Showing posts with label Opini. Show all posts
Showing posts with label Opini. Show all posts

Thursday, September 5, 2019


PAPUA di benak kita, nampaknya tak memiliki banyak wajah. Dalam beberapa hal, orang kerapkali mendeskripsikannya lewat apa yang mampu dicandra oleh mata. Papua yang berkulit hitam—oleh karena itu mereka primitif, malas, tukang bikin onar, acakadul dan sederet rentetan stereotip negatif yang menyertainya. Singkatnya, cara pandang rasisme dan diskriminatif masih menjadi tumpuan sekian pihak—hingga akhirnya memengaruhi tingkat penerimaan kita terhadapnya.

Saya ingat betul kala pertama kali saya bersinggungan dengan hal sejenis, kala itu saya mengikuti perkuliahan di kelas. Satu kesempatan, dosen saya memperlihatkan sebuah gambar yang terkenal dengan nama Hottentot Venus. Seorang perempuan Afrika, bernama Saartjie Baartman, dalam gambar itu memang nyata adanya. Ia dianggap sebagai makhluk aneh karena warna kulit, bokongnya yang besar, alat kelaminnya yang memanjang dan bagian lain yang bagi orang Eropa dianggap tak biasa. Ia ditipu dan karena keadaan fisiknya tersebut diminta untuk tampil telanjang di setiap acara pameran di Inggris pada abad ke 19. Empat tahun kemudian, ia dijual kepada pelatih binatang di Perancis—dan yang paling tragis, meski sudah meninggal, tubuhnya (tulang-belulang, otak dan kelaminnya) tetap dijadikan bahan tontonan di museum Paris dengan label manusia setengah binatang. Baru pada tahun 2002 lalu, jasadnya berhasil dipulangkan. Bagi saya, untuk pertama kalinya, hal tersebut membuat saya marah sekaligus bertanya: mengapa perbudakan, rasisme dan diskriminasi masih kerap menghantui kita? Mengapa kita, yang tak sedikitpun bisa memilih untuk terlahir dimana dan seperti apa, bisa begitu kejamnya dan merasa istimewa di antara yang lain? Mirisnya, kejadian tersebut terjadi di dunia modern, dunia yang konon membawa arus humanisme.

Puncaknya 14 Juli lalu, wajah tentang diskrimasi dan rasisme mewujud dalam bentuk lain. Asrama mahasiswa Papua di Yogyakarta tengah dikepung oleh pihak keamanan dan beberapa ormas yang tak sepakat dengan rangkaian kegiatan bertajuk “Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Papua Barat”. Mereka direpresi, mereka dianggap separatis, hingga akhirnya sang sultan pun angkat bicara ‘’tanah Jogja haram diinjak oleh para separatis’’. Akibat dari segala diskriminasi seperti itu, yang terbaru adalah pernyataan sikap Aliansi Mahasiswa Papua untuk meninggalkan tanah Yogyakarta, menanggapi pernyataan Sultan terkait separatisme. Singkatnya, di mata kita permasalahan Papua tak pernah beranjak dan berkutat dalam lingkaran itu-itu saja: soal kemerdekaan, separatisme, nasionalisme. Atau dengan kata lain, ia tak jauh-jauh dari persoalan kepemilikan Papua. Ia tak hanya menyangkut persoalan kepemilikan teritori maupun kekayaan alam, tapi juga pergulatan identitas untuk memiliki rasa aman, kebebasan dan kemanusiaan.

Kegagalan Kita Memahami Nasionalisme
Polemik mengenai kepemilikan Papua sering hadir bersamaan dengan pemahaman mengenai bangsa yang kerap ditafsirkan dalam unsur-unsur kebudayaan; seperti etnis, ras, bahasa, nasib dan lain sebagainya. Papua adalah bangsa Indonesia karena kesamaan nasib dan historisitasnya. Atau di lain pihak, Papua bukan bangsa Indonesia karena berasal dari etnis yang berbeda dengan Indonesia. Singkatnya, Papua dimaknai oleh keduanya dengan mengaitkan pada cerminan kebudayaannya di masa lalu. Dan hal tersebutlah yang berimplikasi pada bagaimana kita memaknai konsep nasionalisme atau kebangsaan.

Pemaknaan terhadap bangsa sebagai penyusun tafsir atas nasionalisme menurut Erick Hobsbwan (1983), lebih tepat ditafsirkan sebagai ajaran-ajaran yang ‘dirancang’ daripada pengertian bangsa sebagai komunitas etnis yang telah mapan dan turun temurun. Nasionalisme daripada diakuinya prinsip-prinsip dasarnya lebih kerap dilabelkan sebagai sebuah identitas politik yang justru tidak beranjak dari unsur radikal sebelum nasionalisme itu sendiri bisa hadir. Setidaknya kita dapat menilik pada awal mula berdirinya nation-state. Revolusi Perancis hadir sebagai wujud nasionalisme yang merombak struktur politik dari kesetiaannya kepada penguasa yang tak dapat diganggu gugat, baik agama maupun kerajaan, menjadi kedaulatan di tangan rakyat. Sementara—seperti yang dikatakan Ben Anderson (1983), nasionalisme yang muncul di dunia ketiga bersemai di atas penolakannya terhadap penjajahan. Lalu, terciptalah kesadaran bahwa mereka mempunyai imaji bersama tentang sebuah bangsa. Kemudian Ben menjelaskan secara gamblang bahwa identitas nasional merupakan produksi. Perasaan kesatuan identitas (nasional) tidak muncul berdasar kesadaran akan kesatuan latar belakang budaya, suku, agama, atau golongan sosial, melainkan lebih merupakan “strategi” (produk) sosial-budaya-politik untuk membangun, memproduksi, dan mereproduksi identitas diri (self-identity) baru sebagai negasi terhadap identitas yang dipaksakan oleh kekuatan penjajah. Dari keduanya, meski hadir dalam bentuknya yang berbeda, menandai kita pada prinsip yang sama: individu maupun masyarakat sebagai subjek yang sebelumnya pasif menjadi aktif dan berdaulat. Keduanya melampaui persoalan tentang apa itu etnis, ras, bahasa dan sebagainya. Sehingga menempatkan individu sebagai seorang manusia dan warga negara yang setara. Pada dasarnya nasionalisme justru mengangkat visi humanis—dengan menginjeksikan nilai-nilai kesetaraan, kebebasan, anti penindasan dan demokrasi ke dalam struktur masyarakat yang sebelumnya tertindas. Namun, kini seolah nasionalisme mewujud dalam pernyataanya: right or wrong is my country, bukan right is right dan wrong is wrong. Dengan kata lain yang penting kesatuan harga mati meskipun itu dilakukan dengan cara yang tak manusiawi. Hal tersebut berarti, tak ubahnya sama dengan kesetiaan mutlak kepada penguasa meski nilai-nilai kemanusiaan tercabik. Dalam bentuk ekstrimnya, sekian orang harus berani mengorbankan dirinya demi keutuhan bangsa atau negara.

Negara memandang Papua
Kita telah memahami bahwa nasionalisme melampaui pikiran kita atas kemerdekaan terhadap suatu wilayah atau identitas kebudayaan lain. Ia tak menyoal apakah manusia itu berasal dari bangsa Indonesia atau Melanesia, ras hitam atau putih dsb, namun karena ia seorang manusia maka kemerdekaan dan pastisipasi aktif adalah prinsip mendasar dari hadirnya bangsa, negara ataupun komunitas kecil sekalipun. Kebijakan-kebijakan seperti otonomi khusus, UP4B (Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat) alih-alih menyejahterahkan rakyat Papua, yang ada malah tak pernah menemui kebaikan yang diinginkannya. Lantaran bagi saya sendiri, kehendak umum tersebut menegasikan partisipasi aktif yang menjadi dasar nasionalisme.

Peristiwa di Yogyakarta kemarin merupakan potret kecil bagi kita tentang bagaimana pendekatan militeristik lebih dikedepankan terhadap orang Papua. Ya, Papua memang sudah lama akrab dengan militer. Apa-apa masalah yang terjadi di Papua militerlah solusinya. Kala ada investor mau masuk, militer siap mengamankan. Kala ada yang berontak siap-siaplah ia digilas militer. Begitupun kalau ada ribut-ribut di Papua, militer lah yang berdiri di barisan paling depan. Seolah tidak ada jalan lain dalam mengatasi masalah di Papua kecuali dengan jalan militer.

Barangkali hal inilah yang membuat rakyat Papua merasa jengah lantaran kian hari semakin tertindas. Rakyat Papua barangkali juga sudah tidak memiliki imaji bersama dalam bingkai bangsa Indonesia. Narasi tentang bangsa yang dahulu selalu terbayangkan sebagai sebuah komunitas (community), meski dalam kenyataan komunitas itu ditandai aneka perbedaan atau kesenjangan, dan karenanya selalu dipahami sebagai persaudaraan yang mendalam, kini tidak berlaku bagi Papua. Sebab ia sudah tak memiliki nasib dan perlakuan yang sama dengan saudara mereka di Jawa, Sumatra atau Bali. Ringkasnya, lunturnya semangat nasionalisme dan imaji bersama tentang sebuah bangsa, bukan terjadi dengan sendirinya karena penjajah telah pergi, tetapi justru direproduksi penguasa yang mempunyai akses ke kebijakan publik. Mereka inilah yang menjadi penindas baru bagi rakyat Papua. Tak heran jika rakyat Papua berontak dan menuntut haknya untuk merdeka, bebas dalam menentukan nasibnya sendiri

Saat orang-orang menyeru mengenai persatuan, ia dipahami hanya sebatas menyatunya teritorial kita maupun kebangsaan kita yang didasarkan pada primordialisme. Bukan persatuan atau solidaritas atas nilai-nilai kemanusiaan. Maka saat kita memahami kembali nasionalisme Indonesia maupun di belahan bumi manapun, bukan apakah kita tengah membela persatuan Indonesia atau membentuk negara Papua. Bukan soal ia seorang hitam atau putih maka ia berhak merdeka, namun karena ia manusia yang tak sepatutnya ditindas. Negara dalam bentuk apapun wujudnya, tak akan ada artinya jika nasionalisme tak mengingat prinsip radikalnya saat ia muncul.

Semua orang ingin rasa aman, tentram, damai dan keadilan. Kata-kata itu yang setidaknya banyak terlontar dari pihak pro maupun kontra atas peristiwa di Yogyakarta lalu. Namun, nasionalisme kita hari ini jusru mewujud dalam bentuk ketakutan, kecemasan, kecurigaan dan kerakusan. Maka, saya dan mungkin Anda patut bertanya pada diri sendiri: apakah solidaritas kita terhadap persatuan kemanusiaan telah mati.

Sunday, August 25, 2019



Pagi ini aku bangun masih dengan perasaan yang sama, rasa syukur masih diberi kehidupan, rasa syukur masih bisa berjumpa dengan mentari pagi, rasa syukur masih bisa merasakan udara yang sejuk, dan rasa syukur masih bisa melihat hijaunya dedaunan dan birunya lautan. “ Satu-satunya momen paling menakjubkan adalah saat kita menangis kencang2, Ibu/Bapak kita justru tersenyum begitu bahagia, hanya satu kali momen itu terjadi, ketika kita persis dilahirkan “ (tere liye).  26 Agustus 1995 tepat 24 tahun yang lalu aku dilahirkan di desa terpencil . Keluarga yang menjujung kejujuran, mengutamakan rasa cinta dan berani bermimpi besar. Lahir sebagai anak ke-empat dari lima bersaudara.  aku akan selalu berusaha mandiri, kuat dan berani dalam mengarungi hidup walau harus sendiri jauh dari keluarga.

Hari ini dimana aku dilahirkan, hari dimana orang tertawa sekaligus haru akan perkenalanku dengan dunia ini, hari dimana mengingatkanku kembali akan manis pahitnya kerikil-kerikil kehidupan yang telah kulewati, 24 tahun bukan waktu yang sebentar banyak pelajaran dan hikmah kehidupan yang bisa didapatkan dari rentang waktu itu, Terima Kasih Ya Allah kau memberiku waktu cukup lama ini untuk merasakan nikmatnya kehidupan ini dan masih memberiku waktu untuk memperbaiki diri. Terima Kasih memberiku keluarga yang luar biasa.

Sekarang Yang menjadi pertanyaan besar dalam diri ini, di umurku yang genap 24 tahun ini, sudah berapa banyak kelalaian dan dosa yang telah kuperbuat, sudah berapa banyak hati yang tersakiti. Apa saja yang sudah kuberikan untuk Agamaku, untuk Tuhanku,  untuk kedua orangtua yang mencintaiku ?, untuk sahabat-sahabat yang rela berkorban untukku ?. Benar kata imam al-ghazali, “ yang singkat itu waktu, yang menipu itu dunia, yang dekat itu kematian dan yang sering lupa itu bersukur “. Ya Allah ampunilah dosaku, dosa orang-orang yang tersakiti olehku baik sengaja maupun tidak sengaja muliakanlah mereka.

Kini saatnya menyambut lembaran baru aku berharap di sisa umurku ini aku harus menjadi lebih dewasa, lebih mandiri, harus lebih mempersiapkan masa depan, mempersiapkan bekal akhirat, dan bisa membahagiakan kedua orang tuaku,  semuanya itu dengan bimbinganmu ya Allah.

Dan terakhir pintaku di umurku yang ke 24 tahun ini bisa membahagiakan orang tua dan orang terdekatku dan untuk jodohku.

Dekatkanlah aku dengan jodohku ya Allah, kalau sudah dekat maka pertemukanlah, lalu permudahlah.

“ Cinta itu tidak rumit sejatinya Cinta itu sederhana, Cinta sejati selalu menemukan jalan, akan ada kebetulan2 yang menakjubkan karna Tuhan sendiri yang akan mempertemukan “ - Tere Liye

Wednesday, August 14, 2019



Kehidupan tak selamanya enak juga gak selamanya susah mulu. Kehidupan seperti gelombang gempa di seismograf. Kadang tenang dilain waktu juga ada getaran yang super dahsyat. Di saat hidup sedang enak, jangan sampai lupa bahwa itu hanyalah posisi sementara. Pasti akan ada cobaan dibalik enaknya hidup.

Yang mampu bertahan sampai akhir hanyalah mereka yang mempunyai tujuan jelas, target terukur. Terkadang kita menelan mentah-mentah apa yang kita pelajari, tidak mencerna secara matang. Orang yang super sukses pasti seringkali kita lihat atau membaca kisah suksesnya. Namun semua kisah sukses tak begitu mendetail. Orang yang sukses pasti pernah mengalami keadaan terpuruk yang luar biasa. Jika dibandingkan dengan kita sekarang mungkin tidak ada apa-apanya.

Ada beberapa orang yang tidak suka bekerja dalam suatu sistem dengan alasan 'aturan' bisa membuatnya terbatas dalam bergerak. Sah-sah saja, ada juga yang suka bekerja dalam suatu sistem. Boleh juga. Tidak ada yang memaksakan mau bekerja dalam suatu sistem atau tidak, asalkan tujuan yang akan dicapai memang bisa dicapai dengan hasil yang maksimal. Yang perlu digaris bawahi adalah: semua yang terjadi di dunia bahkan alam semesta ini berjalan sesuai dengan sistemnya, berurutan dan tidak saling mendahului satu sama lainnya. MULTI TASKING ITU TIDAK ADA, yang ada hanyalah kecepatan dalam memproses.

Target hidup yang jelas akan membuat seseorang mampu bertahan dalam keadaan apapun, dengan target juga akan tercipta strategi yang baik. Boleh saja memiliki target yang super tinggi, selama target tersebut terukur. Jangan menelan mentah-mentah kisah orang sukses, otak kita berbeda dengan mereka sekalipun sama bahan pembuatnya. Yang kita bicarakan adalah kapasitas, bukan bentuk fisik otak.

Jika orang lain bisa kita juga bisa. Kalimat ini bisa saja menjadi bumerang yang akan menghancurkan karir seseorang. Karena target yang tidak jelas atau target terlalu tinggi tanpa perhitungan yang matang, akhirnya mengalami kegagalan dan malah tidak mau bangkit lagi. Banyak orang yang memang tidak menyukai perhitungan, tetapi pada kenyataan hidup hitungan akan selalu ada. Boleh lah orang tidak menyukai hitungan yang rumit, berarti kita hanya perlu mempermudah hitungan saja, tidak serta merta menghilangkan hitungan tersebut dalam hidup.

Target terukur dan analisa yang baik akan membuat jalan kita mudah dalam mencapai target, dan jika gagal bisa melakukan evaluasi karena ada data historis dalam bentuk perhitungan yang sudah dibuat. Akan ada langkah dan strategi baru lagi yang akan tercipta. Jangan hanya karena rumor otak kanan lebih tinggi kemudian kita akan melupakan perhitungan, jangan sampai. Tuhan sudah menciptakan sesuatu sesuai dengan takarannya, tidak mungkin ada kekurangan atau kelebihan didalamnya. Sekali lagi jangan menelan mentah-mentah apa yang sudah dipelajari jika belum ada bukti.
Orang yang suka mendengarkan musik berarti otak kanan lebih dominan. Ini sering sekali saya jumpai, kalau mau pukul rata, berarti semua anak muda dominan otak kanannya, dan orang tua tidak. Karena memang yang menyukai musik kebanyakan adalah anak-anak muda. Dan jika di simpulkan lagi, sekarang ini (jika masih muda) berarti kita dominan otak kanan, dan ketika tua akan dominan otak kiri ? Loh kenapa bisa begitu ?

Seseorang tidak peduli apakah dia dominan otak kiri atau otak kanan seperti yang banyak di bahas di buku-buku, kesuksesan dalam mencapai target itu tergantung dari usah masing-masing orang dan strategi yang mereka gunakan. Kalau ada orang yang sukses dengan cara tidak biasanya bukan berarti dia dominan otak kanan, tetapi lebih kepada karena dia mampu menciptakan strategi yang menurutnya lebih efektif daripada cara biasanya. Artinya seseorang mempunyai pola yang berbeda-beda dalam mencapai targetnya.

Target yang jelas dalam hidup akan menciptakan strategi yang baik dalam mencapainya, jangan menelan langsung apa saja yang baru dibaca atau dipelajari. Dominan otak kiri dan kanan hanya rumor saja, karena memang belum ada fakta ilmiahnya. Dan jika ada silakan kritik saya. Setiap orang mempunyai pola tersendiri dalam mencapai target hidupnya. Setiap yang terjadi di dunia ini berjalan di dalam suatu sistem raksasa, suka tidak suka sebenarnya kita sudah masuk dalam sistem tersebut. Multi tasking itu juga sebenarnya tidak ada, yang ada hanyalah kecepatan saja. Bisa mengerjakan sesuatu dalam satu waktu tidak bisa dikatakan multi tasking, karena semua pasti dijalankan berurutan. Tidak mungkin Anda sedang mandi sekaligus langsung bisa memasak, sekalipun bisa pasti tetap dilakukan secara berurutan.

Friday, August 9, 2019



Bagaimana korporat besar menjadi “anarkis” yang mengendalikan dunia

Masih terhanyut dalam “SEXY KILLER” effect? Didalamnya kita ditunjukkan bagaimana perusahaan tambang menjadi kendali atas kebijakan negara. Mungkin kita sering mendengar oligarki: pemerintahan yang dikendalikan oleh sekelompok orang kaya. Nah, kali ini saya akan membahas salah satu bentuk pemerintahan yang sedekat nadi, namun penuh dengan bayang-bayang konspirasi. Sebuah sistem pemerintahan yang pernah benar-benar mengendalikan bangsa kita selama 3 abad secara terang-terangan, sekaligus semisterius bayang-bayang New World Order. Tidak, saya tidak akan membahas Freemason atau Zionis (karena saya termasuk golongan skeptis pada konspirasi). Dan kekuatan ekonomi sebuah korporat yang lebih besar dari Indonesia. Kali ini saya akan membahas: Korporatokrasi.

Korporatokrasi dapat dipahami sesederhana kita memahami demokrasi, aristokrasi, monarki, dsb. Korporatokrasi adalah gabungan dari kata korporat dan kratia (seperti demokrasi yang gabungan demos dan kratia). Sederhananya, korporatokrasi adalah sistem pemerintahan dimana kebijakan politis dan ekonominya ditentukan oleh korporasi dan didasarkan kepentingan korporat. Sebenarnya, kata ini awalnya dipakai sebagai “sindiran” kepada sistem pemerintahan Amerika Serikat. Kata ini memiliki makna berbeda dengan korporatisme, yang didefinisikan sebagai kelompok masyarakat tertentu dengan kesamaan kepentingan. Kata ini muncul dalam The Price of Civilization karya ekonom Jeffrey Sachs. Konsep korporatokrasi digunakan sebagai kritis kepada globalisasi, Bank Dunia, dan pasar bebas.

Korporat memiliki kapital yang besar dan berkepentingan meningkatkan produksi serta perdagangan hasil produksinya. Kekuatan kapital inilah yang menjadi motor dari kapitalisme. Dalam praktik pemerintahan, kapital milik perusahaan menjadi kekuatan kontrol bagi sistem pemerintahan. Korporat memanfaatkan kekuatan finansialnya untuk mengendalikan berbagai kebijakan yang menguntungkan mereka. Kejahatan finansial, pengemplangan pajak, pengrusakan alam dalam skala industrial, dan pemodalan perang secara ilegal adalah beberapa contoh korporatokrasi bekerja. Korporat memiliki cukup kekuatan untuk mengubah hukum negara sesuai kebutuhan mereka. Dalam skala besar, korporat mampu mengendalikan kekuatan bersenjata sebuah negara, bahkan membentuk “pengamanan bersenjata” secara privat. Dan kita tidak hanya berbicara korporat yang bergerak di bitang produksi senjata, pembangunan infrastruktur, atau eksploitasi sumber daya alam saja.

Kekuatan korporat ini tidak berhenti di industri “seksi” seperti diatas. Korporasi di bidang produksi kebutuhan primer, fashion, elektronik, teknologi, sampai retail dan media massa juga memiliki kekuatan dan kepentingan untuk mengatur masyarakat sebuah negara. Mereka mampu mengendalikan keran imporr ekspor, perijinan (yang seringkali melanggar AMDAL), hingga opini publik. Penelitian oleh Corporate Watch, Global Policy Forum, dan Institute for Policy Studies (IPS) pada tahun 2000 menunjukkan fakta mengenai bangkitnya korporatokrasi yang seharusnya sudah ditekan oleh pemerintahan barat. Tapi, yang terjadi 19 tahun kemudian, adalah korporasi benar-benar mengendalikan pemerintahan secara luas. Kekuatan korporasi ini sukses mempertahankan status quo sosial ekonomi masyarakat, dimana status quo ini menjadi sumber tenaga kerja ahli (dan murah) serta mempertahankan selera pasar untuk selalu konsumtif pada hasil produksi mereka. Sebagai gambaran, laporan mengenai 100 kekuatan ekonomi besar dunia, 51 diantaranya adalah korporasi, dan sisanya adalah negara. Wal-Mart memiliki kekuatan ekonomi lebih besar dari 161 negara di dunia. Mitsubishi memiliki kekuatan lebih besar daripada negara dengan populasi tertinggi ke-4 di dunia: INDONESIA. General Motors lebih kuat dari Denmark. Dan Ford lebih kuat dari Afrika Selatan.

Sedikit membahas korporatokrasi yang sedekat nadi, kekuatan dan pengaruh sebuah korporat pernah menguasai Indonesia secara terang-terangan: VEREENIGDE OOSTINDISCHE COMPAGNIE atau disingkat VOC! Bahkan, mungkin kita bisa sedikit “bangga” karena VOC adalah perusahaan multinasional pertama di dunia dan pioner dari sistem pembagian saham. Nah, kita bisa melihat (bahkan dari buku sejarah sekolah) bagaimana VOC memiliki kekuatan dan kepentingan dalam mengendalikan sistem politik dan ekonomi Indonesia pada masa pendudukannya. Inilah contoh sebuah korporatokrasi yang terang-terangan mengendalikan sebuah kelompok masyarakat luas. VOC memiliki tentara sendiri, mampu mendirikan pangkalan dan pabrik sesuai kebutuhan mereka, hingga menentukan kebijakan budaya. Di Belanda sendiri, VOC bisa dikatakan sebagai sebuah negara dalam negara. Sebuah negara yang didirikan bukan berdasarkan sejarah bangsa, perjuangan massa, atau garis keturunan yang “suci”. VOC lahir dari semangat perdagangan, produksi, dan eksploitasi sumber daya alam.

Korporasi besar memiliki kekuatan yang menempatkan mereka diatas segala bentuk kendali pemerintahan. Mereka (baik secara tersembunyi atau terang-terangan) berada di posisi kendali atas alat produksi dan pasar (baca: masyarakat luas). Mereka mampu untuk berproduksi dengan mengabaikan kepatuhan pada hukum (atau sekurang-kurangnya membentuk hukum). Korporatokrasi adalah bentuk anarko kapitalisme yang nyata. Mereka tidak memiliki kepatuhan pada tatanan apapun, kecuali kepentingan. Dan mereka membentuk kesadaran individu melalui berbagai “propaganda” media massa (sedikit banyak saya singgung dala “Major Brand adalah Candu”).

Lalu, bagaimana dengan hari ini. Apakah kalian merasakan, bagaimana korporatokrasi hadir sebagai bentuk kendali atas masyarakat? Meskipun pada hari ini tidak ada kekuatan ekonomi serupa VOC, tapi apakah kalian menyadari kehadiran korporat sebagai “negara”? Apakah hari ini, kita sudah tidak hidup dalam negara “sejati”, dan hidup dalam negara bernama Shell, Chevron, IBM, BBC, Freeport, dan sejenisnya?

Sunday, August 4, 2019


Bangsa ini sedang sakit, sakit parah, bahkan komplikasi. Bangsa ini sudah jatuh, tertimpa tangga pula.
Seiring berjalannya waktu, makin banyak problem baru bermunculan, padahal di waktu yang sama problem yang lama belum berakhir. Semua penyakit ini memiliki obat yang sama, jawaban yang sama, dan jawaban ini seringkali kita dengar bahkan bisa dikatakan sebuah jawaban klise. Iya, jawabannya ada di edukasi, edukasi, dan edukasi.
Bukan, bukan bermaksud saya mengatakan bahwa bangsa ini bodoh, tolol, bego, dungu ataupun lainnya. Hanya saja bangsa ini belum bisa menerima informasi dan juga hanya menerima informasi sesuai keinginan dirinya. [1] Perlu bukti konkret? Lihat saja di youtube, twitter ataupun media lainnya, banyak orang yang percaya akan bentuk bumi yang datar, apa berarti mereka bodoh? Oh tidak, banyak juga yang pintar secara akademik mempercayai hal ini. Bukti lain? Lihat diluar sana masih banyak yang mempermasalahkan bahwa kiri = komunis = ateis karena propaganda saat orba mengatakan PKI membantai umat beragama.
Kenyataannya? ‘Founding Father’ bangsa ini memiliki pandangan kiri dan membantai kirifobia layaknya islamofobia, dan juga ia salah satu tokoh dalam Marhaenisme (pandangan kiri), iya dia ini Ir. Soekarno. Salah satu tokoh besar negara yang karyanya sering digunakan oleh pergerakan mahasiswa adalah seorang komunis, iya dia adalah Tan Malaka dengan karyanya yang berjudul ‘Madilog’.
Lebih jauh lagi? Konflik PKI pada masa itu sangatlah kompleks dan tidak berhubungan sama sekali dengan ateis maupun kepercayaan lainnya, PKI yang kalian kenal ateis pernah mengucapkan selamat natal kepada anggotanya.
Saya ulangi, bangsa ini sakit parah. Banyak dari mereka yang mementingkan ego dan mengutamakan emosi disaat menghadapi isu terpanas dibandingkan tabayyun. Iya, ulama bisa salah bahkan orang yang lebih baik secara akhlak dan ilmu agamanya pernah melakukan kesalahan, berikut contohnya :
– Khulafaur rashidin, sahabat nabi, Usman Bin Affan bisa salah karena menerapkan sistem nepotisme dimasa kepemerintahannya.
– Nabi Adam dan Siti Hawa pernah bersalah karena memakan buah Khuldi yang dilarang oleh Allah. Namun mereka segera bertobat sehingga diampuni oleh Allah: “Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” [Al A’raaf 23]
– Nabi Yunus pernah “bersalah” karena meninggalkan kaumnya. Setelah 33 tahun berdakwah, cuma 2 orang saja yang mau mendengar seruannya. Sebetulnya itu wajar sebab manusia biasa, setelah 3 tahun dakwah tidak ada yang mendengar, paling sudah berhenti. Namun Nabi Yunus segera bertobat sehingga beliau bebas dari dosa (maksum): “Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: “Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” [Al Anbiyaa’ 87]
– Nabi Musa secara tidak sengaja pernah membunuh orang. Beliau tidak sadar akan kekuatan pukulannya:
“Dan Musa masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah, maka didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-laki yang berkelahi; yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir’aun). Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu. Musa berkata: “Ini adalah perbuatan syaitan sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata (permusuhannya).
Musa berdoa : “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku.” Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Al Qashash 15:16]
– Nabi Muhammad pernah ditegur Allah karena mengharamkan madu untuk dirinya sendiri untuk menyenangkan istrinya :
“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [At Tahrim 1]
Apa maksud ane membawa kejadian di atas? Stop menganggap ulama adalah manusia tidak bersalah dan bersikap kritislah terhadap semuanya, iya bahkan tulisan ini anda mempunyai hak untuk mengkritisinya. Sadar, tidak? Bangsa ini mudah digiring opininya karena ada dua faktor, yaitu :
– Mereka tidak paham apa-apa
– Mereka menerima informasi yang mereka inginkan saja (cognitive bias)
Mereka tidak paham apa-apa karena jarang membaca buku, iya bangsa ini sudah tertinggal jauh, menurut PISA pada tahun 2015 Indonesia berada di peringkat 66 dari 72 negara dalam hal literasi, menyedihkan bukan?
Mereka yang menerima informasi sesuai keinginan mereka karena tidak ingin merasa disalahkan, dilecehkan, ataupun direndahkan karena ketidaktahuannya. Iya, mereka sangat sombong, naif, dan angkuh.
Tapi, dari bangsa ini apa tidak ada yang sadar akan ini dan ingin mengubahnya? Ada, bahkan bisa dibilang banyak yang sadar ini, tapi mereka masih dianggap sebelah mata karena cara penyampaian mereka yang salah. Hadeuh, untuk contoh ini sering terlihat di sosial media, merendahkan kubu yang tidak paham, berkata kasar dalam argumen kepada orang yang bahkan tidak memahami apa itu argumen yang secara tidak langsung argumen mereka ditolak hanya karena kata-kata kasar itu, dan lainnya.
Seperti yang sudah saya tulis di awal tulisan ini, obatnya hanya edukasi, baik edukasi secara akademik maupun non akademik, baik secara literasi maupun emosi. Kita satu bangsa, mengalami satu rasa perjuangan yang sama, memiliki hutang budi yang sama terhadap pahlawan karena berhasil memerdekakan bangsa ini, kenapa tidak berangkulan tangan dan berusaha keluar dari kejadian ini?