Sunday, April 21, 2019


Teringgat pada masa ketika menyonsong pagi di Sabang kala itu .
Suasana masih gelap saat saya menyusuri jalanan di Pulau Weh dengan motor menuju sisi timur pulau. Entah kenapa usai subuh saya begitu bersemangat ingin melihat sunrise di pulau dimana 0 km Indonesia dimulai ini. Tujuan awal saya adalah pantai Sumur Tiga. Namun pagi itu sang surya enggan menyingsing dari laut sekitar Sumur Tiga. Terbukti cahaya dari sang surya masih tampak remang-remang di timur jauh. Gas motor pun saya putar kencang kembali menyusuri jalanan. Walaupun sepi tapi jalanan di Pulau Weh ini membutuhkan refleks yang cekatan karena ketika hari masih gelap banyak sekali lembu yang dibiarkan liar memblokade jalanan. Beberapa kali saya terpaksa menginjak rem secara mendadak untuk menghindari tabrakan dengan para lembu yang masih bersantai. Mungkin dalam hati mereka juga terganggu dengan kehadiran saya.

Cahaya sang surya mulai tampak lebih terang dan jelas ketika saya berada di daerah Anoi Itam. Saya pun berbelok ke tempat yang dulunya merupakan Benteng Jepang. Memandang ke arah timur, rupanya sang surya masih betah bersembunyi di peraduan. Yang tampak jelas di kejauhan adalah siluet gunung Seulawah yang berada di Pulau Sumatra. Ini pasti akan menjadi pemandangan sunrise yang sangat indah.

Usai memarkir motor, saya menjejak setapak menuju ke puncak bukit kecil yang di atasnya berdiri kokoh benteng peninggalan Jepang. Cukup terengah saya menuju ke atas. Serta merta saya menyesal ketika bangun pagi tadi tidak minum air putih. Dan lebih menyesal lagi karena saya juga tidak membawa air minum yang bisa meredakan dahaga. Terlihat cahaya sang surya mulai terang. Tapi tetap saja dia masih sembunyi entah di balik awan atau di balik gunung. Saya kemudian masuk ke dalam bangunan benteng. Dan terlihatlah dengan jelas sudut pandang tentara Jepang dahulu dalam memata-matai musuh di lautan. Tersembunyi di dalam benteng, saya merasakan damai dan aman.

Lihatlah sang surya itu. Dia pasti terbit. Walaupun tertutup awan, tertutup gunung ataupun mungkin di tempat lain tertutup asap, debu, dan kabut, sang surya pasti akan selalu membuka hari tanpa jera. Walaupun di hari sebelumnya panas sang surya kalah dengan dinginnya hujan. Bahkan, di belahan bumi lain malah kalah dengan dinginnya salju. Tapi dia tetap memberikan kepastian membagi hangat sinarnya untuk kita semua.

Tiba-tiba saya tersadar, sang surya yang terbit hari ini tidak hanya mengawali sebuah pagi di bulan April, tetapi juga seperti mengajari saya tentang harapan di masa depan yang cerah. Whatever happened in the past stay in the past. Kegagalan, kesedihan, masalah, atau apapun hal buruk di masa lalu tidak perlu diingat dan dipikirkan. It’s time to move on. Dan pada akhirnya saya pun menemukan maksud dari quote Robb Sagendorph di atas. Saya menemukan perspektif dan sudut pandang sendiri ketika menyongsong mentari pagi ini.
Jarum jam menunjukkan pukul 06.45. Dengan langkah kaki ringan saya mulai menjauhi benteng tanpa sempat melihat bulatan mentari muncul di langit.


Sabang, 22 April 2015

Saturday, April 20, 2019


Jasmerah
Jangan melupakan sejarah!!
Pengetahuan umum tentang sejarah Kartini.

Mengapa Harus Kartini?
Emansipasi Wanita seharusnya ditujukan pada Cut Nyak Dien, bukan pada RA. Kartini

Menurut penulis buku Zaynur Ridwan dalam akun jejaring Facebooknya, emansipasi wanita seharusnya ditujukan kepada Cut Nyak Dien, bukan kepada RA Kartini.

Melihat hati seorang Pahlawan dari kata-katanya :

Kartini : Duh, Tuhan, kadang aku ingin, hendaknya TIADA SATU AGAMA pun di atas dunia ini. Karena agama-agama ini, yang justru harus persatukan semua orang, sepanjang abad-abad telah lewat menjadi biang-keladi peperangan dan perpecahan, dari drama-drama pembunuhan yang paling kejam. (6 Nopember 1899)

Cut Nyak Dien : Islam adalah AGAMA KEBENARAN dan harus diperjuangkan di tanah Aceh sampai akhir darah menitik.

Kartini : Hatiku menangis melihat segala tata cara ala ningrat yang rumit itu…

Cut Nyak Dien : Kita perempuan seharusnya tidak menangis di hadapan mereka yang telah syahid (Disampaikan pada anaknya Cut Gambang ketika ayahnya, Teuku Umar tertembak mati)

Kartini : Aku mau meneruskan pendidikanku ke Holland, karena Holland akan menyiapkan aku lebih baik untuk tugas besar yang telah kupilih. (Surat Kartini kepada Ny. Ovink Soer, 1900)

Cut Nyak Dien : Untuk apa bersahabat dengan Ulanda Kaphe (Belanda Kafir) yang telah membakar masjid-masjid kita dan merendahkan martabat kita sebagai muslim!

Idealnya seorang Pahlawan memperjuangkan kemerdekaan dari kolonialisme bukan kesetaraan yang tak jelas. Kartini tidak melalui satu medan perang pun, Kartini tidak hidup di hutan dan tidak pernah merasakan kehilangan suami dan anaknya, Kartini menggunakan peluru ‘pena’ dengan berkirim surat pada teman2 Feminis-nya di Belanda utk memperjuangkan hak perempuan yang menurutnya ‘dikekang’ oleh budaya Jawa khususnya ningrat. Jadi musuh Kartini bukan kolonial Belanda tapi adat ningrat Jawa. Mestinya ia jadi pahlawan bagi kaum Bumiputera Jawa.

Cut Nyak Dien berjuang dari hutan ke hutan, bahkan ketika matanya mulai rabun dan penyakit encoknya kambuh, ia tidak berhenti berjuang. Ia melihat dua suaminya tertembak oleh Belanda, gugur di medan perang. Ia kehilangan anak perempuannya yang lari ke hutan ketika ia ditangkap dan dibuang ke Sumedang. Ia membangkitkan semangat jihad masyarakat Aceh ketika masjid-masjid mereka dibakar Belanda. Inilah pahlawan sejati yang seharusnya direnungi perjuangannya setiap tahun, perempuan yang melawan penjajah Belanda, bukan yang meminta bantuan Belanda dan bersahabat dengan mereka selama masa penjajahan.

MENGAPA BELANDA LEBIH MEMILIH KARTINI, BUKAN CUT NYAK DIEN ATAU DEWI SARTIKA?

Tiar Anwar Bachtiar
(Peneliti INSISTS dan Kandidat Doktor Sejarah UI)

Mengapa harus Kartini? Mengapa setiap 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?

Pada dekade 1980-an, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsya W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik pengkultusan R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia. Tahun 1988, masalah ini kembali menghangat, menjelang peringatan hari Kartini 21 April 1988. Ketika itu akan diterbitkan buku Surat-Surat Kartini oleh F.G.P. Jacquet melalui penerbitan Koninklijk Institut voor Tall-Landen Volkenkunde (KITLV).

Tulisan ini bukan untuk menggugat pribadi Kartini. Banyak nilai positif yang bisa kita ambil dari kehidupan seorang Kartini. Tapi, kita bicara tentang Indonesia, sebuah negara yang majemuk. Maka, sangatlah penting untuk mengajak kita berpikir tentang sejarah Indonesia. Sejarah sangatlah penting. Jangan sekali-kali melupakan sejarah, kata Bung Karno. Al-Quran banyak mengungkapkan betapa pentingnya sejarah, demi menatap dan menata masa depan.

Banyak pertanyaan yang bisa diajukan untuk sejarah Indonesia. Mengapa harus Boedi Oetomo, Mengapa bukan Sarekat Islam? Bukankah Sarekat Islam adalah organisasi nasional pertama? Mengapa harus Ki Hajar Dewantoro, Mengapa bukan KH Ahmad Dahlan, untuk menyebut tokoh pendidikan? Mengapa harus dilestarikan ungkapan ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani sebagai jargon pendidikan nasional Indonesia?

Bukankah katanya, kita berbahasa satu: Bahasa Indonesia? Tanyalah kepada semua guru dari Sabang sampai Merauke. Berapa orang yang paham makna slogan pendidikan nasional itu? Mengapa tidak diganti, misalnya, dengan ungkapan Iman, Ilmu, dan amal, sehingga semua orang Indonesia paham maknanya.

Kini, kita juga bisa bertanya, Mengapa harus Kartini? Ada baiknya, kita lihat sekilas asal-muasalnya. Kepopuleran Kartini tidak terlepas dari buku yang memuat surat-surat Kartini kepada sahabat-sahabat Eropanya, Door Duisternis tot Licht, yang oleh Armijn Pane diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang.

Buku ini diterbitkan semasa era Politik Etis oleh Menteri Pengajaran, Ibadah, dan Kerajinan Hindia Belanda Mr. J.H. Abendanon tahun 1911. Buku ini dianggap sebagai grand idea yang layak menempatkan Kartini sebagai orang yang sangat berpikiran maju pada zamannya. Kata mereka, saat itu, tidak ada wanita yang berpikiran sekritis dan semaju itu.

Beberapa sejarawan sudah mengajukan bukti bahwa klaim semacam itu tidak tepat. Ada banyak wanita yang hidup sezamannya juga berpikiran sangat maju. Sebut saja Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (terakhir pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita.

Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.

Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-ide dalam surat, Dewi Sartika dan Rohana Kudus sudah lebih jauh melangkah dengan mewujudkan ide-ide mereka dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).

Kalau saja ada yang sempat menerbitkan pikiran-pikiran Rohana dalam berbagai surat kabar itu, apa yang dipikirkan Rohana jauh lebih hebat dari yang dipikirkan Kartini. Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pocut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita.

Di Aceh kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati. Aceh juga pernah dipimpin oleh Sultanah (sultan wanita) selama empat periode (1641-1699). Posisi sulthanah dan panglima jelas bukan posisi rendahan.

Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? — Apa karena Cut Nyak dibenci penjajah?— Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.

Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan, begitu kata Rohana Kudus.

Bayangkan, jika sejak dulu anak-anak kita bernyanyi: Ibu kita Cut Nyak Dien. Putri sejati. Putri Indonesia…, mungkin tidak pernah muncul masalah Gerakan Aceh Merdeka. Tapi, kita bukan meratapi sejarah, Ini takdir. Hanya, kita diwajibkan berjuang untuk menyongsong takdir yang lebih baik di masa depan. Dan itu bisa dimulai dengan bertanya, secara serius: Mengapa Harus Kartini?

Friday, April 19, 2019


Ada tulisan enak di baca pak.

DENNY JA, AYO SEMBELIHLAH 'KAMBING HITAM' ITU

Oleh : Nasrudin Joha

Pilpres tahun ini bukan saja pertarungan antara Jokowi vs Prabowo, tapi juga pertarungan 'Ideologi Survei Denny JA vs Kehendak dan Aspirasi Umat'. Jika pernyataan ini disampaikan Abdullah Mahmud Hendropriyono, baru betul. Bukan mempertentangkan khilafah vs Pancasila.

Kenapa ini pertaruhan Denny JA ? Iya, sebab jika Prabowo menang, maka selesai sudah reputasi, masa depan, dan nasib dapur Denny JA. Kemenangan Prabowo menandai betapa rusaknya kredebilitas, nalar, ilmu dan reputasi seorang Denny JA yang disebut-sebut masuk sebagai orang yang paling berpengaruh versi Majalah Time's pada tahun 2015.

Jika Prabowo menang, maka Denny JA tak jauh beda dengan Jokowi. Bedanya, Jokowi tipu-tipu via kebijakan Pemerintahan sedangkan Denny JA tipu-tipu via survei yang diklaim ilmiah.

Putusan resmi dari KPU belum ada, namun semua lembaga survei yang berafiliasi -termasuk LSI punya Denny JA- telah mengumumkan kemenangan untuk pasangan Jokowi - Ma'ruf. Tidak tanggung, bahkan selisihnya hingga 'dua digit'.

Awalnya, publik tersihir, akibatnya banyak yang dismotivasi untuk terus mengontrol jalannya proses tabulasi dan penghitungan suara. Namun, akses sosial media yang begitu terbuka, membuat nalar publik alamiah melakukan verifikasi atas klaim yang diproklamirkan oleh Denny JA & the Gank.

Mulailah, benang merah yang kusut itu terurai. Puzle demi puzle mulai disusun, bangunan kemenangan Prabowo nampak kokoh, sementara klaim kemenangan untuk Jokowi terlihat rapuh dan nyaris rubuh.

Pertama, netizen mampu menemukan kejanggalan siaran live berbagai stasiun TV swasta yang menunjukan prosentase angka-angka yang mengunggulkan Prabowo - Sandi. Lantas, sejurus kemudian angka itu disulap berubah memenangkan Jokowi - Ma'ruf.

Temuan ini ditampilkan netizen dalam berbagai varian dan versi, ada video, meme, gambar grafik dengan petunjuk lingkaran dan tanda panah, ulasan singkat, dll. Temuan netizen ini kemudian viral di jejaring sosial media, yang tentu saja merobohkan kredebilitas deklarasi kemenangan Jokowi - Ma'ruf oleh lembaganya Denny JA dan konco-konconya.

Kedua, secara perlahan tim Prabowo mampu mengumpulkan jumlah suara real dari formulir C1, bahan utama yang menjadi dasar tabulasi dan penghitungan suara nasional yang digunakan KPU. Bahkan, hingga jumlah data terkumpul sekitar 40 % dari total TPS yang ada.

Meskipun data ini baru 40 %, namun dengan melihat trend dan selisih kemenangan untuk Prabowo mencapai angka 62 %, maka dapat dipastikan angka ini tidak akan bergeser jauh pad hitungan tuntas ketika formulir C1 genap 100 %. Kesimpulannya, deklarasi kemenangan Prabowo memiliki dasar dan basis ukur yang jelas, beda dengan klaim Denny JA yang bermasalah.

Apalagi, menurut sumber tertentu data kemenangan Prabowo - Sandi ini sesuai atau cocok dengan data yang dimiliki Mabes TNI yang dihimpun dari Koramil-Koramil seluruh Indonesia. Mengenai data ini, saya sendiri lebih mengakui keakuratan dan kredebilitas lembaga TNI, ketimbang hasil tebak-tebakan angka Denny JA.

Ketiga, animo publik atas kemenangan Prabowo begitu antusias. Berbeda dengan suasana kebatinan yang terbaca dari gestur, ekspresi wajah dan rona muka, serta aksen bahasa yang disampaikan oleh Megawati, Jokowi, atau tim TKN secara keseluruhan.

Bahkan, beredar juga foto dan video muka masam TKN yang sedang menyimak hasil Quick Qount. Nampak dari raut mukanya, ekspresi itu jika dibaca awam, apalagi ahli gestur dan psikolog, jelas bukan ekspresi kemenangan. Melainkan, ekspresi kegalauan, ketakutan yang sangat atas pengumuman kekalahan yang akan resmi disampaikan oleh KPU.

Berbeda dengan ekspresi netizen yang begitu gegap gempita mengabarkan kemenangan Prabowo. Publik begitu antusias saling mengabarkan kemenangan Prabowo, termasuk di daerah Madura yang menang luar biasa besar.

Bahkan khusus untuk kemenangan Prabowo di Madura, netizen telah menyiapkan berbagai Parang dengan jenis dan macam yang variatif, untuk dipersiapkan bagi La Nyala Mataliti. La nyala, sebelumnya telah bernadzar akan potong leher jika Prabowo menang di Madura.

Nah, ternyata setelah semua terbongkar dan kemenangan yang diumumkan Denny JA bertentangan kehendak dan realitas publik, rupanya si Denny ini lumayan militan. Dia, tetap kokoh pada 'kedustaan' yang diproduksinya dengan tetap membela rilis Quick Qount abal-abal itu, bahkan seperti biasa membumbuinya dengan serbuan meme-meme yang childisc. Nyaris seperti kartunis, bukan lagi seorang peneliti.

Seharusnya, Denny JA segera mencari 'kambing hitam' lantas menyembelihnya sebagai tumbal atas 'tipu-tipu' yang selama ini di edarkan. Dengan menyembelih 'kambing hitam' Denny JA akan terbebas dari dakwaan publik, segera menepi, dan membiarkan publik melupakan kekeliruannya -sebagaimana terjadi di Pilkada DKI Jakarta- sambil membangun relasi lagi dengan pihak yang menang, dan berharap masih mendapat proyek survei agar lembaganya bisa tetap eksis dan survive.

Sayangnya itu tak dilakukan, setidaknya sampai hari ini atau sampai menunggu keputusan resmi KPU. Mungkin, Denny JA mengetahui skenario rahasia tertentu hingga pengumuman resmi KPU sehingga masih berani 'ngotot' atas deklarasinya. Sebenarnya hal ini rawan, karena jika skenario rahasia itu urung dilakukan karena besarnya tekanan publik, maka Denny JA akan sendirian menanggung malu.

Atau bisa juga Denny JA sudah menganggap Pilpres tahun ini bukan lagi pertarungan antara Jokowi vs Prabowo, sebagaimana diterangkan diawal tulisan ini. Denny JA telah menjadikan ajang Pilpres ini sebagai pertarungan kredebilitas pribadi dan masa depan lembaga surveinya. Jika demikian, tentu tak butuh lagi 'kambing hitam' untuk dijadikan alasan atas khilafnya deklarasi survei yang dilakukan.

Saat Pilpres ini sudah diadopsi sebagai pertarungan pribadi Denny JA, maka rumusnya bukan lagi mencari kambing hitam, tapi "RAWE-RAWE RANTAS, MALANG-MALANG PUTUNG".

Denny oh Denny melas sekali nasibmu ? Melawan rakyat itu berat, kekuasaan yang tiran saja bisa terjungkal, apalagi cuma lembaga survei-surveyan ? [].

Monday, April 15, 2019



“Tidak ada orang jujur yang bisa menjadi kaya, karena ketidakjujuran selalu mendapat bayaran lebih daripada kejujuran; Sehingga semakin kaya seseorang makin tidak jujur dan tidak baik adanya” (Plato)

 Ironi hidup di negeri “pemimpin kaya rakyat menderita.”

Indonesia untaian zamrud katulistiwa adalah sebuah negeri bagaikan mutiara yang berserakan terhampar dari sabang sampai merauke. Keindahan negeri yang terposisikan sebagai poros silang strategis antar benua dan antar samudera mengandung kekayaan alam yang luar biasa sampai sampai disebut dalam Al-quran (Dia membiarkan dua lautan mengalir, yang keduanya kemudian bertemu dan dari keduanya keluar mutiara dan marjan Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan?. Sebuah negeri yang Geography Destiny-nya merupakan negeri bahari.

Pesona negeri ini tak lekang oleh banyaknya jutaan penyair yang mengaguminya, sampai takkan habis kata tuk melukiskannya. Ribuan bahkan jutaan pelawat dari pelosok dunia mengunjungi negeri yang pesonanya tak pernah pudar berlipstikan warna abadi, kekayaannya bagaikan mata air yang tak pernah kering. Ribuan jenis buah-buahan dan makanan laksana surga dengan air sungai yang mengalir sepanjang masa.

Dongeng-dongeng dan cerita nenek moyang tentang nusantara yang gemah ripah loh jinawi bukan merupakan isapan jempol belaka. Bukanlah cerita fiktif semacam penghibur untuk sekedar anak bayi yang dininabobokkan, kita sebagai anak bangsa yang terlunta ditanah air sendiri. Fakta empiris telah menggambarkan dengan begitu gamblang sekaligus membuktikan betapa melimpahnya kekayaan negeri bahari ini yang bernama Indonesia. Bahkan ribuan tahun yang lalu Aristoteles filsuf yunani telah melukiskan sebuah negeri bahari ini merupakan benua Atlantis yang dilanjutkan oleh penelitian dan penemuan ilmuwan Santos dari Brazil yang melalui penyelidikannya selama 30 tahun, inilah negeri penggalan surga. The lost Paradise.

Sangat ironis, keadaan tersebut justru berbanding terbalik 180 derajat dengan kondisi rakyatnya, yang masih terlilit hidup kesusahan, kebanyakan rakyat masih berada dalam kemiskinan, inilah ironi negeri bahari yang bernama Indonesia.

Pergantian pemimpin negeri ini hanya berpindah tangan saja tetapi tetep saja kelakuan bak zombi berkulit coklat penghisap rupiah, baik sopil maupun militer lihat saja ketika memimpin yang berubah hanya kehidupan pemimpinnya yang bergelimang tumpukan barang mewah dan tidur beralaskan rupiah tetapi rakyat dan bawahan bahkan institusi tetap tidak berubah. Bila negeri ini pemerintah bilang negeri bahari atau negara maritim sekalipun, pernahkah kita membangun Pangkalan TNI AL yang lengkap dari awal yang memenuhi unsur-unsur tugas Pangkalan? Timbulah kalimat “sepertinya negeri ini ada atau tidak ada pemimpinnya sama saja.”

Ibarat anak ayam mati dilumbung padi. Itulah pepatah untuk menggambarkan kondisi riil rakyat Indonesia. Rakyat hidup dinegeri bahari negeri kepulauan nan kaya dan makmur. Pernyataan tersebut bukan sesuatu yang berlebihan, dengan melihat kasat mata potensi yang ada seharusnya rakyat bisa hidup lebih maju dan sejahtera bahkan bisa lebih sejahtera dibandingkan penduduk Eropa, China, Jepang bahkan juga Amerika sekalipun. Realitasnya adalah rakyat hidup dalam kemiskinan dan kesusahan. Dengan data BPS desember 2014 jumlah penduduk miskin pada maret 2014 sebanyak 28, 28 juta orang (11,25 persen).

Boleh percaya atau tidak dengan data tersebut walaupun dikeluarkan oleh institusi resmi akan tetapi realitanya adalah kemiskinan dinegeri ini jauh lebih besar dari data yang ada. Argumentasinya adalah ukuran miskin dan kemiskinan yang dirilis pemerintah menggunakan ukuran dan perspektif sendiri yang tidak rasional. Bahkan menurut ukuran bank dunia, kemiskinan yang ada di Indonesia masih lebih besar dari data yang dikeluarkan oleh BPS.

Kemiskinan yang terjadi di negeri ini diperkirakan masih lebih dari 60 persen atau sekitar 150 juta jiwa lebih dari jumlah penduduk Indonesia tahun 2015 sekitar 250 juta jiwa. Intinya dengan kekayaan negeri bahari yang melimpah ini kemiskinan masih besar. Menurut Safii Maarif dalam bukunya, Islam dalam bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (edisi kedua, mizan 2015) “Soal angka kemiskinan saya kira yang dilansir BPS itu salah karena faktanya ada setengah dari penduduk yang tidak bisa makan tiga kali sehari.”

Dunia ini akan cukup untuk memenuhi kebutuhan semua makhluknya, namun tak pernah cukup untuk memuaskan satu orang manusia. Berantas korupsi hingga akar-akarnya namun jangan sentuh Istana.

Sangat mengenaskan nasib rakyat negeri bahari Indonesia. Entah karena apa, nasib dan kehidupannya begitu nista dan ironis. Tinggal dan sebagai pewaris dari segala kekayaan alam dari tempat lahir dan leluhur mereka, namun waktu demi waktu kehidupan yang layak seakan enggan menghampiri.

 Tahun berganti tahun hingga abad berganti abad, penindasan dan penjajahan tak pernah beranjak dari kehidupan kita sebagai bangsa. Hanya bentuk dan pelakunya yang berubah dan berganti. Hingga kini kita telah merdeka lebih dari setengah abad, namun esensi kemerdekaan yang berarti rakyat hidup dalam kondisi sejahtera dan terlindungi oleh hukum yang adil seakan akan jauh panggang dari api, seakan-akan hanya fatamorgana dan ilusi yang dibangun oleh para penguasa yang telah tega membiarkan rakyat dalam kenestapaan dan penderitaan.

Harapan untuk hidup lebih baik setelah kekuasaan rezim orde baru telah tumbang masih sangat jauh dari kenyataan. Reformasi yang berlangsung hampir telah melahirkan demokrasi belum mampu mengubah kehidupan rakyat secara signifikan, bahkan telah melahirkan sejumlah elit baru beserta antek-anteknya yang menikmati secara berlebihan dari kekayaan negara. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sistem politik demokrasi dan reformasi telah melahirkan para penindas baru hanya penampilan dan gayanya yang berbeda. Demokrasi telah menghasilkan para pemimpin dan pejabat yang korup, apakah salah bila kita katakan negara kita adalah negeri bahari tempat sarangnya para koruptor?

Dari data yang kita baca dan kita dengar dari berita berita televisi, pemberitaan tentang koruptor hampir tiap hari dan ini bukan drama tetapi yang sebenarnya terjadi, itupun yang ketangkap atau sesuai pesanan padahal yang nyuruh nangkeppun juga korupsi.

Sejarah panjang korupsi dinegeri ini adalah sejarah panjang umat manusia yang take for granted, sudah bawahan orok kata orang Jakarta. Sifat korupsi sudah melekat dengan diri manusia sejak lahir, sama halnya dengan kebutuhan manusia terhadap seks, makan, minum dan sebagainya. Perbedaannya adalah sifat dan perilaku korup berdampak buruk pada kehidupan manusia yang lain, karena korupsi adalah bentuk sifat keserakahan manusia yang tak akan pernah terpuaskan.

Sebab utama korupsi adalah mental dan watak yang dipenuhi nafsu untuk hidup bermewah-mewah dari para pemegang amanah rakyat, alias para penguasa. Nafsu yang sudah melekat dalam diri setiap manusia, maka kemampuan dan kekuasaan untuk mengendalikannya adalah kunci sesorang menjadi korup ataukah amanah.

 Sejarah korupsi diIndonesia merupakan sejarah panjang yang terjadi pada umat manusia diseluruh dunia. Penyakit bawaan orok ini mulai menjadi masif sejak pertama kali VOC memasuki wilayah Nusantara. Dari berbagai sejarah, VOC bangkrut akibat korupsi merajalela yang diambil alih langsung oleh kerajaan Belanda sekitar tahun 1800-an. Aliansi politik yang berpihak kepada VOC yang memuluskan semangat kolonialisme mereka pada bangsa-bangsa di Nusantara. Maka saat itu praktik-praktik suap dan upeti atau gratifikasi terjadi secara terbuka.

Setelah Indonesia merdeka, sistem multipartai saat Orde Lama, mengakibatkan persaingan dan kompetisi yang tidak sehat dalam perpolitikan kita dan partai yang berkuasa akhirnya tergiur untuk melakukan korupsi demi menggali dana-dana untuk politik atau kampanye. Era itu semua hal identik dengan semboyan dan simbol-simbol revolusioner. Maka keputusan pemerintahan Orde Lama menggiatkan gerakan anti korupsi dikenal dengan nama “Operasi Budhi”, mirip-mirip revolusi mental yang kini digaungkan oleh pemerintah sekarang, meski kini gaungnya nyaris tak terdengar karena kala gaduh dengan riuh rendahnya pemberitaan media massa tentang beraneka ragam polemik menyangkut persoalan bangsa lainnya termasuk masalah korupsi pejabat yang masih sedap-sedap dilihat di televisi hampir tiap hari. Dalam praktiknya semangat pemberantsan korupsi pada jaman Bung Karno juga banyak mengalami kendala dan hadangan. Apalagi jika menyangkut pejabat tinggi negara, apalagi memiliki kedekatan-kedekatan khusus dengan sang Presiden.

Rezim Orde Lama pimpinan Sukarno tumbang, Penggantinya Jendral Soeharto mengampanyekan bahwa Orde Baru akan memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah rusak akibat sala urus Orde Lama. Berjalannya waktu korupsi di era Orde Baru juga semakin subur, dan berjalannya waktu operasi tatib yang dikomandoi oleh Laksamana Sudomo akhirnya kempes ditengah jalan. Perlahan tapi pasti, eksistensinya hilang tanpa bekas seperti debu yang dihempas angin.

Saat ini menurut data dari ICW trend korupsi dikalangan pejabat pemerintah baik dieksekutif, legislatif maupun yudikatif semakin marak dan bahkan semakin naik baik dari kuantitas maupun kualitasnya. Catatan yang dirilis oleh ICW dari kasus-kasus korupsi yang terjadi sejak 2010-2014 terus mengalami kenaikan, terutama periode 2013-2014.

Jumlah kasus korupsi yang ditangani oleh penegak hukum, baik kejaksaan, kepolisian dan komisi pemberantsan korupsi pada tahun 2010 adalah 436 kasus. Tahun 2011 sebanyak 448 kasus, tahun 2012 sebanyak 402 kasus, tahun 2013 naik menjadi 560 kasus. Sementara oknum tersangkut kasus korupsi juga terus meningkat pada tahun 2010 sebanyak 1.157 orang, tahun 2013 sebanyak 1.271 tersangka. Maka tidaklah berlebihan bila kita katakan negeri bahari ini adalah sarang para koruptor yang kasusnya terungkap sejak 2005 hingga 2014.

“Kejahatan yang paling sempurna adalah kejahatan yang dilakukan oleh negara. Dibalik setiap harta yang melimpah terdapat kejahatan (Balzac)”

Pihak militer Indonesia telah terlibat dalam kegiatan ekonomi sejak permulaan 1950-an. Hal tersebut dilakukan dalam rangka mencari pendapatan diluar anggaran biasa bagi kepentingan operasi masing-masing komando dan kesatuan militer. Namun ini juga demi kepentingan pribadi politik para perwira dan faksi. Rata-rata bisnis tersebut bersifat ilegal dan vulgar. Bentuk berbagai pungutan dalam pengangkutan barang, penyelundupan dan memberikan perlindungan bagi kejahatan terorganisasi. Ketika rezim militer orde baru berkuasa, bisnis militer bahkan menjadi kegiatan yang resmi dengan mendirikan perusahaan-perusahaan milik militer. Dalam praktiknya, perusahaan-perusahaan milik militer tersebut bekerja sama dengan pihak kapital swasta. Meskipun kini, diera reformasi bisnis-bisnis militer secara resmi telah sangat dikurangi, namun praktik-praktik bisnis dengan pola pendekatan kekuasaan masih marak terjadi. Pemainnya lebih variatif, baik tokoh militer maupun sipil yang memiliki kedudukan kuat dalam politik.

Dari sedikit gambaran diatas, menunjukkan kepada kita bahwa praktik-praktik bisnis dengan model dan cara mafia hingga kini masih terus berlangsung. Maka tidak heran jika kita melihat kehidupan disekitar kita secara gamblang bisa kita rasakan. Sekelompok orang memiliki kekayaan yang sangat luar biasa besarnya disisi lain, dan ini kelompok mayoritas masyarakat hidup dalam kemiskinan dan kesengsaraan. Kata mafia berasal dari italia yang pada awalnya “Mafia” memiliki arti yang positif, yakni laki-laki terhormat yang disebut mafioso. Pimpinannya disebut sebagai Godfather. Dalam perjalanannya, perkumpulan atau organisasi yang terdiri dari orang-orang italia ini banyak melakukan kejahatan-kejahatan yang terorganisasi. Istilah mafia begitu populer ketika imigran Italia mulai masuk ke Amerika dan melakukan bisnis-bisnis ilegal dinegeri Paman Sam.

Setiap wilayah atau bangsa bahkan suku-suku bangsa kegiatan dan aktivitas kejahatan terorganisasi dengan rapi dan juga memiliki istilah sendiri-sendiri, seperti Yakuza di Jepang, Triad di China dan sebagainya. Amerika karena merupakan negara super power dalam banyak hal, termasuk didalamnya dunia seni, baik sastra maupun film, pada akhirnya kata mafia lebih populer untuk menyebut berbagai jenis kegiatan bisnis terorganisasi yang bermain diwilayah abu-abu bahkan melanggar hukum.

Keberadaan mafia di Indonesia kian hari kian mengemuka, salah satunya adalah sektor hukum, sehingga pada tahun 2009 Presiden SBY membentuk Satuan tugas Anti Mafia Hukum berdasarkan surat Keputusan Presiden Nomor 37 tahun 2009 tanggal 30 desember 2009. Menurut Deny Indrayana, Sekretaris Satgas Mafia Hukum diera SBY sembilan wilayah yang menggurita praktik-praktik mafia diantaranya adalah; mafia peradilan, mafia korupsi, mafia pajak dan bea cukai, mafia kehutanan, mafia tambang dan energi, mafia narkoba, mafia tanah, mafia perbankan dan pasar modal, serta mafia perikanan. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa nyaris disemua sektor bisnis yang berhubungan dengan barang dan jasa di Indonesia terindikasi rawan praktik-praktik mafia. Bahkan yang terjadi setelah satgas terbentuk sektor lain yang tidak sepi dari mafia adalah sektor anggaran, bahkan sektor pemakaman di Jakarta, rumah susun dan sebagainya.

Terkoneksi Kepentingan Asing.
Bila ditarik kebelakang secara historis baik para koruptor maupun mafia dan munculnya Undang-Undang penanaman modal ketika masa Presiden Soeharto menjadi sebuah pintu masuk bagi investor migas dunia ke Indonesia. Hal tersebut menjadikan Indonesia salah satu tempat yang menguntungkan dalam bisnis sektor migas.

Agen-agen asing ini dengan sebutan cecunguk asing. Memang praktik pengkhianatan oleh anak bangsa sendiri yang bekerja pada kepentingan politik dan ekonomi asing demi secuil bayaran dengan megorbankan kepentingan nasional sudah terjadi selama berabad-abad dan turun temurun. Para mafioso ini bahkan dikategorikan sebagai orang-orang yang memiliki kedudukan terhormat, dengan pendidikan rata-rata tinggi bahkan lulusan universitas-universitas terbaik diluar negeri.

Apa yang dinyatakan oleh Fuad Bawazir tentang mafia Barkley, mereka para teknokrat merancang pembangunan Indonesia sejak awal orde Baru yang mengadopsi mentah mentah sektor ekonomi versi Bank Dunia, ADB, IMF dan patuh pada instruksi para senator di Washington DC Amerika Serikat. Akhirnya terbukti karena konsep pembangunan semasa Orde Baru dikendalikan oleh kepentingan asing lewat mafioso-mafioso lokal yang disetir oleh IMF dan Bank Dunia, maka fundamental ekonomi kita rapuh, langsung ambruk ketika nilai dolar naik terhadap rupiah, dan Soeharto terpaksa mundur dan meletakkan jabatan Presiden pada mei 1998.

Sejalan dengan pernyataan Ichsanuddin dan Fuad, para mafioso lokal masuk dalam berbagai sektor baik ekonomi maupun migas dan ekonomi, berfikir sangat liberal dan konsepnya lebih berpihak dan menguntungkan para Godfathernya di luar negeri. Bahkan Ichsanuddin menyatakan bahwa organisasi ini terus melakukan kaderisasi mafia hingga saat ini.

Mafia Barkley nama yang sangat populer untuk menyebut para penguasa dibidang kebijakan ekonomi dan keuangan. Maka konsep pembangunan ekonomi kita sejak awal Orde Baru telah dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan asing. Karakteristik terbaca pada sistem ekonomi yang mementingkan pertumbuhan, namun nol dalam pemerataan. Kebijakan ekonomi model tersebut memang tumbuh relatif tinggi dapat tercapai. Namun selain tidak merata, pertumbuhan tersebut sebenarnya keropos karena fundamental ekonomi rapuh, akibatnya terbukti keudian membawah bencana ekonomi besar dan berlarut-larut. Hal tersebut akan diperparah apabila pembangunan hanya mengandalkan utang luar negeri pemerintah. Ketika terjadi ledakan, fundamental ekonomi kita langsung runtuh dan rakyat kecil menjadi babak belur.

Inilah yang harus kita perjuangkan bersama dari lubuk hati yang ikhlas akan muncul pelita-pelita harapan bangsa. Perubahan sosial adalah keniscayaan. Perubahan itu sebuah kepastian yang tidak akan dilawan menjadi seberapa sistematis dan cepat perubahan bisa terjadi. Atau kita lebih senang berjalan lambat seperti kawanan kura-kura atau bergerak dinamis selayaknya semut hitam bak pasukannya Nabi Sulaiman. Meski dunia berpihak kepada kejahatan, karena para penindas pun berkembang biak sangat cepat, Bahkan ketika keadilan sosial, ekonomi, pemerataan, kesejahteraan serta kepastian hukum adalah utopia. Jangan sekalipun kita berpaling dari lahan perjuangan, karena disitulah puncak tertinggi nilai kemanusiaan tumbuh subur. Karena perjuangan mengangkat derajat kemanusian adalah setinggi-tingginya kesalehan sosial.

Sunday, April 14, 2019


73 tahun silam, bangsa Indonesia memerdekakan dan membebaskan diri dari kekuasaan kolonial Belanda dan Jepang. Tiga ratus lima puluh tahun dibawah kekuasaan pemerintah Belanda dan tiga setengah tahun dibawah pendudukan Jepang. Membebaskan negeri ini dari kedua kekuasaan penjajah itu, bukan hal gampang, rakyat Indonesia merelakan darah mereka tumpah-ruah, harta mereka pergi, keluarga mereka terpisah untuk selamanya. Tujuannya bebas dari penjajahan, bebas dari tanam paksa dan bebas dari romusha. Pekik kemerdekaan melalui UU Dasar 1945 disebutkan, sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa…dan penjajahan dimuka bumi ini harus dihapuskan tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan keadilan. Alinea yang lain, menciptakan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Setelah 73 tahun Indonesia merdeka, apakah benar-benar sudah bebas dari penjajahan. Dan apakah bebas dari rasa lapar, bebas dari dari ketakutan. Saya menyaksikan keadaan masi terus berlasung dengan penjajah yang berbeda.


Menurut saya rendahnya pendapatan bukan merupakan ukuran kemiskinan, namun kita bisa lihat bahwa kurangnya pendapatan dapat memengaruhi rendahnya tingkat kesejahtraan, rendahnya tingkat kesehatan, pendidikan dan lainnya. Kita menyaksikan begitu banyak orang menderita sakit tanpa ke rumah sakit, tanpa pertolongan dokter karena mereka tak memiliki uang. Bila kita membuka angka statistik, penduduk negeri ini masih miskin. Kemiskinan penduduk yang hidup dibawa dua dollar perhari memang hanya naik turun dari periode pemerintahan ke pemerintahan yang lain. Kita masih menyaksikan kantong kemiskinan dimana. Hampir semua provinsi kita saksikan memiliki perkampungan kumuh, dan hari ini kita juga masih menyaksikan pengemis di jalan-jalan hampir di seluruh wilayah negeri. Memang negeri ini secara fisik sudah merdeka, namun secara hakiki masih jauh dari panggang dan api. Jurang antara kaya dan miskin begitu berjarak, begitu menganga.

Secara fisik kita menyaksikan gedung pencakar langit menghiasi tanah air begitu mega, kita juga menyaksikan begitu kontras, masih banyak orang tidur dibawa kolong jembatan tidak memiliki rumah, menggunakan ruang dibawah jalan tolong untuk tidur. Kita juga menyaksikan orang tidur didalam kotak bersegi empat di trotoar tidak memiliki rumah. Di trotoar kita juga menyaksikan orang memakai mobil Cadilac, Lexus,Jaguar Sport dan Ferarri. Dengan begitu, mungkin kita bertanya, sudahkah kita warnai negara indonesia menikmati kemerdekaan ini


Melihat negeri ini secara fisik adalah negara kaya sumber mineral, namun hasil hanya sebagian kecil dinikmati oleh penduduk negeri. Bila pada zaman kolonial,Vereenigde Oostindische Compagnie-VOC sudah menguras kekayaan alam negeri ini sejakabad ke-15.VOC mengangkut hasil mineral dan rempah ke negeri mereka di eropa sana. Namun di zaman kemerdekaan, yang sudah berusia 73 tahun, pengangkutan hasil bumi dari tanah air masih terus berlangsung dan hasilnya hanya dinikmati segelintir orang di kekuasaan. Bila dulu usaha dagangadalah VOC, sekarang Trans National Corporation-TNC. Bila dulu dinikmati oleh pemerintah kerjaan belanda, maka sekarang dinikmati oleh sebagian kecil elite yang duduk di kekuasaan negara. Mereka memakan dan menikmati kekayaan bukan hanya dari cara halal, mereka juga melakukan cara haram untuk menikmati kekayaan itu, misalnya korupsi, perampasan tanah rakyat. Pemerintahan kolonial hak untuk hidup rakyat Indonesia, bila melawan tidak segan mereka membunuhnya. VOC setelah mendapat hak Octrooi atau hak khusus untuk memperkuat kekuasaan dagang seperti hak mencetak uang sendiri, hak mendirikan benteng dan membentuk tentara, hak melakukan perundingan dengan raja-raja di Indonesia, hak monopoli dan mengangkat gubernur jenderal.Mendapatkan kekuatan melalui hak Octooi, VOC menggunakan kekerasan untuk menaklukkan rakyat Indonesia yang coba melawan terhadap keinginan mereka. Sebagai contoh, di pulau Maluku VOC mengadakan patroli laut yang disebut pelayaran Hongi dengan tujuan Untuk menangkap dan menghukum rakyat yang menjual/menyelundupkan rempah-rempah ke Portugis dan Inggris. Tidakkan serupa, juga kita masih menyaksikan begitu banyak perampasan tanah disertai kekerasan terjadi di tanah airyang dilakukan oleh TNC. Bahkan, demi TNC, Polisi di negeri rela menembak rakyatnya sendiri, rela menghilangkan nyawa rakyatnya sendiri. Sepertinya tanah lebih berharga dari nyawa. Bedanya, bila dulu kita menyaksikan perampasan harta rakyat dilakukan oleh tentara belanda dan jepang, sekarang dilakukan oleh polisi kita sendiri, polisi yang gaji-nya dibayar oleh rakyat, polisi yang senjatanya dibeli rakyat, lalu dipakai membunuh rakyatnya sendiri.Mungkin penguasa negeri ini hanya memahami makna kemerdekaan untuk dirinya sendiri, membunuh rakyat sekalipun yang penting pendapatan negara dan pertumbuhan ekonomi disumbang TNC itu.


Ir Soekarno, Presiden pertama RI pernah menyampaikan bahwa, Pangan merupakan soal mati hidupnya suatu bangsa; apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka malapetaka. Oleh karena itu perlu usaha secara besar-besaran, radikal, dan revolusioner. Ironisnya hari ini kita. Itulah sebabnya Soekarno meletakkan salah satu fondasi utama negeri ini adalah pertanian, karena penduduknya sebagian besar tinggal di pedesaan dan mereka mayoritas petani.

 Melihat dan membaca surat kabar hampir setiap tahun terdengar ada warga negara menderita kelaparan, menderita kekurangan gizi.

Di Papua Barat misalnya,bila musim kemarau datang, kita mendengar penduduk disana kekurangan pangan dan mereka kelaparan.Kalimantan Timur, yang dikenal dengan kabupaten kaya raya, ternyata banyak memiliki warga yang miskin, terutama di daerah pedalaman yang hanya menggantungkan hidupnya dengan makan satu kali dalam sehari. Di masyarakat miskin perkotaan, kita masih menjumpai banyak anak kekurangan gizi.

Angka kematian balita masih cukup tinggi hari ini, karena mereka kekurangan gizi.Memang sebenarnya pemerintah telah membangun infrastruktur pertanian seperti membangun irigasi dan membuat jalan, dan penyedia energi, namun infrastruktur itu hanya sebagian kecil dinikmati oleh rakyat miskin untuk membangun ketahanan pangan, karena berbayar. Parahnya lagi, sebagai negara pertanian, namun kita masih sering melihat pemerintah melakukan impor kedelai, impor beras, impor gula, kelangkaan cabai.Saya menyaksikan bahwa dibulan puasa tahun  (2012) kelangkaan kebutuhan pokok dipasar seperti kedelai dan lainnya serta-merta memicu melabungkan harga kebutuhan pokok. Saya menyimpulkan keadaan ini menujukkan betapa rapuh-nya ketahanan pangan di negeri yang kata, penyanyi Koesi Plus" tanah surga". Saya juga sependapat dengan Koes Plus, tanah surga, namun saya menambahkan surga bagi para "TNC". Bila demikian, kedaulatan pangan yang seringkali digemborkan pemerintah itu, mungkin tinggal cerita. Hari ini dilaporkan sekitar 13-an juta jiwa terancam rawan pangan . Parahnya lagi dan kotradiksi,pada tahun 2010 terdapat dua puluh persen penduduk Indonesia di atas usia 18 tahun yang termasuk gemuk dan obesitas. Hal ini karena pertumbuhan konsumsi kelas menengah atas naik, karena pendapatan mereka meningkat. Saya juga bisa menyebut yang kaya konsumsinya meningkat, yang miskin konsumsinya menurun.

Buktinya sampai 73 tahun usia kemerdekaan, kita masih terus saja memenuhi kebutuhan pokok sebagian pangan dari impor.


Saya ketika duduk di sekolah dasar, guru kelas memberi tugas kepada saya sebagai pembaca mukadimmah UU Dasar 1945 dan sering juga pemimpin upacara.

Tugas diberikan guru ini seringkali bergantian. Saya masih ingat salah satu alinea dari pembukaan yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Bait itu kalau kita pahami, Founding Farther negeri menetapkan pendidikan sebagai salah tujuan untuk memajukan kesejahteraan umum. Meskipun pada hari ini,73 tahun usia Indonesia, dana pendidikan dalam anggaran pendapatan belanja negara telah menduduki peringkat teratas dari segi jumlah, kita masih merasakan bahwa pendidikan di negeri ini sangat mahal.

Layaknya seperti di negara maju. Ironisnya lagi, kita sering mendengar pemerintah menyampaikan di depan umum bahwa pendidikan adalah gratis, tetapi faktanya tidak semanis itu. Uang pungutan sana, pungutan sini, uang masuk, uang dan lain-lain menjadikan biaya sekolah menjadi lebih mahal dari yang disampaikan oleh para pejabat negara.


Pada akhirnya saya menyimpulkan 73 tahun usia kemerdekaan negara yang bhineka secara fisik telah mencapai kemerdekaan mengumandangkan proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945 dan diakui secara luas oleh bangsa-bangsa lain di dunia.

 Namun makna kemerdekaan yang sesungguhnya masih belum bisa dikatakan merdeka, karena merdeka berarti bebas, bebas dari rasa lapar, bebas dari ketakutan.Hari ini kemiskinan masih menganga, kelaparan masih terjadi dan pendidikan masih mahal. Gangguan keamanan masih terjadi diberbagai negeri ini, nyawa begitu mudahnya melayang, dan entah dihilangkan oleh aparat negara maupun dihilangkan karena bencana alam.

Penghilangan nyawa juga karena daerah-daerah meminta untuk merdeka. Kalau mau jujur, mungkin saya bisa menyebutnya, negara masih gagal untuk memenuhi kebutuhan rakyat seperti apa yang dicita-citakan para pendiri negara ini sejak awal,Oleh karena itu, marilah kita merenung kembali makna kemerdekaan yang hakiki. bila tidak, boleh jadi Indonesia yang saat ini adalah negara bhineka, mungkin saja kedepan itu hilang bila harapan untuk rakyat itu tak terpenuhi.

Sebab saya menyebutnya, ancaman utama negara ini bukan datang dari negara tetangga atau negara lain seperti Malaysia, Singapura, Philipina dan lainnya, namun ancaman real di usia kemerdekaan 73 tahun ini adalah kelaparan, kemiskinan, pemerintahan yang buruk berupa meraja-lelalnya.

Itulah sebabnya penyebab ini harus diatasi dengan segera sehingga kita menjadi satu kesatuan yang untuh. Sehingga makna kemerdekaan yang kita rasakan sekarang bukan sekedar merdeka terdengar ditelinga merdeka berarti bebas dari melek huruf, bebas dari kelapran, bebas dari kemiskinan dan bebas dari rasa takut dirampas tanahnya, orang-orang di negeri ini bebas dari perampokkan kemerdekaanya.