Sebenarnya agama dengan filsafat bukan dua entitas yang secara otomatis selalu saling berlawanan satu sama lain, dalam sejarah banyak ditemukan persesuaian diantara keduanya, misal ketika filosof klasik berupaya menggunakan metode yang biasa digunakan dalam filsafat untuk membuktikan keharusan adanya Tuhan desainer ketertataan alam semesta-pencipta alam semesta melalui pembuktian argument rasional, dan harmonisasi seperti itu bisa terjadi hanya bila pada awal mulanya manusia bisa menempatkan keduanya pada tempat yang semestinya secara benar. Begitupun Menurut Franz Rosenzweig beliau ingin menyatukan antara filsafat dan agama. Karena beliau disamping menjadi seorang filsuf beliau juga merangkap sebagai seorang ahli agama.
Faktor pertentangan yang terjadi untuk mengantisipasi adanya benturan pandangan diantara keduanya kelak. Dan pertentangan itu terjadi karena pada dasarnya di awal, manusia tidak menempatkan agama dan filsafat pada tempat yang semestinya, misal dengan menempatkan filsafat secara sejajar dengan agama atau lebih jauh lagi menempatkannya diatas agama. Sebelum kita berbicara secara lebih jauh tentang adanya benturan diberbagai sisi antara agama dengan filsafat maka kita harus terlebih dahulu secara mendasar mengetahui hakikat agama dan juga hakikat filsafat sehingga kala terjadi benturan antara keduanya kita bisa memahami latar belakang terjadinya benturan itu serta bisa menempatkan dimana agama harus diletakkan dan dimana filsafat harus diletakan.
Kita akan mengetahui dan memahami sisi manapun dari agama bila itu selalu dikaitkan dengan Tuhan dan akan mengetahui sisi manapun dari filsafat bila itu selalu dikaitkan dengan manusia.mengenai kelebihan dan kekurangannya pun akan kita ketahui bila kita melekatkan agama dengan sifat Tuhan dan filsafat dengan sifat manusia.
Sebaliknya kita akan menemukan kerancuan apabila kita menyandarkan atau mengembalikan agama kepada manusia, misal menganggap agama sebagai sesuatu yang berasal dari manusia atau ciptaan seorang yang disebut ‘nabi’ dan disisi lain mengkultuskan filsafat sebagai ibu atau parameter kebenaran, dengan prinsip cara pandang seperti itu agama hanya akan menjadi obyek penghakiman dan bulan bulanan filsafat.
Sehingga dengan prinsip seperti itu apakah stigma-stigma negatif yang berasal dari filsuf pemikir tertentu didunia filsafat terhadap agama itu seperti stigma agama hanya ajaran moral atau agama suatu yang irrasional. secara keilmuan bersifat valid? apakah filsafat memiliki meteran atau teropong yang sempurna atau memadai untuk melihat dan menilai agama secara keseluruhan dan kemudian merasa layak menghakiminya dengan pemberian stigma negatif itu.