Showing posts with label Sejarah. Show all posts
Showing posts with label Sejarah. Show all posts

Sunday, April 14, 2019


73 tahun silam, bangsa Indonesia memerdekakan dan membebaskan diri dari kekuasaan kolonial Belanda dan Jepang. Tiga ratus lima puluh tahun dibawah kekuasaan pemerintah Belanda dan tiga setengah tahun dibawah pendudukan Jepang. Membebaskan negeri ini dari kedua kekuasaan penjajah itu, bukan hal gampang, rakyat Indonesia merelakan darah mereka tumpah-ruah, harta mereka pergi, keluarga mereka terpisah untuk selamanya. Tujuannya bebas dari penjajahan, bebas dari tanam paksa dan bebas dari romusha. Pekik kemerdekaan melalui UU Dasar 1945 disebutkan, sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa…dan penjajahan dimuka bumi ini harus dihapuskan tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan keadilan. Alinea yang lain, menciptakan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Setelah 73 tahun Indonesia merdeka, apakah benar-benar sudah bebas dari penjajahan. Dan apakah bebas dari rasa lapar, bebas dari dari ketakutan. Saya menyaksikan keadaan masi terus berlasung dengan penjajah yang berbeda.


Menurut saya rendahnya pendapatan bukan merupakan ukuran kemiskinan, namun kita bisa lihat bahwa kurangnya pendapatan dapat memengaruhi rendahnya tingkat kesejahtraan, rendahnya tingkat kesehatan, pendidikan dan lainnya. Kita menyaksikan begitu banyak orang menderita sakit tanpa ke rumah sakit, tanpa pertolongan dokter karena mereka tak memiliki uang. Bila kita membuka angka statistik, penduduk negeri ini masih miskin. Kemiskinan penduduk yang hidup dibawa dua dollar perhari memang hanya naik turun dari periode pemerintahan ke pemerintahan yang lain. Kita masih menyaksikan kantong kemiskinan dimana. Hampir semua provinsi kita saksikan memiliki perkampungan kumuh, dan hari ini kita juga masih menyaksikan pengemis di jalan-jalan hampir di seluruh wilayah negeri. Memang negeri ini secara fisik sudah merdeka, namun secara hakiki masih jauh dari panggang dan api. Jurang antara kaya dan miskin begitu berjarak, begitu menganga.

Secara fisik kita menyaksikan gedung pencakar langit menghiasi tanah air begitu mega, kita juga menyaksikan begitu kontras, masih banyak orang tidur dibawa kolong jembatan tidak memiliki rumah, menggunakan ruang dibawah jalan tolong untuk tidur. Kita juga menyaksikan orang tidur didalam kotak bersegi empat di trotoar tidak memiliki rumah. Di trotoar kita juga menyaksikan orang memakai mobil Cadilac, Lexus,Jaguar Sport dan Ferarri. Dengan begitu, mungkin kita bertanya, sudahkah kita warnai negara indonesia menikmati kemerdekaan ini


Melihat negeri ini secara fisik adalah negara kaya sumber mineral, namun hasil hanya sebagian kecil dinikmati oleh penduduk negeri. Bila pada zaman kolonial,Vereenigde Oostindische Compagnie-VOC sudah menguras kekayaan alam negeri ini sejakabad ke-15.VOC mengangkut hasil mineral dan rempah ke negeri mereka di eropa sana. Namun di zaman kemerdekaan, yang sudah berusia 73 tahun, pengangkutan hasil bumi dari tanah air masih terus berlangsung dan hasilnya hanya dinikmati segelintir orang di kekuasaan. Bila dulu usaha dagangadalah VOC, sekarang Trans National Corporation-TNC. Bila dulu dinikmati oleh pemerintah kerjaan belanda, maka sekarang dinikmati oleh sebagian kecil elite yang duduk di kekuasaan negara. Mereka memakan dan menikmati kekayaan bukan hanya dari cara halal, mereka juga melakukan cara haram untuk menikmati kekayaan itu, misalnya korupsi, perampasan tanah rakyat. Pemerintahan kolonial hak untuk hidup rakyat Indonesia, bila melawan tidak segan mereka membunuhnya. VOC setelah mendapat hak Octrooi atau hak khusus untuk memperkuat kekuasaan dagang seperti hak mencetak uang sendiri, hak mendirikan benteng dan membentuk tentara, hak melakukan perundingan dengan raja-raja di Indonesia, hak monopoli dan mengangkat gubernur jenderal.Mendapatkan kekuatan melalui hak Octooi, VOC menggunakan kekerasan untuk menaklukkan rakyat Indonesia yang coba melawan terhadap keinginan mereka. Sebagai contoh, di pulau Maluku VOC mengadakan patroli laut yang disebut pelayaran Hongi dengan tujuan Untuk menangkap dan menghukum rakyat yang menjual/menyelundupkan rempah-rempah ke Portugis dan Inggris. Tidakkan serupa, juga kita masih menyaksikan begitu banyak perampasan tanah disertai kekerasan terjadi di tanah airyang dilakukan oleh TNC. Bahkan, demi TNC, Polisi di negeri rela menembak rakyatnya sendiri, rela menghilangkan nyawa rakyatnya sendiri. Sepertinya tanah lebih berharga dari nyawa. Bedanya, bila dulu kita menyaksikan perampasan harta rakyat dilakukan oleh tentara belanda dan jepang, sekarang dilakukan oleh polisi kita sendiri, polisi yang gaji-nya dibayar oleh rakyat, polisi yang senjatanya dibeli rakyat, lalu dipakai membunuh rakyatnya sendiri.Mungkin penguasa negeri ini hanya memahami makna kemerdekaan untuk dirinya sendiri, membunuh rakyat sekalipun yang penting pendapatan negara dan pertumbuhan ekonomi disumbang TNC itu.


Ir Soekarno, Presiden pertama RI pernah menyampaikan bahwa, Pangan merupakan soal mati hidupnya suatu bangsa; apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka malapetaka. Oleh karena itu perlu usaha secara besar-besaran, radikal, dan revolusioner. Ironisnya hari ini kita. Itulah sebabnya Soekarno meletakkan salah satu fondasi utama negeri ini adalah pertanian, karena penduduknya sebagian besar tinggal di pedesaan dan mereka mayoritas petani.

 Melihat dan membaca surat kabar hampir setiap tahun terdengar ada warga negara menderita kelaparan, menderita kekurangan gizi.

Di Papua Barat misalnya,bila musim kemarau datang, kita mendengar penduduk disana kekurangan pangan dan mereka kelaparan.Kalimantan Timur, yang dikenal dengan kabupaten kaya raya, ternyata banyak memiliki warga yang miskin, terutama di daerah pedalaman yang hanya menggantungkan hidupnya dengan makan satu kali dalam sehari. Di masyarakat miskin perkotaan, kita masih menjumpai banyak anak kekurangan gizi.

Angka kematian balita masih cukup tinggi hari ini, karena mereka kekurangan gizi.Memang sebenarnya pemerintah telah membangun infrastruktur pertanian seperti membangun irigasi dan membuat jalan, dan penyedia energi, namun infrastruktur itu hanya sebagian kecil dinikmati oleh rakyat miskin untuk membangun ketahanan pangan, karena berbayar. Parahnya lagi, sebagai negara pertanian, namun kita masih sering melihat pemerintah melakukan impor kedelai, impor beras, impor gula, kelangkaan cabai.Saya menyaksikan bahwa dibulan puasa tahun  (2012) kelangkaan kebutuhan pokok dipasar seperti kedelai dan lainnya serta-merta memicu melabungkan harga kebutuhan pokok. Saya menyimpulkan keadaan ini menujukkan betapa rapuh-nya ketahanan pangan di negeri yang kata, penyanyi Koesi Plus" tanah surga". Saya juga sependapat dengan Koes Plus, tanah surga, namun saya menambahkan surga bagi para "TNC". Bila demikian, kedaulatan pangan yang seringkali digemborkan pemerintah itu, mungkin tinggal cerita. Hari ini dilaporkan sekitar 13-an juta jiwa terancam rawan pangan . Parahnya lagi dan kotradiksi,pada tahun 2010 terdapat dua puluh persen penduduk Indonesia di atas usia 18 tahun yang termasuk gemuk dan obesitas. Hal ini karena pertumbuhan konsumsi kelas menengah atas naik, karena pendapatan mereka meningkat. Saya juga bisa menyebut yang kaya konsumsinya meningkat, yang miskin konsumsinya menurun.

Buktinya sampai 73 tahun usia kemerdekaan, kita masih terus saja memenuhi kebutuhan pokok sebagian pangan dari impor.


Saya ketika duduk di sekolah dasar, guru kelas memberi tugas kepada saya sebagai pembaca mukadimmah UU Dasar 1945 dan sering juga pemimpin upacara.

Tugas diberikan guru ini seringkali bergantian. Saya masih ingat salah satu alinea dari pembukaan yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Bait itu kalau kita pahami, Founding Farther negeri menetapkan pendidikan sebagai salah tujuan untuk memajukan kesejahteraan umum. Meskipun pada hari ini,73 tahun usia Indonesia, dana pendidikan dalam anggaran pendapatan belanja negara telah menduduki peringkat teratas dari segi jumlah, kita masih merasakan bahwa pendidikan di negeri ini sangat mahal.

Layaknya seperti di negara maju. Ironisnya lagi, kita sering mendengar pemerintah menyampaikan di depan umum bahwa pendidikan adalah gratis, tetapi faktanya tidak semanis itu. Uang pungutan sana, pungutan sini, uang masuk, uang dan lain-lain menjadikan biaya sekolah menjadi lebih mahal dari yang disampaikan oleh para pejabat negara.


Pada akhirnya saya menyimpulkan 73 tahun usia kemerdekaan negara yang bhineka secara fisik telah mencapai kemerdekaan mengumandangkan proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945 dan diakui secara luas oleh bangsa-bangsa lain di dunia.

 Namun makna kemerdekaan yang sesungguhnya masih belum bisa dikatakan merdeka, karena merdeka berarti bebas, bebas dari rasa lapar, bebas dari ketakutan.Hari ini kemiskinan masih menganga, kelaparan masih terjadi dan pendidikan masih mahal. Gangguan keamanan masih terjadi diberbagai negeri ini, nyawa begitu mudahnya melayang, dan entah dihilangkan oleh aparat negara maupun dihilangkan karena bencana alam.

Penghilangan nyawa juga karena daerah-daerah meminta untuk merdeka. Kalau mau jujur, mungkin saya bisa menyebutnya, negara masih gagal untuk memenuhi kebutuhan rakyat seperti apa yang dicita-citakan para pendiri negara ini sejak awal,Oleh karena itu, marilah kita merenung kembali makna kemerdekaan yang hakiki. bila tidak, boleh jadi Indonesia yang saat ini adalah negara bhineka, mungkin saja kedepan itu hilang bila harapan untuk rakyat itu tak terpenuhi.

Sebab saya menyebutnya, ancaman utama negara ini bukan datang dari negara tetangga atau negara lain seperti Malaysia, Singapura, Philipina dan lainnya, namun ancaman real di usia kemerdekaan 73 tahun ini adalah kelaparan, kemiskinan, pemerintahan yang buruk berupa meraja-lelalnya.

Itulah sebabnya penyebab ini harus diatasi dengan segera sehingga kita menjadi satu kesatuan yang untuh. Sehingga makna kemerdekaan yang kita rasakan sekarang bukan sekedar merdeka terdengar ditelinga merdeka berarti bebas dari melek huruf, bebas dari kelapran, bebas dari kemiskinan dan bebas dari rasa takut dirampas tanahnya, orang-orang di negeri ini bebas dari perampokkan kemerdekaanya.

Friday, April 12, 2019


Dari Nazi hingga Newt Gingrich, menunjukkan cara-cara bagaimana pemerintahan-oleh-rakyat dapat binasa dari muka bumi. Mungkin demokrasi — seperti semua hal yang dibuat oleh manusia—adalah sesuatu yang tidak abadi, yang menua dan mati.


Menuju apa, tepatnya, kita terjun? Kita merasa bahwa momentum berbagai peristiwa membawa kita ke arah sesuatu yang mengerikan. Apakah ini kembali ke fasisme? Atau akankah masa depan kita terlihat seperti Eropa Timur saat ini—demokrasi yang tidak liberal? Atau apakah teknologi begitu cepat membesarkan hidup kita, sehingga demokrasi cenderung memberi jalan untuk yang saat ini terjadi dan itu belum memiliki nama? Dan siapa “kita”? Apakah itu Amerika Serikat, yang mana di antara negara-negara Barat, telah menempatkan sesosok musuh terhadap kebebasan individu di jabatan tertinggi? Atau akankah pandangan yang lebih luas menunjukkan kepada kita, bahwa sebagian besar Eropa menuju ke arah yang sama? (Pemilu di Italia dapat berfungsi sebagai penunjuk arah.)

Saya telah membaca buku-buku yang sudah lama ada, yang sangat banyak dipasarkan akhir-akhir ini seperti donat. Ada ‘Bagaimana Demokrasi Mati’ oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt; ‘Bagaimana Demokrasi Berakhir’, oleh David Runciman; ‘Rakyat VS Demokrasi’, oleh Yascha Mounk; dan ‘On Tyranny’, oleh Timothy Snyder . Anda harus kembali lebih dari satu abad yang lalu—sampai 15 tahun sebelum Perang Dunia I—untuk menemukan saat lainnya ketika begitu banyak pemikir terkemuka—Herbert Croly, Walter Weyl, Nicholas Murray Butler, dan lainnya—yang mempertanyakan masa depan demokrasi. Tapi pada saat itu, negara-negara belum menyerah pada ideologi totalitarianisme. Kemana pun arah terjun Amerika dan Barat saat itu, saat ini jauh lebih mengerikan.
Analogi yang paling jelas dan menyedihkan pada momen kita saat ini adalah tahun 1933. Itulah kesimpulan buku Snyder—yang sebenarnya adalah semacam produk berukuran kecil yang biasanya diletakkan di samping kasir toko buku—hari akhir diformat ulang sebagai hadiah. Cukup tepat, Snyder memiliki 20 pelajaran demokrasi, dimulai dari “institusi pertahanan” hingga yang ringan seperti, “Lakukan kontak mata dan obrolan ringan.” Dia telah menulis ‘Hari Selasa bersama Morrie’ tentang anti-fasisme.
Snyder mengacu pada pengetahuan agamanya tentang totalitarianisme pada abad ke-20, untuk menawarkan kesejajaran antara saat-saat itu dan masa depan kita sendiri. Dia mengutip sebuah surat kabar Yahudi Jerman pada hari-hari setelah Hitler berkuasa, dan menolak pandangan bahwa Hitler akan melakukan apa yang dia katakan akan dia lakukan, karena “sejumlah faktor penting terus memeriksa pemegang kekuasaan.” Jadi, Snyder mengamati—seperti yang dipikirkan oleh banyak “orang yang masuk akal” saat ini—sedikit perhitungan bagaimana pemimpin otoriter dapat melawan institusi yang membawa mereka ke kursi kekuasaan.
Kita semua berpikir tentang tahun 1933, tentu saja. Bukankah itu pelajaran persetujuan diam-diam Jerman dengan Hitler? Dan sama seperti Pascal yang berpendapat bahwa kita lebih baik bertaruh pada keberadaan Tuhan daripada tidak, karena konsekuensinya jauh lebih buruk jika kita salah karena tidak percaya daripada jika kita salah karena percaya, jadi kita akan bodoh jika berpikir—seperti yang dilakukan orang Jerman—bahwa “Itu tidak mungkin terjadi di sini.”
Masalah dengan analogi Pascal adalah adanya konsekuensi yang sangat nyata, dan terkadang menghancurkan, untuk bertaruh pada yang tak bisa dikatakan. Ketika pemimpin Yahudi sayap kanan—dan pengikut evangelikal mereka—mengatakan “tidak akan lagi,” mereka mencoba untuk menggertak lawan mereka untuk membela Israel dengan segala cara, bersiap untuk berperang dengan Iran, meninggalkan Palestina dengan nasib mereka, dan seterusnya.
Anda tidak bernegosiasi dengan fasis; Anda melindungi diri Anda sendiri, dan institusi Anda, melawan mereka, seperti yang disarankan oleh Snyder. Tapi ini adalah kesalahan serius untuk membiarkan kemungkinan terjadinya bencana yang sangat kecil, untuk mengaburkan kemungkinan yang lebih besar dari penyakit yang lebih rendah. Mengatakan mengenai tahun “1933” sama seperti mengatakan kepada orang-orang yang memilih Donald Trump atau Marine Le Pen atau Brexit, bahwa “Anda adalah brownshirts(anggota Nazi)”. Tapi itu menghilangkan banyak pilihan.
Apakah saat ini benar-benar seperti tahun 1933? Donald Trump dengan jelas ingin menjadi seorang otoriter, dan sebagian pendukungnya akan mendukungnya jika dia mulai membongkar institusi-institusi utama. Untungnya, Trump tidak memiliki rencana atau bakat jahat yang dibutuhkan untuk melakukan hal itu. Terlebih lagi, institusi Amerika jauh lebih kuat daripada negara-negara Eropa mana pun pada tahun 1930-an. Tingkat kekerasan politik jauh lebih rendah.
Seperti yang David Runciman tekankan, negara-negara seperti Mesir dan Turki terlihat lebih mirip dengan Jerman di antara peperangan, sementara negara-negara Eropa yang menyerah pada fasisme telah membangun kekebalan yang kuat terhadapnya: Lihatlah semangat para pemilih Prancis tentang nilai “republikan” dalam menghadapi Le Pen. Runciman berpendapat bahwa Trump tidak akan pernah berubah menjadi Hitler, dan mungkin memang begitu. Pada saat yang sama, Trump mungkin mewakili sesuatu yang sama-sama berbahaya, walau kurang dramatis.
Erosi yang berbahaya adalah motif utama dari ‘Bagaimana Demokrasi Mati’. Levitsky dan Ziblatt (mari kita panggil mereka L&Z untuk jangka pendek) juga menakut-nakuti kita dengan cerita dari masa lalu fasis. Tapi cerita yang mereka ceritakan adalah salah satu kepercayaan yang cukup lamban sehingga bisa luput dari perhatian saat itu. Demokrasi memiliki mekanisme “penjaga gerbang” yang menjaga anti-demokrat dari kekuasaan; pikirkan koalisi tengah-kiri/tengah-kanan yang sekarang berpihak pada partai-partai sayap kanan di sebagian besar Eropa Barat. Bagaimana, L&Z bertanya, mekanisme tersebut gagal? Di Amerika Serikat, mereka menulis, Konstitusi menyaring pilihan seorang presiden melalui sebuah pemilu yang terdiri dari para pemimpin politik.
Peran itu beralih ke partai-partai, yang membuat gagasan sayap kanan seperti Charles Lindbergh dan Henry Ford. Tapi hierarki partai mulai runtuh setelah tahun 1960-an. Di Partai Republik saat ini, penjaga gerbang adalah Sean Hannity dan Laura Ingraham dan Asosiasi Pemilik Senjata Nasional (NRA). Mereka menyaring gagasan di dalam, bukan di luar. Di Eropa, individu karismatik dapat menciptakan partai mereka sendiri, seperti Emmanuel Macron, Jean-Luc Mélenchon, dan keluarga Le Pen di Prancis. Di Amerika Serikat, di mana peraturan pemilu tidak menyukai pihak ketiga, individu semacam itu dapat menaklukkan sebuah partai dari luar—setidaknya dia bisa, jika itu adalah Partai Republik. Pintu gerbang terbuka.
Dalam ‘Demokrasi di Amerika’—yang ditulis pada saat prospek demokrasi Amerika terlihat lebih baik daripada yang mereka lakukan saat ini—Alexis de Tocqueville mengamati bahwa undang-undang berbuat lebih banyak untuk membentuk republik Amerika, daripada mendapatkan manfaat geografi yang tidak disengaja, namun “kebiasaan” itu—yang dia definisikan sebagai “berbagai pengertian dan pendapat terkini di antara manusia” baik di bidang agama atau kehidupan sipil—memiliki pengaruh yang lebih besar. Kata yang kita gunakan hari ini untuk merujuk pada pendapat yang tidak teruji itu adalah “norma.” Di sini, L&Z membuat kontribusi penting bagi pemahaman kita tentang mengapa kita menuju ke mana pun yang kita jalani. Menjalankan demokrasi, menurut mereka, bergantung pada dua norma: saling toleran dan penahanan diri.
Prinsip pertama, dan yang lebih jelas, memerlukan legitimasi untuk lawan kita. Kebencian populis terhadap elit telah membuat prinsip ini terasa sama kuno dengan kode pertarungan Perang Dunia I; Sejumlah besar sayap kanan benar-benar percaya bahwa Hillary Clinton adalah Setan.
Partai Republik telah menambang pemikiran ini sejak partai tersebut diambil alih lebih dari dua dekade yang lalu oleh Newt Gingrich, yang retorika kata-katanya yang terkenal mengilhami “memo GOPAC” tahun 1990, yang mendesak kandidat legislatif Partai Republik untuk menggunakan bahasa untuk menyoroti “kepemimpinan positif optimis” mereka—bendera, keluarga, anak, pekerjaan—dan “secara kontras” menggunakan kata-kata untuk menggambarkan lawan Demokrat mereka: anti-, mengkhianati, menipu, korup, menghukum. Jika perilaku tahun 1933 menjadi jenderal sayap kiri, saling intoleransi akan menjadi pemimpin tertinggi di semua sisi.
Penahanan diri adalah gagasan yang lebih sulit dipahami; L&Z menggambarkannya sebagai keputusan berprinsip untuk tidak menggunakan semua kekuatan semena-mena—untuk menghindari “kekejaman konstitusional.” Ketika penahanan diri gagal, pengekangan demokratis tampak aneh.
Penulis menggambarkan kejadian menjelang kudeta Chili pada tahun 1973 sebagai permainan kekejaman konstitusional yang terus meningkat, masing-masing melakukan segala daya untuk menghalangi yang lain. Di negara-negara demokrasi yang lebih maju, kegagalan penahanan diri membuat demokrasi semakin tidak berfungsi, seperti halnya dengan meningkatnya ujaran interupsi yang bertele-tele di Kongres. Keputusan pemimpin Republik pada tahun 2016 untuk menolak mempertimbangkan kandidat Mahkamah Agung Presiden Barack Obama, Merrick Garland, merupakan pelanggaran yang hampir belum pernah terjadi sebelumnya. Dan satu kegagalan mengobarkan yang lain, karena saingan yang dianggap tidak sah, hampir tidak dapat diberi ruang untuk melakukan rancangan jahatnya. Akhirnya, konsekuensinya bisa jauh lebih daripada kemacetan.
Ini adalah bagaimana demokrasi mati: melalui erosi perlahan terhadap norma-norma yang melemahkan institusi demokratis. Atau mungkin penyakit kita yang benar, tapi pasiennya salah. Apa ini artinya mengatakan bahwa demokrasi terancam ketika Donald Trump dan Viktor Orban dari Hungaria dan Partai Hukum dan Keadilan Polandia, terpilih secara adil? Mungkin yang sedang sekarat bukanlah “demokrasi.”
Menurut Yascha Mounk—yang berada di fakultas di Harvard seperti L&Z—demokrasi, yang dipahami sebagai sistem politik yang dirancang untuk menjamin kepemimpinan oleh mayoritas, dalam keadaan baik-baik saja, bahkan semua terlalu baik; Yang berada di bawah ancaman adalah nilai-nilai yang ada dalam pikiran kita ketika kita berbicara tentang “demokrasi liberal.” (‘Rakyat VS Demokrasi’ adalah judul yang menyesatkan; subjek Mounk sebenarnya adalah “rakyat VS liberalisme”, atau “liberalisme VS demokrasi”, Meskipun beberapa editor pasti memujinya karena menggunakan versi Godzilla VS Mothra.)
Mounk melacak munculnya partai-partai populis di seluruh Eropa. Apa yang dimiliki oleh partai-partai ini, tulisnya, adalah suatu keinginan untuk memanfaatkan mekanisme mayoritas—terutama, surat suara—untuk mempromosikan sebuah visi yang memusuhi hak-hak individu, peraturan hukum, penghormatan terhadap minoritas politik dan etnis, dan kesediaan untuk mencari solusi kompleks untuk masalah yang kompleks. Ini adalah demokrasi yang tidak liberal.
“Demokrasi tanpa hak,” seperti yang juga disebut Mounk, merupakan reaksi sekaligus provokasi untuk, “hak tanpa demokrasi,” atau “liberalisme yang tidak demokratis”—sebuah rumusan yang pertama dibuat oleh ilmuwan politik Belanda Cas Mudde, meskipun tidak disebutkan di sini. Jika mayoritas tidak mendukung hak-hak liberal, atau khawatir mereka tidak mendukung hak liberal, elit menciptakan mekanisme, termasuk judicial review, birokrasi federal, dan badan perjanjian internasional, yang hanya secara tidak langsung bertanggung jawab kepada publik. Apakah itu baik atau buruk? “Pagar pembatas” oleh L&Z adalah ringkasan demokrasi Mounk. Kemudian, bagaimana kita memikirkan hubungan antara liberalisme dan mayoritas demokrasi?
Prinsip liberal pada dasarnya tidak bersifat mayoritas.
John Stuart Mill—filsuf liberal Victoria yang terkemuka—tidak pernah mempercayai masyarakat luas untuk melindungi kebebasan individu, dan karenanya cukup puas dengan sistem pemilu yang menolak pemungutan suara sampai sembilan per sepuluh atau lebih dari orang dewasa Inggris. Namun di abad ke-20, negara-negara Barat menjadi liberal dan demokratis.
Mengapa saat ini kita melihat dua prinsip ini terpecah? Mounk menyimpulkan bahwa demokrasi liberal berkembang dalam tiga kondisi: media massa yang menyaring ekstremisme; pertumbuhan ekonomi dan mobilitas sosial yang luas; dan homogenitas etnis yang relatif. Ketiga landasan itu kini hancur berantakan. Dan seperti yang telah terjadi, demokrasi yang tidak liberal dan liberalisme yang tidak demokratis semakin meningkat satu sama lain. Pemungutan suara Brexit—sebagai satu contoh—memiliki pandangan internasional liberal dan teknokrat Uni Eropa yang melawan “orang Inggris kecil”, yang merindukan sebuah dunia tradisi dan pekerjaan yang stabil.
Mounk mengatakan bahwa waktunya telah tiba untuk mempertimbangkan kembali kebohongan bahwa negara-negara demokrasi liberal menjadi “kuat” dan tidak lagi berisiko mengalami kemunduran, setelah dua kali pertukaran kekuasaan berturut-turut. Polandia dan Hungaria, menurutnya, “mundur” ke demokrasi yang tidak liberal.
Saya sangat setuju dengan Mounk, dan telah banyak menulis tentang bangkitnya demokrasi yang tidak liberal di Eropa Timur dan di sini. Tapi saya bertanya-tanya apakah, sebenarnya, kegagalan liberalisme dan demokrasi saling menguatkan. Kelompok minoritas telah semakin banyak belajar bagaimana mencegah mayoritas agar tidak mengubah kemauan mereka menjadi undang-undang. Di Amerika Serikat, hal ini membuat kelompok kepentingan bisnis atau kelompok seperti NRA, untuk menggunakan kekuatan keuangan mereka untuk memblokir undang-undang populer, dan untuk memajukan kepentingan mereka sendiri. Di Prancis, sebaliknya, serikat pekerja telah mampu melumpuhkan negara tersebut untuk membunuh reformasi pasar kerja. Ketidakmampuan negara untuk memerintah, mengasingkan warga negara dari pemerintahan, dan memicu partai-partai anti-sistem.
Pemilih beralih ke sosok seperti Donald Trump yang mengaku bisa mengatasi masalah hanya oleh dirinya sendiri. Jelas, dia tidak bisa. Namun di Prancis, Emmanuel Macron—pemimpin anti-sistem lain dengan kecenderungan “Jupiterian”—sedang berjuang dalam pertempuran besar untuk menunjukkan bahwa mekanisme demokrasi dapat menyebabkan perubahan ekonomi dan sosial yang nyata. Sejauh ini, dia menang—secercah harapan di Barat.
Apakah semangat demokrasi liberal tunduk pada pembaharuan? Kita mengatakan itu karena kita tidak bisa memikirkan sebaliknya. Tapi mungkin tidak. David Runciman melihat demokrasi bukan sebagai ahli bedah berbakat yang mencoba menyatukan kembali anggota badan yang terputus, namun sebagai antropolog budaya yang meneliti apa yang mungkin merupakan peradaban kuno. Runciman mempertanyakan kesimpulan “teori modernisasi”, bahwa demokrasi adalah titik akhir perkembangan politik.
Mungkin demokrasi—seperti semua hal yang dibuat oleh manusia—adalah sesuatu yang tidak abadi, yang menua dan mati. Dua puluh tahun yang lalu, jurnalis dan sejarawan Robert Kaplan menunjukkan pandangan ortodoksnya dengan menulis esai berjudul, “Apakah Demokrasi Hanyalah Sesaat?” Sebenarnya, demokrasi kemudian berkembang pesat. Tapi mungkin dia hanya terlalu dini.
Runciman berpendapat bahwa sementara kita mencari Luftwaffe (angkatan bersenjata Jerman) yang baru, tanah runtuh di bawah kaki kita. Kudeta sekarang benar-benar menjadi urusan Negara Dunia Ketiga; Sebaliknya, demokrasi maju terancam punah atas nama melestarikan demokrasi. Pendukung Donald Trump cukup yakin bahwa elit liberallah yang mencoba mencuri demokrasi; mereka mencoba untuk menyimpannya.
Bahkan jika Trump sama gelapnya dengan seperti yang dipikirkan oleh Timothy Snyder, Runciman menulis, kita tidak akan pernah memiliki kejelasan yang kita perlukan untuk melawan pertarungan yang baik, karena dia dan para pengikutnya akan sibuk mempertahankan demokrasi dari kita.
Negara-negara demokrasi Barat telah diuji secara mendalam sebelumnya, kata Runciman, entah di Eropa pada tahun 1930-an atau Amerika Serikat di era populis pada pergantian abad ke-20. Tapi demokrasi pada saat itu muda; sistemnya masih “kendur,” seperti yang dikatakan Runciman. Demokrasi dapat menanggapi krisis ekonomi dengan meningkatkan kapasitas baru untuk intervensi negara. Sekarang, Runciman berhipotesis, demokrasi berada di “usia paruh baya.”
Era perubahan bentuk terjadi di masa lalu. Jika benar—seperti yang dikatakan oleh Thomas Piketty dalam Capital in the Twenty-First Century—bahwa sebuah era kesetaraan yang relatif singkat yang sekarang telah memberi jalan kepada era kapitalis dengan ketidaksetaraan ekstrem, apakah demokrasi memiliki kemampuan untuk mengubah peraturan untuk secara lebih adil mendistribusikan kesetaraan? Mungkin tidak, kata Runciman, dengan tidak memihak ilmu sosial.
Runciman berpendapat bahwa warga negara yang rasional dapat memilih alternatif demokrasi. Misalnya, otoritarianisme pragmatis dan non-ideologis saat ini menawarkan “keuntungan pribadi” seperti produk konsumen yang bagus, dan “martabat kolektif” dalam bentuk nasionalisme yang agresif. Itu menjelaskan daya tarik kedua Xi Jinping dan Donald Trump. Bagaimana dengan “epistokrasi,” atau kepemimpinan oleh beberapa orang yang berpengetahuan luas? Yang lebih mungkin terjadi di era Mill, Runciman mengakui, daripada di era kita sendiri.
Mungkin mekanisme demokrasi akan diambil alih oleh internet. Atau mungkin—karena semua mesin dalam hidup kita belajar untuk berbicara satu sama lain, dan memperlakukan kita sebagai data—keseluruhan gagasan tentang diri yang berbeda-beda, dengan paket kebebasan individual mereka yang menyertainya, akan menjadi usang, dan kita akan mengatakan bahwa demokrasi tidak hanya sesaat, tapi terus menerus.
Runciman memiliki pendapat yang cukup rendah tentang kemampuan demokrasi untuk mengatasi masalah-masalah bencana seperti perubahan iklim, sehingga Runciman tidak terkejut jika memikirkan kematian demokrasi yang akan datang.
Bagi kita yang lebih tidak tahan dibanding Runciman, tidak akan senang untuk ikut melihat saat dia membedah ‘mayat’ demokrasi. Kami akan mencari penulis yang lebih terlibat secara moral untuk mendapatkan jawaban. Timothy Snyder akan menyuruh kita memeluk orang yang kita cintai dan kemudian melangkah maju ke dunia dengan pedang yang menyala. Saya tidak setuju dengan itu—paling tidak, belum. (Pada saat Anda siap, saya mendengar Snyder bergumam, itu sudah terlambat.)
L&Z meminta Partai Republik untuk mengusir para otoriter dalam jajarannya—walau tidak mungkin—dan meminta Partai Demokrat untuk kurang lebih melakukan apa yang Partai Demokrat lakukan, untuk memperjuangkan kepentingan minoritas, tapi juga merancang program yang menguntungkan kelas menengah. Mounk—yang lebih sesuai dengan selera saya—mengatakan bahwa kaum liberal harus memperhatikan masalah-masalah illiberal dengan lebih serius, baik dalam bentuk peraturan imigrasi yang diubah, atau untuk menemukan bahasa baru yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah minoritas dan yang terpinggirkan.
Seperti kebanyakan penulis kami, saya tidak suka memikirkan masalah tanpa adanya solusi; Saya memiliki bias terhadap kemampuan mendapatkan solusi. Namun, saya berhenti untuk mengamati apa yang saya temukan dalam setiap karya ini: nasib baik kita bergantung pada malapetaka.
Runciman mengklaim bahwa demokrasi memerlukan dampak yang membutakan terkait perang habis-habisan untuk mengakhiri populisme yang memecah belah, dan meyakinkan warga negara untuk membuat keputusan demi kebaikan publik. Dengan tidak adanya perang, bencana alam akan terjadi. Demokrasi modern tidak terlibat dalam perang habis-habisan, dan melindungi warga negara dari nasib buruk.
Maka dari itu, kata Runciman, adanya gelombang pasang ketidaksetaraan, populisme, teori konspirasi. L&Z mengamati bahwa toleransi bersama tetap merupakan kebaikan yang tak terjangkau di Amerika Serikat, selama Amerika masih terbagi oleh pertanyaan besar tentang ras. Baru ketika Rekonstruksi gagal, dan Partai Republik meninggalkan warga kulit hitam, apakah Demokrat bagian selatan sepenuhnya menerima tempat mereka di sana. Dan ketika Partai Demokrat pada akhirnya mengambil alih hak-hak sipil setelah tahun 1948, mereka menghidupkan kembali ketakutan ras tua tersebut dan mengantarkan kita ke dalam era saling intoleransi.
Mounk, akhirnya, menunjuk pada kaitan antara demokrasi liberal dan homogenitas etnis. Baru setelah pembersihan etnis terparah pada Perang Dunia II menghilangkan sebagian besar keragaman Eropa, menurutnya, apakah demokrasi sepenuhnya berakar di sana. Kini keberagaman mengancam lagi: Risiko terbesar bagi demokrasi liberal di Eropa saat ini adalah kemarahan nasionalis terhadap imigrasi dan pengungsi. “Apakah idealisme dari pemerintahan sendiri,” Mounk bertanya tajam, “membuatnya lebih sulit bagi warga yang beragam untuk tinggal berdampingan satu sama lain?”
Jika pengamatan atau semua ini benar, kita harus melepaskan kemenangan akhir sejarah kita untuk demokrasi liberal dan prospeknya yang lebih tragis. Jika ketidaksetaraan berkembang dalam kondisi damai, toleransi bergantung pada pengucilan, atau keragaman merusak komitmen terhadap liberalisme, maka nilai terdalam kita akan selalu bertentangan satu sama lain.
Isaiah Berlin mengajarkan kepada kita bahwa semua hal yang baik, tidak akan dan tidak bisa berjalan bersama, bahwa liberalisme berkembang hanya di tengah pluralisme sekuler dan skeptis; Tapi kenyataannya masih lebih suram lagi. Mungkin setiap langkah ke depan membutuhkan setidaknya setengah langkah mundur. Mungkin mayoritas demokrasi benar-benar akan terbukti tidak dapat dicapai tanpa pengorbanan nilai-nilai liberal yang nyata. Itu mungkin adalah tujuan di mana kita terjun saat ini.

Tuesday, April 9, 2019


Jauh sebelum Eropa terbuka matanya mencari dunia baru, warga pribumi nusantara hidup dalam kedamaian. Situasi ini berubah drastis saat orang-orang Eropa mulai berdatangan dengan dalih berdagang, namun membawa pasukan tempur lengkap dengan senjatanya. Hal yang ironis, tokoh yang menggerakkan roda sejarah dunia masuk ke dalam kubangan darah adalah dua orang Paus yang berbeda. Pertama, Paus Urbanus II, yang mengobarkan perang salib untuk merebut Yerusalem dalam Konsili Clermont tahun 1096. Dan yang kedua, Paus Alexander VI.

Dalam tempo beberapa tahun saja, Belanda telah menjajah Hindia Timur dan hal itu berlangsung lama hingga baru merdeka pada tahun 1945. Perang Salib tanpa disadari telah membuka mata orang Eropa tentang peradaban yang jauh lebih unggul ketimbang mereka. Eropa mengalami pencerahan akibat bersinggungan dengan orang-orang Islam dalam Perang Salib ini. Merupakan fakta jika jauh sebelum Eropa berani melayari samudera, bangsa Arab telah dikenal dunia sebagai bangsa pedagang pemberani yang terbiasa melayari samudera luas hingga ke Nusantara.

Bahkan kapur barus yang merupakan salah satu zat utama dalam ritual pembalseman para Fir’aun di Mesir pada abad sebelum Masehi, didatangkan dari satu kampung kecil bernama Barus yang berada di pesisir barat Sumatera tengah. Dari pertemuan peradaban inilah bangsa Eropa mengetahui jika ada satu wilayah di selatan bola dunia yang sangat kaya dengan sumber daya alamnya, yang tidak terdapat di belahan dunia manapun.

Negeri itu penuh dengan karet, lada, dan rempah-rempah lainnya, selain itu Eropa juga mencium adanya emas dan batu permata yang tersimpan di perutnya. Tanah tersebut iklimnya sangat bersahabat, dan alamnya sangat indah. Wilayah inilah yang sekarang kita kenal dengan nama Nusantara. Mendengar semua kekayaan ini Eropa sangat bernafsu untuk mencari semua hal yang selama ini belum pernah didapatkannya.

Paus Alexander VI pada tahun 1494 memberikan mandat resmi gereja kepada Kerajaan Katolik Portugis dan Spanyol melalui Perjanjian Tordesillas. Dengan adanya perjanjian ini, Paus Alexander dengan seenaknya membelah dunia di luar daratan Eropa menjadi dua kapling untuk dianeksasi. Garis demarkasi dalam perjanjian Tordesilas itu mengikuti lingkaran garis lintang dari Tanjung Pulau Verde, melampaui kedua kutub bumi. Ini memberikan Dunia Baru kini disebut Benua Amerika kepada Spanyol. Afrika serta India diserahkan kepada Portugis.

Paus menggeser garis demarkasinya ke arah timur sejauh 1.170 kilometer dari Tanjung Pulau Verde. Brazil pun jatuh ke tangan Portugis. Jalur perampokan bangsa Eropa ke arah timur jauh menuju kepulauan Nusantara pun terbagi dua. Spanyol berlayar ke Barat dan Portugis ke Timur, keduanya akhirnya bertemu di Maluku, di Laut Banda. Sebelumnya, jika dua kekuatan yang tengah berlomba memperbanyak harta rampokan berjumpa tepat di satu titik maka mereka akan berkelahi, namun saat bertemu di Maluku, Portugis dan Sanyol mencoba untuk menahan diri.

Pada 5 September 1494, Spanyol dan Portugal membuat perjanjian Saragossa yang menetapkan garis anti-meridian atau garis sambungan pada setengah lingkaran yang melanjutkan garis 1.170 kilometer dari Tanjung Verde. Garis itu berada di timur dari kepulauan Maluku, di sekitar Guam.

Sejak itulah, Portugis dan Spanyol berhasil membawa banyak rempah-rempah dari pelayarannya. Seluruh Eropa mendengar hal tersebut dan mulai berlomba-lomba untuk juga mengirimkan armadanya ke wilayah yang baru di selatan.

Ketika Eropa mengirim ekspedisi laut untuk menemukan dunia baru, pengertian antara perdagangan, peperangan, dan penyebaran agama Kristen nyaris tidak ada bedanya. Misi imperialisme Eropa ini sampai sekarang kita kenal dengan sebutan “Tiga G”: Gold, Glory, Gospel. Seluruh penguasa, raja-raja, para pedagang, yang ada di Eropa membahas tentang negeri selatan yang sangat kaya raya ini.

Mereka berlomba-lomba mencapai Nusantara dari berbagai jalur. Sayang, saat itu belum ada sebuah peta perjalanan laut yang secara utuh dan detil memuat jalur perjalanan dari Eropa ke wilayah tersebut yang disebut Eropa sebagai Hindia Timur. Peta bangsa-bangsa Eropa baru mencapai daratan India, sedangkan daerah di sebelah timurnya masih gelap.

Dibandingkan Spanyol, Portugis lebih unggul dalam banyak hal. Pelaut-pelaut Portugis yang merupakan tokoh-tokoh pelarian Templar (dan mendirikan Knight of Christ), dengan ketat berupaya merahasiakan peta-peta terbaru mereka yang berisi jalur-jalur laut menuju Asia Tenggara.

Peta-peta tersebut saat itu merupakan benda yang paling diburu oleh banyak raja dan saudagar Eropa. Namun ibarat pepatah,“Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga”, maka demikian pula dengan peta rahasia yang dipegang pelaut-pelaut Portugis.

Sejumlah orang Belanda yang telah bekerja lama pada pelaut-pelaut Portugis mengetahui hal ini. Salah satu dari mereka bernama Jan Huygen van Linschoten. Pada tahun 1595 dia menerbitkan buku berjudul Itinerario naer Oost ofte Portugaels Indien, Pedoman Perjalanan ke Timur atau Hindia Portugis, yang memuat berbagai peta dan deksripsi amat rinci mengenai jalur pelayaran yang dilakukan Portugis ke Hindia Timur, lengkap dengan segala permasalahannya.

Buku itu laku keras di Eropa, namun tentu saja hal ini tidak disukai Portugis. Bangsa ini menyimpan dendam pada orang-orang Belanda. Berkat van Linschoten inilah, Belanda akhirnya mengetahui banyak persoalan yang dihadapi Portugis di wilayah baru tersebut dan juga rahasia-rahasia kapal serta jalur pelayarannya.

Para pengusaha dan penguasa Belanda membangun dan menyempurnakan armada kapal-kapal lautnya dengan segera, agar mereka juga bisa menjarah dunia selatan yang kaya raya, dan tidak kalah dengan kerajaan-kerajaan Eropa lainnya.

Pada tahun 1595 Belanda mengirim satu ekspedisi pertama menuju Nusantara yang disebutnya Hindia Timur. Ekspedisi ini terdiri dari empat buah kapal dengan 249 awak dipimpin Cornelis de Houtman, seorang Belanda yang telah lama bekerja pada Portugis di Lisbon. Lebih kurang satu tahun kemudian, Juni 1596, de Houtman mendarat di pelabuhan Banten yang merupakan pelabuhan utama perdagangan lada di Jawa, lalu menyusur pantai utaranya, singgah di Sedayu, Madura, dan lainnya. Kepemimpinan de Houtman sangat buruk.

Dia berlaku sombong dan besikap semaunya pada orang-orang pribumi dan juga terhadap sesama pedagang Eropa. Sejumlah konflik menyebabkan dia harus kehilangan satu perahu dan banyak awaknya, sehingga ketika mendarat di Belanda pada tahun 1597, dia hanya menyisakan tiga kapal dan 89 awak. Walau demikian, tiga kapal tersebut penuh berisi rempah-rempah dan benda berharga lainnya.

Orang-orang Belanda berpikiran, jika seorang de Houtman yang tidak cakap memimpin saja bisa mendapat sebanyak itu, apalagi jika dipimpin oleh orang dan armada yang jauh lebih unggul. Kedatangan kembali tim de Houtman menimbulkan semangat yang menyala-nyala di banyak pedagang Belanda untuk mengikut jejaknya. Jejak Houtman diikuti oleh puluhan bahkan ratusan saudagar Belanda yang mengirimkan armada mereka ke Hindia Timur. Dalam tempo beberapa tahun saja, Belanda telah menjajah Hindia Timur dan hal itu berlangsung lama hingga baru merdeka pada tahun 1945

Pilar Kapitalisme ada lima :
Private Proverty
Self Interest (The Invisible Hands)
Economic Individualism
Competition and Free Market
The Price System
Government-rulemaker-profektor
Goals of Our Economic System
Pada sebuah perekonomian kapitalistik, hal-hal yang dimiliki orang dapat berupa barang atau sumber daya. Pihak didalamnya memainkan peran berganda :

1. Pemerintah melindungi private property
2. Pemerintah membatasi kepemilikkan dan penjualan barang-barang dan jasa-jasa yang mempengaruhi kesehatan, keamanan, dan HAM.

Sistem eknomi kapitalis adalah sebuah organisasi "raksasa" buatan manusia. Sistem kapitalis tidak terlepas dari gejala konjugtur. [konjungtur adalah gerak gelombang kehidupan ekonomi. Hak miliki privat memungkinkan semua orang untuk mengendalikan apa saja yang dimilikinya, menikmati manfaatnya, melaksanakan kontrak-kontrak, sehubungan dengan atau menjualnya atau mewariskannya pihak lain.

Setiap individu apabila diperbolehkan mengejar kepentingan dirinya sendiri tanpa campur tangan pemerintah seakan-akan dibina oleh tangan tak terlihat dalam upaya mencapai hal yang terbaik bagi masyarakat. The Price System = The Market System / Sistem Reward dan Penalti
Setiap barang atau jasa atau sumber daya ekonomi memiliki harga.

The Price System adalah sebuah mekanisme yang sangat menakjubkan. Ia pada intinya adalah sebuah sistem imbalan dan hukuman. Imbalan berupa laba bagi perusahaan-perusahaan dan individu-individu yang mampu bertahan dan hukuman dalam bentuk kerugian atau kemungkinan kebangkrutan (gulung tikar bagi mereka yang tidak stabil).

Doktrin Laissez Faire menyatakan bahwa fungsi-fungsi pemerintah didalam seluruh sistem kapitalis hanya terbatas hingga :

-Tindakan menjaga ketertiban dan keamanan
-Merugikan hak-hak kepemilikkan
-Memajukan persaingan
-Mengeluarkan uang
-Mengumpulkan dana melalui perpajakan

Kapitalisme jaman dulu sangat berbeda dengan kapitalisme kini. Laissez Faire non intervensi pemerintah dalam kehidupan ekonomi, kapitalisme masa kini (kapitalisme modern), pemerintah juga memiliki peran yang lebih penting yaitu mengatur jalannya roda perekonomian yang tidak begitu saja diserahkan kepada sistem pasar dan sistem harga.

Di Amerika Serikat distribusi pendapatan, aktivitas makro ekonomi sangat terencana sedangkan keputusan lain diserahkan kepada pasar atau mekanisme pasar.

Monday, April 8, 2019


APAKAH ANARKIS ITU “KIRI”
Menjawab persinggungan anarkisme dan sosialisme, serta identitas kiri

Pertanyaan ini selalu muncul. Dan sering dijadikan legitimasi bahwa para anarkis “berbohong” mengenai isu yang diperjuangkan. Para anarkis dianggap tidak peduli dengan penindasan kapitalisme hanya karena “anarkis bukan kiri” (dan ini yang sering digunakan para anti anarkis online. WTF). Tapi, bagaimana sebenarnya anarkisme menempatkan diri di dalam “spektrum politis” terutama saat melawan kapitalisme? Artikel ini bisa disebut sebagai rangkuman dari Anarchist FAQ “Apakah Kaum Anarkis Sosialis juga Sosialis?” (Bagian A.1.4)

Pada dasarnya semua “cabang” anarkis menolak kapitalisme (anarko kapitalisme yang ditolak oleh para anarkis akan saya bahas lain waktu). Dasar penolakan ini adalah kapitalisme didasarkan dari penindasan dan eksploitasi. Proudhon mengatakan bahwa anarkisme melihat “eksploitasi kapitalistis dan kepemilikan berhenti di mana-mana (dan) sistem upah dihapuskan”. Karena “baik pekerja … akan dengan mudahnya bekerja pada pemilik-kapitalis-penyelenggara; atau ia akan ikut serta… pada kasus pertama pekerja disubordinasi, tereksploitasi : kondisi permanennya adalah kepatuhan…dalam kasus kedua ia mengembalikan martabatnya sebagai seorang manusia dan warga negara… ia merupakan bagian organisasi produksi, di mana ia berada sebelumnya namun sebagai buruh… kita tidak perlu ragu, karena kita tidak punya pilihan… memang perlu membentuk suatu SERIKAT di antara para buruh… karena tanpa itu, mereka akan tetap berhubungan sebagai sub ordinat dan superior, dan akan muncul dua… kasta tuan dan buruh upahan, yang merupakan hal menjijikkan bagi masyarakat yang bebas dan demokratis”.  Berkman menambahkan “Oleh karenanya semua kaum kaum anarkis anti kapitalis. Jika buruh memiliki kesejahteraan yang dihasilkan, tidak ada kapitalisme”

Voltairine d Cleyre mengatakan “pekerja sejati akan mengatur diri sendiri, memutuskan kapan, dimana, dan bagaimana sesuatu akan dikerjakan “. Seorang anarkis individual, Joseph A Labadie mengatakan “Dikatakan bahwa anarkisme bukan sosialisme. Hal ini adalah kesalahan. Anarkisme adalah sosialisme sukarela. Ada dua jenis sosialisme, arkistis dan anarkistis, otoriter dan liberal, negara dan bebas. Malah, setiap proposisi bagi perbaikan sosial adalah menambah atau mengurangi kekuasaan kehendak eksternal dan pemaksaan terhadap individu. Karena mereka menambahnya, mereka disebut arkistis; jika mereka menguranginya mereka anarkistis”. (Anarchism: What It Is and What It Is Not”) dan menambahkan Labadie menyatakan di banyak kesempatan bahwa “semua anarkis adalah sosialis namun tidak semua sosialis adalah anarkis”.

Dari pernyataan para pemikir awal anarkis ini, bisa dilihat bahwa kaum anarkis mengedepankan sosialisme sebagai praktik. Sosialisme anarkisme menolak semua birokrasi otoritarian yang mengatasnamakan serikat pekerja. Anarkisme menyetujui adanya serikat. Terutama di dalam perjuangan melawan kapitalisme. Tapi bukan berarti serikat menjadi “tuan” baru bagi para pekerja dengan memaksakan kekuasaan kehendak eksternal (bentuk serikat) diatas kehendak individu. Masyarakat anarkis, sesuai definisi, harus didasarkan pada perkumpulan buruh, bukan upah. Hanya buruh yang berserikat yang akan “mengurangi kekuasaan kehendak eksternal dan pemaksaan terhadap individu” selama jam kerja dan manajemen diri terhadap pekerjaan oleh mereka yang bekerja menjadi cita-cita utama dari sosialisme sejati. Perspektif ini dapat dilihat ketika Joseph Labadie berpendapat bahwa perserikatan dagang adalah “contoh meraih kebebasan dengan berserikat” dan bahwa “tanpa serikatnya, pekerja lebih merupakan seorang budak majikannya dibandingkan jika ia berserikat.” (Different Phases of The Labour Question).

Tapi, makna sosialisme bergeser. Marxisme dianggap sebagai “sosialisme sejati” dan hanya dengan komunisme kita akan mewujudkan sosialisme. Pendapat ini yang sejak awal internasionale ditolak para anarkis. Bakunin sendiri mengingatkan pemuja Marx untuk melawan “birokrasi merah” sebagai “pemerintahan despotik terburuk”. Bahkan Bakunin, Stirner, sampai Proudhon sudah meramalkan kengerian sosialisme negara. Dan terbukti, dengan hadirnya Marxis Leninisme dan Uni Soviet . tetapi, pemikiran sosialis anarkis tetap berbagi beberapa pemikiran Marxis (tanpa Leninis). Dan Bakunin serta Benjamin Tucker menerima analisis dan kritik kapitalis Marx. Sebaliknya, Marx sendiri banyak dipengaruhi oleh buku The Ego and Its Own karya Max Stirner, yang berisi kritik brilian mengenai apa yang disebut Marx sebagai komunisme “vulgar” seperti juga sosialisme negara. Ada juga elemen gerakan Marxis yang hampir sama dengan anarkisme sosial (khususnya cabang anarkisme sosial, anarki sindikalis —contohnya, Anton Pannekoek, Rosa Luxembourg, Paul Mattick, dan lain-lain yang sangat jauh berbeda dari Lenin. Oleh karena itu pada dasarnya anarkisme merupakan bentuk sosialisme, yang berdiri tegak sebagai oposisi langsung terhadap apa yang biasa didefinisikan sebagai “sosialisme” (contoh: kepemilikan dan kontrol negara). Daripada “rencana pemusatan” yang dihubungkan oleh banyak orang dengan kata “sosialisme”, kaum anarkis membela kerjasama dan serikat bebas antara individu, tempat kerja, dan komunitas sehingga dengan demikian melawan sosialisme “negara” sebagai bentuk kapitalisme negara yang di dalamnya “setiap pria (dan wanita) akan menjadi penerima upah, dan negara hanyalah pembayarnya”.

Maka, menyebut “kiri” atau sosialis tidak bisa dengan berpaku pada satu pemikiran. Anarkisme merupakan sosialisme, berdasarkan pola pikir anarkis yang menyepakati nilai-nilai sosialisme. Tetapi anarkis bukanlah sosialisme ketika sosialisme hanya dipahami sebagai sosialisme negara ala komunisme. Sebaliknya, komunisme pun tidak dapat disebut sosialis jika sosialisme dipahami sebagai penolakan segala bentuk pemusatan kapitalisme dan penindasan, termasuk negara. Membingungkan? Tidak juga. Untuk mengurangi kebingungan, sebagian besar anarkis menyebut diri sebagai “anarkis” saja karena sudah pasti seorang anarkis adalah juga sosialis.

Bagaimana dengan pertanyaan pertama tadi? apakah anarkisme itu kiri? Mungkin pernyataan dari Noam Chomsky bisa membantu:
“Jika aliran kiri dipahami dengan memasukkan ‘Bolshevisme’, maka aku akan dengan tegas memisahkan diri dari aliran kiri. Lenin adalah salah satu musuh terbesar sosialisme.”

Lagipula, bukankah kanan atau kiri hanyalah identitas dalam struktur sosial. Dan seperti biasa, para anarkis tidak peduli masalah identitas. Lalu, bagaimana? Apakah perlu disibukkan dengan kekirian anarkisme?

Dosa Lenin

Membicarakan sosialisme, terutama komunisme, tentu banyak orang yang akan menyebut Uni Soviet. Uni Soviet dikultuskan sebagai perwujudan sosialisme dalam praktik. Dan secara otomatis, Lenin menjadi “nabi” yang dianggap merealisasikan sosialisme (tentunya dengan metode komunisme). Namun, apakah benar Lenin membawa sosialisme?  Chomsky berpendapat: “Jika aliran kiri dipahami dengan memasukkan ‘Bolshevisme’, maka aku akan dengan tegas memisahkan diri dari aliran kiri. Lenin adalah salah satu musuh terbesar sosialisme.” Mengapa Lenin sebegitu dibenci oleh Chomsky, para anarkis, dan juga para sosialis bahkan marxis? Jika kita berbicara Lenin sebagai musuh sosialisme, tentu kita akan berbicara tentang produk dari Lenin: Bolshevik dan Uni Soviet.

Sosialisme bisa dibilang sebagai dasar dari segala isme kontra kapitalisme dan bentuk penindasan lain. Dan pemerintahan Uni Soviet “menggambarkan diri” sebagai sosialis yang melindungi sosialisme. Kediktatoran proletar dianggap terjadi pada Uni Soviet. Benarkah?

Marx dan Engels melihat kediktatoran proletar dengan cara yang berbeda dari pandangan diktator abad 20. Bahkan pengertian “pemerintahan” sendiri bukanlah sebuah sistem otoritarian.Marx dan  Engels berpendapat bahwa bentuk kediktatoran proletariat sangat nyata dalam komune Paris di 1871. Marx menyatakan Komune Paris sebagai “itulah pemerintahan (masyarakat) kelas pekerja” (The Civil War in France, Marx 1891) dan sangat memuji komune Paris sebagai utopia sosialisme.  Dan Engels mengatakan “akhir-akhir ini, para sosial demokrat terteror oleh kalimat: kediktatoran proletariat.  Baiklah, hadirin sekalian, apakah kalian tahu bentuk kediktatoran ini? Lihatlah komune Paris. Itulah kediktatoran proletariat”. Tapi apakah komune Paris ini seperti yang dilakukan Uni Soviet? Tegasnya, apakah Uni Soviet adalah bentuk kediktatoran proletariat yang diidamkan oleh Marx dan Engels, melihat komune Paris? Komune Paris bukanlah sebuah bentuk kediktatoran dimana satu pemimpin menentukan arah perjuangan semua orang. Seluruh masyarakat komune Paris memiliki kesempatan untuk berpartisipasi, sederhananya, demokrasi langsung. Tidak ada kepeloporan, semua benar-benar berasal dari kelas pekerja. Disini lah letak perbedaan pelaksanaan Uni Soviet dengan cita-cita Marx tentang kediktatoran proletariat.

Mengapa Uni Soviet terbentuk dengan “menyeleweng” dari bentuk kediktatoran proletariat Marx? Masalah mendasar adalah pergeseran fungsi “konspirator” dan “kolaborator” dari sebuah revolusi. Lenin beserta Bolshevik adalah konspirator yang (seharusnya) “memicu pembentukan proses revolusi”. Pekerja sebagai agen revolusi harus mengambil alih hasil produksi dan mengatur industri dalam partisipasi langsung. Dan yang utama kelas pekerja harus berproduksi  “dari masing-masing sesuai dengan kemampuannya, untuk masing-masing menurut kontribusinya.” Bolsheviksme tidak menempatkan diri sebagai itu. Dan tidak menempatkan kelas pekerja sebagaimana sosialisme menempatkan. Lenin dan para kolaborator lain menjadi “kontrol” baru bagi para pekerja Rusia. Mereka membentuk kedisiplinan baru, dan menjadi instrumen penjaga kedisiplinan. Dengan kekuatan dan pengaruhnya, Lenin (dan Trotsky) menghancurkan segala potensi libertarian demi terbentuknya partai tunggal. Tokoh seperti Roxa Luxembourg adalah korban dari aksi ini. Dan pada akhirnya Lenin, dengan bantuan Trotsky, membentuk transisi dari perlawanan revolusi menjadi “State priest”. Kondisi ini menempatkan partai sebagai “hakim pengatur dari atas” yang artinya massa adalah objek dari keteraturan ini. Semua ini terbukti setelah Oktober 1917.

Sejarawan Bolshevik, E. H. Carr, menulis “kecenderungan spontan dari pekerja untuk mengorganisir komite pabrik dan untuk ikut campur dalam manajemen pabrik menjadi hadir dengan revolusi dimana memimpin pekerja untuk percaya bahwa peralatan produktif dalam sebuah negara adalah milik mereka dan dapat dioperasikan oleh mereka atas kehendak mereka dan kemampuan mereka”. Tapi, para “state priest” lebih memahami, dan menghancurkan komite pabrik (salah satunya dimana Roxa Luxembourg berada) dan mengurangi peran organ Soviet dalam kendali mereka. Pada 3 November, Lenin mengumumkan “Draft Decree on Workers’ Control” yang menguji sejenis kontrol yang “bertanggung jawab pada negara untuk memelihara kendali tegas dan mendisiplinkan dan melindungi properti”. Pada akhir tahun, Lenin menyatakan bahwa “kita melampaui kontrol pekerja untuk menciptakan supreme council dari ekonomi nasional” yang menurut Carr adalah untuk “mengganti, menyerap, dan meniadakan sistem kontrol pekerja”. Salah satu serikat menshevik menyesalkan; kepemimpinan bolshevik menunjukkan penyesalan yang sama dalam aksi, dengan menghancurkan ide-ide sosialisme.

Chomsky menjelaskan, setelah kejadian diatas, Lenin segera mengeluarkan dekrit dimana kepemimpinan harus berdasarkan “kekuatan diktatorial” diatas pekerja, dimana harus menyetujui “kepatuhan absolut pada satu perintah” dan “dalam kepentingan sosialisme,’ harus ‘kepatuhan tak terbantahkan pada satu perintah dari pemimpin para pekerja” (bandingkan dengan cita-cita Marx). Lenin dan Trotsky merealisasikan dengan militerasi pekerja, perubahan sosial menuju tentara pekerja dibawah kendali mereka. Dan implementasi macam ini membuahkan masa-masa berdarah dalam Uni Soviet: hilangnya demokrasi, lahirnya aristrokasi partai, sampai pembantaian oposan (dimana oposisi adalah bagian dari dialektis yang dipromosikan Marx). Sedikit menyinggung aristrokasi partai, dalam buku “God That Failed” dijabarkan berbagai pengalaman para “buangan” Uni Soviet ketika berhadapan dengan partai, yang tidak lagi menjadi alat kelas pekerja menyuarakan pendapat, namun sebagai kelas elit baru yang memberi kendali pada kelas pekerja yang notabene sebagai anggota partai.  Semua sikap Lenin inilah yang menjadi “dosa” yang mengkaburkan sosialisme. Sosialisme tidak lagi dianggap pembebasan, tetapi menjadi sebuah struktur sosial baru yang opresif.

Lenin bertanggung jawab atas kaburnya nilai sosialisme dalam pemerintahan Uni Soviet. Dia meletakkan pondasi “kepemimpinan absolut” dimana pekerja kembali menjadi objek dalam sistem produksi Uni Soviet. Kegagalan dalam memahami sosialisme dalam pemikiran Leninis (yang akhirnya dimanifesti Stalin), dan kesalahpahaman model leninis, memberi dampak besar baik dalam perlawanan (marxisme) dan kehidupan sosial barat, dan tidak hanya disana. Maka perlu diambil sikap dalam menyelamatkan ide sosialis.  Jangan ada lagi aristrokasi, kontrol pekerja, dan pembredelan kebebasan dalam nama sosialisme.


Sunday, April 7, 2019


Hai, skripsik yang malang, kalau kamu bisa bicara, kamu pasti bilang seperti ini kayaknya 

Kamu itu maksudnya apa sih? Kemarin kamu semangat , ngerjain skripsi dari pagi sampai malam meskipun kamu tidak melupakan kesehatanmu juga, kamu rela nungguin dosen berjam-jam dari pagi sampai tiba dosenmu bisa ditemui-bahkan sebelum mobil dosenmu terparkir rapi di halaman gedung fakultasmu demi mendapat petunjuk jalan agar kita bisa berteman baik nantinya.

Kamu juga rela dan sabar memperbaiki skripsi meskipun kamu telah memperbaikinya berkali-kali demi memperkenalkan kepada dosen dan teman-temanmu lewat seminar yang kamu paparkan dengan sempurna. Setelah kamu berhasil memperkenalkan kepada teman-temanmu, kamu juga berhasil menjalankan janji yang kamu tulis tentang selama tiga bulan lamanya, kamu juga sudah memberi teman baru berupa bab baru lagi di tubuh skripsi , tapi kenapa kamu belum menyelesaikan semuanya secara tuntas?

Apa aku terlalu mengusikmu sehingga kau tidak mau lagi berteman denganku? Atau aku terdaftar menjadi salah beban dalam fikiranmu? Apa kamu malu berteman denganku lagi sehingga kamu belum mengenalkanku kepada teman dan dosenmu untuk kedua kalinya?
Ayolah, jangan menyerah terhadapku . Saat kamu mendekatiku dulu, saat itu juga aku merasa bangga terhadapmu karena kamu mau mendekatiku dengan tulus meskipun aku tahu, banyak ketakutan yang melingkupi fikiranmu. Aku ingin kamu menyelesaikanku sampai tuntas tanpa membiarkanku terlalu lama sendiri dengan sejuta tanya yang menyelimutiku.

Aku masih ingin berteman baik denganmu, meskipun aku tahu, harus ada banyak hal yang kamu persiapkan untuk menyempurnakan bagian tubuhku. Jangan tinggalkan aku terlalu lama ya, wahai kamu yang telah menjadi sahabatku beberapa bulan terakhir.”
Saat aku berusaha menciptakan suasana percakapanku dengan skripsiku, aku merasa bersalah karena telah meninggalkannya dua bulan terakhir ini. Seakan-akan aku belum menyelesaikan janji yang telah ku buat untuk masa studiku, dosenku, ibuku, bahkan untuk diriku sendiri. Aku juga tidak mengerti kenapa aku tersendat dalam penyelesaian tulisanku ini.

Ah, mungkin karena aku belum berdamai dengan pikiranku, yang berasumsi bahwa aku harus mempersiapkan banyak hal sebagai jaminan, bahwa aku dan skripsiku beneran teman baik tanpa ada yang harus mempertanyakan kebenaran keberadaannya. Dan asumsi itu memang harus terwujud.

“Maafkan aku yang membiarkanmu sendiri beberapa bulan terakhir wahai skripsiku yang mau berteman baik denganku beberapa bulan terakhir. Bukannya aku bermaksud demikian, tetapi aku perlu banyak persiapan untuk menyempurnakan keberadaanmu, agar kelak saat aku ditanyakan mengenai dirimu, aku bisa memaparkannya dengan sempurna tanpa ada kekurangan sedikitpun yang bisa membanggakanmu juga bahwa kamu gak salah pilih telah berteman baik denganku.

Aku masih butuh banyak waktu untuk mempersiapkan semuanya. Kamu juga tahu kan bahwa selama ini aku lamban dalam menyelesaikan beberapa hal, karena aku terlalu banyak mengulur waktu dengan berfikir tanpa mau melaksanakannya dengan segera.
Bersabarlah wahai skripsiku, karena aku akan memperkenalkanmu kembali kepada teman-temanku dan dosenku nantinya, bahkan aku akan menceritakan semuanya tentangmu di depan dosen penguji dan pembimbingku. Akan ku buat dirimu bangga dengan memperkenalkan kamu banyak teman baru di perpustakaan sana karena kamu menjadi salah satu pengisi rak tempat skripsi yang lain berada.

Jangan takut aku meninggalkanmu ya skripsiku, karena selama ini aku juga berusaha sekuat tenaga untuk membukamu lagi, menulis lagi di tubuhmu, dan akan menyempurnakan setiap bab yang menjadi pelengkap keberadaanmu. Jangan pernah lelah menyemangatiku saat aku mulai goyah dengan suasana sekitarku, ingatkan aku terus tentang janjiku selama ini terhadapmu, dan jangan pernah tinggalkan aku meskipun aku sering meninggalkanmu sendirian dalam bab di laptop kecilku ini.

Aku akan menyelesaikanmu dengan segera. Itu janjiku. Tetap menjadi sahabat baikk  skripsi, yang lewat kamu, akan mengantarkanku nantinya ke pintu baru yang harus ku buka, agar aku bisa melihat dan membuka pintu lain yang masih tertutup. Semangat buat kita berdua . Ingat janjiku . Aku akan melengkapi bagian tubuhmu dengan segera. Ya, sesegera mungkin.”
Tetap tunggu aku menepati janjiku kepadamu wahai skripsiku yang telah berteman baik denganku selama ini.

Dan dan berberapa cerita temanku. Ada pula seorang teman bercerita bahwa ia telah menyerahkan skripsi untuk dosen pembimbingnya.Ia disuruh datang kembali seminggu kemudian. Tapi ketika datang, skripsi yang telah dijanjikan itu belum diperiksa karena terlalu banyak skripsi yang ditangani.

Seorang teman juga bercerita masalah lain. Ia menggambarkan dengan analogi yang apik. Katanya, ketika dua gajah berkelahi maka semut dan rumputlah yang menjadi korban. Ia menjadi bingung dan frustrasi karena pembimbing I dan pembimbing II skripsinya bersikeras pada ide masing-masing.

Seorang teman juga terang-terangan merekayasa hasil penelitian. Alasannya karena ia tahu skripsinya akan berakhir di lemari atau tempat yang sedikit lebih baik dari tong sampah. Ini juga menjadi satu motif mereka yang terkadang terpaksa mendaur ulang bulat-bulat skripsi orang lain.

Ada pula trauma skripsi yang membesut gejala research phobia. Setelah menyelesaikan skripsi, mereka menutup diri dan menolak bergelut dengan hal-hal yang berbau penelitian. Begitu mendengar kata penelitian, kening berkerut seperti kembali ke masa suram.
Kalau kita terjun ke lapisan bawah, kita juga akan berhadapan dengan gejala lain yang sudah menjadi rahasia umum.

Dosa akademik

Di samping itu, praktik dosa akademik tumbuh subur dari waktu ke waktu yaitu penjualan jasa pembuatan skripsi. Timbulnya sikap yang tidak terpuji seperti ini, tentu tidak salah jika kita bertanya; Apakah masih relevan pemberlakukan skripsi sebagai syarat akhir bagi lulusan perguruan tinggi atau universitas? Bagaimana kalau seandainya skripsi ditanggalkan dari kurikulum?

Pada universitas sering dikenal falsafah Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tiga pilar yang menjadi acuan seorang mahasiswa atau mahasiswi yang belajar di universitas: pendidikan, penelitian dan pengabdian. Skripsi adalah salah satu ejawantah dari penelitian. Karena itu, ini menjadi alasan mengapa skripsi itu menjadi penting. Ada yang mengatakan kalau dulu di Malaysia angka kecelakaan jalan raya sangat tinggi. Persoalan itu mendorong pemerintah Malaysia untuk menggiring ilmuan melakukan penelitian. Hasil dari penelitian tersebut melahirkan kebijakan baru yang tepat sasaran dan bisa menjadi solusi bagi upaya menekan angka kecelakaan di jlan raya. Dengan begitu, banyak nyawa telah terselamatkan. Ini menjadi salah satu contoh manfaat penelitian yang dapat dirasakan oleh khalayak.
Dalam konteks di atas memang penelitian memberi dampak yang dapat dirasa dalam kehidupan sosial. Tapi bagaimana dengan kondisi penelitian di perguruan-perguruan tinggi tempat kita? Adakah hasil penelitian yang telah memberi dampak signifikan pada kehidupan?

Agaknya sulit menjawab pertanyaan ini. Pada praktiknya, di tempat kita skripsi nyaris tidak memberi sumbangsih apa-apa. Hanya menjadi formalitas untuk sah mendapat gelar sarjana dan ijazah. Selebihnya menjadi momok yang ditakuti oleh sebagian besar mahasiswa yang notabene digelari masyarakat ilmiah. Dalam kehidupan akademik kita, antara penelitian dan realita masih berjalan sendiri-sendiri. Permasalahan urgen yang muncul lain dan yang diteliti pun lain.

Kebanyakan mahasiswa terutama mahasiswa strata satu seperti belum siap berada pada tahapan penelitian. Banyak di antara mereka belum selesai dengan tahapan berpikir kritis, ilmiah dan kelihaian membangun argumentasi. Maka ketika tiba-tiba berhadapan dengan penelitian, terasa seperti tiba-tiba menabrak tembok. Bisa jadi ini juga permasalahan dari mahasiswa sendiri karena kebanyakan masih terlihat kurang membaca. Beberapa bahkan bersikap anti-text.

Apakah Tri Dharma Perguruan Tinggi itu telah menjadi hukum yang tak bisa diganggu-gugat lagi? Kalau pun kita masih bersikukuh dengan penerapan skripsi sebagai syarat akhir pembelajaran di universitas, hendaknya perlu dipertimbangkan kembali beberapa hal: Pertama, makna substantif dari tujuan melakukan penelitian. Apakah tujuan utamanya semata-mata untuk syarat lulus belaka? Bukankah pemantapan logika berpikir dalam menganalisa persoalan dan keterampilan menulis menjadi satu tujuan ideal yang ingin dicapai?

Kedua, hendaknya perguruan tinggi memasukkan mata kuliah etika penelitian untuk mengurangi kadar plagiasi alias penciplakan. Selama ini mata kuliah ini sangat kurang (kalau tak ingin dikatakan tidak ada sama sekali). Kasus penjiplakan tentu bukan barang baru di tempat kita. Hampir setiap dosen pembimbing pernah menemui mahasiswa bimbingannya menjiplak hasil karya orang lain.

Etika penelitian

Ketiadaan atau minimnya mata kuliah etika penelitian ini juga bisa membuat kita permisif atau akrab dengan budaya copy paste. Lama-lama terbentuk dalam pikiran kita bahwa itu hanyalah persoalan biasa dan lazim. Kita nyaris tidak mungkin menghapus menu copy paste pada komputer, tetapi menumbuhkan kesadaran untuk tidak terhanyut pada kebiasaan copy paste sangat tidak menutup kemungkinan.

Ketiga, memanfaatkan hasil penelitian supaya tidak ada kesan siasia. Seorang teman pernah berseloroh, setiap tahun universitas menerima ratusan hasil penelitian tapi hampir tak satu pun terlihat bermanfaat bagi kehidupan. Dalam pada ini terlihat adanya missing link antara universitas dan masyarakat. Universitas menjadi penyumbang gelar tapi miskin kontribusi. 

Skripsi-skripsi hanya menjadi dokumen yang tersimpan rapi di menara gading.
Memfungsikan hasil penelitian juga menjadi reward yang membuat mahasiswa merasa dihargai dan tidak lesu dalam meneliti. Beberapa instansi pemerintah seperti Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) mungkin bisa diajak menjadi partner. Pemberian penghargaan hasil penelitian terbaik tahunan selain gelar cumlaude juga menjadi satu alternatif.

Dan, terakhir yang juga tak kalah penting adalah para dosen pembimbing hendaknya tetap santun dan menjadi pembimbing yang baik, bukan pembimbang.

Friday, April 5, 2019


Paulo Freire adalah tokoh pendidikan yang sangat kontroversial. Ia menggugat sistem pendidikan yang telah mapan dalam masyarakat Brasil. Bagi dia, sistem pendidikan yang ada sama sekali tidak berpihak pada rakyat miskin tetapi sebaliknya justru mengasingkan dan menjadi alat penindasan oleh penguasa. Karena pendidikan yang demikian hanya menguntungkan penguasa maka harus dihapuskan dan digantikan dengan sistem pendidikan yang baru. Sebagai jalan keluar atas kritikan tajam itu maka Freire menawarkan suatu sistem pendidikan alternatif yang menurutnya relevan bagi masyarakat miskin dan tersisih. Kritikan dan pendidikan altenatif yang ditawarkan Freire itu menarik untuk dipakai menganalisis permasalahan pendidikan di Indonesia.

Walaupun harus diakui bahwa konteks yang melatarbelakangi lahirnya pemikiran yang kontroversial mengenai pendidikan itu berbeda dengan konteks Indonesia. Namun di balik kesadaran itu, ada keyakinan bahwa filsafat pendidikan yang ada di belakang pemikiran Freire dan juga metodologi
pendidikan yang ditawarkan akan bermanfaat dalam “membedah” permasalahan pendidikan di Indonesia.
Pandangan Paulo Freire Tentang Pendidikan. Pandangan Paulo Freire tentang pendidikan tercermin dalam kritikannya yang tajam terhadap sistem pendidikan dan dalam pendidikan alternatif yang ia tawarkan. Baik kritikan maupun tawaran konstruktif Freire keduanya lahir dari suatu pergumulan dalam konteks nyata yang ia hadapi dan sekaligus merupakan refleksi filsafat pendidikannya yang berporos pada pemahaman tentang manusia.

a. Konteks Yang Melatarbelakangi Pemikiran Paulo Freire.

Hidup Freire merupakan suatu rangkaian perjuangan dalam konteksnya. Ia lahir tanggal 19 September 1921
di Recife, Timur Laut Brasilia. Masa kanak-kanaknya dilalui dalam situasi penindasan karena orang tuanya
yang kelas menengah jatuh miskin pada tahun 1929. Setamat sekolah menengah, Freire kemudian belajar
Hukum, Filsafat, dan Psikologi. Sementara kuliah, ia bekerja “part time” sebagai instuktur bahasa Potugis di
sekolah menengah. Ia meraih gelar doktor pada tahun 1959 lalu diangkat menjadi profesor. Dalam kedudukannya sebagi dosen, ia menerapkan sistem pendidikan “hadap-masalah” sebagai kebalikan dari pendidikan “gaya bank”. Sistem pendidikan hadap masalah yang penekanan utamanya pada penyadaran nara didik menimbulkan kekuatiran di kalangan para penguasa. Karena itu, ia dipenjarakan pada tahun 1964 dan kemudian diasingkan ke Chile. Pengasingan itu, walaupun mencabut ia dari akar budayanya yang menimbulkan ketegangan, tidak membuat idenya yang membebaskan “dipenjarakan”, tetapi sebaliknya ide itu semakin menyebar ke seluruh dunia. Ia mengajar di Universitas Havard, USA pada tahun 1969-1970. Ia pernah menjadi konsultan bidang pendidikan WCC.
Pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan lahir dari pergumulannya selama bekerja bertahun-tahun di tengah-tengah masyarakat desa yang miskin dan tidak “berpendidikan”. Masyarakat feodal (hirarkis) adalah struktur masyarakat yang umum berpengaruh di Amerika Latin pada saat itu. Dalam masyarakat feodal yang hirarkis ini terjadi perbedaan mencolok antara strata masyarakat “atas” dengan strata masyarakat “bawah”. Golongan atas menjadi penindas masyarakat bawah dengan melalui kekuasaan politik dan akumulasi kekayaan, karena itu menyebabkan golongan masyarakat bawah menjadi semakin miskin yang sekaligus semakin menguatkan ketergantungan kaum tertindas kepada para penindas itu.
Dalam kehidupan masyarakat yang sangat kontras itu, lahirlah suatu kebudayaan yang disebut Freire dengan
kebudayaan “bisu”. Kesadaran refleksi kritis dalam budaya seperti ini tetap tidur dan tidak tergugah. Akibatnya waktu lalu hanya dilihat sebagai sekat hari ini yang menghimpit. Manusia tenggelam dalam “hari ini” yang panjang, monoton dan membosankan sedangkan eksistensi masa lalu dan masa akan datang belum disadari. Dalam kebudayaan bisu yang demikian itu kaum tertindas hanya menerima begitu saja segala perlakuan dari kaum penindas. Bahkan, ada ketakutan pada kaum tertindas akan adanya kesadaran tentang ketertindasan mereka. Itulah dehumanisasi karena bahasa sebagai prakondisi untuk menguasai realitas hidup telah menjadi kebisuan. Diam atau bisu dalam konteks yang dimaksud Freire bukan karena protes atas perlakuan yang tidak adil. Itu juga bukan strategi untuk menahan intervensi penguasa dari luar. Tetapi, budaya bisu yang terjadi adalah karena bisu dan bukan membisu. Mereka dalam budaya bisu memang tidak tahu apa-apa. Mereka tidak memiliki kesadaran bahwa mereka bisu dan dibisukan. Karena itu, menurut Freire untuk menguasai realitas hidup ini termasuk menyadari kebisuan itu, maka bahasa harus dikuasai. Menguasai bahasa berarti mempunyai kesadaran kritis dalam mengungkapkan realitas. Untuk itu, pendidikan yang dapat membebaskan dan memberdayakan adalah pendidikan yang melaluinya nara didik dapat mendengar suaranya yang asli. Pendidikan yang relevan dalam masyarakat berbudaya bisu adalah mengajar untuk memampukan mereka mendengarkan suaranya sendiri dan bukan suara dari luar termasuk suara sang pendidik. Dalam konteks yang demikian itulah Freire bergumul.  Ia terpanggil untuk membebaskan masyarakatnya yang tertindas dan yang telah “dibisukan”. Pendidikan “gaya bank” dilihatnya sebagai salah satu sumber yang mengokohkan penindasan dan kebisuan itu. Karena itulah, ia menawarkan pendidikan “hadapmasalah” sebagai jalan membangkitkan kesadaran masyarakat bisu .

b. Kritikan Paulo Freire Terhadap Pendidikan “Gaya Bank”.

Dalam sistem pendidikan yang diterapkan di Brasilia pada masa Freire, anak didik tidak dilihat sebagai yang dinamis dan punya kreasi tetapi dilihat sebagai benda yang seperti wadah untuk menampung sejumlah rumusan/dalil pengetahuan. Semakin banyak isi yang dimasukkan oleh gurunya dalam “wadah” itu, maka semakin baiklah gurunya. Karena itu semakin patuh wadah itu semakin baiklah ia. Jadi, murid/nara didik hanya menghafal seluruh yang diceritrakan oleh gurunya tanpa mengerti. Nara didik adalah obyek dan bukan subyek. Pendidikan yang demikian itulah yang disebut oleh Freire sebagai pendidikan “gaya bank”. Disebut pendidikan gaya bank sebab dalam proses belajar mengajar guru tidak memberikan pengertian kepada nara didik, tetapi memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada siswa untuk disimpan yang kemudian akan dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan. Nara didik adalah pengumpul dan penyimpan sejumlah pengetahuan, tetapi pada akhirnya nara didik itu sendiri yang “disimpan” sebab miskinnya daya cipta. Karena itu pendidikan gaya bank menguntungkan kaum penindas dalam melestarikan penindasan terhadap sesamanya manusia.
Pendidikan “gaya bank” itu ditolak dengan tegas oleh Paulo Freire. Penolakannya itu lahir dari pemahamannya tentang manusia. Ia menolak pandangan yang melihat manusia sebagai mahluk pasif yang tidak perlu membuat pilihan-pilihan atas tanggung jawab pribadi mengenai pendidikannya sendiri. Bagi Freire manusia adalah mahluk yang berelasi dengan Tuhan, sesama dan alam. Dalam relasi dengan alam, manusia tidak hanya berada di dunia tetapi juga bersama dengan dunia. Kesadaran akan kebersamaan dengan dunia menyebabkan manusia berhubungan secara kritis dengan dunia. Manusia tidak hanya bereaksi secara refleks seperti binatang, tetapi memilih, menguji, mengkaji dan mengujinya lagi sebelum melakukan tindakan. Tuhan memberikan kemampuan bagi manusia untuk memilih secara reflektif dan bebas. Dalam relasi seperti itu, manusia berkembang menjadi suatu pribadi yang lahir dari dirinya sendiri. Bertolak dari pemahaman yang demikian itu, maka ia menawarkan sistem pendidikan alternatif sebagai pengganti pendidikan “gaya bank” yang ditolaknya. Sistem pendidikan alternatif yang ditawarkan Freire disebut pendidikan “hadap-masalah”.

c. Pendidikan “Hadap-Masalah”: Suatu Pendidikan Alternatif.

Pendidikan “hadap-masalah” sebagai pendidikan alternatif yang ditawarkan oleh Freire lahir dari konsepsinya tentang manusia. Manusia sendirilah yang dijadikan sebagai titik tolak dalam pendidikan hadap-masalah. Manusia tidak mengada secara terpisah dari dunia dan realitasnya, tetapi ia berada dalam dunia dan bersama-sama dengan realitas dunia. Realitas itulah yang harus diperhadapkan pada nara didik supaya ada kesadaran akan realitas itu. Konsep pedagogis yang demikian didasarkan pada pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi untuk berkreasi dalam realitas dan untuk membebaskan diri dari penindasan budaya, ekonomi dan politik.
Kesadaran tumbuh dari pergumulan atas realitas yang dihadapi dan diharapkan akan menghasilkan suatu tingkah laku kritis dalam diri nara didik. Freire membagi empat tingkatan kesadaran manusia, yaitu :

1) Kesadaran intransitif, 
Dimana seseorang hanya terikat pada kebutuhan jasmani, tidak sadar akan sejarah dan tenggelam dalam masa kini yang menindas.

2) Kesadaran semi intransitif atau kesadaran magis
Kesadaran ini terjadi dalam masyarakat berbudaya bisu, dimana masyarakatnya tertutup. Ciri kesadaran ini adalah fatalistis. Hidup berarti hidup di bawah kekuasaan orang lain atau hidup dalam ketergantungan.

3) Kesadaran Naif.

 Pada tingkatan ini sudah ada kemampuan untuk mempertanyakan dan mengenali realitas, tetapi masih ditandai dengan sikap yang primitif dan naif, seperti: mengindentifikasikan diri dengan elite, kembali ke masa lampau, mau menerima penjelasan yang sudah jadi, sikap emosi kuat, banyak berpolemik dan berdebat tetapi bukan dialog.

4) Kesadaran kritis transitif. 

Kesadaran kritis transitif ditandai dengan kedalaman menafsirkan masalah-masalah, percaya diri dalam berdiskusi, mampu menerima dan menolak. Pembicaraan bersifat dialog. Pada tingkat ini orang mampu merefleksi dan melihat hubungan sebab akibat.
Bagi Freire pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang menumbuhkan kesadaran kritis transitif. Memang ia tidak bermaksud bahwa seseorang langsung mencapai tingkatan kesadaran tertinggi itu, tetapi belajar adalah proses bergerak dari kesadaran nara didik pada masa kini ke tingkatan kesadaran yang di atasnya. Dalam proses belajar yang demikian kontradiksi guru-murid (perbedaan guru sebagai yang menjadi sumber segala pengetahuan dengan murid yang menjadi orang yang tidak tahu apa-apa) tidak ada. Nara didik tidak dilihat dan ditempatkan sebagai obyek yang harus diajar dan menerima. Demikian pula sebaliknya guru tidak berfungsi sebagai pengajar. Guru dan murid adalah sama-sama belajar dari masalah yang dihadapi. Guru dan nara didik bersama-sama sebagai subyek dalam memecahkan permasalahan. Guru bertindak dan berfungsi sebagai koordinator yang memperlancar percakapan dialogis. Ia adalah teman dalam memecahkan permasalahan. Sementara itu, nara didik adalah partisipan aktif dalam dialog tersebut.
Materi dalam proses pendidikan yang demikian tidak diambil dari sejumlah rumusan baku atau dalil dalam buku paket tetapi sejumlah permasalahan. Permasalahan itulah yang menjadi topik dalam diskusi dialogis itu yang diangkat dari kenyataan hidup yang dialami oleh nara didik dalam konteksnya sehari-hari, misalnya dalam pemberantasan buta huruf. Pertamatama peserta didik dan guru secara bersama-sama menemukan dan menyerap tema-tema kunci yang menjadi situasi batas (permasalahan) nara didik. Tema-tema kunci tersebut kemudian didiskusikan dengan memperhatikan berbagai kaitan dan dampaknya. Dengan proses demikian nara didik mendalami situasinya dan mengucapkannya dalam bahasanya sendiri. Inilah yang disebut oleh Freire menamai dunia dengan bahasa sendiri. Kata-kata sebagai hasil penamaan sendiri itu kemudian dieja dan ditulis. Proses demikian semakin diperbanyak sehingga nara didik dapat merangkai kata-kata dari
hasil penamaannya sendiri.

d. Relevansi Pemikiran Freire dalam Konteks Indonesia.

Allen J.Moore mengatakan bahwa konsep Freire yang dirumuskan dalam konteks Amerika Latin tidak bisa
diterapkan begitu saja dalam konteks yang berbeda sebab situasinya dan permasalahannya tidak sama.
Peringatan Moore ini adalah satu kendali supaya kita tidak bertindak naif dalam menganalisis suatu permasalahan dalam konteks yang khas. Hal itu sekaligus menjadi peringatan supaya kritikan Freire dapat dipakai secara kritis dalam menganalisis permasalahan pendidikan di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Memang harus diakui bahwa konteks permasalahan Amerika Latin, khususnya Brasilia tidak sama persis dengan permasalahan dalam masyarakat Indonesia, tetapi dalam banyak hal kita menemukan persamaan. Masyarakat Indonesia yang terdiri atas suku-suku adalah masyarakat hierarkis yang nampak dalam strata sosial yang mempunyai sebutan khas di berbagai daerah.  Walaupun strata sosial ini sudah tidak terlalu nampak tetapi justru telah lahir suatu strata sosial baru yang prakteknya hampir sama dengan feodalisme tradisional. Pemegang kendali dalam feodalisme modern adalah kelompok pedagang/pengusaha yang menguasai ekonomi lebih dari setengah kekayaan yang ada. Kelompok tersebut mengakumulasikan kekayaan kurang lebih 80 % kekayaan Indonesia padahal jumlah mereka tidak lebih dari 20 % dari jumlah penduduk. Kedua kelompok “penindas” tersebut semakin memperkokoh kekuasaannya sebab secara praktik hanya mereka yang mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi yang sangat mahal dan terpola dalam sistem kekuasaan itu. Generasi itulah yang kemudian menjadi pewaris “tahta penindasan”. Kalau ada dari kelompok rakyat kecil yang mampu mengecap pendidikan tinggi, ia akan berubah menjadi pemegang kendali feodalisme baru itu baik dalam rangka balas dendam maupun dalam “penindasan” terhadap sesamanya kaum “tertindas”.
Salah satu kritikan Freire adalah pendidikan yang berupaya membebaskan kaum tertindas untuk menjadi penindas baru. Bagi Freire pembebasan kaum tertindas tidak dimaksudkan supaya ia bangkit menjadi penindas yang baru, tetapi supaya sekaligus membebaskan para penindas dari kepenindasannya.
Dalam proses belajar mengajar, pemerintah Republik Indonesia telah mengupayakan untuk menerapkan pendekatan cara belajar siswa aktif (CBSA), tetapi hanya metodenya sajalah yang CBSA. Sementara materi yang disampaikan masih merupakan barang asing yang tidak lahir dari dalam konteks dimana manusia itu ada sehingga pada akhirnya siswa kembali menjadi “bank” penyimpanan sejumlah pengetahuan. Memang siswa aktif belajar dan mungkin berdiskusi dalam kelas tetapi yang  didiskusikan dan dipelajari dalam kelas adalah sejumlah dalil dan rumus yang tidak punya hubungan dengan kehidupannya. Lagi pula relasi guru-siswa adalah pengajar dan yang diajar. Siswa adalah yang belum tahu dan harus diberitahu sedangkan guru adalah yang sudah tahu dan akan memberitahukan. Bukankah itu semua yang disebut oleh Paulo Freire dengan pendidikan “gaya bank”?
Marthen Manggeng/www.oaseonline.org/
dan berbagai sumber.