Bagaimana korporat besar menjadi “anarkis” yang mengendalikan dunia
Masih terhanyut dalam “SEXY KILLER” effect? Didalamnya kita ditunjukkan bagaimana perusahaan tambang menjadi kendali atas kebijakan negara. Mungkin kita sering mendengar oligarki: pemerintahan yang dikendalikan oleh sekelompok orang kaya. Nah, kali ini saya akan membahas salah satu bentuk pemerintahan yang sedekat nadi, namun penuh dengan bayang-bayang konspirasi. Sebuah sistem pemerintahan yang pernah benar-benar mengendalikan bangsa kita selama 3 abad secara terang-terangan, sekaligus semisterius bayang-bayang New World Order. Tidak, saya tidak akan membahas Freemason atau Zionis (karena saya termasuk golongan skeptis pada konspirasi). Dan kekuatan ekonomi sebuah korporat yang lebih besar dari Indonesia. Kali ini saya akan membahas: Korporatokrasi.
Korporatokrasi dapat dipahami sesederhana kita memahami demokrasi, aristokrasi, monarki, dsb. Korporatokrasi adalah gabungan dari kata korporat dan kratia (seperti demokrasi yang gabungan demos dan kratia). Sederhananya, korporatokrasi adalah sistem pemerintahan dimana kebijakan politis dan ekonominya ditentukan oleh korporasi dan didasarkan kepentingan korporat. Sebenarnya, kata ini awalnya dipakai sebagai “sindiran” kepada sistem pemerintahan Amerika Serikat. Kata ini memiliki makna berbeda dengan korporatisme, yang didefinisikan sebagai kelompok masyarakat tertentu dengan kesamaan kepentingan. Kata ini muncul dalam The Price of Civilization karya ekonom Jeffrey Sachs. Konsep korporatokrasi digunakan sebagai kritis kepada globalisasi, Bank Dunia, dan pasar bebas.
Korporat memiliki kapital yang besar dan berkepentingan meningkatkan produksi serta perdagangan hasil produksinya. Kekuatan kapital inilah yang menjadi motor dari kapitalisme. Dalam praktik pemerintahan, kapital milik perusahaan menjadi kekuatan kontrol bagi sistem pemerintahan. Korporat memanfaatkan kekuatan finansialnya untuk mengendalikan berbagai kebijakan yang menguntungkan mereka. Kejahatan finansial, pengemplangan pajak, pengrusakan alam dalam skala industrial, dan pemodalan perang secara ilegal adalah beberapa contoh korporatokrasi bekerja. Korporat memiliki cukup kekuatan untuk mengubah hukum negara sesuai kebutuhan mereka. Dalam skala besar, korporat mampu mengendalikan kekuatan bersenjata sebuah negara, bahkan membentuk “pengamanan bersenjata” secara privat. Dan kita tidak hanya berbicara korporat yang bergerak di bitang produksi senjata, pembangunan infrastruktur, atau eksploitasi sumber daya alam saja.
Kekuatan korporat ini tidak berhenti di industri “seksi” seperti diatas. Korporasi di bidang produksi kebutuhan primer, fashion, elektronik, teknologi, sampai retail dan media massa juga memiliki kekuatan dan kepentingan untuk mengatur masyarakat sebuah negara. Mereka mampu mengendalikan keran imporr ekspor, perijinan (yang seringkali melanggar AMDAL), hingga opini publik. Penelitian oleh Corporate Watch, Global Policy Forum, dan Institute for Policy Studies (IPS) pada tahun 2000 menunjukkan fakta mengenai bangkitnya korporatokrasi yang seharusnya sudah ditekan oleh pemerintahan barat. Tapi, yang terjadi 19 tahun kemudian, adalah korporasi benar-benar mengendalikan pemerintahan secara luas. Kekuatan korporasi ini sukses mempertahankan status quo sosial ekonomi masyarakat, dimana status quo ini menjadi sumber tenaga kerja ahli (dan murah) serta mempertahankan selera pasar untuk selalu konsumtif pada hasil produksi mereka. Sebagai gambaran, laporan mengenai 100 kekuatan ekonomi besar dunia, 51 diantaranya adalah korporasi, dan sisanya adalah negara. Wal-Mart memiliki kekuatan ekonomi lebih besar dari 161 negara di dunia. Mitsubishi memiliki kekuatan lebih besar daripada negara dengan populasi tertinggi ke-4 di dunia: INDONESIA. General Motors lebih kuat dari Denmark. Dan Ford lebih kuat dari Afrika Selatan.
Sedikit membahas korporatokrasi yang sedekat nadi, kekuatan dan pengaruh sebuah korporat pernah menguasai Indonesia secara terang-terangan: VEREENIGDE OOSTINDISCHE COMPAGNIE atau disingkat VOC! Bahkan, mungkin kita bisa sedikit “bangga” karena VOC adalah perusahaan multinasional pertama di dunia dan pioner dari sistem pembagian saham. Nah, kita bisa melihat (bahkan dari buku sejarah sekolah) bagaimana VOC memiliki kekuatan dan kepentingan dalam mengendalikan sistem politik dan ekonomi Indonesia pada masa pendudukannya. Inilah contoh sebuah korporatokrasi yang terang-terangan mengendalikan sebuah kelompok masyarakat luas. VOC memiliki tentara sendiri, mampu mendirikan pangkalan dan pabrik sesuai kebutuhan mereka, hingga menentukan kebijakan budaya. Di Belanda sendiri, VOC bisa dikatakan sebagai sebuah negara dalam negara. Sebuah negara yang didirikan bukan berdasarkan sejarah bangsa, perjuangan massa, atau garis keturunan yang “suci”. VOC lahir dari semangat perdagangan, produksi, dan eksploitasi sumber daya alam.
Korporasi besar memiliki kekuatan yang menempatkan mereka diatas segala bentuk kendali pemerintahan. Mereka (baik secara tersembunyi atau terang-terangan) berada di posisi kendali atas alat produksi dan pasar (baca: masyarakat luas). Mereka mampu untuk berproduksi dengan mengabaikan kepatuhan pada hukum (atau sekurang-kurangnya membentuk hukum). Korporatokrasi adalah bentuk anarko kapitalisme yang nyata. Mereka tidak memiliki kepatuhan pada tatanan apapun, kecuali kepentingan. Dan mereka membentuk kesadaran individu melalui berbagai “propaganda” media massa (sedikit banyak saya singgung dala “Major Brand adalah Candu”).
Lalu, bagaimana dengan hari ini. Apakah kalian merasakan, bagaimana korporatokrasi hadir sebagai bentuk kendali atas masyarakat? Meskipun pada hari ini tidak ada kekuatan ekonomi serupa VOC, tapi apakah kalian menyadari kehadiran korporat sebagai “negara”? Apakah hari ini, kita sudah tidak hidup dalam negara “sejati”, dan hidup dalam negara bernama Shell, Chevron, IBM, BBC, Freeport, dan sejenisnya?