hukuman dalam bentuk kerugian atau kemungkinan kebangkrutan (gulung tikar bagi mereka yang tidak stabil).

Doktrin Laissez Faire menyatakan bahwa fungsi-fungsi pemerintah didalam seluruh sistem kapitalis hanya terbatas hingga :

-Tindakan menjaga ketertiban dan keamanan
-Merugikan hak-hak kepemilikkan
-Memajukan persaingan
-Mengeluarkan uang
-Mengumpulkan dana melalui perpajakan

Kapitalisme jaman dulu sangat berbeda dengan kapitalisme kini. Laissez Faire non intervensi pemerintah dalam kehidupan ekonomi, kapitalisme masa kini (kapitalisme modern), pemerintah juga memiliki peran yang lebih penting yaitu mengatur jalannya roda perekonomian yang tidak begitu saja diserahkan kepada sistem pasar dan sistem harga.

Di Amerika Serikat distribusi pendapatan, aktivitas makro ekonomi sangat terencana sedangkan keputusan lain diserahkan kepada pasar atau mekanisme pasar.

9:56:00 AM 0 Comments

A.     Hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum memang dilindungi oleh konstitusi, yakni dalam Pasal 28E UUD 1945. Lebih jauh mengenai mekanisme pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum diatur dalam UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (“UU 9/1998”).

Memang, dalam pelaksanaannya, penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi) dapat menimbulkan kericuhan dan diperlukan adanya pengamanan. Untuk itu, pemerintah memberikan amanat kepada Polri dalam Pasal 13 ayat (3) UU 9/1998 yakni dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jawab menyelenggarakan pengamanan untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum sesuai dengan prosedur yang berlaku.

Terkait pelaksanaan demonstrasi sebagai perwujudan penyampaian pendapat di muka umum kemudian ditetapkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum (“Perkapolri 9/2008”) sebagai pedoman dalam rangka pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum dan pedoman dalam rangka pemberian standar pelayanan, pengamanan kegiatan dan penanganan perkara (dalam penyampaian pendapat di muka umum, agar proses kemerdekaan penyampaian pendapat dapat berjalan dengan baik dan tertib (lihat Pasal 2 Perkapolri 9/2008).

Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum oleh warga negara (demonstrasi), aparatur pemerintah (dalam hal ini Polri) berkewajiban dan bertanggung jawab untuk (Pasal 13 Perkapolri 9/2008):

a.      melindungi hak asasi manusia;

b.      menghargai asas legalitas;

c.      menghargai prinsip praduga tidak bersalah; dan

d.      menyelenggarakan pengamanan.

Sehingga, dalam menangani perkara penyampaian pendapat di muka umum harus selalu diperhatikan tindakan petugas yang dapat membedakan antara pelaku yang anarkis dan peserta penyampaian pendapat di muka umum lainnya yang tidak terlibat pelanggaran hukum (Pasal 23 ayat [1] Perkapolri 9/2008);

a.      terhadap peserta yang taat hukum harus tetap di berikan perlindungan hukum;

b.      terhadap pelaku pelanggar hukum harus dilakukan tindakan tegas dan proporsional;

c.      terhadap pelaku yang anarkis dilakukan tindakan tegas dan diupayakan menangkap pelaku dan berupaya menghentikan tindakan anarkis dimaksud.

Dan perlu diperhatikan bahwa pelaku pelanggaran yang telah tertangkap harus diperlakukan secara manusiawi (tidak boleh dianiaya, diseret, dilecehkan, dan sebagainya).

Melihat kondisi di lapangan pada saat terjadi demonstrasi, memang kadangkala diperlukan adanya upaya paksa. Namun, ditentukan dalam Pasal 24 Perkapolri 9/2008 bahwa dalam menerapkan upaya paksa harus dihindari terjadinya hal-hal yang kontra produktif, misalnya:

a.      tindakan aparat yang spontanitas dan emosional, misalnya mengejar pelaku, membalas melempar pelaku, menangkap dengan kasar dengan menganiaya atau memukul;

b.      keluar dari ikatan satuan/formasi dan melakukan pengejaran massa secara perorangan;

c.      tidak patuh dan taat kepada perintah kepala satuan lapangan yang bertanggung jawab sesuai tingkatannya;

d.      tindakan aparat yang melampaui kewenangannya;

e.      tindakan aparat yang melakukan kekerasan, penganiayaan, pelecehan, melanggar HAM;

f.       melakukan perbuatan lainnya yang melanggar peraturan perundang-undangan;

Di samping itu, ada peraturan lain yang terkait dengan pengamanan demonstrasi ini yaitu Peraturan Kapolri No. 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa (“Protap Dalmas”). Aturan yang lazim disebut Protap itu tidak mengenal ada kondisi khusus yang bisa dijadikan dasar aparat polisi melakukan tindakan represif. Dalam kondisi apapun, Protap justru menegaskan bahwa anggota satuan dalmas dilarang bersikap arogan dan terpancing perilaku massa. Protap juga jelas-jelas melarang anggota satuan dalmas melakukan tindakan kekerasan yang tidak sesuai dengan prosedur. Bahkan hal rinci, seperti mengucapkan kata-kata kotor, pelecehan seksual, atau memaki-maki pengunjuk rasa pun dilarang.

Di samping larangan, Protap juga memuat kewajiban. Yang ditempatkan paling atas adalah kewajiban menghormati HAM setiap pengunjuk rasa. Tidak hanya itu, satuan dalmas juga diwajibkan untuk melayani dan mengamankan pengunjuk rasa sesuai ketentuan, melindungi jiwa dan harta, tetap menjaga dan mempertahankan situasi hingga unjuk rasa selesai, dan patuh pada atasan.

Jadi, pada prinsipnya, aparat yang bertugas mengamankan jalannya demonstrasi tidak memiliki kewenangan untuk memukul demonstran.

B.      Pemukulan yang dilakukan oleh aparat yang bertuga mengamankan jalannya demonstrasi adalah bentuk pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Terkait dengan hal tersebut, dapat dilaporkan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) untuk ditelusuri apakah ada pelanggaran dalam pelaksanaan prosedur pengamanan demonstrasi.

C.     Mengenai tongkat yang dibawa oleh aparat, memang berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 8 Tahun 2010 tentang Tata Cara Lintas Ganti dan Cara Bertindak Dalam Penanggulangan Huru Hara (“Perkapolri 8/2010”)¸aparat diperlengkapi antara lain dengan tameng sekat, tameng pelindung, tongkat lecut, tongkat sodok, kedok gas, gas air mata, dan pelontar granat gas air mata. Tongkat Lecut adalah tongkat rotan berwarna hitam dengan garis tengah 2 (dua) cm dengan panjang 90 (sembilan puluh) cm yang dilengkapi dengan tali pengaman pada bagian belakang tongkat, aman digunakan untuk melecut/memukul bagian tubuh dengan ayunan satu tangan kecepatan sedang. Sedangkan tongkat sodok adalah tongkat rotan berwarna hitam dengan garis tengah 3 (tiga) cm dengan panjang 200 (dua ratus) cm, aman digunakan untuk mendorong massa yang akan melawan petugas (lihat Pasal 1 angka 14 dan 15 Perkapolri 8/2010) .

Jadi, memang aparat yang bertugas mengamankan jalannya demonstrasi diperlengkapi dengan dua macam tongkat sebagaimana tersebut di atas yang digunakan selama pengamanan jalannya demonstrasi namun tidak membahayakan bagi demonstran.


Mahasiswa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang yang belajar di perguruan tinggi. Sedangkan demonstrasi dalam KKBI berarti penyataan protes yang dikemukakan secara massa, jadi dapat disimpulkan bahwa demonstrasi mahasiswa adalah pernyataan protes yang dikemukakan secara massa oleh orang yang belajar di perguruan tinggi.

Sejak dasawarsa 60-an mahasiswa sudah lekat dengan peran sebagai penyambung lidah rakyat lewat kegiatan demonstrasi-demonstrasinya. Hal tersebut tak lepas dari keberhasilan mahasiswa (dengan tentunya bantuan dari ABRI 'sekarang TNI' ) menurunkan rezim Soekarno atau yang lebih kita kenal sebagai Orde Lama.

Dan tak berhenti disana, bahkan secara konsisten pada tiap dasawarsa mahasiswa selalu hadir menyuarakan suara rakyat. Meski zaman dan para pelakunya (mahasiswa) berganti dari mulai Soe Hok Gie, Ubedilah Badrun, hingga mahasiswa-mahasiswa yang hari ini ditahun 2017 sedang mengenyam bangku kuliah. Mahasiswa selalu hadir menjadi garda terdepan dalam menyuarakan keadaan masyarakat.

Dalam kegiatan-kegiatan orientasi mahasiswa baru (Ospek/MPA/Masa Pengenalan) kita sering diperdengarkan 3 fungsi mahasiswa oleh senior-senior kampus yaitu : Agent of Change, Social Control, dan Iron Stock. Bahkan belakangan ini bertambah menjadi 4 dengan Moral Force hingga kemudian diartikan secara umum menjadi alasan utama turunnya mahasiswa ke jalan (red: demonstrasi). Sampai saat ini penulis tidak pernah tau dari mana asal fungsi ini tersebut, penulis hanya tau alasan mahasiswa turun ke jalan lewat tulisan dalam catatan harian Soe Hok Gie yang kemudian dibukukan dengan judul “Catatan Seorang Demonstran” yang berbunyi “Kalau rakyat Indonesia terlalu melarat, maka secara natural mereka akan bergerak sendiri. Dan kalau ini terjadi, maka akan terjadi chaos. Lebih baik mahasiswa yang bergerak.”

3 +1 fungsi mahasiswa tersebut mempunyai makna yang luas, komprehensif, dan butuh pemahaman yang mendalam. Sedangkan dalam kutipan Hok Gie sendiri secara simpel dapat penulis tarik kesimpulan sederhana bahwa mahasiswa hari ini turun berdemonstrasi murni untuk menyuarakan suara rakyat. Dan perlu dicatat bahwa angkatan Gie dikemudian hari menjadi awal mitos “mahasiswa penyambung suara rakyat”.

Mahasiswa UIN hari ini mengelarkan aksi penyegelan kantor GEBENUR di kutip di halaman Serambi.com bahwasa nya Ratusan mahasiswa kembali melancarkan aksi protes terhadap pemberian izin tambang PT Emas Mineral Murni (EMM) di Kantor Gubernur Aceh, Banda Aceh, Selasa (9/4/2019).

Selain berorasi, massa juga 'menyegel' kantor dinas Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah tersebut. Penyegelan dilakukan dengan digantungkan selembar spanduk di depan kantor Gubernur, tepat pada tulisan Kantor Gubernur Aceh.

Sementara beberapa mahasiswa berdiri diatas beton pagar sambil meneriakan, "Kantor Gubernur kami segel," kata mereka sambil mengepal tangan ke atas.

Hari ini kita di sadarkan bahwa pemimpin terlalu apatis dengan keadaan masyarakat yang menginginkan keterbukaan tentang sebuah ekosistem perekonomi bangsa di mana masyarakat dan mahasiswa hanya inggin merasa tahu apa yang di kelola oleh pemerintahan tampa lebih oleh karena itu pemimpim sekarang tidak lebih seperti musang yang lari ketika ada keramaian. Tidak lebih seperti masa ketika Hitler mulai membuas maka kelompok Inge School berkata tidak. Mereka (pemuda-pemuda Jerman ini) punya keberanian untuk berkata "tidak". Mereka, walaupun masih muda, telah berani menentang pemimpin-pemimpin gang-gang bajingan, rezim Nazi yang semua identik. Bahwa mereka mati, bagiku bukan soal. Mereka telah memenuhi panggilan seorang pemikir. Tidak ada indahnya (dalam arti romantik) penghukuman mereka, tetapi apa yang lebih puitis selain bicara tentang kebenaran.

Agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi “manusia-manusia yang biasa”. Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia.
Soe Hok Gie

Monday, April 8, 2019


Secara psikologis Cinta ialah emosi (romantik) yang pasti dirasakan manusia, penyebabnya bermacam-macam ada rasa nyaman, akrab, bahkan nafsu . Namun, sejatinya Cinta itu misteri datang tak diinginkan hilang tak disangka-sangka kadang membawa keindahan kadang membawa kesedihan. MISTERI

Ini adalah suatu kisah seorang insan manusia yang mencintai seseorang yang tak pernah bisa untuk dimiliki.

Jika kalian sering kali mencintai seseorang yang tidak mungkin dimiliki dan bingung "kenapaaa?" mungkin jawaban dibawah membantu kalian.

1. Kita menikmati sensasi dari pengejaran.

Tidak ada yang berharga yang mudah didapatkan. Orang-orang menyukai tantangan, dan lebih suka menang. Bagi pikiran manusia, sesuatu yang terlalu mudah diperoleh dianggap kurang berharga daripada sesuatu yang harus diusahakan dengan keras.


Hal yang sama berlaku untuk kedekatan: Mendapat respon bagus dari seseorang yang perhatiannya kita coba dapatkan seperti dianugerahi piala. Menyenangkan, mengagumkan, bahagia. Sesimpel itu.

2. Kita memiliki rasa takut akan komitmen.

Kadang-kadang, kita begitu mementingkan nilai suatu hal, sehingga kita hidup dalam ketakutan yang terus-menerus pada hari kita akhirnya mendapatkannya. Beberapa orang menolak pernikahan karena alasan yang tepat ini. Ketakutan berasal dari rasa tidak mampu kita, dan prospek merusak "mimpi". Banyak hubungan gagal karena gagasan seseorang tentang seseorang jauh melebihi kenyataan dari orang itu.

Karena hal ini beberapa dari kita lebih menikmati proses mendapatkan daripada proses menjalankan. Oh, manusia.

3. Harga Diri.

Kita tidak berbicara tentang kesombongan yang mendorong orang untuk mengambil rumah dengan luas 5ha. atau membagikan uang setiap 3 hari sekali. Tapi ini soal kesombongan perasaan yang terhubung dengan rasa harga diri kita, dan memengaruhi cara kita memandang diri sendiri.

Secara alami, kita adalah makhluk yang sia-sia: kita suka merasa istimewa, menarik, dan penting. Faktanya adalah, ketika kita jatuh cinta pada seseorang yang “tidak terjangkau” dan kasih sayang kita tidak dibalas, kita mulai mempertanyakan keinginan kita.

Pertanyaan-pertanyaan seperti, "Apakah saya tidak layak untuk orang itu?" Atau "Apa yang salah dengan saya?" Suatu cara kita mensiasati keadaan adalah dengan melanjutkan pencarian imajinasi terhadap orang yang tidak dapat dicapai dengan harapan bahwa konsistensi imajinasi semata-mata akan mengubah narasi cerita.

4. Insecure

Terkadang, kita menjadi begitu diliputi oleh keraguan diri dan kebencian diri sehingga kita melupakan satu hal penting: kita layak dicintai.

Beberapa orang begitu terbiasa meragukan harga diri mereka sendiri sehingga satu-satunya cara mereka dapat melawannya adalah dengan mendapatkan sesuatu yang sebelumnya telah dicoba dan gagal dicapai oleh orang lain.

Memaksakan keadaan lebih tepatnya, "YANG PENTING YAKIN" nah ini semboyan utama mereka.

5. Sederhana saja: pertimbangkan hukum penawaran dan permintaan.

Anda mungkin bertanya-tanya apa hubungan ekonomi dengan emosi. Sebenarnya banyak. Dalam psikologi sosial, itu disebut sebagai "prinsip kelangkaan". Kita cenderung menginginkan hal-hal ketika mereka susah didapatkan yang menjelaskan mengapa item "limited edition" selalu begitu populer dan harganya lebih tinggi daripada barang biasa.

Pada dasarnya, itu adalah sifat manusia untuk merasakan sesuatu yang tidak bisa kita miliki sebagai lebih berharga. Bahkan ketika ada alternatif yang lebih "nyaman", kebanyakan dari kita masih akan memilih yang "tidak tersedia".

Dari perspektif ini, tidak sulit untuk memahami mengapa kita merasa bahwa seseorang yang lebih sulit untuk mendapatkannya secara otomatis dianggap lebih menarik.

Pada dasarnya.. Kita sebagai manusia memang terlahir dalam keadaan tidak tergapai untuk seseorang, namun kita lebih memilih untuk mencoba menggapai sesuatu yang tidak tergapai bagi kita.
Jika kita merenung sejenak, mengapa kita menggapai sesuatu yang tidak tergapai. Sementara.. Ada orang yang berusaha menggapai kita mati-matian.

Roses are red
Violets are blue
If you love to get
Start with grateful.

Menurut kalian gimana sih FALLING IN LOVE WITH PEOPLE WE CAN'T HAVE ituitu ?

APAKAH ANARKIS ITU “KIRI”
Menjawab persinggungan anarkisme dan sosialisme, serta identitas kiri

Pertanyaan ini selalu muncul. Dan sering dijadikan legitimasi bahwa para anarkis “berbohong” mengenai isu yang diperjuangkan. Para anarkis dianggap tidak peduli dengan penindasan kapitalisme hanya karena “anarkis bukan kiri” (dan ini yang sering digunakan para anti anarkis online. WTF). Tapi, bagaimana sebenarnya anarkisme menempatkan diri di dalam “spektrum politis” terutama saat melawan kapitalisme? Artikel ini bisa disebut sebagai rangkuman dari Anarchist FAQ “Apakah Kaum Anarkis Sosialis juga Sosialis?” (Bagian A.1.4)

Pada dasarnya semua “cabang” anarkis menolak kapitalisme (anarko kapitalisme yang ditolak oleh para anarkis akan saya bahas lain waktu). Dasar penolakan ini adalah kapitalisme didasarkan dari penindasan dan eksploitasi. Proudhon mengatakan bahwa anarkisme melihat “eksploitasi kapitalistis dan kepemilikan berhenti di mana-mana (dan) sistem upah dihapuskan”. Karena “baik pekerja … akan dengan mudahnya bekerja pada pemilik-kapitalis-penyelenggara; atau ia akan ikut serta… pada kasus pertama pekerja disubordinasi, tereksploitasi : kondisi permanennya adalah kepatuhan…dalam kasus kedua ia mengembalikan martabatnya sebagai seorang manusia dan warga negara… ia merupakan bagian organisasi produksi, di mana ia berada sebelumnya namun sebagai buruh… kita tidak perlu ragu, karena kita tidak punya pilihan… memang perlu membentuk suatu SERIKAT di antara para buruh… karena tanpa itu, mereka akan tetap berhubungan sebagai sub ordinat dan superior, dan akan muncul dua… kasta tuan dan buruh upahan, yang merupakan hal menjijikkan bagi masyarakat yang bebas dan demokratis”.  Berkman menambahkan “Oleh karenanya semua kaum kaum anarkis anti kapitalis. Jika buruh memiliki kesejahteraan yang dihasilkan, tidak ada kapitalisme”

Voltairine d Cleyre mengatakan “pekerja sejati akan mengatur diri sendiri, memutuskan kapan, dimana, dan bagaimana sesuatu akan dikerjakan “. Seorang anarkis individual, Joseph A Labadie mengatakan “Dikatakan bahwa anarkisme bukan sosialisme. Hal ini adalah kesalahan. Anarkisme adalah sosialisme sukarela. Ada dua jenis sosialisme, arkistis dan anarkistis, otoriter dan liberal, negara dan bebas. Malah, setiap proposisi bagi perbaikan sosial adalah menambah atau mengurangi kekuasaan kehendak eksternal dan pemaksaan terhadap individu. Karena mereka menambahnya, mereka disebut arkistis; jika mereka menguranginya mereka anarkistis”. (Anarchism: What It Is and What It Is Not”) dan menambahkan Labadie menyatakan di banyak kesempatan bahwa “semua anarkis adalah sosialis namun tidak semua sosialis adalah anarkis”.

Dari pernyataan para pemikir awal anarkis ini, bisa dilihat bahwa kaum anarkis mengedepankan sosialisme sebagai praktik. Sosialisme anarkisme menolak semua birokrasi otoritarian yang mengatasnamakan serikat pekerja. Anarkisme menyetujui adanya serikat. Terutama di dalam perjuangan melawan kapitalisme. Tapi bukan berarti serikat menjadi “tuan” baru bagi para pekerja dengan memaksakan kekuasaan kehendak eksternal (bentuk serikat) diatas kehendak individu. Masyarakat anarkis, sesuai definisi, harus didasarkan pada perkumpulan buruh, bukan upah. Hanya buruh yang berserikat yang akan “mengurangi kekuasaan kehendak eksternal dan pemaksaan terhadap individu” selama jam kerja dan manajemen diri terhadap pekerjaan oleh mereka yang bekerja menjadi cita-cita utama dari sosialisme sejati. Perspektif ini dapat dilihat ketika Joseph Labadie berpendapat bahwa perserikatan dagang adalah “contoh meraih kebebasan dengan berserikat” dan bahwa “tanpa serikatnya, pekerja lebih merupakan seorang budak majikannya dibandingkan jika ia berserikat.” (Different Phases of The Labour Question).

Tapi, makna sosialisme bergeser. Marxisme dianggap sebagai “sosialisme sejati” dan hanya dengan komunisme kita akan mewujudkan sosialisme. Pendapat ini yang sejak awal internasionale ditolak para anarkis. Bakunin sendiri mengingatkan pemuja Marx untuk melawan “birokrasi merah” sebagai “pemerintahan despotik terburuk”. Bahkan Bakunin, Stirner, sampai Proudhon sudah meramalkan kengerian sosialisme negara. Dan terbukti, dengan hadirnya Marxis Leninisme dan Uni Soviet . tetapi, pemikiran sosialis anarkis tetap berbagi beberapa pemikiran Marxis (tanpa Leninis). Dan Bakunin serta Benjamin Tucker menerima analisis dan kritik kapitalis Marx. Sebaliknya, Marx sendiri banyak dipengaruhi oleh buku The Ego and Its Own karya Max Stirner, yang berisi kritik brilian mengenai apa yang disebut Marx sebagai komunisme “vulgar” seperti juga sosialisme negara. Ada juga elemen gerakan Marxis yang hampir sama dengan anarkisme sosial (khususnya cabang anarkisme sosial, anarki sindikalis —contohnya, Anton Pannekoek, Rosa Luxembourg, Paul Mattick, dan lain-lain yang sangat jauh berbeda dari Lenin. Oleh karena itu pada dasarnya anarkisme merupakan bentuk sosialisme, yang berdiri tegak sebagai oposisi langsung terhadap apa yang biasa didefinisikan sebagai “sosialisme” (contoh: kepemilikan dan kontrol negara). Daripada “rencana pemusatan” yang dihubungkan oleh banyak orang dengan kata “sosialisme”, kaum anarkis membela kerjasama dan serikat bebas antara individu, tempat kerja, dan komunitas sehingga dengan demikian melawan sosialisme “negara” sebagai bentuk kapitalisme negara yang di dalamnya “setiap pria (dan wanita) akan menjadi penerima upah, dan negara hanyalah pembayarnya”.

Maka, menyebut “kiri” atau sosialis tidak bisa dengan berpaku pada satu pemikiran. Anarkisme merupakan sosialisme, berdasarkan pola pikir anarkis yang menyepakati nilai-nilai sosialisme. Tetapi anarkis bukanlah sosialisme ketika sosialisme hanya dipahami sebagai sosialisme negara ala komunisme. Sebaliknya, komunisme pun tidak dapat disebut sosialis jika sosialisme dipahami sebagai penolakan segala bentuk pemusatan kapitalisme dan penindasan, termasuk negara. Membingungkan? Tidak juga. Untuk mengurangi kebingungan, sebagian besar anarkis menyebut diri sebagai “anarkis” saja karena sudah pasti seorang anarkis adalah juga sosialis.

Bagaimana dengan pertanyaan pertama tadi? apakah anarkisme itu kiri? Mungkin pernyataan dari Noam Chomsky bisa membantu:
“Jika aliran kiri dipahami dengan memasukkan ‘Bolshevisme’, maka aku akan dengan tegas memisahkan diri dari aliran kiri. Lenin adalah salah satu musuh terbesar sosialisme.”

Lagipula, bukankah kanan atau kiri hanyalah identitas dalam struktur sosial. Dan seperti biasa, para anarkis tidak peduli masalah identitas. Lalu, bagaimana? Apakah perlu disibukkan dengan kekirian anarkisme?

Dosa Lenin

Membicarakan sosialisme, terutama komunisme, tentu banyak orang yang akan menyebut Uni Soviet. Uni Soviet dikultuskan sebagai perwujudan sosialisme dalam praktik. Dan secara otomatis, Lenin menjadi “nabi” yang dianggap merealisasikan sosialisme (tentunya dengan metode komunisme). Namun, apakah benar Lenin membawa sosialisme?  Chomsky berpendapat: “Jika aliran kiri dipahami dengan memasukkan ‘Bolshevisme’, maka aku akan dengan tegas memisahkan diri dari aliran kiri. Lenin adalah salah satu musuh terbesar sosialisme.” Mengapa Lenin sebegitu dibenci oleh Chomsky, para anarkis, dan juga para sosialis bahkan marxis? Jika kita berbicara Lenin sebagai musuh sosialisme, tentu kita akan berbicara tentang produk dari Lenin: Bolshevik dan Uni Soviet.

Sosialisme bisa dibilang sebagai dasar dari segala isme kontra kapitalisme dan bentuk penindasan lain. Dan pemerintahan Uni Soviet “menggambarkan diri” sebagai sosialis yang melindungi sosialisme. Kediktatoran proletar dianggap terjadi pada Uni Soviet. Benarkah?

Marx dan Engels melihat kediktatoran proletar dengan cara yang berbeda dari pandangan diktator abad 20. Bahkan pengertian “pemerintahan” sendiri bukanlah sebuah sistem otoritarian.Marx dan  Engels berpendapat bahwa bentuk kediktatoran proletariat sangat nyata dalam komune Paris di 1871. Marx menyatakan Komune Paris sebagai “itulah pemerintahan (masyarakat) kelas pekerja” (The Civil War in France, Marx 1891) dan sangat memuji komune Paris sebagai utopia sosialisme.  Dan Engels mengatakan “akhir-akhir ini, para sosial demokrat terteror oleh kalimat: kediktatoran proletariat.  Baiklah, hadirin sekalian, apakah kalian tahu bentuk kediktatoran ini? Lihatlah komune Paris. Itulah kediktatoran proletariat”. Tapi apakah komune Paris ini seperti yang dilakukan Uni Soviet? Tegasnya, apakah Uni Soviet adalah bentuk kediktatoran proletariat yang diidamkan oleh Marx dan Engels, melihat komune Paris? Komune Paris bukanlah sebuah bentuk kediktatoran dimana satu pemimpin menentukan arah perjuangan semua orang. Seluruh masyarakat komune Paris memiliki kesempatan untuk berpartisipasi, sederhananya, demokrasi langsung. Tidak ada kepeloporan, semua benar-benar berasal dari kelas pekerja. Disini lah letak perbedaan pelaksanaan Uni Soviet dengan cita-cita Marx tentang kediktatoran proletariat.

Mengapa Uni Soviet terbentuk dengan “menyeleweng” dari bentuk kediktatoran proletariat Marx? Masalah mendasar adalah pergeseran fungsi “konspirator” dan “kolaborator” dari sebuah revolusi. Lenin beserta Bolshevik adalah konspirator yang (seharusnya) “memicu pembentukan proses revolusi”. Pekerja sebagai agen revolusi harus mengambil alih hasil produksi dan mengatur industri dalam partisipasi langsung. Dan yang utama kelas pekerja harus berproduksi  “dari masing-masing sesuai dengan kemampuannya, untuk masing-masing menurut kontribusinya.” Bolsheviksme tidak menempatkan diri sebagai itu. Dan tidak menempatkan kelas pekerja sebagaimana sosialisme menempatkan. Lenin dan para kolaborator lain menjadi “kontrol” baru bagi para pekerja Rusia. Mereka membentuk kedisiplinan baru, dan menjadi instrumen penjaga kedisiplinan. Dengan kekuatan dan pengaruhnya, Lenin (dan Trotsky) menghancurkan segala potensi libertarian demi terbentuknya partai tunggal. Tokoh seperti Roxa Luxembourg adalah korban dari aksi ini. Dan pada akhirnya Lenin, dengan bantuan Trotsky, membentuk transisi dari perlawanan revolusi menjadi “State priest”. Kondisi ini menempatkan partai sebagai “hakim pengatur dari atas” yang artinya massa adalah objek dari keteraturan ini. Semua ini terbukti setelah Oktober 1917.

Sejarawan Bolshevik, E. H. Carr, menulis “kecenderungan spontan dari pekerja untuk mengorganisir komite pabrik dan untuk ikut campur dalam manajemen pabrik menjadi hadir dengan revolusi dimana memimpin pekerja untuk percaya bahwa peralatan produktif dalam sebuah negara adalah milik mereka dan dapat dioperasikan oleh mereka atas kehendak mereka dan kemampuan mereka”. Tapi, para “state priest” lebih memahami, dan menghancurkan komite pabrik (salah satunya dimana Roxa Luxembourg berada) dan mengurangi peran organ Soviet dalam kendali mereka. Pada 3 November, Lenin mengumumkan “Draft Decree on Workers’ Control” yang menguji sejenis kontrol yang “bertanggung jawab pada negara untuk memelihara kendali tegas dan mendisiplinkan dan melindungi properti”. Pada akhir tahun, Lenin menyatakan bahwa “kita melampaui kontrol pekerja untuk menciptakan supreme council dari ekonomi nasional” yang menurut Carr adalah untuk “mengganti, menyerap, dan meniadakan sistem kontrol pekerja”. Salah satu serikat menshevik menyesalkan; kepemimpinan bolshevik menunjukkan penyesalan yang sama dalam aksi, dengan menghancurkan ide-ide sosialisme.

Chomsky menjelaskan, setelah kejadian diatas, Lenin segera mengeluarkan dekrit dimana kepemimpinan harus berdasarkan “kekuatan diktatorial” diatas pekerja, dimana harus menyetujui “kepatuhan absolut pada satu perintah” dan “dalam kepentingan sosialisme,’ harus ‘kepatuhan tak terbantahkan pada satu perintah dari pemimpin para pekerja” (bandingkan dengan cita-cita Marx). Lenin dan Trotsky merealisasikan dengan militerasi pekerja, perubahan sosial menuju tentara pekerja dibawah kendali mereka. Dan implementasi macam ini membuahkan masa-masa berdarah dalam Uni Soviet: hilangnya demokrasi, lahirnya aristrokasi partai, sampai pembantaian oposan (dimana oposisi adalah bagian dari dialektis yang dipromosikan Marx). Sedikit menyinggung aristrokasi partai, dalam buku “God That Failed” dijabarkan berbagai pengalaman para “buangan” Uni Soviet ketika berhadapan dengan partai, yang tidak lagi menjadi alat kelas pekerja menyuarakan pendapat, namun sebagai kelas elit baru yang memberi kendali pada kelas pekerja yang notabene sebagai anggota partai.  Semua sikap Lenin inilah yang menjadi “dosa” yang mengkaburkan sosialisme. Sosialisme tidak lagi dianggap pembebasan, tetapi menjadi sebuah struktur sosial baru yang opresif.

Lenin bertanggung jawab atas kaburnya nilai sosialisme dalam pemerintahan Uni Soviet. Dia meletakkan pondasi “kepemimpinan absolut” dimana pekerja kembali menjadi objek dalam sistem produksi Uni Soviet. Kegagalan dalam memahami sosialisme dalam pemikiran Leninis (yang akhirnya dimanifesti Stalin), dan kesalahpahaman model leninis, memberi dampak besar baik dalam perlawanan (marxisme) dan kehidupan sosial barat, dan tidak hanya disana. Maka perlu diambil sikap dalam menyelamatkan ide sosialis.  Jangan ada lagi aristrokasi, kontrol pekerja, dan pembredelan kebebasan dalam nama sosialisme.