Wednesday, March 27, 2019

Belakangan ini telingaku seperti sudah terdistorsi, sudah sangat terganggu dengan satu kata yang terus menerus lalu lalang menimbulkan suara bising tanpa bisa kumengerti mengapa bisa menjadi seperti itu.

Ya. Kata itu adalah elektabilitas.

Aku yakin hampir semua orang sudah merasakan bisingnya suasana yang disebabkan oleh kata ini. Hanya efeknya saja yang berbeda-beda; jika aku mulai merasakan kata elektabilitas sudah menjadi seperti gangguan akut di telinga, bagi sebagian orang lain mungkin tidak seperti itu. Ada yang bergembira ria mendengar kata ini terus bersiliweran, ada yang bersedih, ada yang marah, dan bahkan ada juga yang depresi dibuatnya.

Aku ingin membahas kata elektabilitas ini dengan memulai tanpa mengupas definisinya sebagaimana yang tercantum dalam kamus.

Sebagai permulaan, aku setuju bahwa angka-angka elektabilitas memang benar dibutuhkan. Aku suka dengan analogi yang mengatakan bahwa elektabilitas itu ibarat panel indikator yang selalu kita lihat di dashboard mobil saat sedang berkendara. Kita akan dengan mudah mengetahui berapa kecepatan, berapa bahan bakar yang tersedia, belum lagi dengan teknologi map yang banyak tersedia, kita akan tahu rute mana yang akan ditempuh dan berapa lama untuk bisa sampai ke tujuan.

Indikator pada mobil akan membantu kita untuk mengambil keputusan penting saat berkendara, misalnya meningkatkan kecepatan mobil kalau lagi dikejar waktu, atau mampir ke pom bensin jika tidak ingin berhenti ditengah jalan karena kehabisan bahan bakar.

Namun, saat ini kata elektabilitas ternyata tidak sesuai lagi dengan gambaran di atas, dia jauh lebih hebat dari pada itu. Bahkan parahnya, jika menggunakan perumpamaan mobil diatas, sebuah panel indicator di dashboard mobil ternyata sudah menjadi lebih berharga dibandingkan dengan mobil itu sendiri.

Sebenarnya aku benci untuk mengakui bahwa kata Elektabilitas ternyata sudah menjadi sehebat itu karena elektabilitas hanyalah satu kata yang direpresentasikan oleh deretan angka persentase milik masing-masing kandidat, itu saja.

Tapi, dua derat angka persentase ini, disadari atau tidak, bisa mempengaruhi begitu banyak orang dan melahirkan ribuan analisa yang kalau dikumpulkan dalam seketika bisa menjadi berjilid-jilid buku. Kata elektabilitas tiba-tiba sudah mengeyampingkan banyak faktor-faktor lain, dan sudah menjadi sebuah awal sekaligus juga akhir dalam siklus politik di negara ini.

Jika anda ingin maju menjadi pimpinan daerah atau presiden di negara ini, maka yang dilihat pertama kali adalah berapa besar angka elektabilitas anda. Saat anda akan berbicara dengan orang-orang, organisasi, atau partai politik, maka anda akan melakukan lobby-lobby dengan berpijak pada kata ini, seberapa besar tingkat keterpilihan anda dibandingkan dengan calon-calon yang lain. Kemudian baru berapa besar "amunisi" yang anda miliki untuk menghimpun dukungan logistik guna meningkatkan elektabilitas pada masa kampanye.

Jika ada yang berpikir tentang kesamaan ideologi atau visi misi yang dimiliki seorang calon untuk memperoleh dukungan politik, maka bersiaplah untuk kecewa.

Ideologi dalam politik saat ini adalah sesuatu yang bisa dikesampingkan, dikompromikan, diadaptasi, atau dinegosiasikan, sejauh semua pihak yakin dengan elektabilitas sang calon. Begitu juga dengan usaha-usaha untuk memperoleh dukungan dari organisasi atau para donatur. Akan menjadi jelas bahwa posisi negosiasi akan ditentukan oleh berapa besar tingkat elektabilitas sang calon pada saat itu.

Inilah penjelasan paling logis dari peristiwa yang sering kita dengar dimana banyak calon kepala daerah yang kecewa karena justru dia tidak didukung oleh partainya sendiri saat maju dalam pemilihan. Sudah patut diduga bahwa pengkhianat itu bernama "elektabilitas", selain masalah uang tentu saja.

Begitu juga setelah seseoarang resmi menjadi "kandidat" pada pemilihan umum, maka hari-harinya akan diisi dengan usaha-usaha untuk meningkatkan "elektabilitas".

Politik sudah menjadi suatu yang lebih personal karena fokus utamanya pada para kandidat, dan strategi kampanye dirancang dengan jauh lebih menitikberatkan pada program-program peningkatan elektabilitas.

Bisa jadi ini ada hubungannya dengan istilah-istilah yang belakangan mulai muncul, seperti political scientist, atau political engineering, selain istilah lama seperti political consultant yang biasa kita dengar.

Politik seolah-olah sudah bergeser menjadi bidang kajian eksakta, dimana banyak hal sudah terkuantifikasi, veriabel-variabel yang berpengaruh sudah mulai disederhanakan, dan diformulasikan, demi tujuan-tujuan elektabilitas.

Kalian mungkin tidak percaya kalau pihak-pihak yang menawarkan algoritma atau formulasi tentang cara cepat meningkatkan elektabilitas adalah pihak yang paling dibutuhkan saat ini, sekaligus juga pihak yang akan mendapatkan keuntungan sangat besar.

Aku tegas mengatakan hal ini, karena hubungan erat antara elektabilitas dengan uang. Elektabilitas adalah sesuatu yang bisa didongkrak dengan uang, dalam jumlah yang fantastis tentu saja. Untuk pemilihan presiden, persen demi persen kenaikan elektabilitas berbanding lurus dangan trilyun demi trilyun uang yang dikeluarkan.

Ini yang membuatku jengah dengan lembaga-lembaga survei, konsultan politik, atau lembaga survey yang merangkap sebagai konsultan, dan termasuk juga para pengamat. Mereka adalah pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap pembangunan opini yang menempatkan semua pihak hanya peduli pada elektabilitas. Mereka seolah-olah lebih "menghamba" pada jajak pendapat, pada hasil polling, seolah-olah hasil pemilu akan ditentukan dengan jajak pendapat yang rutin mereka lakukan.

Program-program kampanye disusun hanya untuk menggerakkan hasil polling, psikologi pemilih juga dipengaruhi agar hasil polling ikut menjadi dasar pemilih untuk mengambil kepususan siapa yang akan mereka coblos saat pemilu, bahkan ada yang mongopinikan bahwa pemilu sudah selesai dengan berpijak pada hasil polling semata.

Kalau ada yang membayangkan bahwa pesta demokrasi akan identik juga dengan pesta literasi, karena wacana yang diluncurkan tentang ideologi kebangsaan, konsep kehidupan berbangsa dan bernegara, tentang program-program pembangunan, atau peningkatan kualtas SDM, mulailah untuk realistis dengan kenyataan bahwa semua itu hanya menjadi pelengkap saja. Ibarat kita mengkonsumsi hidangan penutup dari menu utama elektabilitas yang tersaji.

Kita semua seolah-olah digiring untuk cuma perduli pada hasil jajak pendapat. Itulah alasan hari-hari yang kita lewati dimasa kampanye pilpres ini hanya berkutat dengan hoaks, pencitraan, fitnah, dan lain-lainnya, karena semua berpikir dengan cara seperti itu.

Itulah yang membuatku sangat terganggu belakangan ini. Bahkan aku berharap elektabilitas ini sekali waktu bisa menunjukkan wujud secara fisik, karena aku sudah siapkan sebilah belati untuknya. Kapan pun kami berpapasan di jalan, dia akan kubuat tersungkur di tanah dan tewas seketika.

Aku tidak peduli akan menjadi orang paling dibenci di negara ini karena sudah membuat mereka begitu berduka. Namun, kalian mungkin bisa membayangkan kepuasan yang kurasakan jika ada orang yang berusaha mencari kata itu dari dalam kamus dan menemukan statusnya yang sudah almarhum.

Bagiku, menjadi penting untuk membuat semua orang berduka demi sebuah kelahiran baru, demi sebuah identitas baru, demi sebuah definisi yang lebih layak ditempatkan kepada satu kata yang akan menjadi pengganti kata elektabilitas nanti

Semakin dewasa, beberapa hal mengalami pergeseran makna yang cukup signifikan. Bukan, ini bukan cuma perkara pasangan ataupun perasaan. Hey, hidup tak sekadar tetek bengek hati saja ‘kan? Jika mau melirik dalam, pergeseran makna juga terjadi di urusan pertemanan.

Ikatan yang satu ini boleh jadi tak sesering itu diperhatikan. Namun, selalu ada yang menarik untuk diangkat, dibicarakan, kemudian dimasukkan dalam kompartemen penuh kenangan. Di akhir hari, kita akan sepakat bahwa pertemanan adalah soal siapa yang akhirnya bertahan — setelah dihadapakan pada berbagai keadaan.
Tidak semua orang beruntung ditempatkan dalam pertemanan yang membangun. Ikatan yang bukan cuma sekadar berisi kumpul-kumpul, tapi juga membuat otak dan semangat mengebul.

Perkawanan yang baik memberi kita ruang hangat baru selekat keluarga. Tempat kita bisa diterima, didorong, kemudian berkembang sebagai manusia. Tidak berlebihan rasanya jika kemudian perkawanan dilabeli sebagai ikatan keluarga yang bisa dipilih sendiri. Sebab di sini dukungan selekat saudara sendiri bisa datang dari berbagai sisi.
Pertemuan yang ala kadarnya tidak menyurutkan ikatan yang ada. Jika ditanya siapa orang terdekat dalam hidupmu yang keluar adalah nama-nama mereka. Beberapa cerita juga hanya bisa dibagi pada orang-orang ini saja. Dengan sabar mereka akan mendengar keluh kesah dan impian-impian anehmu tanpa mengernyitkan alis mata.Mungkin kalau tiba-tiba kamu beralih profesi menjadi penulis kacangan yang karyanya tak pernah dimuat mereka juga akan jadi pendukung utama yang paling memahaminya. Ada beberapa rencana dan impian yang hanya bisa kalian wujudkan bersama. Tak mungkin di lingkaran pertemanan lainnya. Sekedar pergi ke luar kota dan menginap beberapa malam saja. Terlihat sederhana memang, tapi siapa yang bersedia menjadi pengendara layaknya sopir bus antar kota? Siapa yang bisa tetap asyik walau hanya makan kurang dari 10 ribu rupiah tiap kalinya?
Kamu tak perlu ada setiap waktu bagi sahabat yang kau cintai dan mencintaimu. Jala persahabatan lah yang akan melekatkan kalian, saat rindu sudah mulai bertalu.

Terima kasih Tuhan, telah kau tempatkan kami dalam jala macam itu.

Berberapa hari ini saya selaku penulis sudah menamatkan sebuah buku yang dimana isi keseluruhan adalah para para ahli pilsafat akal yang dimana banyak mengemukan berberapa pendapat mengenai bermacam bagai hal tentang kehidupan .

Hidup itu memang menyedihkan dan serius. Kita dibiarkan
memasuki dunia yang indah, kita bertemu satu sama lain di sini,
saling menyapa—dan berkelana bersama untuk sejenak. Lalu, kita
saling kehilangan dan lenyap dengan cara yang sama mendadaknya
dan sama tidak masuk akalnya seperti ketika kita datang."
Bahkan Descartes tidak dapat menyangkal bahwa ada interaksi
konstan antara pikiran dan badan. Selama pikiran berada di dalam
badan, Descartes yakin, ia terkait dengan otak melalui sebuah organ
otak yang dinamakannya kelenjar otak, yang di dalamnya interaksi konstan berlangsung antara `ruh' dan `materi'. Oleh karena itu, pikiran
dapat selalu dipengaruhi oleh perasaan dan nafsu yang berkaitan
dengan kebutuhan-kebutuhan badaniah. Tapi pikiran juga dapat
menjauhkan diri dari impuls-impuls `tercela' semacam itu dan
bekerja tanpa bergantung pada badan. Tujuannya adalah agar akal
dapat memegang kendali. Sebab bahkan jika aku merasakan sakit
yang amat-sangat pada hatiku, jumlah sudut dalam sebuah segi tiga
akan tetap 180 derajat. Dengan demikian, manusia mempunyai
kemampuan untuk bangkit mengatasi kebutuhan-kebutuhan badaniah
dan bertindak secara rasional. Dalam hal ini, pikiran lebih unggul
daripada badan. Kedua tungkai kita dapat menjadi tua dan lemah,
punggung dapat menjadi bungkuk dan gigi dapat tanggal—tapi dua
tambah dua akan tetap empat selama kita masih mempunyai akal.
Akal tidak menjadi bungkuk dan lemah. Badaniah yang menjadi tua.
Bagi Descartes, pikiran itu pada dasarnya adalah gagasan. Nafsu dan
perasaan yang lebih rendah tingkatannya seperti keinginan dan
kebencian lebih erat kaitannya dengan fungsi-fungsi badaniah—dan
karenanya dengan realitas perluasan."
"Spinoza mengatakan bahwa hasrat kitalah—seperti ambisi dan
nafsu syahwat—yang menghalangi kita meraih kebahagiaan dan
keselarasan sejati, tapi jika kita mengakui bahwa segala sesuatu
terjadi karena memang harus terjadi, kita akan mendapatkan
pemahaman intuitif tentang alam secara menyeluruh. Kita dapat
sampai pada kesadaran yang benar-benar jernih bahwa segala
sesuatu itu saling terkait, bahkan segala sesuatu itu adalah Satu.
Tujuannya adalah memahami semua yang ada dalam suatu persepsi
yang mencakup keseluruhan. Dengan begitu, barulah kita dapat
meraih kebahagiaan dan kepuasan sejati. Inilah yang dinamakan
Spinoza melihat segala sesuatu `sub specie aeternitatis.'"
Nah, sebagai permulaan, semua filosof yang telah Anda
bicarakan, semuanya pria. Dan kaum pria tampaknya hidup di dunia
mereka sendiri. Aku lebih tertarik pada dunia nyata, di mana ada
bunga-bunga dan binatang serta anak-anak yang dilahirkan dan
tumbuh dewasa. Para filosof Anda selalu berbicara tentang `man'
dan`human', dan kini ada risalah lain mengenai `human nature'.
Seakan-akan `human' ini seorang pria setengah baya. Maksudku,
hidup dimulai dengan kehamilan dan kelahiran, dan aku belum pernah
mendengar apa-apa tentang popok bayi atau bayi menangis sampai
sejauh ini. Dan hampir tidak pernah kudengar apa pun tentang cinta
kasih dan persahabatan."
Aku harus mengakui bahwa aku merasa sangat kompleks. Aku
sangat mudah berubah pendirian, misalnya. Dan sulit membuat
keputusan tentang segala sesuatu. Dan aku dapat menyukai sekaligus
membenci orang yang sama."
Persepsi ego sesungguhnya
merupakan suatu rangkaian panjang kesan-kesan sederhana yang tidak
pernah kita alami secara serempak. Itu `tidak lain dari seikat atau
sekumpulan persepsi yang berbeda-beda, yang kejar-mengejar satu
sama lain dengan kecepatan tak terhitung, dan terus berubah dan
bergerak' sebagaimana Hume mengungkapkannya. Pikiran adalah
`semacam panggung, di mana beberapa persepsi secara berurutan
menampilkan diri; lewat, lewat lagi, menyelinap, dan bercampur
dengan berbagai sikap dan keadaan'. Hume mengemukakan bahwa
kita tidak mempunyai `jati diri pribadi' yang menyokong kita di
bawah atau di balik persepsi-persepsi dan perasaan-perasaan yang
datang dan pergi ini. Seperti gambar di layar bioskop, berubah begitu
cepatnya sehingga kita tidak menyadari bahwa film itu terdiri dari
gambar-gambar tunggal. Dalam kenyataannya, gambar-gambar itu
tidak berkaitan. Film adalah kumpulan gambaran sesaat."

Tuesday, March 19, 2019


Cinta adalah perasaan simpati yang melibatkan emosi yang mendalam. Erich Fromm dalam buku larisnya (The Art of Loving) ada lima syarat untuk mewujudkan cinta yaitu perasaan, pengenalan, tanggungjawab, perhatian dan saling menghormati.(Foto Saya berserta teman saya )

Pada kesempatan ini penulis hanya mengambil satu referensi pengertian politik yang menunjuk kepada satu segi kehidupan manusia bersama masyarakat, lebih mengarah kepada politik sebagai suatu usaha untuk memperoleh kekuasaan, memperbesar atau memperluas serta mempertahankan kekuasaan.

Lalu, apa itu cinta? Cinta adalah kebaikan, ketulusan, keikhlasan, dan pengorbanan. Cinta adalah perasaan simpati yang melibatkan emosi yang mendalam. Erich Fromm dalam buku larisnya (The Art of Loving) ada lima syarat untuk mewujudkan cinta yaitu perasaan, pengenalan, tanggungjawab, perhatian dan saling menghormati.

Namun pada intinya cinta merupakan anugerah Ilahi yang harus disyukuri, seperti kata Khalil Gibran "Ketika cinta memanggilmu maka datanglah kepadanya walaupun sayapnya penuh dengan belati yang dapat melukaimu". Entah dari mana pemikiran tersebut namun Gibran mendeskripsikan bahwa ternyata cinta itu merupakan sebuah hal yang harus diterima, dan satu hal lagi bahwa cinta itu merupakan sesuatu yang begitu suci serta merupakan naluri setiap manusia.

Akhir-akhir ini politik sering dianggap sebagai suatu medan aktulalisasi sehingga ia hadir tanpa substansi, muncullah kemudian opini publik bahwa politik itu kotor. Simpulan semacam itu tak bisa kita elakan, karena masyarakat hanya mendefinisikan politik dari informasi yang mereka tangkap.

Seperti apatisme masyarakat demikian pula mereka yang menjadi pelaku dalam dunia politik praktis. Wajar ketika muncul sebuah keresahan terkait stigma tersebut meskipun stigma itu tak sepenuhnya benar.

Sebagai upaya untuk menyejukkan suasana seperti itu, maka ada baiknya kita melihat politik dari perspektif lain, yakni cinta. Mungkin sontak terlintas dalam benak saudara pembaca pertanyaan seputar apa hubungan cinta dan politik, dan ada apa dengan cinta?

Cinta selalu diawali dari ketertarikan yang kemudian punya komitmen bersama untuk menjalani sebuah ikatan atau hubungan dan saling menghargai, menerima dan memberi atas dasar kepercayaan dan keyakinan yang dijalani. sedangkan politisi adalah seseorang yang terlibat dalam politik bahkan ahli dalam bidangnya serta ikut dan berperan dalam pemerintahan.

Cinta dan politik memang merupakan dua hal yang berbeda, tetapi mereka terdapat kesamaan yang sering dipersoalkan yaitu janji cinta dan janji politik. Sehingga kesetiaan cinta dan politik dipertaruhkan dalam setiap episode kehidupan mereka. Jika kesetiaan itu tidak menjadi pedoman dasar dalam setiap langkah yang ditempuh di kemudian hari maka akan diakhiri dengan kekecewaan, baik itu dalam cinta maupun dalam politik yang dijanjikan oleh para politisi.

Seringkali dalam perjalanan waktu, janji hanyalah kata pemanis belaka, maka kesetiaan akan dipertaruhkan dalam episode kehidupan. Dalam cinta awalnya dibumbui dengan kata-kata manis dan janji-janji kesetiaan maka disaat terakhir pula terjadi goncangan kekecewaan bagi yang merasa dikecewakan, penyebab utama mengakhiri sebuah hubungan adalah karena tidak adanya kesetiaan dan berpegang teguh pada janji yang pernah diungkapkan kepada pasangannya.

Begitu pula dengan politisi, mereka kerap berjanji dan menyampaikan janji politik kepada masyarakat ketika mereka sedang membutuhkan masyarakat sebagai konstituen, bahkan janji kerap kali disampaikan pada saat masyarakat tidak mempertanyakan apa janjinya ketika terpilih dan duduk sebagai wakil rakyat di meja parlemen.
Akibat dari banyaknya janji yang mereka sampaikan kepada masyarakat dan mereka juga tergiur dengan kehidupan mewahnya ketika sudah berada di parlemen, dengan begitu janji politiknya pun hanya akan jadi pemanis belaka dan sebagai upaya politisi untuk mencapai kekuasaan di parlemen.

Dalam kajian politik yang paling tinggi, sepertinya cinta menempati posisi yang paling puncak. Tanpa cinta, politik akan kehilangan jati diri dan kehalusan jiwa. Cinta disini bukan seperti romantisan Drama Korea, Kisah Romeo dan Juliet maupun Kisah Lanur dan Timung Te'e, Bukan Itu! Namun cinta kepada kemanusiaan, cinta kepada rakyat, cinta kepada keadilan, cinta kepada kehidupan aman, tenteram dan sejahtera. Dan lebih penting lagi cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa. Itulah esensialitas perjuangan seorang politisi dalam mengarungi samudra politik yang luas ini.

Oleh karena itu menjadi suatu keharusan bahwa apabila kita berpolitik, maka haruslah penuh kecintaan yang tulus dan dibuktikan dengan perbuatan, kecintaan bahwa yang dilakukan semata-mata untuk pihak yang kita cintai yakni RAKYAT. Bukan hanya beretorika namun tindakan nihil, bukan cinta pribadi, kelompok maupun keluarga, kalau itu sudah jadi budaya maka hanya ada satu kata, tinggalkan!

Penulis berusaha menarik satu benang merah, dari kedua hal terpopuler tersebut diatas. Jika dilihat lebih dalam politik tersebut lebih condong pada praktisi, sedangkan cinta bersifat fitrawi, mungkin ketika keduanya digabungkan bisa melahirkan satu asimilasi yang cukup menarik seperti "POLITIK Berasaskan CINTA" karena ketika kedua hal tersebut dielaborasikan pasti dapat menghasilkan sebuah hal yang sangat menarik.

Maka mari sama-sama kita berusaha menghaluskan jiwa kita, sebab hanya pada jiwa yang bersih dan halus serta tuluslah cinta itu akan bersemayam. Agar ketika apa yang kita lakukan dalam politik sekarang dan nanti bukan karena dorongan untuk memusuhi, bukan semata-mata karena haus akan kekuasaan, mengkerdilkan atau bahkan menyerangi lawan-lawan kita secara membabi buta, akan tetapi atas dasar rasa cinta kepada rakyat dan kemanusiaan ini.

Akhirnya, semoga dalam perhelatan politik diwaktu yang akan datang, mari kita landasi semua pikiran, tindakan dan segala bentuk perbuatan kita semata-mata karena cinta. Cinta yang tulus dan sungguh-sungguh yang datang dari hati. Karena tanpa Cinta Politik itu Binasa.

Monday, March 18, 2019


Ada yang tahu tentang Theory of Happiness? Dalam ilmu psikologi, teori ini hampir sama sifatnya dengan teori kimia yang mengatakan bahwa sifat energi adalah kekal. Energi yang ada di alam semesta ini tidak akan bisa berkurang apalagi menghilang. Ia hanya dapat berpindah atau berubah bentuk.

Oke, aku tidak bermaksud membahas ilmu kimia di sini. Berkaitan dengan teori kebahagiaan tadi, persamaan sifatnya adalah kebahagiaan itu tidak bisa berkurang atau menghilang. Tapi kebahagiaan itu hanya berpindah tempat dan berubah bentuk kalau bisa dikatakan kebahagiaan itu memiliki bentuk. Tidak percaya? Sekarang kita analisa sedikit lebih mendalam ya.

Saat kamu, misalnya, jatuh cinta, menikmati hubungan yang indah dengan teman, atau mendapat pekerjaan yang diinginkan, saat itu kamu sedang mengalami yang namanya kebahagiaan. Segala hal terasa indah dan aku yakin kamu tidak akan sempat memikirkan apa akibat dari kebahagiaan yang sedang kamu alami.

Saat kamu jatuh cinta, kamu berbahagia. Tapi pernahkah kamu berpikir kebahagiaan milik siapakah yang telah terenggut hingga jatuh ke pelukanmu? Mungkin saja di saat kamu jatuh cinta, ada seseorang yang patah hati dalam waktu yang bertepatan. Bisa karena pasanganmu lebih memilih kamu daripada memilihnya, bisa karena memang cinta antara pasanganmu dan mantannya sudah kadaluarsa, dan berbagai macam alasan lainnya (kisah nyata) yang pernah penulis alami.

Atau saat kamu sedang menikmati kebahagiaan karena akhirnya mendapatkan pekerjaan yang kamu impikan, pernahkah terpikir kebahagiaan siapakah yang telah kamu miliki saat ini? Mungkin ada seseorang di sana sedang merenungi kesalahannya sehingga membuat dia dipecat dan akhirnya kehilangan pekerjaan yang sekarang sedang nyaman berada di pelukan kamu.

Tunggu dulu! Tidak usah merasa bersalah atau merasa yang gimana-gimana. Semua adalah wajar. Ini jika dipandang dari sudut ilmu psikologi . Pasti banyak pengunjung yang mampir di sini yang punya latar belakang pendidikan psikologi dan berbaik hati menjelaskan lebih detaildetail .

Hal lain yang berkaitan dengan teori kebahagiaan ini adalah tidak memiliki kehilangan. Biasanya kita merasa jatuh ke jurang paling dalam saat kehilangan sesuatu atau seseorang yang kita sayangi. Kita merasa begitu memiliki sesuatu atau seseorang itu sehingga pada saat akhirnya kita terpaksa kehilangannya kita langsung merasa dunia runtuh. Saat itu seolah-olah kebahagiaan langsung terenggut dengan paksa dari hidup kita. Sekali lagi, hal ini adalah sesuatu yang wajar sebagai respon kita as human being.

Lalu, bagaimana menyikapinya? Semua kembali kepada pikiran kita. Bagaimana kita menyetel pikiran kita untuk selalu berpikir bahwa kita tidak pernah memiliki sesuatu yang bernama kehilangan. Ini adalah hal yang berbeda dengan prinsip tidak pernah merasa memiliki jadi tidak akan merasa kehilangan. Adalah manusiawi bahwa saat kita mendapatkan sesuatu atau seseorang yang kita impikan, maka kita secara otomatis akan merasa kita harus memilikinya. Tapi saat mereka pergi dari hidup kita, maka seharusnya kita berpikir bahwa kita tidak kehilangan. Mereka hanya berpindah tempat. Susah? Pasti. Bingung? Samaaaaa.

Tanganku melepasnya walau sudah tak ada
Hatimu tetap merasa masih memilikinya
Rasa kehilangan hanya akan ada
Jika kau pernah merasa memilikinya

Pernahkah kau mengira kalau dia kan sirna
Walau kau tak percaya dengan sepenuh jiwa
Rasa kehilangan hanya akan ada
Jika kau pernah merasa memilikinya

Lirik lagu di atas adalah lirik lagu yang dinyanyikan Letto. Pasti sudah pada tahu kan? Saat aku mendengarnya (thanks to my best friend who sent this lovely song  ) aku langsung tersenyum dan merasa tenang. Rasa kehilangan hanya akan ada jika kau pernah merasa memilikinya. Jadi untuk apa merasa kehilangan? Aku memilih untuk tidak pernah merasakan kehilangan karena aku tidak pernah merasa memiliki rasa kehilangan itu, bukan karena aku tidak pernah memiliki sesuatu atau seseorang yang aku sayangi .

Jadi, buat sahabat-sahabat yang sudah meluangkan waktunya untuk mencari aku yang tiba-tiba menghilang. Jangan merasa kehilangan ya. Jangan pernah merasa pernah memiliki rasa kehilangan itu. Aku baik-baik saja. Terima kasih atas perhatiannya. Sumpah! Jadi terharu menerima banyak perhatian seperti ini, hiks *mellow mode ON. Anyway, lucky having you guys in my life .