Showing posts with label filsafat. Show all posts
Showing posts with label filsafat. Show all posts

Friday, November 15, 2019


Apa yang anda lakukan, ketika anda berbeda pendapat dengan sahabat anda? Apa yang anda lakukan, ketika anda berkonflik tajam dengan kolega anda? Apa yang anda lakukan, ketika anda memiliki visi hidup dan keinginan yang berbeda ekstrem dengan kekasih anda? Biasanya orang akan mengambil satu pilihan, yakni pergi; cari pacar lagi, cari teman lagi, cari tempat kerja lain yang lebih cocok, atau cari kolega lain yang mengerti jalan pikiran kita.

Di dalam tulisan ini, dengan berbekal pemaparan yang amat menarik dari O’Dwyer, saya akan mencoba menjelaskan pandangan Žižek tentang cinta. Seperti biasa, pandangannya amat dipengaruhi oleh aliran filsafat sekaligus psikoanalisis yang ia dalami selama ini. Sebagai upaya pengembangan, saya juga akan mencoba menarik konsekuensi logis pandangan Žižek khusus untuk konteks pernikahan. Bagi Žižek, cinta adalah suatu untuk mencintai yang seolah “tak dapat dicintai”. Cinta lahir dari kebebasan, dan tidak pernah dapat diperintahkan, apalagi dipaksakan. Saya akan jelaskan lebih jauh.

Slavoj Žižek dikenal sebagai seorang filsuf psikoanalis ternama di dunia. [1] Ia memiliki gaya yang unik dalam menyampaikan pemikirannya. Seringkali ia tidak menolak kontradiksi (bersatunya hal-hal yang berbeda, seperti jahat sekaligus baik, hitam sekaligus putih), melainkan melihatnya sebagai suatu gerak realitas yang alamiah.

Salah satu argumennya yang paling banyak tampil di berbagai forum adalah, bahwa budaya massa sekarang ini, mulai dari film sampai dengan berbagai bentuk gaya hidup, adalah suatu bentuk mitos ataupun tipuan yang menutupi realitas ganjil yang tersembunyi di baliknya. “Dia”, demikian tulis O’Dwyer, “bukan filsuf biasa, karena ia berpikir dan menulis dengan gaya yang ceroboh sekaligus menyenangkan, ia terus membuat filsafat dengan penuh resiko menjadi menyenangkan.” (O’Dwyer, 2012)

Titik tolak Žižek adalah salah satu ajaran Kristiani tentang cinta, yakni cintailah tetanggamu. Dalam arti ini, menurut saya, kata tetangga bisa diartikan sebagai orang lain, “yang lain” dari saya. Pertanyaan berikutnya adalah, siapa itu orang lain, siapa itu “yang lain” dari saya? Untuk menjawab pertanyaan ini, Žižek mengutip pendapat Lacan, orang lain, termasuk tetanggamu, adalah the real itu sendiri. The real adalah yang tak terduga, yang memecah kita dari rutinitas keseharian. “The real”, demikian tulis O’Dwyer tentang Žižek, “adalah orang lain dengan segala kelemahan, kerapuhan, keanehan, dan kesalahan yang sifatnya traumatik.” (O’Dwyer, 2012)

Mencintai orang lain berarti mencintai tidak hanya sisi-sisi baiknya, tetapi juga sisi-sisi traumatis yang tak terduga, yang terkandung di dalam dirinya. Mencintai yang terduga berarti tidak mencintai sama sekali, karena kita sudah menebak, dan mengkalkulasi dirinya. Mencintai baru bisa dianggap sungguh mencintai, ketika kita mencintai orang-orang yang tak terduga, yang tak dapat kita terka, yang tak dapat kita bungkus dalam kesempitan konsep pikiran maupun keinginan kita.

Di dalam dunia sehari-hari, kita sering mendengar kata-kata luhur, seperti toleransi, kasih universal, dan kesetaraan antar manusia. Menurut Žižek, di balik keluhuran kata-kata ini, ada keengganan yang tersembunyi, yakni keengganan untuk bersentuhan dengan “yang lain”, yang tak terduga, dan traumatik. Artinya, wacana yang bersifat luhur tentang cinta kepada manusia lain seringkali justru mematikan upaya kita untuk sungguh mencintai “yang lain”, yang tak terduga, dan traumatik. Orang lain, sejatinya, selalu berbeda, dan selalu mengancam cara hidup dan gaya berpikir kita dengan keberbedaannya tersebut.

Berpikir tentang toleransi, kesetaraan, dan kasih jelas membuat kita berharap, bahwa orang lain akan juga bersikap sama, yakni bersikap baik pada kita. Di dalam realitas, harapan semacam ini tidak akan terwujud. Yang kita dapatkan, dari harapan semacam ini, adalah kekecewaan, karena orang lain ternyata tak dapat diduga, dan bahkan bertindak sama sekali tidak seperti yang kita harapkan. Orang lain, pada dasarnya, adalah traumatik dan mengancam. Cinta yang sesungguhnya adalah mencintai orang yang membuat kita traumatik dan merasa terancam, karena perbedaan yang ia tampilkan.

Pada titik ini, Žižek, sebagaimana dibaca oleh O’Dwyer, mulai berbicara soal hakekat dari manusia, apa artinya menjadi manusia. Tentu saja, seperti bisa langsung ditebak, konsep Žižek tentang manusia bernuansa ganjil dan gelap. Ia tidak berbicara tentang kemanusiaan universal yang bersifat luhur dan mulia, melainkan tentang manusia yang berbeda, yang lain, yang tak terduga, yang tak tertebak, yang mengancam stabilitas sosial yang sudah ada, manusia yang penuh dengan ketidakpastian dan kontradiksi pada dirinya sendiri. Dalam ketidakpastiannya itu, manusia menjadi sesuatu yang lain, yang terasing, dari apa yang umum, dari apa yang sudah diterima sebagai sesuatu yang baku.

Orang lain adalah suatu realitas yang unik, yang tak dapat kita kurung dalam harapan ataupun pikiran yang kita punya. Orang lain adalah realitas yang nyata, yang tak dapat kita hindari dengan ilusi-ilusi harapan yang kita punya tentangnya. Membayangkan bahwa orang lain bisa selalu sesuai dengan apa yang kita harapkan dan pikirkan adalah ilusi yang menciptakan konsep-konsep luhur, seperti toleransi, dan kasih universal.

Mudah bagi kita untuk mencintai orang-orang miskin, orang-orang yang tak mampu, sakit, kelaparan, ataupun kaum minoritas yang jinak. Mudah juga bagi kita, demikian kata Žižek, untuk mencintai orang lain, selama orang lain itu tidak mengganggu hidup kita, cukup jauh dari kita, dan ada jarak yang terus memisahkan saya dengan mereka. Namun, itu bukanlah cinta. Itu hanya tawar menawar. Cinta yang sejati bisa terlihat, ketika orang masuk ke dalam hidup kita tanpa jarak, tanpa rencana, dan kita bisa tetap mencintainya.

Kedekatan itu seringkali menyesakkan. Perbedaan seringkali membuat kita cemas, membuat rutinitas yang telah kita bangun menjadi hancur, dan harus dipikir ulang. Perbedaan yang dekat dengan kita memaksa kita berpikir ulang tentang semuanya. Ketidakmampuan mengelola perbedaan yang mendekat secara tajam dalam hidup kita bisa membuat cinta berubah menjadi kebencian. Dalam arti ini, cinta dan kebencian hanyalah setipis benang. Bahkan Žižek mengatakan, bahwa cinta mengandaikan kemungkinan adanya kebencian di dalamnya.

Mencintai berarti mencintai yang traumatis, yang tak terduga, dan yang mengancam kita dengan perbedaan yang ia tawarkan. Cinta adalah komponen utama dalam pernikahan. Pernikahan yang mengharapkan adanya harmoni akan berujung pada kekecewaan yang mendalam. Justru di dalam pernikahan, belajar dari Žižek, kita perlu untuk siap pada yang tak terduga, tak tertebak, yang mengancam kita untuk mengubah segala hal yang kita pegang selama ini. Pernikahan adalah the real itu sendiri.

Di dalam pernikahan, mudah sekali untuk mencintai orang yang memberi kita kedamaian. Mudah sekali juga untuk mencintai orang yang memberikan kita kebahagiaan. Namun, realitas tidak seperti itu. Banyak pasangan berpisah, karena mereka tidak siap pada yang tak terduga, yang mungkin muncul di dalam hubungan mereka. Di dalam pernikahan, mencintai berarti mencintai “yang traumatis”. Selain itu, bersiaplah untuk bercerai.

Pola berpikir yang sama bisa diterapkan di arena politik. Di alam demokrasi, perbedaan adalah udara yang kita hirup sehari-hari. Yang juga mesti diingat adalah, demokrasi mengandaikan adanya cinta. Bukan cinta yang mengharapkan orang lain (dari etnis, suku, ras, ataupun agama lain) untuk bertindak sesuai keinginan kita, melainkan cinta yang berusaha untuk melampaui dirinya sendiri dengan mencintai orang-orang lain (dari etnis, suku, ras, ataupun agama lain) yang seolah tak dapat dicintai.

Di tengah kerumitan hidup dan kekacauan realitas, Žižek mengajak kita untuk tetap untuk mencintai, terutama mencintai mereka “yang tak dapat dicintai”.

[1] Tulisan ini diinspirasikan sekaligus dikembangkan dari tulisan Kathleen O’Dwyer yang berjudul Žižek on Love dalam http://www.philosophynow.org/issues/77/Žižek_on_Love

Friday, November 8, 2019


Suatu hari, Plato bertanya pada gurunya, “Apa itu cinta? Bagaimana saya menemukannya? Gurunya menjawab, “Ada ladang gandum yang luas didepan sana. Berjalanlah kamu dan tanpa boleh mundur kembali, kemudian ambillah satu saja ranting. Jika kamu menemukan ranting yang kamu anggap paling menakjubkan, artinya kamu telah menemukan cinta”

Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan tangan kosong, tanpa membawa apapun.

Gurunya bertanya, “Mengapa kamu tidak membawa satupun ranting?” Plato menjawab, “Aku hanya boleh membawa satu saja,dan saat berjalan tidak boleh mundur kembali (berbalik)”. Sebenarnya aku telah menemukan yang paling menakjubkan, tapi aku tak tahu apakah ada yang lebih menakjubkan lagi di depan sana, jadi tak kuambil ranting tersebut. Saat kumelanjutkan berjalan lebih jauh lagi, baru kusadari bahwa ranting-ranting yang kutemukan kemudian tak sebagus ranting yang tadi, jadi tak kuambil sebatangpun pada akhirnya”

Gurunya kemudian menjawab ” Jadi ya itulah cinta”

Di hari yang lain, Plato bertanya lagi pada gurunya,”Apa itu perkawinan?Bagaimana saya bisa menemukannya?”

Gurunya pun menjawab “Ada hutan yang subur didepan sana. Berjalanlah tanpa boleh mundur kembali (menoleh) dan kamu hanya boleh menebang satu pohon saja. Dan tebanglah jika kamu menemukan pohon yang paling tinggi, karena artinya kamu telah menemukan apa itu perkawinan”

Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan membawa pohon. Pohon tersebut bukanlah pohon yang segar/subur, dan tidak juga terlalu tinggi. Pohon itu biasa-biasa saja.

Gurunya bertanya, “Mengapa kamu memotong pohon yang seperti itu?” Plato pun menjawab, “sebab berdasarkan pengalamanku sebelumnya, setelah menjelajah hampir setengah hutan, ternyata aku kembali dengan tangan kosong. Jadi dikesempatan ini, aku lihat pohon ini, dan kurasa tidaklah buruk-buruk amat, jadi kuputuskan untuk menebangnya dan membawanya kesini. Aku tidak mau menghilangkan kesempatan untuk mendapatkannya”

Gurunya pun kemudian menjawab, “Dan ya itulah perkawinan”
Cinta bisa jadi merupakan kata yang paling banyak dibicarakan manusia. Setiap orang memiliki rasa cinta yang bisa diaplikasikan pada banyak hal. Wanita, harta, anak, kendaraan, rumah dan berbagai kenikmatan dunia lainnya merupakan sasaran utama cinta dari kebanyakan manusia. Cinta yang paling tinggi dan mulia adalah cinta seorang hamba kepada Rabb-nya.
Kita sering mendengar kata yang terdiri dari lima huruf: CINTA. Setiap orang bahkan telah merasakannya, namun sulit untuk mendefinisikannya. Terlebih untuk mengetahui hakikatnya. Berdasarkan hal itu, seseorang dengan gampang bisa keluar dari jeratan hukum syariat ketika bendera cinta diangkat. Seorang pezina dengan gampang tanpa diiringi rasa malu mengatakan, “Kami sama-sama cinta, suka sama suka.” Karena alasan cinta, seorang bapak membiarkan anak-anaknya bergelimang dalam dosa.

 Dengan alasan cinta pula, seorang suami melepas istrinya hidup bebas tanpa ada ikatan dan tanpa rasa cemburu sedikitpun.
Demikianlah bila kebodohan telah melanda kehidupan dan kebenaran tidak lagi menjadi tolok ukur. Dalam keadaan seperti ini, setan tampil mengibarkan benderanya dan menabuh genderang penyesatan dengan mengangkat cinta sebagai landasan bagi pembolehan terhadap segala yang . Allah berfirman:dilarang Allah dan Rasul-Nya Muhammad
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (Ali ‘Imran: 14)
mengatakan: dalam haditsnya dari shahabat Tsauban Rasulullah ‘Hampir-hampir orang-orang kafir mengerumuni kalian sebagaimana berkerumunnya di atas sebuah tempayan.’ Seseorang berkata: ‘Wahai Rasulullah, apakah jumlah kita saat itu sangat sedikit?’ Rasulullah berkata: ‘Bahkan kalian saat itu banyak akan tetapi kalian bagaikan buih di atas air. Dan Allah benar-benar akan mencabut rasa ketakutan dari hati musuh kalian dan benar-benar Allah akan campakkan ke dalam hati kalian (penyakit) al-wahn.’ Seseorang bertanya: ‘Apakah yang menjawab:dimaksud dengan al-wahn wahai Rasulullah?’ Rasulullah ‘Cinta dunia dan takut mati.’ (HR. Abu Dawud no. 4297, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 3610)
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di dalam tafsirnya mengatakan: “Allah memberitakan dalam dua ayat ini (Ali ‘Imran: 13-14) tentang keadaan manusia kaitannya dengan masalah lebih mencintai kehidupan dunia daripada akhirat, dan Allah menjelaskan perbedaan yang besar antara dua negeri tersebut. Allah memberitakan bahwa hal-hal tersebut (syahwat, wanita, anak-anak, dsb) dihiaskan kepada manusia sehingga membelalakkan pandangan mereka dan menancapkannya di dalam hati-hati mereka, semuanya berakhir kepada segala bentuk kelezatan jiwa. Sebagian besar condong kepada perhiasan dunia tersebut dan menjadikannya sebagai tujuan terbesar dari cita-cita, cinta dan ilmu mereka. Padahal semua itu adalah perhiasan yang sedikit dan akan hilang dalam waktu yang sangat cepat.”

Definisi Cinta
Untuk mendefinisikan cinta sangatlah sulit, karena tidak bisa dijangkau dengan kalimat dan sulit diraba dengan kata-kata. Ibnul Qayyim mengatakan: “Cinta tidak bisa didefinisikan dengan jelas, bahkan bila didefinisikan tidak menghasilkan (sesuatu) melainkan menambah kabur dan tidak jelas, (berarti) definisinya adalah adanya cinta itu sendiri.” (Madarijus Salikin, 3/9)

Hakikat Cinta

Cinta adalah sebuah amalan hati yang akan terwujud dalam (amalan) lahiriah. Apabila cinta tersebut sesuai dengan apa yang diridhai Allah, maka ia akan menjadi ibadah. Dan sebaliknya, jika tidak sesuai dengan ridha-Nya maka akan menjadi perbuatan maksiat. Berarti jelas bahwa cinta adalah ibadah hati yang bila keliru menempatkannya akan menjatuhkan kita ke dalam sesuatu yang dimurkai Allah yaitu kesyirikan.
Cinta kepada Allah
Cinta yang dibangun karena Allah akan menghasilkan kebaikan yang sangat banyak dan berharga. Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin (3/22) berkata: ”Sebagian salaf mengatakan bahwa suatu kaum telah mengaku cinta kepada Allah lalu Allah menurunkan ayat ujian kepada mereka:
“Katakanlah: jika kalian cinta kepada Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian.” (Ali ‘Imran: 31)
Mereka (sebagian salaf) berkata: “(firman Allah) ‘Niscaya Allah akan mencintai kalian’, ini adalah isyarat tentang bukti kecintaan tersebut dan buah serta faidahnya. Bukti dan tanda (cinta kepada Allah) adalah , faidah dan buahnya adalah kecintaan Allahmengikuti Rasulullah maka kecintaankepada kalian. Jika kalian tidak mengikuti Rasulullah Allah kepada kalian tidak akan terwujud dan akan hilang.”
Bila demikian keadaannya, maka mendasarkan cinta kepada orang lain karena-Nya tentu akan mendapatkan kemuliaan dan nilai di sisi Allah. bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Anas binRasulullah :Malik
“Tiga hal yang barangsiapa ketiganya ada pada dirinya, niscaya dia akan mendapatkan manisnya iman. Hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya, dan hendaklah dia mencintai seseorang dan tidaklah dia mencintainya melainkan karena Allah, dan hendaklah dia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkan dia dari kekufuran itu sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 16 dan Muslim no. 43)

Ibnul Qayyim mengatakan bahwa di antara sebab-sebab adanya cinta (kepada Allah) ada sepuluh perkara:
Pertama, membaca Al Qur’an, menggali, dan memahami makna-maknanya serta apa yang dimaukannya.
Kedua, mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan-amalan sunnah setelah amalan wajib.
Ketiga, terus-menerus berdzikir dalam setiap keadaan.
Keempat, mengutamakan kecintaan Allah di atas kecintaanmu ketika bergejolaknya nafsu.

Kelima, hati yang selalu menggali nama-nama dan sifat-sifat Allah, menyaksikan dan mengetahuinya.
Keenam, menyaksikan kebaikan-kebaikan Allah dan segala nikmat-Nya.
Ketujuh, tunduknya hati di hadapan Allah .
Kedelapan, berkhalwat (menyendiri dalam bermunajat) bersama-Nya ketika Allah turun (ke langit dunia).

Kesembilan, duduk bersama orang-orang yang memiliki sifat cinta dan jujur.
Kesepuluh, menjauhkan segala sebab-sebab yang akan menghalangi hati dari Allah . (Madarijus Salikin, 3/18, dengan ringkas)
Cinta adalah Ibadah
Sebagaimana telah lewat, cinta merupakan salah satu dari ibadah hati yang memiliki kedudukan tinggi dalam agama sebagaimana ibadah-ibadah yang lain. Allah berfirman:
“Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu.” (Al-Hujurat: 7)
“Dan orang-orang yang beriman lebih cinta kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165)
“Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” (Al-Maidah: 54)
adalah hadits Anas yang telahAdapun dalil dari hadits Rasulullah disebut di atas yang dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim: “Hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya.”

Macam-macam cinta
Di antara para ulama ada yang membagi cinta menjadi dua bagian dan ada yang membaginya menjadi empat. Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdulwahhab Al-Yamani dalam kitab Al-Qaulul Mufid fi Adillatit Tauhid (hal. 114) menyatakan bahwa cinta ada empat macam:
Pertama, cinta ibadah.
Yaitu mencintai Allah dan apa-apa yang dicintai-Nya, dengan dalil ayat dan hadits di atas.

Kedua, cinta syirik.
berfirman:Yaitu mencintai Allah dan juga selain-Nya. Allah
“Dan di antara manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan-tandingan (bagi Allah), mereka mencintai tandingan-tandingan tersebut seperti cinta mereka kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165)

Ketiga, cinta maksiat.
Yaitu cinta yang akan menyebabkan seseorang melaksanakan apa yang diharamkan Allah dan meninggalkan apa-apa yang diperintahkan-Nya. Allah berfirman:
“Dan kalian mencintai harta benda dengan kecintaan yang sangat.” (Al-Fajr: 20)

Keempat, cinta tabiat.
Seperti cinta kepada anak, keluarga, diri, harta dan perkara lain yang dibolehkan. Namun tetap cinta ini sebatas cinta tabiat. Allah berfirman:
“Ketika mereka (saudara-saudara Yusuf ‘alaihis salam) berkata: ‘Yusuf dan adiknya lebih dicintai oleh bapak kita daripada kita.” (Yusuf:
Jika cinta tabiat ini menyebabkan kita tersibukkan dan lalai dari ketaatan kepada Allah sehingga meninggalkan kewajiban-kewajiban, maka berubahlah menjadi cinta maksiat. Bila cinta tabiat ini menyebabkan kita lebih cinta kepada benda-benda tersebut sehingga sama seperti cinta kita kepada Allah atau bahkan lebih, maka cinta tabiat ini berubah menjadi cinta syirik.

Buah cinta
mengatakan: “Ketahuilah bahwa yangSyaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menggerakkan hati menuju Allah ada tiga perkara: cinta, takut, dan harapan. Dan yang paling kuat adalah cinta, dan cinta itu sendiri merupakan tujuan karena akan didapatkan di dunia dan di akhirat.” (Majmu’ Fatawa, 1/95)
menyatakan: “Dasar tauhid danAsy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di ruhnya adalah keikhlasan dalam mewujudkan cinta kepada Allah. Cinta merupakan landasan penyembahan dan peribadatan kepada-Nya, bahkan cinta itu merupakan hakikat ibadah. Tidak akan sempurna tauhid kecuali bila kecintaan seorang hamba kepada Rabbnya juga sempurna.” (Al-Qaulus Sadid, hal. 110)
Bila kita ditanya bagaimana hukumnya cinta kepada selain Allah? Maka kita tidak boleh mengatakan haram dengan spontan atau mengatakan boleh secara global, akan tetapi jawabannya perlu dirinci.

Pertama, bila dia mencintai selain Allah lebih besar atau sama dengan cintanya kepada Allah maka ini adalah cinta syirik, hukumnya jelas haram.

Kedua, bila dengan cinta kepada selain Allah menyebabkan kita terjatuh dalam maksiat maka cinta ini adalah cinta maksiat, hukumnya haram.

Ketiga, bila merupakan cinta tabiat maka yang seperti ini diperbolehkan.
Ketika seseorang seringsekali bercerita tentang kebenciannya pada sesuatu, apakah itu benar-benar menunjukkan bahwa dia tidak cinta?

salah seorang tokoh besar, Fariduddin al Attar pernah bercerita, bahwa ada seorang tokoh (?) yang berkunjung ke tempat Robi’ah al adawiyah, ulama besar ahli mahabbah,
si tamu tersebut selama berada di tempat robiah yang diceritakan adalah betapa jeleknya dunia itu, betapa buruknya dunia itu, betapa menipunya dunia itu, dan betapa ia bencinya dunia itu.

Robi’ah tersenyum
dan ketika si tamu itu berlalu, Sofyan At Tsauri, sahabat Robiah yang juga sedang berkunjung ke situ bertanya pada Robiah,”Benarkah orang itu benci kepada dunia?”
Robiah tersenyum dan berkata,”Bagaimana mungkin dia membenci dunia? yang ada di pikiran dan perasaannya hanyalah terisi dengan dunia dan urusannya”

Dzunnun al Mishri, satu waktu di datangi salah seorang muridnya,”ya Guru, kata muridnya, aku sudah beribadah kepada Tuhan selama 30 tahun yang menurutku aku juga sungguh2. Siang puasa, malah tahajud dan selain amalan wajib, yang sunnah2 juga aku kerjakan. tapi bukannya aku tidak puas dengan keadaanku, tetapi mengapakah tidak ada sedikitpun tanda2 yang datang dari Tuhan tentang apa yang telah aku lakukan ini?”
Dzunnun menjawab,”kalau begitu, nanti malam kamu makan yang banyak, dan jangan sholat isya”
Si murid agak heran juga mendengar saran gurunya, tapi ia mengangguk dan pulang.
Keesokan harinya, ia datang ke Dzunnun dan bercerita,

“Alhamdulillah guru, semalem saya mendapatkan tanda itu dari Allah swt, aku sudah menuruti saran guru untuk makan yang banyak, tetapi aku tidak tega untuk meninggalkan sholat wajib isya. Kemudian malam harinya, aku bermimpi di datangi oleh Rosulullah saw dan beliau bersabda,”wahai fulan, tenangkan hatimu, Allah mendengar, melihat dan mengetahui apa yang kamu kerjakan. Bersabarlah dan ikhlaslah.” dalam mimpi itu saya mengangguk, kemudian Rosulullah saw bersabda lagi,”Dan sampaikan pada Dzunnun Al Mishri bahwa Allah berpesan agar ia jangan menyarankan muridnya untuk tidak sholat isya”

Mendengar itu Dzunnun tertawa sampai keluar air matanya.
kemudian ia berkata,
“Jika kamu tidak bisa mendekatiNya melalui Kasih SayangNya, maka dekatilah ia melalui rasa marahNya”

Dan baru saja kemaren saya tertegun ketika membaca buku “Secret of Power Negotiating”, di dalam buku itu, Roger Dawson menulis,”apakah lawan CINTA itu adalah BENCI ??” , Tidak !! katanya, Lawan CINTA itu adalah KETIDAKPEDULIAN.

Bagi seorang Pecinta, kebencian dari sang kekasih itu lebih berharga dari pada KETIDAKPEDULIAN dari yang dicintainya.

Seseorang bersyair.
“ya kekasih…dari pada engkau memalingkan wajahmu dariku, lebih baik, sakiti aku dan marahi aku dan bencilah aku…itu lebih baik..sebab kemarahanmu, dan kebencianmu, itu adalah salah satu bentuk kepedulianmu kepadaku”

hati seorang pecinta.
lebih memerlukan kepedulian dari yang dicintai.
dari pada ketidak peduliannya..
baikpun kepedulian itu berwujud kasih sayang yang dicintainya…
ataupun kepedulian itu berwujud amarah dan bencinya.

Wednesday, August 28, 2019


Leiden is lijden!" . Memimpin adalah Menderita. Pepatah kuno Belanda itu dikutip oleh Mohammad Roem dalam karangannya berjudul "Haji Agus Salim, Memimpin adalah Menderita" (Prisma No 8, Agustus 1977). Karangan itu mengisahkan keteladanan Agus Salim. Agus Salim dikenal sebagai salah satu tokoh perjuangan nasional. Ia diplomat ulung dan disegani, namun sangat sederhana dan  sangat terbatas dari sisi materi.

Jika dicermati, ungkapan tersebut sangat sarat makna. Memimpin adalah amanah bukan hadiah. Memimpin adalah sacrificing, bukan demanding. Memimpin adalah berkorban, bukan menuntut.

mengingatkan pentingnya kredo Agus Salim, “leiden is lijden” (memimpin adalah menderita). Dengan kredo tersebut, segera terbayang penderitaan Jenderal Soedirman, yang memimpin perang gerilya di atas tandu. Setabah gembala ia pun berpesan, “Jangan biarkan rakyat menderita, biarlah kita (prajurit, pemimpin) yang menderita.” Zaman sudah terjungkir. Suara-suara kearifan seperti itu terasa asing untuk cuaca sekarang. Kredo pemimpin hari ini, “memimpin adalah menikmati.” Menjadi pemimpin berarti berpesta di atas penderitaan rakyat. Demokrasi Indonesia seperti baju yang dipakai terbalik: mendahulukan kepentingan lapis tipis oligarki penguasa-pemodal, ketimbang kepentingan rakyat kebanyakan (demos). Banyak orang berkuasa dengan mental jelata; mereka tak kuasa melayani, hanya bisa dilayani. Bagi pemimpin bermental jelata, dahulukan usaha menaikkan gaji dan tunjangan pejabat berlipat-lipat; bangun gedung dan ruangan mewah agar wakil rakyat tak berpeluh-kesah; transaksikan alokasi anggaran untuk memperkaya penyelenggara negara dan partai; pertontonkan kemewahan sebagai ukuran kesuksesan; utamakan manipulasi pencitraan, bukan mengelola kenyataan.

Cukup rakyat saja yang menanggung beban derita.
Biarkan petani tergusur dan terbunuh oleh keculasan aparatur negara, seperti kebiadaban pangreh praja yang menyerahkan tanah dan rakyatnya kepada tuan-tuan perkembunan kolonial di zaman tanam paksa. Biarkan petani, nelayan, perajin terus merugi: menjual murah sebagai produsen dan membeli mahal sebagai konsumen.

Saturday, August 24, 2019


Mari kita berpetualang sejenak ke pemikiran klasik Jean-Jacques
Rousseau dalam buku Discourse on the Origin and Basis of Inequality Among Men (1754). Di buku itu, Rousseau membedakan antara ketimpangan (inequality) alami (fisik) dan ketimpangan etis (politik). Ketimpangan alami itu, misalnya, perbedaan kekuatan orang untuk mengangkut beban berupa benda.

Kemampuan seorang balita dan orang dewasa tentu berbeda dalam menenteng sebuah tas, misalnya.

Pada gilirannya, kekuatan alami dan sistem sosial dapat melahirkan ketimpangan etis. Rousseau melihat, akar ketimpangan etis adalah perbedaan kekuasaan dan kekayaan. Orang-orang yang terlalu banyak memiliki kekuasaan dan kekayaan akan berpotensi menindas yang lemah. Ini adalah konsekuensi dari kebebasan manusia untuk memenuhi kebutuhan dan nafsunya.

Dunia dengan kebebasan mutlak adalah kehidupan liar di belantara ganas. Untuk menyingkirkan kebrutalan tersebut, individu-individu yang ada harus menyerahkan sebagian kebebasan mereka kepada otoritas tertentu. ”Inti dari gagasan kontrak sosial secara sederhana adalah setiap orang menempatkan dirinya di bawah otoritas tertinggi”, seru Rousseau dalam bukunya The Social Contract (1762). Otoritas inilah yang akan melindungi hak-hak mereka yang tersisa, yang tidak diserahkan sebelumnya. Inilah
yang disebut negara.

Untuk mengilustrasikan kontrak sosial, mari kita bayangkan sebuah pulau tanpa otoritas negara. Pada awalnya semua manusia terlahir bebas di sana. Ada yang bertubuh kuat dan mampu memiliki senjata, namun ada juga yang lemah dan tak berpunya. Di dunia tanpa otoritas, kaum yang kuat bebas merampas tanah dari kaum yang lemah. Mereka yang melawan dapat dibunuh seenak-
nya. Untuk mengakhiri kebuasan ini, orang-orang di sana lalu bersepakat membuat kontrak sosial dengan mendirikan negara. Kebebasan individu untuk ”mengklaim kepemilikan tanah” diserahkan
kepada negara. Negara berhak untuk menentukan siapakah pemilik sebidang tanah tertentu. Walaupun hak untuk ”menentukan kepemilikan tanah” diserahkan kepada negara, namun hak untuk ”menggarap tanah miliknya” tidak diserahkan kepada negara.

Negara harus melindungi hak ini. Ia akan menghukum siapa pun yang merampas atau menggarap tanah milik orang lain. Ada pertanyaan menarik di sini, ”seberapa jauh kebebasan individu sebaiknya diserahkan kepada otoritas?” Apakah sebaiknya sebanyak mungkin kebebasan itu diserahkan, sehingga dapat menciptakan kesetaraan di dalamnya?

Apakah sebaiknya sedikit mungkin kebebasan itu diserahkan, agar tetap menjamin kebebasan individu? Pertanyaan ini melahirkan perdebatan klasik antara ”demokrasi berorientasi kesetaraan” melawan ”demokrasi berorientasi kebebasan”.

Aku sering membayangkan negara itu sebagai sosok ibu. Warga negara kuibaratkan sebagai anak-anak dari sang ibu. Ada anak yang terlahir sehat, ada juga yang lemah. Orang-orang yang berpandangan demokrasi berorientasi kesetaraan berkata kepada sang ibu, ”Berikan makanan yang adil ke setiap anak!”. ”Tidak! Biarkanlah setiap anak berkompetisi memperebutkan makanan di atas meja!” kata para pembela demokrasi berorientasi kebebasan. ”Gila kau! Anak-anak yang lemah itu bisa tidak kebagian!” terdengar suara dari sisi demokrasi berorientasi kesetaraan.

”Tenang saja, nanti akan ada umpan balik negatif (negative feedback)”, kata para pembela demokrasi berorientasi kebebasan.

Umpan balik negatif adalah mekanisme yang akan bekerja sedemikian rupa untuk mengurangi perbedaan. Pada kasus di atas, misalnya, anak yang lebih sehat akan mencari buah-buah di hutan lalu membawa hasilnya ke rumah, sehingga dapat dinikmati oleh saudaranya yang lemah. Pada kehidupan modern, contoh umpan balik negatif adalah pajak. Sebagian kekayaan dari si kaya diambil oleh negara. Dana ini lalu digunakan untuk berbagai hal, termaksud membantu si miskin. ”Ah bohong! Yang ada justru adalah umpan balik positif!” kata para pembela demokrasi berorientasi kesetaraan. Umpan balik positif adalah mekanisme yang membuat perbedaan yang ada semakin lama semakin lebar. Si kaya memiliki modal untuk berinvestasi, sehingga semakin lama menjadi semakin kaya. Si kaya dapat menyewa orang-orang cerdas dan mengangkangi kekuasaan untuk menjaga keberlangsungan kekayaaannya.

”Anak yang kuat memang akan mencari makan ke hutan, lalu akan dia bawa ke rumah. Tetapi itu akan dia gunakan untuk mengintimidasi sang ibu agar perlahan-lahan mengabaikan si lemah. Dia juga akan meminta sang ibu agar tidak meminta bagian yang terlalu banyak”, kata para pembela demokrasi berorientasi kesetaraan.

Saturday, June 22, 2019



Pengantar

Soekarno adalah manusia Indonesia yang dilahirkan zaman, terlahir tanggal 6 juni 1901 dari ayah seorang guru (pegawai gubernemen asal Blitar) dan ibu seorang ningrat Bali kasta Brahmana.

Dari kontek ini, kita dapati tiga peluang karakter Soekarno, antara lain :

1. Sebagai anak guru, punya peluang untuk sekolah dan juga berpeluang untuk memiliki tekad belajar serta membaca berbagai buku bacaan, sekaligus tertanam nilai-nilai tradisional jawa yang cenderung sinkretis.

2. Sebagai turunan Brahmana, berpeluang untuk memiliki rasa  keagamaan yang kuat, termasuk hal yang sifatnya mistis.

3. Sebagai orang yang lahir dari pemberontakan terhadap adat (pernikahan Bapak-ibunya), berpeluang juga untuk memiliki nilai-nilai pemberontakan. ( baca : pergerakan-perubahan), juga liberal mengingat perbedaan agama orang tuanya ( Bapak : Islam, Ibu : Hindu Bali).

Sebagaimana lazimnya orang jawa suka akan wayang, demikian pula Soekarno sangat menyukai wayang, dan idolanya adalah Bima yang selalu tanpa kompromi dengan bukan golongannya tetapi bisa kompromi dengan sesamanya. ( baca : Soekarno tak pernah kompromi dengan Belanda, tapi ia bisa kompromi dengan jepang, Soekarno bisa kompromi dengan Syahrir, Hatta, H. Agus Salim, dan bahkan dengan kader-kader komunis).

Soekarno dengan Marhaenisme,

Suatu saat, ketika Soekarno tinggal di Ciateul Bandung (Rumah Bu Inggit Garnasih), jalan-jalan disepanjang jalan buah batu sampai disekitar Bojongsoang Dia menemukan Petani dan terjadilah dialog kira-kira seperti begini :

Soekarno               : Siapa namamu ?

Petani                      : Marhaen

Soekarno               : Berapa petak sawahmu ?

Petani                      : Satu petak ini yang diatasnya ada gubug kami, dengan satu istri dan satu anak.

Soekarno                : Siapa yang garap ?, bagaimana panennya ?

Petani                      : yang garap saya sendiri dan hasilnya cukup untuk kehidupan kamibertiga.

Itulah ide dari Marhaenisme, punya sendiri digarap sendiri dan cukup untuk menghidupi keluarga sendiri. ( Soekarno penyambung lidah rakyat, Cindy Adams)

Soekarno dan Islam,

Soekarno sempat tinggal di rumah HOS Cokroaminoto tokoh dan ketua Syarekat Islam di Surabaya (sebelum ke Bandung dan berteman dengan Sema’un tokoh Komunis dan SM Kartosuwiryo tokoh Darul Islam), bahkan istri pertama beliau adalah putri pak Cokro yang bernama Utari. Jelas bahwa Islam yang dipelajari ndari mertuanya adalah Islam pergerakan yang penuh dengan binamika perjuangan kemerdekaan.

Di Bandung, Soekarno sempat bertemu dengan Ulama Persatuan Islam (PERSIS) Ahmad Hasan seorang arab singapur. Pada saat itu Soekarno tertarik dengan gaya A. Hasan dalam berdakwah terutama hal-hal mengenai prilaku khurafat dan tahayul yang sangat diberantas oleh ulama tersebut. Dialog Soekarno dan A Hasan mengenai Islam terekam dalam surat-surat dari Endeh (Soekarno saat itu dibuang ke Endeh Flores)

Masih di Bandung, suatu saat terjadi dialog kecil antara Soekarno dengan H. Agus Salim (Pejuang, ulama dan politikus Syarekat Islam) mengenai Ketuhanan, hasil tukar pikiran itu membua Soekarno belum puas. Ia berkata : ” Saya belum tahu benar arti Allah, tetapi saya merasa kepastian adanya Allah.”. Dan H. Agus Salim mengatakan bahwa Soekarno muda itu sungguh keras kepala. (Presiden RI dari masa ke masa, Tom Finaldin dan Sali Iskandar, H, Drs)

Ketika dibuang ke Bengkulu, Soekarno dekat dengan keluarga Muhamadiyah dan sering berdialog tentang Islam dengan tokoh Muhamadiyah Bengkulu (awal pertemuan dengan ibu Fatmawati sebagai putri tokoh Muhamadiyah).

Dinamika politik, dinamika kekuasaan dan dinamika pemikiran Soekarno dan Islam mencapai puncaknya pada saat menjelang akhir kekuasaanya, oekarno sempat digelari Pahlawan Islam oleh sejumlah organisasi kaum muslimin.

Soekarno dan Neokolim,

Karakter Bima, jiwa Marhaen, bahkan nilai-nilai Islam memang tidak cocok dengan NEOKOLIM ( Neo Kolonialisme dan Imperialisme). Ketiga sudut pandang itu menggelora dalam pernyataan Soekarno bahwa Malaysia adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pemahaman Soekarno terhadap kedudukan Kerajaan Inggris di Malaysia sebagai bentuk penjajahan baru (Neo Kolonialisme) vdan system keberadaan Kerajaan Inggris di Malaysia adalah Imperialisme yang harus diusir dan diperangi. Jadi konsep NEKOLIM ramai dipropagandakan sebagai alasan untuk mengambil Malaysia ke pangkuan NKRI dan perang melawan Inggris.

Kecenderungan untuk mengambil kebijaksanaan dari ketiga nilai tersebut pun muncul, ketika Soekarno menggagas politik luar negeri yang bebas aktif dengan memunculkan pihak netral yang disebut Gerakan  Non Blok, berani keluar dari PBB dan mengajak Negara-negara Asia-Afrika untuk membuat PBB tandingan (Konfrensi Asia-Afrika)

Bisa jadi,  Pemahaman bentuk negara Islam yang ada di benak Soekarno adalah masyarakat madani (baca riwayat sidang-sidang BPUPKI, PPKI terutama sidang-sidang panitia sembilan yang monumental dengan Piagam Jakarta-nya),  Sisi lain gagasan Daulah Islamiah yang merupakan masalah klise umat Islam perlu disikapi dengan arif dan bijaksana serta lebih mengutamakan nilai-nilai konfrehenswif ukhuwah islamiyah dan sistem Negara Islam.

Penutup
Soekarno, jelas kiprahnya dari mulai era politik etika belanda (dibuka sekolah pribumi), periode gerakan pemuda-pemuda (Young celebes, Young Ambon, Young Sumatra, Young Java, Youn Islamiten), Sumpah Pemuda, perjuangan fisik hingga proklamasi kemerdekaan.

Kalaupun kemudian, kejatuhan Soekarno diindikasikan lantaran haus kekuasaan, dicap komunis adalah manusiawi sebagai proses regenerasi, bahwa bangsa Indonesia (baca : umat Islam) memiliki naluri untuk selalu berperan dalam proses kebangsaan dan kenegaraan Republik Indonesia.

Jelas pula bahwa ajaran Islam dinamis dan konstruktif sesuai dengan rasa sosial manusia dan ketakberdayaannya (manusia).