Monday, June 8, 2020


PAPUA di benak kita, nampaknya tak memiliki banyak wajah. Dalam beberapa hal, orang kerapkali mendeskripsikannya lewat apa yang mampu dicandra oleh mata. Papua yang berkulit hitam oleh karena itu mereka primitif, malas, tukang bikin onar, acakadul dan sederet rentetan stereotip negatif yang menyertainya. Singkatnya, cara pandang rasisme dan diskriminatif masih menjadi tumpuan sekian pihak hingga akhirnya memengaruhi tingkat penerimaan kita terhadapnya.

Saya ingat betul kala pertama kali saya bersinggungan dengan hal sejenis. Satu kesempatan, teman saya memperlihatkan sebuah gambar yang terkenal dengan nama Hottentot Venus. Seorang perempuan Afrika, bernama Saartjie Baartman, dalam gambar itu memang nyata adanya. Ia dianggap sebagai makhluk aneh karena warna kulit, bokongnya yang besar, alat kelaminnya yang memanjang dan bagian lain yang bagi orang Eropa dianggap tak biasa. Ia ditipu dan karena keadaan fisiknya tersebut diminta untuk tampil telanjang di setiap acara pameran di Inggris pada abad ke 19. Empat tahun kemudian, ia dijual kepada pelatih binatang di Perancis dan yang paling tragis, meski sudah meninggal, tubuhnya (tulang-belulang, otak dan kelaminnya) tetap dijadikan bahan tontonan di museum Paris dengan label manusia setengah binatang. Baru pada tahun 2002 lalu, jasadnya berhasil dipulangkan. Bagi saya, untuk pertama kalinya, hal tersebut membuat saya marah sekaligus bertanya: mengapa perbudakan, rasisme dan diskriminasi masih kerap menghantui kita? Mengapa kita, yang tak sedikitpun bisa memilih untuk terlahir dimana dan seperti apa, bisa begitu kejamnya dan merasa istimewa di antara yang lain? Mirisnya, kejadian tersebut terjadi di dunia modern, dunia yang konon membawa arus humanisme.

Puncaknya 14 Juli lalu, wajah tentang diskrimasi dan rasisme mewujud dalam bentuk lain. Asrama mahasiswa Papua di Yogyakarta tengah dikepung oleh pihak keamanan dan beberapa ormas yang tak sepakat dengan rangkaian kegiatan bertajuk “Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Papua Barat”. Mereka direpresi, mereka dianggap separatis, hingga akhirnya sang sultan pun angkat bicara ‘’tanah Jogja haram diinjak oleh para separatis’’. Akibat dari segala diskriminasi seperti itu, yang terbaru adalah pernyataan sikap Aliansi Mahasiswa Papua untuk meninggalkan tanah Yogyakarta, menanggapi pernyataan Sultan terkait separatisme. Singkatnya, di mata kita permasalahan Papua tak pernah beranjak dan berkutat dalam lingkaran itu-itu saja: soal kemerdekaan, separatisme, nasionalisme. Atau dengan kata lain, ia tak jauh-jauh dari persoalan kepemilikan Papua. Ia tak hanya menyangkut persoalan kepemilikan teritori maupun kekayaan alam, tapi juga pergulatan identitas untuk memiliki rasa aman, kebebasan dan kemanusiaan.

Kegagalan Kita Memahami Nasionalisme
Polemik mengenai kepemilikan Papua sering hadir bersamaan dengan pemahaman mengenai bangsa yang kerap ditafsirkan dalam unsur-unsur kebudayaan; seperti etnis, ras, bahasa, nasib dan lain sebagainya. Papua adalah bangsa Indonesia karena kesamaan nasib dan historisitasnya. Atau di lain pihak, Papua bukan bangsa Indonesia karena berasal dari etnis yang berbeda dengan Indonesia. Singkatnya, Papua dimaknai oleh keduanya dengan mengaitkan pada cerminan kebudayaannya di masa lalu. Dan hal tersebutlah yang berimplikasi pada bagaimana kita memaknai konsep nasionalisme atau kebangsaan.

Pemaknaan terhadap bangsa sebagai penyusun tafsir atas nasionalisme menurut Erick Hobsbwan (1983), lebih tepat ditafsirkan sebagai ajaran-ajaran yang ‘dirancang’ daripada pengertian bangsa sebagai komunitas etnis yang telah mapan dan turun temurun. Nasionalisme daripada diakuinya prinsip-prinsip dasarnya lebih kerap dilabelkan sebagai sebuah identitas politik yang justru tidak beranjak dari unsur radikal sebelum nasionalisme itu sendiri bisa hadir. Setidaknya kita dapat menilik pada awal mula berdirinya nation-state. Revolusi Perancis hadir sebagai wujud nasionalisme yang merombak struktur politik dari kesetiaannya kepada penguasa yang tak dapat diganggu gugat, baik agama maupun kerajaan, menjadi kedaulatan di tangan rakyat. Sementara—seperti yang dikatakan Ben Anderson (1983), nasionalisme yang muncul di dunia ketiga bersemai di atas penolakannya terhadap penjajahan. Lalu, terciptalah kesadaran bahwa mereka mempunyai imaji bersama tentang sebuah bangsa. Kemudian Ben menjelaskan secara gamblang bahwa identitas nasional merupakan produksi. Perasaan kesatuan identitas (nasional) tidak muncul berdasar kesadaran akan kesatuan latar belakang budaya, suku, agama, atau golongan sosial, melainkan lebih merupakan “strategi” (produk) sosial-budaya-politik untuk membangun, memproduksi, dan mereproduksi identitas diri (self-identity) baru sebagai negasi terhadap identitas yang dipaksakan oleh kekuatan penjajah. Dari keduanya, meski hadir dalam bentuknya yang berbeda, menandai kita pada prinsip yang sama: individu maupun masyarakat sebagai subjek yang sebelumnya pasif menjadi aktif dan berdaulat. Keduanya melampaui persoalan tentang apa itu etnis, ras, bahasa dan sebagainya. Sehingga menempatkan individu sebagai seorang manusia dan warga negara yang setara. Pada dasarnya nasionalisme justru mengangkat visi humanis—dengan menginjeksikan nilai-nilai kesetaraan, kebebasan, anti penindasan dan demokrasi ke dalam struktur masyarakat yang sebelumnya tertindas. Namun, kini seolah nasionalisme mewujud dalam pernyataanya: right or wrong is my country, bukan right is right dan wrong is wrong. Dengan kata lain yang penting kesatuan harga mati meskipun itu dilakukan dengan cara yang tak manusiawi. Hal tersebut berarti, tak ubahnya sama dengan kesetiaan mutlak kepada penguasa meski nilai-nilai kemanusiaan tercabik. Dalam bentuk ekstrimnya, sekian orang harus berani mengorbankan dirinya demi keutuhan bangsa atau negara.

Negara memandang Papua
Kita telah memahami bahwa nasionalisme melampaui pikiran kita atas kemerdekaan terhadap suatu wilayah atau identitas kebudayaan lain. Ia tak menyoal apakah manusia itu berasal dari bangsa Indonesia atau Melanesia, ras hitam atau putih dsb, namun karena ia seorang manusia maka kemerdekaan dan pastisipasi aktif adalah prinsip mendasar dari hadirnya bangsa, negara ataupun komunitas kecil sekalipun. Kebijakan-kebijakan seperti otonomi khusus, UP4B (Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat) alih-alih menyejahterahkan rakyat Papua, yang ada malah tak pernah menemui kebaikan yang diinginkannya. Lantaran bagi saya sendiri, kehendak umum tersebut menegasikan partisipasi aktif yang menjadi dasar nasionalisme.

Peristiwa di Yogyakarta kemarin merupakan potret kecil bagi kita tentang bagaimana pendekatan militeristik lebih dikedepankan terhadap orang Papua. Ya, Papua memang sudah lama akrab dengan militer. Apa-apa masalah yang terjadi di Papua militerlah solusinya. Kala ada investor mau masuk, militer siap mengamankan. Kala ada yang berontak siap-siaplah ia digilas militer. Begitupun kalau ada ribut-ribut di Papua, militer lah yang berdiri di barisan paling depan. Seolah tidak ada jalan lain dalam mengatasi masalah di Papua kecuali dengan jalan militer.

Di tambah lagi dengan kejadian yang menimpa BEM Uncen lagi lagi tentang bagaimana pendekatan meliteristik lebih di kedepankan terhadap orang Papua. 

Barangkali hal inilah yang membuat rakyat Papua merasa jengah lantaran kian hari semakin tertindas. Rakyat Papua barangkali juga sudah tidak memiliki imaji bersama dalam bingkai bangsa Indonesia. Narasi tentang bangsa yang dahulu selalu terbayangkan sebagai sebuah komunitas (community), meski dalam kenyataan komunitas itu ditandai aneka perbedaan atau kesenjangan, dan karenanya selalu dipahami sebagai persaudaraan yang mendalam, kini tidak berlaku bagi Papua. Sebab ia sudah tak memiliki nasib dan perlakuan yang sama dengan saudara mereka di Jawa, Sumatra atau Bali. Ringkasnya, lunturnya semangat nasionalisme dan imaji bersama tentang sebuah bangsa, bukan terjadi dengan sendirinya karena penjajah telah pergi, tetapi justru direproduksi penguasa yang mempunyai akses ke kebijakan publik. Mereka inilah yang menjadi penindas baru bagi rakyat Papua. Tak heran jika rakyat Papua berontak dan menuntut haknya untuk merdeka, bebas dalam menentukan nasibnya sendiri

Saat orang-orang menyeru mengenai persatuan, ia dipahami hanya sebatas menyatunya teritorial kita maupun kebangsaan kita yang didasarkan pada primordialisme. Bukan persatuan atau solidaritas atas nilai-nilai kemanusiaan. Maka saat kita memahami kembali nasionalisme Indonesia maupun di belahan bumi manapun, bukan apakah kita tengah membela persatuan Indonesia atau membentuk negara Papua. Bukan soal ia seorang hitam atau putih maka ia berhak merdeka, namun karena ia manusia yang tak sepatutnya ditindas. Negara dalam bentuk apapun wujudnya, tak akan ada artinya jika nasionalisme tak mengingat prinsip radikalnya saat ia muncul.

Semua orang ingin rasa aman, tentram, damai dan keadilan. Kata-kata itu yang setidaknya banyak terlontar dari pihak pro maupun kontra atas peristiwa di Yogyakarta lalu. Namun, nasionalisme kita hari ini jusru mewujud dalam bentuk ketakutan, kecemasan, kecurigaan dan kerakusan. Maka, saya dan mungkin Anda patut bertanya pada diri sendiri: apakah solidaritas kita terhadap persatuan kemanusiaan telah mati. 

Sunday, March 1, 2020


Satu perkembangan monumental yang terjadi pada akhir abad ke-20 adalah kemampuan teknologi dalam menciptakan realitas virtual dan cyberspace, sehingga merubah perkembangan wajah dunia dan kebudayaan kontemporer yang dibentuk oleh riuh rendah citraan elektronik (televisi, video clip, game, internet) serta sorak-sorai idiom-idiom pos-modernisme (pastiche, kitsch, parodi, camp, skizofrenia). Citraan-citraan ini membentuk realitas baru dunia, yang kita merupakan bagiannya.

Dan, kita menjadi model kehidupan nyata. Kecenderungan realitas citraan ini tampaknya akan terus berlanjut, namun tentunya dengan dimensi yang berbeda. Perkembangan teknologi pada abad ke-20 telah mencapai suatu masa di mana realitas semu yang diwujudkan melalui pencitraan digital menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari. Hiper-realitas visual, merupakan ungkapan di mana realitas visual telah dilampaui dengan manipulasi dari pencitraan visual, sehingga seolah manusia melangkah dari dunia nyata menuju dunia fantasi, dunia maya yang tampak nyata.

Kebudayaan kontemporer memasuki kondisi di mana di dalamnya, tabir antara realitas dan fantasi semakin tipis. Banyak hal yang sebelumnya dianggap fantasi kini menjadi realitas, dan ini akan berpengaruh terhadap kebudayaan dan kehidupan manusia.

Sebuah objek dapat mewakili realitas melalui penandanya (signifier), yang mempunyai makna atau petanda (signified) tertentu. Dalam hal ini, realitas adalah referensi dari penanda. Namun, bisa juga terjadi bahwa sebuah objek sama sekali tidak mengacu pada satu referensi atau realitas tertentu, karena ia sendiri adalah fantasi atau halusinasi yang telah menjadi realitas. Ini yang dalam bahasa Baudrillard dikatakan hiper-realitas.

Menurut Baudrillard era ‘hiper-realitas’ ditandai dengan lenyapnya petanda, dan metafisika representasi; runtuhnya ideologi, dan bangkrutnya realitas itu sendiri yang diambil alih oleh duplikasi dari dunia nostalgia dan fantasi atau menjadi realitas pengganti realitas, pemujaan (fetish) obyek yang hilang bukan lagi obyek representasi, tetapi ekstasi penyangkalan dan pemusnahan ritualnya sendiri.

Dunia hiper-realias adalah dunia yang disarati oleh silih bergantinya reproduksi obyek-obyek yang simulacrum, obyek-obyek yang murni ‘penampakan’, yang tercabut dari realitas sosial masa lalunya, atau sama sekali tak mempunyai realitas sosial sebagai referensinya.

Di dalam dunia seperti ini subyek sebagai konsumer digiring ke dalam ‘pengalaman ruang’ hiper realitas pengalaman silih bergantinya ‘penampakan’ di dalam ruang, berbaur dan meleburnya realitas dengan fantasi, fiksi, halusinasi dan nostalgia, sehingga perbedaan antara satu sama lainnya sulit ditemukan, dalam hal ini hiper-realitas dalam pandangan Baudrillard lebih menekankan baik nostalgia maupun fiksi ilmiah (science fiction).

Orang yang berada dalam era ini terjebak dalam kondisi schizofrenia, mengingat mereka tidak perlu merefleksikan tanda, pesan, makna atau norma-norma. Massa pun disuguhi reproduksi nilai-nilai penampakan akan tetapi bukan reproduksi nilai-nilai ideologi atau mitologis. Massa adalah konsumer yang menyerap nilai-nilai materil, nilai pencitraan/penampakan.
Kondisi tersebut bisa dijumpai tatkala seorang berada di depan televisi, film tiga dimensi, video, video game, virtual reality lewat komputer. Totalitas hidup seseorang (kegembiraan, kesedihan, keberanian, dsb.), secara tak sadar, mereka telah terperangkap di dalam dunia hiper-realitas visual (media) dengan kesadaran, maka ia akan menyadari bahwa apa yang ia saksikan tak lebih dari sebuah fantasi, fiksi atau fatamorgana.

Menurut Baudrillard dunia realitas dan dunia hiper-realitas media/televisi/internet sudah sulit dibedakan, kedua-duanya sama-sama nyata. Pendapat senada dikemukakan oleh Arthur K & David Cook yang menyatakan bahwa televisi telah berkembang menjadi realitas kedua.

Televisi, bahkan lebih nyata dari dunia realitas sendiri, sebab tidak saja realitas yang telah terserap total dalam citraaan televisi, tetapi juga karena televisi mampu membuat pemirsanya tenggelam dalam citra simulacrum-nya. Di dalam televisi, realitas, fantasi, halusinasi, illusi telah berbaur menjadi satu. Dengan demikian pertanyaan yang menarik diajukan adalah masih adakah perbedaan antara realitas dan dunia nyata televisi, bila penonton bisa tersedu-sedu di depan televisi, sebagaimana ia dapat menitikkan air mata di dunia realitas?.

Yang perlu dilakukan sekarang adalah penyadaran akan dunia hiper-realitas yang sedang kita jalani bersama ini. Kita tanpa sadar tertarik pada pengaruh meleburnya realitas dengan fantasi, saat kita asyik tenggelam dalam tontonan TV atau film bioskop, pada saat kita keluar dari kondisi tersebut maka kita pun kembali tersadar akan dunia sesungguhnya. Dalam hal ini, berlaku pula kesadaran akan peleburan realitas-fantasi, yakni saat kita memposisikan diri untuk melihat dari satu sisi lain, sehingga akan dapat mencermati dan memahami persoalan termasuk permasalahan ini.

Dalam bukunya The Post-modern Scene: Exremental Culture & Hyper-Aesthetics, secara lebih khusus Arthur K & David Cook menjelaskan bahwa TV telah menjadi dunia nyata kebudayaan, yang menjadikan hiburan sebagai ideologinya, tontonan sebagai tanda dan perlambang bentuk komoditi, lifestyle advertising sebagai psikologi populernya, serialitas murni dan kosong sebagai perekat menyatukan simulacrum para pemirsa, citra-citra elektronic sebagai bentuk ikatan sosial, politik media elit sebagai formula ideologis, jual beli tontonan yang diabstraksikan sebagai medan rasionalisasi pasar, sinisme sebagai tanda kebudayaan yang utama dan penyebaran jaringan relasi kekuasaan sebagai produk nyatanya.

Di era digital, obyek tidak lagi sekadar perpanjangan tangan manusia seperti dikatakan Mc. Luhan, tetapi kini merupakan ekspresi langsung dari diri manusia sendiri, menjadi diri manusia-semacam cyborg.

Abad digital ini tidak saja mengubah cara kita melihat realitas, tetapi juga menimbulkan kesadaran baru tentang kemungkinan hidup di dalam perbauran antara masa lalu, masa kini dan masa depan, antara subyek manusia dengan obyek, antara yang natural dan yang artificial, di dalam simulasi elektronik, di dalam halusinasi ruang.

Era digital memungkinkan pencitraan dengan resolusi tinggi dari mulai still image sampai dengan gambar bergerak (sinema) bahkan pencitraan tiga dimensi (3D). Banyak hal yang dahulu dianggap tidak mungkin kini menjadi mungkin. Sekarang ini orang dengan mudah mengakses internet untuk melihat gambar foto bintang film Brooke Shields telanjang tanpa busana. Gambar begitu tajam dan sempurna, sehingga tidak perlu lagi rasanya untuk membeli majalah Playboy atau majalah dewasa lainnya.

Ditengah hiruk-pikuknya perkembangan teknologi digital tersebut, terdapat lima perkembangan penting citraan elektronik yaitu, foto digital, spesial efek gambar bergerak (animasi), game, virtual reality, dan internet, yang mana realitas visual telah dilampaui dengan manipulasi dari pencitraan visual, sehingga seolah manusia melangkah dari dunia nyata menuju dunia fantasi, dunia maya yang tampak nyata.
Hiper-realitas merupakan kondisi di mana keadaan seakan telah melampaui realitas, suatu keadaan dimana fantasi/mimpi-mimpi berusaha untuk diwujudkan/ direpresentasikan sehingga batas antara keduanya nyaris tiada.

Dalam hal ini pencitraan yang direalisasikan melalui berbagai media semakin mantap medukung eksistensi dunia maya. Teknologi digital terus berkembang sampai pada tingkat kesempurnaan, sehingga pada akhirnya virtual reality dapat terwujud, membawa fantasi manusia menembus batas, menciptakan ruang-ruang 3D berikut obyek- obyek yang terkait didalamnya.
Permasalahannya tidak menjadi rumit apabila hanya sekedar perkembangan teknologi, tapi pada kenyataannya, kita dihadapkan pada realita bahwa perkembangan teknologi ini membawa dampak negatif pula. Pada saat teknologi memuaskan hasrat/nafsu manusia, memberikan pesona ekstasi, maka nilai-nilai moral seakan rontok satu per satu.

Kejahatan, Kriminal, Pornografi, muncul dengan bebas dan dengan format baru.
Pola sosial dan individu ini kemudian menjadi bahan pemikiran dalam konteks perilaku lingkungan. Seberapa besar kesadaran orang akan permasalahan dan keadaan sekarang? Apakah memang ternyata manusia semakin larut dalam ekstasi hidup dan siap-siap menghadapi kehancuran moral. Setidaknya manusia mempunyai kesadaran dalam hal ini, dan dapat memandang dari sisi luar, sehingga dapat berjalan pada jalan yang jelas, bukan jalan gamang dan tak menentu.

Sunday, January 26, 2020


KOMUNISME, bagi banyak orang, merupakan kata yang memiliki implikasi negatif. Hingga akhir abad ke-20 ini, komunisme diasosiasikan dengan Rusia atau Uni Soviet, sebuah negara yang sama sekali bukan negara sosialis maupun komunis, melainkan suatu bentuk kapitalisme negara yang amat totaliter dan kejam. Kaum sosialis sejati maupun komunis libertarian memiliki tugas yang berat untuk menunjukkan bahwa komunisme maupun sosialisme sama sekali tidak pernah terdapat di negara-negara seperti Uni Soviet, Kuba atau bahkan Yugoslavia. Mereka juga harus menerangkan, bahwa komunisme, dalam bentuknya yang primitif pernah ada sebagai suatu bentuk masyarakat, dalam jangka waktu yang panjang – hingga dua juta tahun atau lebih – sejak munculnya manusia di bumi.

Sejak lenyapnya komunisme primitif, dan timbulnya masyarakat yang mengakui kepemilikan “pribadi – pertama perbudakan, kemudian feodalisme dan terakhir kapitalisme – “kantung-kantung komunisme kerakyatan bertahan hingga masa ba-
ru-baru ini. Kelompok komunis kecil telah dibentuk, sering kali oleh “intelektual” borjuis maupun borjuis kecil, dengan berbagai tingkat keberhasilan. Namun sepanjang masa, ide mengenai komunisme yang biasanya memiliki kecenderungan utopis atau anti-teknologi, tumbuh – dan kadang kala dikembangkan – oleh kelompok-kelompok kecil yang idealis. Baru setelah pertengahan abad ke-19, individu dan kelompok politik menyarankan suatu bentuk komunisme yang baru dan maju sebagai masyarakat yang akan menggantikan kapitalisme; suatu, masyarakat yang lebih “tinggi”, memajukan kepentingan orang banyak, bukan hanya sekelompok kecil kelas seperti kapitalisme; dan yang terpenting akan timbul dari sebagian terbesar rakyat – kaum buruh – melalui suatu revolusi sosial. Beberapa tokoh komunisme modern, terutama dalam dekade-dekade awal abad ke19 dianggap sebagai komunis utopis”; yang lain, para pengikut Marx dan Engels, menyebut dirinya “komunis ilmiah”, namun mereka dituduh sebagai “komunis otoriter” oleh lawan-lawan anarkis mereka, yang dalam banyak kesempatan, berusaha menumbuhkan suatu bentuk sosialisme atau kolektivisme nonotoriter, yang kemudian muncul sebagai komunisme libertarian.
Komunisme Primitif
Ciri-ciri utama keprimitifan adalah ketergantungan pada sumber-sumber makanan di alam “liar”, dengan segala keterbatasannya. Masyarakat primitif sering kali mengalarni malnutrisi dan dihantui kelaparan. Komunitas-komunitas berukuran kecil. Hanya pada saat-saat tertentu sajalah terdapat cukup banyak makanan. Namun, bcntuk kehidupan tersebut mendorong tumbuhnya kode etik yang amat sederhana Kepemilikan pribadi, demikian Grahame Clark dalam Dari Perbudakan ke Peradaban (From Savagery to Civilisation), “…terbatas pada benda-benda seperti senjata, tongkat untuk menggali, kantung dan benda-benda lrecil lainnya, meskipun dalam pembagian daging, misalnya, bagian tiap orang didefinisikn secara sosial Hak-hak komunal berlaku, pada seluruh wilayah tempat pencarian makanan tempat anggota masyarakat berkelana, dan batas-batas wilayah kelompok lain.” Menurut Peter Kropotkin, “Dalam kelompok, segalanya dibagi bersama-sama, semua potong makanan dibagikan untuk semua yang ada, dan jika seseorang berada”.di dalam hutan, ia tidak akan mulai makan sebelum tiga kali memanggil rekan-rekan yang mungkin mendengarnya untuk membagi makanannya. Singkatnya, lanjut Kropotkin, “…dalam kelompok aturan ‘segalanya untuk semua’ merupakan aturan tertinggi, selama belum ada masyarakat yang (berkelompok berdasar pada keluarga, yang memecahkan persatuan kelompok” (Mutual Aid: Mengenai komunisme primitif, Paul Lafargue dalam Evolusi Kepemilikan dari Perbudakan Hingga Peradaban (Evolution of Properti from Savagery to Civilisation) berkomentar:
“Jika manusia primitif tidak mampu membayangkan ide kepemilikan pribadi terhadap” benda-benda yang tidak langsung berkaitan dengan dirinya, itu karena ia tidak memiliki konsepsi mengenai individualitasnya secara terpisah dari kelompok masyarakatnya. Manusia primitif dikelilingi bahaya yang terus mengancamnya, yang konkrit dan ia dicemaskan oleh ancaman-ancaman yang ia bayangkan, sehingga ia tidak dapat hidup sendiri. Ia bahkan tidak dapat membayangkan kemungkinan terjadinya hal tersebut. Bila manusia primitif dibuang dati masyarakatnya, sama sajalah dengan membunuhnya; …untuk berpisah dari rekan-rekannya, untuk hidup, sendiri, menakutkan bagi manusia primitif yang biasa hldup dalam kelompok … Perburuan dan penangkapan ikan, dilakukan secara bersama-sama, dan hasilnya dinikmati bersama.”
Ketika manusia primitif tidak lagi hidup secara berpindah-pindah, dan mulai membangun tempat tinggal yang permanen atau semi permanen, bangunan rumah tersebut biasanya bukanlah rumah pribadi seperti kita kenal sekarang ini, melainkan dihuni bersama sama. Dalam rumah-rumah seperti itu, barang-barang yang ada dipakai dan dimiliki bersama. Pada masa yang lebib belakangan (dalam beberapa masyarakat asli Amerika), Lewis H. Morgan mengamati: “Keluarga syndasmian merupakan ciri-ciri khusus. Beberapa keluarga tersebut tinggal, di satu rumah, mendirikan rumah tangga komunal dan di dalamnya melaksanakan prinsip prinsip komunisme” (Masyarakat Kuno). Pengamatan Morgan ini dilakukan pada kaum Indian Iroquis, yang pernah hldup bersamanya. Kemudian, dengan timbulnya keluarga patriarkis, rumab tangga menjadi milik keluarga tunggal. Namun, dalam masa ini, tanah tetap dimiliki secara bersama-sama.
Tetapi, lanjut Lafargue, “Perlahan-lahan pemikiran mengenai kepemilikan pribadi, mulai timbul dalam pikiran manusia. Manusia mengalami proses perkembangan yang lama dan menyakitkan hingga mencapai kepemilikan tanab secara pribadi. Bahkan, pembagian tanah yang paling awal adalah pembagian untuk lahan dan wilayah berburu untuk seluruh kelompok. Perkembangan pertanian menjadi sebab utama pembagian tanah bersama, kadangkala menjadi labang-labang kecil, kadang-kadang bersifat permanen, namun lazimnya tahunan. Lafargue mencatat bahwa umumnya “kepemilikan tanah” pada awal-awalnya berada pada kaum perempuan. Mengenai peran perempuan dalam komunisme primitif, Frederick Engels menulis, “Rumah tangga, komunis berarti supremasi perempuan di rumah sebagaimana pengakuan eksklusif terhadap orang tua perempuan – karena tidak mungkinnya mengenali orang tua laki-laki secara pasti – memberikan posisi yang tinggi kepada ibu atau perempuan. Salah satu anggapan yang paling absurd yang berasal dari Zaman Pencerahan di abad ke-18 adalah bahwa pada awal peradaban, perempuan merupakan budak laki- laki. Dalam semua masyarakat primitif pada tingkat rendah dan menengah, bahkan, hingga sebagian masyarakat berperadaban tinggi posisi perempuan tidak saja bebas, namun dihargai pula”. (Asal-Usul Keluarga, Hak Milik Pribadi dan Negara). Lafargue juga mencatat bahwa “Kepemilikan tanah, yang pada akhirnya memberikan pemiliknya suatu cara emansipasi dan supremasi sosial, pada awalnya merupakan penyebab penindasan; perempuan disingkirkan untuk melakukan pekerjaan kasar di ladang, hingga mereka terbebaskan oleh adanya buruh kasar. Pertanian, yang mendorong kepemilikan pribadi atas tanah, menciptakan buruh kasar yang selama berabad-abad “dikenal sebagai budak, pekerja paksa dan pegawai.
Singkatnya, menurut Engels:
“Pada semua tahap-tahapan awal masyarakat, produksi pada hakekatnya merupakan kegiatan bersama, sebagaimana konsumsi bergantung pada distribusi langsung produk-produk dalam komunitas komunis kecil atau, besar. Produksi kolektif ini sangat terbatas namun inheren di dalamnya adalah kontrol para produsen terhadap proses produksi dan produknya. Mereka tahu apa yang dilakukan terhadap produknya: mereka mengkonsumsinya; produk-produk tidak meninggalkan tangan mereka. Dan selama produksi berlangsung demikian, produksi tak dapat, meningkat amat pesat, ataupun menumbuhkan kekuasaan dari luar terhadap mereka seperti selalu terdapat dalam peradaban.”
Singkatnya, itulah Komunisme Primitif
Komunisme Utopis
Gejala komunisme utopis atau komunisme yang mengidamkan masa lampau dapat ditemukan sejak revolusi budak pada tahun 71 SM. Spartakus dikatakan berkata, “Apapun yang kita ambil, kita miliki bersama-sama, dan tidak ada yang boleh memiliki apapun selain senjata dan pakaiannya. Kita akan berlaku seperti manusia di masa lampau.” (Spartacus, oleh Howard Fast0).
Kebencian kelas dan suatu bentuk komunisme utopis dijalankan oleh banyak kaum Kristen Purba, yang pada masa itu sebagian besar terdiri dari kaum plebeia atau bekas budak. Kisah Para Rasul menunjukkan bahwa “…semua memiliki segalanya bersama-sama”. Dan dalam khotbah kesebelas dalam kitab tersebut, dikatakan: “Ter-
berkatilah mereka, karena tidak seorang pun dari mereka berkekurangan, dan karena mereka memberi dengan ikhlas, tak seorang pun dari mereka miskin. Mereka tidak memberikan sebagian milik mereka; mereka memberikan semuanya… Apa yang diperlukan seseorang diperoleh dari milik bersama, bukan dari milik pribadi salah seorang dari mereka. Maka mereka yang berderma tidak menjadi sombong… Semua memberikan semua yang mereka miliki menjadi milik bersama…” Dalam tulisannya, Pondasi Kekristenan (Foundations of Christianity), Karl Kautsky berkomentar bahwa dalam Injil Santo Yohanes, kehidupan komunis Yesus dan para rasulnya diterima sebagai suatu fakta yang biasa. Namun komunisme ini utamanya hanya dalam konsumsi. Kaum Yahudi Esseni juga mempraktikkan komunisme serupa. Komunisme Kristiani segera berkurang dan hilang. “Penerimaan perbudakan, juga meningkatnya pembatasan untuk makan bersama dalam komunitas, bukan sebab satu-satunya halangan bagi komunitas Kristiani untuk mengefektifkan tendensi komunisnya”, tulis Kautsky. Kaum simpatisan yang kaya bergabung dengan Gereja, uang menjadi penting, terjadilah konsesi-konsesi peraturan, dan mereka yang kaya!menemukan kunci Surga, dengan harga tertentu.
Singkatnya, menurut Kautsky, “Para kaisar Roma tunduk kepada komunitas Kristiani, bukan komunisme Kristiani. Kemenangan Kristianitas bukanlah kediktatoran proletariat, namun kediktatoran para tuan yang menjadi besar dalam masyarakatnya. Para pejuang dan martir komunitas awal, yang telah membaktikan miliknya, kerja-kerja mereka bahkan jiwa mereka demi keselamatan mereka yang miskin dan menderita, hanyalah memberikan dasar untuk suatu penindasan dan eksploitasi yang baru”. Namun, pemikiran dan ideal komunisme tidak sama sekali hilang, bahkan dari Gereja Kristiani.
Komunisme juga muncul di masa-masa yang dikenal sebagai Abad Pertengahan. Ini sering kali dikenal sebagai “komunisme agraria”; namun sebagaimana ditunjukkan Frank Ridley dalam Tradisi Revolusioner di Inggris (The Revolutionary Tradition of England), “Komunisme dalam Abad Pertengahan pada hakekatnya adalah komunisme religius: yang mengambil bentuk pelanggaran tradisi dan hirarki agama yang baku, baik di Barat maupun di Timur… ia merupakan salah satu kekuatan utama yang mendorong revolusi sosial selama masa tersebut. Para propagandisnya yang tak kenal lelah merupakan para murtad, dari dunia bawah tanah yang tak terkenal, yang selalu bergolak di bawah permukaan masyarakat Abad Pertengahan.”
Komunisme ini, tentu saja, dari kondisi masa itu, merupakan komunisme konsumsi agraria, dan bukan komunisme produksi industrial modern. Ia juga religius, maka juga merupakan komunisme yang memandang kebelakang. Tapi kalau tidak begitu, lantas apa lagi yang bisa menjadi contoh? Semua komunisme dan revolusi yang bertujuan komunisme sebelum Revolusi Industri selalu memandang ke belakang sebagai modelnya. Namun satu contoh menarik adalah komunisme John Ball dan para petani penggarap yang ikut serta dalam revolusi besar-besaran pada tahun 1381 di Inggris.
Tulisan ini tidak membahas lebih lanjut sebab-sebab revolusi tersebut, yang men-
cakup Perang Seratus Tahun, kekurangan tenaga kerja penggarap karena wabah pes, pen-
deritaan para penggarap dan propaganda komunis religius-agraria dari para kaum Lollard.
Sebelum revolusi besar tersebut, seorang pastor, yang berbasis di Colchester, bernama John Ball, berkeliling negeri, dan berbicara kepada orang-orang di manapun mereka berkumpul. Ball mungkin “agitator” komunis pertama. Khotbahnya merupakan syair, “Ketika Adam mencari-cari dan Hawa berjalan, Siapakah sang tuan?”
Setelah dibebaskan dari penjara Rochester, Ball berbicara dalam sebuah pertemuan petani penggarap di Blackheath pada tanggal 12 Juni 1381. Apa yang ia katakan tidak diketahui secara tepat, namun Charles Poulson dalam Episode Inggris (English Episode) dan William Morris dalam Sebuah Mimpi John Ball (A Dream of John Ball) memberikan gambaran de-
mikian. Demikian John Ball, menurut Poulson,
“Pada awalnya semua manusia setara…semuanya saudara. Mengapa ada orang yangberkata ‘Aku lebih mulia daripada kamu. Mengapa seseorang bekerja sepanjang hari di ladang, dan masih tak dapat memberi makan anak-anaknya, sedangkan seorang lain mengambil kehidupan dari kaum miskin dan menjadikannya jubah bermutiara untuk punggungnya?…Aku katakan kepada kalian meskipun penuh dengan kebanggaan, pakaian yang indah, tangan yang bersih dan wewangian, Kebangsawanan itu jahat… Dan sebenarnya inilah waktu untuk berseru. Aku melihat kalian di depanku, wahai saudaraku, dan tidak seorangpun dari kalian tidak bekerja sepanjang hidup kalian, dari terbitnya sang surya hingga tenggelamnya. Dan kalian kini mengenakan gombal sebagai pakaian. Gabah dan ternak kalian gemukkan tapi kalian kurus kering. Segenggam kacang saja, makanan kalian hari ini. Semua yang kalian rawat, semua yang kalian buat dan bangun, diambil dari kalian. Denda ini, pajak itu, dan tenaga kalian. Tuan kalian yang mulia menghisap darah kalian seperti vampir. Tidakkah kalian akan makmur dan bahagia, bila tidak ada yang diambil dari kalian? Maka aku berkata, saudaraku, mari kita beri makan anak-anak kita di muka para tuan. Mari kita hentikan perampokan ini.”
Dan menurut Morris, Ball berkata demikian:
“…terlalu banyak orang kaya di daerah ini; bahkan bila hanya ada satu orang kaya pun masih terlalu banyak, karena semua akan dikuasainya… Dan bila para tuan tersebut telah tiada, apa yang berkurang dalam diri kalian? Kalian tak akan kehilangan ladang yang kalian bajak, tidak pula rumah yang kalian bangun, bukan juga pakaian yang kalian tenun: semuanya akan menjadi milik kalian, dan semua yang diberikan bumi menjadi milik bersama; ia yang menyemai akan menuai, dan si penuai akan makan bersa ma dalam persaudaraan… tak seorangpun harus membajak ladang seorang lainnya.”
Pada kesempatan lain, Ball menyatakan bahwa “Keadaan Inggris tak akan menjadi baik, dan tak akan pernah demikian, hingga semua menjadi milik bersama” (Lihat A People’s History of England, oleh A.L. Morton). Pandangan serupa tumbuh di tempat lain di Eropa, terutama di kalangan Jacquerie di Prancis sekitar empat puluh tahun sebelumnya. Di Inggris, pandangan ini kemudian terkubur selama berabad-abad. Barulah pada “Pemberontakan Besar” – Revolusi Inggris – pada abad ke-17 kita menemukan kembali ide dan eksperimen komunisme.
Pemikiran komunisme utopis diterima pada kalangan “Perata” (Levellers), namun pada saat itu komunisme belum diterima di kalangan warga kota, yang belum memiliki proletariat industrial. Dalam Cromwell dan Komunisme (Cromwell and Communism), Eduard Berstein berkata “Rencana-rencana komunisme paling-paling ha-
nya bisa menarik kaum pekerja pedesaan pada saat-saat tertentu. Bahkan, dalam Pemberontakan Besar, tidak sekalipun terdapat gerakan kelas independen pada kaum buruh perkotaan, meskipun pada puncak gerakan tersebut terdapat beberapa usaha pemberontakan komunisme agraria.
Seorang rekan John Liburne, bernama William Walwyn, menyerang ‘ketidaksetaraaan pembagian benda-benda dalam kehidupan’, dan mengklaim, seperti John Ball sebelumnya, bahwa “dunia tak akan pernah menjadi baik hingga semuanya dimiliki bersama”. Dan terhadap penentang komunisme, ia berkomentar, “Nanti kebutu-
han kita akan pemerintahan semakin berkurang karena tidak akan ada lagi pencuri, pengingin milik orang lain, penipu dan perlakuan buruk satu terhadap yang lain, maka pemerintah tidak akan diperlukan lagi.” William Walwyn tampaknya merupakan seorang anarkis-komunis pertama di Inggris! Terdapat pula orang-orang lain yang menyarankan pemikiran serupa, sering kali dengan mengutip dari Kitab Suci Kristiani.
Ada pula yang mengkonkritkan pemikirannya dalam praksis. Di antaranyan (terdapat “Perata Sejati” (True Levellers) seperti mereka menyebut dirinya, atau “para peng-
gali” sebagaimana dikatakan orang-orang lainnya.
Pada hari Minggu, tanggal 8 April 1649, tiba-tiba di dekat Cobham di Surrey, Inggris. Muncul sekelompok orang yang membawa sekop, yang mulai menggali lahan tidur di samping bukit St. George. Mereka bertujuan menanam gandum dan tanaman lainnya. Mereka menerangkan kepada warga sekelilingnya bahwa jumlah mereka pada saat itu masih kecil, namun akan segera meningkat menja di empat ribu orang. Mereka menyarankan bahwa rakyat biasa seharusnya bisa menggali, membajak, menanam dan berdiam di tanah milik bersama “tanpa menyewa atau membayar biaya apapun. Setelah mereka mendirikan tenda, mengolah tanah,dan bersiap-siap untuk menggali di bukit lainnya juga untuk ditanami (jumlah mereka kini sekitar 50 orang), mereka diserang tentara dan banyak yang .ditangkap. Winstanley, pemimpin mereka, diadili. Tidak seorang pun dari para “penggali” siap untuk mempertahankan diri mereka dengan kekerasan. Hampir semua didenda tinggi. Kemudian, mereka berusaha lagi untuk mengambil alih lahan tidur lainnya, namun mereka ditangkap lagi – dan didenda lagi. Mereka juga menerbitkan pamflet, yang beberapa di antaranya “ditulis dalam bahasa yang rumit”, yang dikatakan Bernstein sebagai “tabir untuk menyembunyikan rencana revolusioner para penulisnya”. Salah satu pamflet tersebut menyatakan bahwa “pada awal mula, Sang Pencipta menjadikan bumi milik bersama”. Mereka juga menggubah sebuah “Lagu Penggali” dengan isi serupa.
Pada tahun 1651, Gerrard Winstanley menulis The Law of Freedom on a platform yang di dalamnya ia tulis:
Tidakkah jual beli hak yang sah dalam hukum? Tidak, itu merupakan hukum sang penakluk, namun bukan hukum sang Pencipta: bagaimana sesuatu yang salah bisa menjadi benar?… Ketika manusia memulai jual beli, ia kehilangan kesuciannya, karena pada saat itu ia mulai menindas dan menipu satu sama lain dari hak-hak mereka yang sah.
Ia melanjutkan bahwa meskipun tanah negara dan gereja seharusnya digunakan bersama, kenyataannya tanah-tanah ini dirampas oleh para perwira dan berbagai macam spekulator. Ia mengatakan bahwa seharusnya tiada lagi orang kaya maupun orang miskin; tidak ada lagi ketidaksetaraan, seluruh “tanah dan gudang makanan menjadi milik bersama”; tidak ada lagi jual beli dan terakhir tidak ada lagi profesi di bidang hukum.
Namun Winstanley tidak menentang organisasi “Semua pejabat dalam peradilan bersama yang benar harus dipilih. Setiap tahun harus dipilih pejabat baru “untuk menggantikan yang lama”. “Ketika masa jabatan lama”, demikian menurutnya, “mereka men-
jadi busuk”. Bahkan, kelompok “Perata yang Benar ini memiliki sebuah platform yang penuh dengan pasal” dan “klausa”! Utopis, memang kelompok Perata” ini, namun paling tidak pemikiran dan” organisasi mereka lebih maju dan praktis daripada beberapa anarkis “modern”! Lebih lagi, hanya sedikit komunis utopis pada masa itu merupakan pasifis. Di dalam angkatan perang Cromwell, terjadi sejumlah pemberontakan mulai dari tahun 1647. Sayangnya, gerakan-gerakan pada masa itu tampaknya kemudian berkembang (atau menyusut) menjadi Quakerisme (yang memiliki ciri religius.yang amat kuat) dan kecenderungan perulangan.
Teori Karl Marx
Masyarakat pada tahap awal pra-peradaban adalah komunis primitif. Namun bebera-
pa ribu tahun lalu, sejak pengolahan tanah dan surplus produksi yang terjadi, perbedaan kelas menjadi tampak. Peperangan mulai diorganisir; suatu negara yang represif timbul. Tawanan perang sering kali dipaksa untuk mengolah tanah atau membangun kuil-kuil dan piramid untuk tuan-tuan mereka yang baru. Demikianlah imperium budak pada masa lampau. Kekayaan cenderung terakumulasi pada beberapa orang kaya. Keruntuhan imperium budak yang terakhir – Imperium Romanum yang telah dekaden – mengawali suatu masa baru. Sekitar seribu tahun lalu, di Eropa dan berbagai tempat lain, suatu bentuk baru masyarakat berkepemilikan dan suatu bentuk baru perbudakan, secara bertahap timbul. Masyarakat ini disebut feodalisme. Si budak kini menjadi penggarap. Tuannya memiliki tanah, dan si penggarap mengerjakan tanah tuannya, memperkaya sang tuan, dan sebagai balas jasa ia boleh menggarap sedikit tanah untuk dirinya sendiri. Ia hanya mendapatkan sedikit untuk hidup, biasanya, bahkan kurang.
“Diperlukan beberapa ribu tahun perbudakan untuk menyiapkan jalan menuju feodalisme. Dan kemudian diperlukan beberapa abad feodalisme untuk menyiapkan jalan menuju suatu bentuk masyarakat baru – kapitalisme – yang benihnya telah tumbuh dalam masyarakat feodal” (Socialist Manifesto, S.P. of C).
Kekayaan dan kekuasaan warga kota, paling tidak sebagian dari mereka meningkat dan kekayaan serta kemakmuran kaum bangsawan pemilik tanah menurun. Kaum bangsawan menjadi semata-mata parasit bagi masyarakat. Tuan-tuan baru dalam masyarakat – setelah perjuangan yang panjangkemunduran dan pula revolusi – adalah para pen-
duduk kota yang kemudian dikenal sebagai borjuasi. Perdagangan dan pertukaran meningkat. “Begitu terbebas dari kekangan feodalisme, gerak maju kapitalisme menjadi suatu pacuan yang gila. Di manapun, pabrik dan tanur tumbuh. Asap dan bau mereka mengubah lahan-lahan yang semula subur dan berpenduduk padat menjadi tanah-tanah miskin yang tak dapat dihuni; limbah mereka meracuni dan mencemari sungai-sungai hingga mereka berbau busuk sampai ke langit…” (Socialist Manifesto).
Suatu kondisi baru perbudakan menggantikan feodalisme. Kaum sosialis, baik Marxis maupun non-Marxis menyebutnya “perbudakan-demi-upah”. Mantan penggarap, dan kadang kala, petani bebas, digusur dari tanah mereka dan digiring menuju kotakota, tempat mereka terpaksa (karena bila mereka menolak, mereka terancam kelaparan – dan memang demikianlah adanya) untuk bekerja di pabrik-pabrik dan tambang-tam-
bang milik tuan-tuan mereka yang baru, kaum borjuis, para pemilik modal, para kapitalis.
Para buruh itu menciptakan, sebagaimana para budak dan penggarap, surplus produksi untuk para tuan, jauh di atas apa yang mereka perlukan untuk dapat bertahan hidup. Kapitalisme, sebagai suatu .masyarakat, berdasar pada upah kerja dan modal.
Dengan perkembangan kapitalisme, para ekonom dan lainnya, termasuk reformis sosial dan “intelektual” sosialis utopis, mulai menganalisis masyarakat yang baru berkembang ini. Suatu alur pemikiran baru mulai timbul, yang membahas sifat-sifat kapitalisme. Utamanya, sejak tahun 1844, pemikiran ini diasosiasikan dengan dua orang Jerman, yang telah bertahun-tahun hidup di Inggris, yang pada masa itu merupakan negara yang kapitalismenya paling maju. Mereka adalah Karl Marx dan Frederick Engels meskipun mereka mengakui hutang pemikiran mereka kepada ekonom dan filsuf yang telah ada, baik Marx maupun Engels sangat keras menentang apa yang mereka anggap sebagai sosialisme dan komunisme yang “tidak ilmiah”, juga terhadap .“mereka yang menyebut dirinya “Sosialis Sejati”. Hingga tahun 1845, Engels masih terpengaruh pemikiran komunis utopis. Pada paragraf terakhir dalam Kondisi Kelas Buruh di Inggris (The Condition of the Working Class in England), pada tahun 1844 ia menulis “Komunisme pada prinsipnya, melampaui batasan antara borjuasi dan proletari-
at… Komunisme merupakan masalah kemanusiaan dan bukan hanya masalah para buruh saja… Dan …sebagaimana komunisme mengatasi pertikaian antara borjuis dan proletar, akan lebih mudah bagi elemen-elemen yang lebih baik dari dalam borjuasi untuk bergabung dengannya…” Namun pada tahun 1847, ketika ia merancang Prinsip-Prinsip Komunisme (Principles of Communism) – yaitu draft pertama Manifesto Komunis yang terkenal itu – Engels memulai dengan menyatakan bahwa “Komunisme merupakan doktrin mengenai kondisi terbebasnya proletariat”. Dalam Prinsip-Prinsip Komunisme, Engels menyatakan bahwa kaum buruh tidak memiliki apapun dan terpaksa menjual kerja mereka kepada borjuis; namun kemudian setelah Marx mempelajari moda produksi kapitalis, ia menyataan bahwa buruh tidak menjual kerja mereka, melainkan tena-
ga mereka, kemampuan mereka untuk bekerja.
Pada tahun 1845, Marx menulis Ideologi Jerman (German Ideology), yang antara lain mem-
bahas dan menyerang pikiran para pemikir idealis Jerman, dan pada bagian kedua buku itu, para sosialis “sejati” dan komunis utopis seperti Saint-Simon, Fourier dan Proudhon. Ia juga menyerang Proudhon dalam Kemiskinan Filsafat (Poverty of Philosophy). Namun, buku “klasik” pertama dari komunisme “ilmiah” – yang kemudian dikenal pula dengan komunisme otoriter – tentu saja adalah Manifesto Komunis. Untuk seterusnya, buku ini tetap menjadi pegangan utama, meskipun Engels menulis dalam prakatanya untuk tahun 1872 bahwa bagian-bagian tertentu dari program “dalam beberapa hal telah ketinggalan zaman”.
Manifesto Komunis bermula dengan menyatakan bahwa “Suatu hantu sedang menjadi momok Eropa, ialah hantu Komunisme”. Sejarah semua masyarakat yang telah dan pernah ada menurutnya, adalah sejarah perjuangan kelas. Namun masyarakat kita kini – kapitalisme – telah menyederhanakan permusuhan kelas. “Semua masyarakat kini terbagi menjadi dua pihak yang bertentangan, dua kelas besar yang saling bermusuhan: borjuasi dan proletariat.” Demikian manifesto Marx dan Engels, dalam Manifesto (yang pertama kali terbit pada tahun 1848) secara terbuka menunjukkan perbedaan mereka dengan kaum utopis dan sosialis “sejati”, dengan menyatakan bahwa kaum proletarlah – meskipun melalui Partai Komunis – yang akan meruntuhkan masyarakat borjuis. Menurut Manifesto, “Semua gerakan sejarah yang telah ada merupakan gerakan minoritas atau memajukan kepentingan minoritas. Gerakan kaum proletar merupakan gerakan yang sadar dari mayoritas, demi kepentingan mayoritas”. Ini patut dicatat karena banyak dari mereka yang mengaku Marxis pada masa kini dan semua Leninis menganut garis “partai pelopor”. Marx dan Engels menekankan bahwa kaum buruh tidak memiliki negara. Dalam hal apapun mereka dapat dianggap tidak memiliki apapun. Patut dicatat bahwa pada tahun 1848 dan untuk seterusnya, Marx dan Engels menggabungkan propaganda mereka tentang komunisme dengan suatu daftar kondisi-kondisi yang harus direformasi. Seperti banyak yang lain, mereka merasa bahwa mereka dapat menyarankan peng-
hapusan masyarakat borjuis sekaligus pada saat yang sama melakukan “reformasi” pada masyarakat yang sama! Manifesto, antara lain menuntut pajak pendapatan progresif yang tinggi, penghapusan hak waris, penyitaan hak milik imigran dan pemberontak, pemusatan kredit pada negara, pemusatan alat-alat transportasi pada negara, organisasi angkatan perang modern dan pendidikan masyarakat yang gratis. Dengan kata lain: kapitalisme negara.
Pandangan mereka mengenai komunisme di masa depan, terangkum demikian:
“Ketika dalam perkembangannya perbedaan kelas telah lenyap, dan seluruh produksi terkonsentrasi pada individu-individu yang terkait, kekuasaan publik akan kehilangan sifat politiknya. Kekuasaan politik, secara spesifik merupakan kekuasaan suatu kelas yang diorganisir untuk menindas kelas lainnya. Jika proletariat, yang dipaksa dalam perjuangannya melawan borjuasi untuk mengorganisir diri sebagai suatu kelas, menjadikan dirinya suatu kelas penguasa melalui revolusi, dan sebagai kelas penguasa menghancurkan kondisi-kondisi produksi yang telah usang; ia menghancurkan bersama kondisi-kondisi tersebut, kondisi-kondisi antagonisme kelas, kelas-kelas pada umumnya, dan dengan demikian, dominasinya sebagai sebuah kelas. Sebagai ganti masyarakat borjuis yang usang dengan kelas dan pertentangan kelasnya, suatu hubungan kemasyarakatan muncul yang dalamnya perkembangan bebas anggota-anggotanya merupakan syarat perkembangan bebas bagi seluruh masyarakat tersebut.”
Manifesto Komunis diakhiri dengan kalimat “Kaum buruh di seluruh dunia, bersatulah” yang kini terkenal itu.
Dalam makalahnya yang ditujukan untuk Sidang Umum Internasionale Pertama (yang kemudian diterbitkan sebagai Nilai, Harga, dan Keuntungan (Value, Price and Profit), bukan Upah (Harga, dan Keuntungan (Wages, Price and Profit) seperti seringkali ditulis, terutama di Rusia), Marx menyerukan kepada kelas buruh untuk mengha-
puskan sistem upah, sebagai tujuan jangka pan jang, dan bukan dalam waktu dekat. Ini terjadi pada tahun 1865. Sepuluh tahun kemudian, dalam Kritik Program Gotha (Critique of the Gotha Program), Marx mengelaborasi pandangannya mengenai masyarakat komunis. Demikian menurut Marx:
“Di dalam masyarakat kooperatif, yang berdasarkan pada kepemilikan bersama alat-
alat produksi, para produsen tidak saling menukarkan produk mereka…Yang kita bahas di sini adalah sebuah masyarakat komunis, bukan ketika ia telah berkembang dan matang, sebaliknya, ketika ia baru timbul dari masyarakat kapitalis. Ia adalah suatu masyarakat yang masih memiliki ciri-ciri ekonomi, moral dan intelektual masyarakat lama yang melahirkannya”.
Di sini, Marx menyatakan bahwa produsen menerima kembali tepat sebanyak yang ia berikan; ia menerima alat tukar yang senilai jumlah kerja yang ia lakukan. “Persamaan hak dalam hal ini masih pada prinsipnya hak kapitalis…” Hal ini masih memiliki keterbatasan kapitalis. Jadi, menurut Marx hak ini adalah sebuah “hak untuk tidak setara”. Namun ia menyatakan, “masalah ini tak dapat dihindari dalam tahapan pertama masyarakat komunis”. Tetapi –dan ini merupakan pernyataan yang sangat penting dan terkenal dalam Critique, “Dalam tahap yang lebih lanjut dalam masyarakat komunis, setelah lenyapnya penindasan individual dalam pembagian kerja, dan demikian pula pertentangan antara kerja tangan dan otak; setelah kerja tidak hanya menjadi cara mempertahankan hidup namun juga keinginan tertinggi dalam hidup; ketika perkembangan semua keahlian individual meningkatkan kekuatan-kekuatan produksi, dan semua sumber-sumber kemakmuran mengalir dengan deras bagi semua– barulah cakrawala hak-hak kapitalis yang terbatas itu dapat ditinggalkan, dan dalam masyarakat akan terdengar seruan “Dari setiap orang berdasar keahliannya, untuk semua orang berdasar kebutuhannya”.
Pada bagian kedua Critique, Marx bertanya, “Lalu apa perubahan yang akan dialami institusi negara dalam masyarakat komunis?” Ia menjawab
“Antara sistem kemasyarakatan kapitalis dan komunis terdapat masa perubahan revolusioner. Ini merujuk pada masa transisi politik, ketika Negara tidak bisa tidak merupakan kediktatoran proletariat yang revolusioner”.
Marx pada masa ini tidak pernah berpikir mengenai “kematian” atau “ke-
layuan” negara. Untuk pemikiran-pemikiran itu, kita harus mendengarkan Engels – lama setelah itu.
Karya-karya Engels terpenting mengenai komunisme/sosialisme adalah Anti-Duhring yang pertama kali terbit pada tahun 1878, dan Asal-Mula Keluarga, Kepemilikan Pribadi dan Negara (Origin of te Family, Private Property and the State), pertama terbit 1884. Bagian-bagian dari Anti-Duhring telah dikenal sebagai Socialism, Utopian and Scientific. Dalam bagian ketiga Anti-Duhring, Engels mula-mula membicarakan teori-teori dan koloni-koloni komunis Robert Owen demikian pula pemikiran Saint Simon dan Fourier. Orang-orang tersebut dituduh Engels sebagain utopis. Namun ia juga menjelaskan bahwa “para utopis itu menjadi utopis karena memang pada masa itu produksi kapitalisme belum begitu berkembang, tak ada jalan lain selain menjadi utopis. Setelah menganalisis masyarakat borjuis dengan cara serupa – namun lebih jelas daripada – Marx Engels kemudian memberikan gambaran metode Marxis “klasik” mengenai pencapaian sosialisme. Proletariat merebut kekuasaan negara, dan menjadikan alat-alat produksi sesegera mungkin menjadi milik negara. Namun dengan melakukan ini, ia tidak lagi menjadi proletar; ia menghentikan semua perbedaan dan permusuhan kelas; ia mengakhiri negara sebagai negara.” Dan “Ketika pada akhirnya (negara) benar-benar mewakili masyarakat secara keseluruhan, ia menjadikan dirinya tidak diperlukan lagi. Begitu tidak ada lagi kelas dalam masyarakat yang perlu dikekang; begitu pertentangan dan akibat buruk yang timbul dari dominasi kelas dan perjuangan eksistensi indivi-
du yang berdasar pada moda produksi lama yang anarkis telah hilang, tiada lagi yang perlu ditindas yang memerlukan suatu kekuatan represif, yakni suatu negara. Tindakan pertama negara yang menunjukkan dirinya sebagai perwakilan masyarakat secara keseluruhan – yaitu pengambilalihan alat-alat produksi atas nama masyarakat – sekaligus juga merupakan tindakan terakhirnya yang independen sebagai negara. Pemerintahan atas orang-orang digantikan dengan pengelolaan hal-hal dan arah proses produksi. Negara tidaklah “dihapuskan”, ia layu dan mati.” Dalam “Sosialisme: Utopia dan Keilmuan” (Socialism: Utopian and Scientific) dikatakan “Ia (negara) mati”. Pada bagian tentang produksi, Engels menyatakan bahwa produksi harus direvolusionerkan dari “atas ke bawah”; kerja produktif akan menjadi kesenangan, bukan beban produksi dengan memanfaatkan industri modern akan berdasar pada “suatu rencana luas”; dan akan terjadi penghapusan perbedaan kota dan desa, demikian pula pembagian kerja yang usang.
Dalam Asal Mula Negara (Origin of the State), Engels menyatakan bahwa proletar ha-
rus menyusun partainya sendiri dan memilih wakil-wakilnya untuk duduk dalam parlemen. Keikutsertaan dalam pemilihan umum secara “menyeluruh”, menurutnya, “menjadi tolok ukur kematangan kelas buruh. Ia tidak bisa dan tidak akan bisa lebih baik, namun sudah cukup”. Mengenai negara, ia menyatakan bahwa negara tidak selalu ada dari dulu. Ada masyarakat yang bisa bertahan tanpa negara. Negara pada akhirnya akan runtuh. Bahkan ia berkata,
“Masyarakat yang mengorganisir produksi secara baru pada dasar asosiasi bebas dan setara para produsen akan menempatkan negara dan alat-alatnya ke tempatnya yang layak – museum artefak masa lampau, bersama dengan roda pemintal dan kapak tembaga.”
Sebelum meninggalkan pandangan Marxian tentang komunisme/sosialisme, perlu diingat bahwa Marx dan Engels membayangkan suatu kondisi masyarakat yang cenderung otoriter paling tidak pada masa-masa awalnya. Dalam esainya mengenai kekuasaan, Engels menulis:
“Kekuasaan… berarti pemaksaan keinginan orang lain terhadap kita; di pihak lain, otoritas mensyaratkan ketundukan. Di masa sekarang, karena kedua istilah tersebut berkesan buruk dan hubungan yang ditunjukkannya tidak disepakati pihak yang tertindas, pertanyaannya adalah untuk meyakinkan apakah terdapat jalan untuk menghilangkannya, apakah – dengan melihat kondisi masyarakat masa kini – kita tidak akan menciptakan sebuah sistem sosial baru, yang di dalamnya otoritas ini tidak lagi memiliki lingkup dan akibatnya harus menghilang. Di mana pun aksi bersama…mengalahkan aksi independen oleh individu; sekarang, mungkinkah membuat organisasi tanpa otoritas? Bayangkan suatu revolusi sosial menjatuhkan para kapitalis yang hingga kini memegang kekuasaan atas produksi dan sirkulasi kekayaan. Bayangkan pula, dengan mengambil seluruh pandangan para anti-otoritarian, bahwa tanah dan alat-alat kerja menjadi milik bersama para buruh yang menggunakannya. Akankah otoritas lenyap, atau hanya berubah bentuknya.”
Engels kemudian mencontohkan sebuah pabrik yang besar, sebuah pemintalan benang. Ia berkata:
“…pertanyaan-pertanyaan penting timbul di masing-masing ruangan dan pada setiap saat mengenai moda produksi, produksi bahan-bahan dan lain-lain, yang harus segera diselesaikan dengan resiko terhentinya produksi; apakah diselesaikan melalui keputusan seorang wakil yang merupakan kepala suatu cabang pekerjaan, atau bilamungkin, melalui suara terbanyak, keinginan individu tunggal selalu akan menjadi subordinat, yang berarti bahwa pertanyaan akan dijawab dengan cara yang otoriter.”
Kesimpulan Engels mengenai “pendelegasian fungsi” tentu saja perlu diperdebatkan; namun ia lebih jauh lagi memuji-muji kekuasaan. Ia melanjutkan
“Namun pentingnya kekuasaan, terutama kekuasaan yang mutlak, tak akan mendapat contoh yang lebih baik daripada di atas sebuah kapal di samudra luas. Di sana, pada saat-saat bahaya, kehidupan semua akan tergantung pada ketaatan yang langsung dan absolut pada keinginan seseorang.”
Engels tentu saja keliru pada saat itu, dan juga sekarang! Sebagai bukti, misalnya pengelolaan angkatan laut Spanyol oleh para pelaut biasa selama masa revolusioner pada tahun 1936, dalam tulisan Peter E. Newell berjudul Anarchy in the Navy, dalam Anarchy 14.
Kita akan meninggalkan Engels dan “kekuasaan mutlak”-nya, meskipun perlu juga dijelaskan bahwa bahkan William Morris pun, yang dapat dianggap sebagai seorang sosialis libertarian dan setengah-anarkis, memiliki pandangan serupa Engels tentang pengelolaan kapal “dalam kondisi sosialis” dalam esainya, Communism.
Terakhir, kita akan membahas pandangan libertarian atau anarkis, yang pada abad ke-19 terutama diasosiasikan dengan dua orang Rusia, Mikhail Bakunin dan Peter Kropotkin, meskipun terdapat pula orang lain yang berpendapat serupa
Komunisme Libertarian
Antara tahun 1842 dan 1861, Bakunin paling banter bisa dianggap sebagai seorang pen-
gusung ide pan-Slavis revolusioner, meskipun sejak sebelum tahun 1861 sudah terdapat tendensi libertarian dalam pemikirannya. Namun, ia baru bisa dianggap sebagai seorang libertarian atau (anarkis mulai tahun 1866, ketika ia menulis Katekisme Revolusioner (Revolutionary Catechism).
Dalam Catechism, Bakunin menganggap bahwa “Kebebasan merupakan hak absolut semua orang dewasa, baik lakilaki maupun perempuan”, bahwa, “kebebasan masing-masing orang hanya mungkin terjadi bila terdapat kesetaraan dalam seluruh masyarakat”. Ia menyatakan peno lakan absolut terhadap segala bentuk kekuasaan termasuk yang mengorbankan kebebasan demi” negara”; “Tatanan dalam masyarakat”, demikian menurutnya, “harus timbul dari realisasi sejauh mungkin kebebasan individual, demikian pula kebebasan dalam semua tingkat organisasi sosial”. Ia menyerukan “pembentukan persemakmuran” dan penghapusan kelas, jabatan dan hak-hak istimewa” dan secara agak mengejutkan, “pemberian hak” pilih universal”, meskipun menurut tafsiran sejarawan anarkis, Max Nettlau, bukan hak pilih dalam sebuah negara, melainkan di dalam sebuah masyarakat yang baru. Bakunin juga menyerukan penghapusan “negara yang merasuk ke semua bidang  mengekang dan tersentralisasi” dan untuk “reorganisasi internal dalam tiap negara berdasarkan kebebasan absolut para individu, serikat-serikat produksi dan komune-komune”. Kebebasan hanya bisa dipertahankan dengan kebebasan pula menurutnya.
“Unit dasar semua organisasi politik dalam tiap negara haruslah berupa komune yang sama sekali otonom, yang tersusun dari pilihan mayoritas semua orang dewasa dari semua jenis kelamin. Tak seorang pun bisa memiliki kekuasaan atau hak untuk mencampuri urusan internal komune tersebut…”
Negara, lanjut Bakunin, haruslah tidak lebih dari sebuah federasi propinsi-propinsi yang otonom. Tanpa kesetaraan politik, tak akan terdapat kebebasan politik, namun kesetaraan politik hanya akan mungkin terjadi apabila terdapat kesetaraan sosial dan ekonomi. Mayoritas, menurut Bakunin, hidup dalam perbudakan, dan “Perbudakan ini akan bertahan hingga kapitalisme diruntuhkan oleh aksi kolektif para buruh”. Dan kemudian tanah dan semua kekayaan alam (akan) menjadi milik bersama semua orang…. Ia menutup Catechism demikian,
“Revolusi secara singkat memiliki tujuan ini: kebebasan bagi semua, untuk individu maupun badanbadan kolektif, asosiasi, komune propinsi, wilayah dan negara, dan adanya jaminan bersama terhadap kebebasan ini oleh federasi.”
Kemudian, juga dalam tahun 1866, Bakunin menulis sebuah Catechism lain yang serupa yang di dalamnya sekali lagi ia menyatakan bahwa tanah harus menjadi milik bersama semua, dan bahwa
“Revolusi harus dilaksanakan bukan untuk namun oleh – rakyat, dan tidak akan pernah berhasil bila ia tidak secara antusias melibatkan massa –rakyat, baik di pedesaan maupun di perkotaan.”
Dalam Federalism, Socialism, Anti-Theologism, Bakunin menyatakan bahwa sosialisme berarti mengorganisir masyarakat sedemikian rupa sehingga semua individu yang hidup, laki-laki maupun” perempuan, dapat menemukan cara-cara berkembang yang nyaris setara untuk masing-masing keahliannya… untuk mengorganisir masyarakat yang tidak memungkinkan bagi individu apapun untuk mengeksploitasi hasil kerja orang lain, yang tidak mengizinkan siapapun untuk bergabung dalam menikmati kekayaan masyarakat – yang hanya diproduksi oleh kerja saja – kecuali ia memberikan kontribusi terhadap penciptaannya dengan kerjanya sendiri”. Ia berpikir bahwa penyelesaian yang menyeluruh terhadap masalah-masalah yang ditimbulkan kapitalisme “tentu saja akan memerlukan berabad-abad”. Namun, “sejarah telah menempatkan masalah tersebut di depan “kita, dan kita tak dapat menghindarinya lagi.
Bakunin selalu menekankan bahwa rakyat harus melaksanakan revolusi itu sendiri, bahwa negara harus lenyap dulu: bahwa masyarakat harus “diorganisir dari bawah ke atas oleh delegasi-delegasi revolusioner…”; bahwa “aliansi revolusioner” “rakyat harus menghindari segala bentuk kediktatoran. Namun, paling tidak pada tahun 1869, Bakunin menyatakan bahwa sebuah “masyarakat” revolusioner yang diorganisir dengan baik dapat membantu “kelahiran revolusi dengan menyebarluaskan di antara massa pemikiran-pemikiran yang memungkinkan mereka mengekspresikan insting mereka, dan untuk mengorganisir suatu staf umum angkatan perang revolusioner (bukan angkatan perang itu sendiri, yang harus disusun oleh rakyat itu sendiri), yang terdiri dari orang-orang yang berdedikasi, penuh tenaga, cerdas dan terutama benar-benar seiring dengan rakyat” yang mampu berperan sebagai penengah antara pemikiran revolusioner dan insting rakyat.
Tidak diperlukan banyak orang-orang demikian menurut Bakunin, dua atau tiga ratus sarannya, untuk organisasi di negara-negara yang besar.
Bakunin terutama mengkritik keras mereka yang disebutnya komunis (pro) negara (State Communists). Ia juga menyerang keras mereka yang dianggapnya ingin memaksakan komunisme, atau sering kali ia sebut, kolektivisme, pada rakyat kecil. Mereka dianggapnya sebagai Jacobin. Bakunin dan Marx tentu saja bertentangan pemikiran bahkan bermusuhan. Ini sebagian bersifat pribadi sebagian lain politis. Dalam Letter to La Liberte Bakunin menyerang Marx, menyatakan bahwa para Paus paling tidak memiliki alasan untuk menganggap bahwa mereka memiliki “kebenaran absolut”, namun “Tuan Marx tidak memiliki alasan tersebut”. Dalam pandangan Bakunin, “kebijakan proletariat, yang tentu saja revolusioner, harus memiliki tujuan jangka pendek penghancuran negara”. Namun Bakunin tidak dapat memahami mengapa Marx dan para Marxis ingin memper tahankan atau memanfaatkan negara sebagai alat pembebasan. “Negara sama dengan dominasi, dan dominasi apapun mensyaratkan tunduknya massa,“(dan akibatnya, eksploitasi mereka untuk kepentingan suatu minoritas penguasa”, demikian kritikan Bakunin terhadap Marx. “Para Marxis memiliki pemikiran yang bertentangan (dengan kami menurut Bakunin. “Antara para Marxis dan kami terdapat jurang yang dalam. Mereka governmentalis, sedangkan kami anarkis, meski mungkin ada keserupaan antara kami”, demikian lanjut Bakunin.
Pada dasarnya, inilah pertengkaran besar antara Bakunin dan Marx; yang masih menjadi pertengkaran antara para anarkis revolusioner dengan para Marxis; antara komunis otoriter dan komunis libertarian.
Tentang Bakunin, Kropotkin menulis “Bakunin pada dasarnya seorang komunis, namun serupa dengan kawan-kawan Federalis di dalam Internasionale, dan akibat antagonisme yang ditimbulkan para komunis otoriter di Prancis, ia menyatakan diri sebagai “anarkis kolektivis”. Namun, tentu saja ia bukan seorang kolektivis dalam artian serupa Vidal atau Pecqueur atau murid-murid mereka, yang pada dasarnya menginginkan kapitalisme negara, Keilmuan Modern dan Anarkisme (Modern Science and Anarchism). Namun, sejak tahun 1869, sejumlah “Bakuninis” menyatakan diri mereka sebagai komunis.
Kropotkin sangat membantu mengembangkan pemikiran yang diajukan – sering kali dalam cara yang tidak ilmiah dan tidak terkoordinasi oleh Bakunin. Sebelum menjadi seorang anarkis, Kropotkin memiliki latar belakang dan pelatihan ilmiah. Dalam Memoar seorang Revolusioner (Memoirs of a Revolutionist), ia melihat, suatu bentuk masyarakat baru yang mulai tumbuh dalam negara-negara beradab”, suatu masyarakat yang” harus, pada suatu hari, menggantikan masyarakat yang lama: suatu masyarakat yang setara,
“yang tidak akan dipaksa untuk menjual tangan dan otak mereka kepada mereka yang mempekerjakan mereka seenaknya, yang akan mampu menerapkan pengetahuan dan kemampuan mereka untuk berproduksi, dalam sebuah organisme yang dibentuk sedemikian untuk menggabungkan semua usaha untuk mendapatkan semaksimal mungkin kemakmuran bersama, sementara memungkinkan pula lingkup yang bebas untuk inisiatif individual”.
Kropotkin menyatakan bahwa masyarakat demikian akan tersusun dari sejumlah besar asosiasi, yang, berfederasi untuk keperluankeperluan yang memerlukan federasi – komune-komune produksi konsumsi, semua jenis organisasi, yang melampaui batasan negara. Semua ini akan bergabung melalui,“kesepakatan bebas antara mereka. “Akan terdapat menurutnya, “kebebasan penuh untuk mengembangkan bentuk-bentuk baru produksi, penemuan dan organisasi”. Rakyat akan menggabungkan diri “untuk segala macam pekerjaan “secara bersama.
Arahan menuju keseragaman dan sentralisasi akan dihindari, catat Kropotkin. Kepemilikan pribadi dan sistem upah harus hilang. Pemerintah tidak akan diperlukan lagi, karena federasi bebas dan “kesepakatan bebas” antar organisasi akan menggantikan perannya. Dalam Keilmuan Modern dan Anarkisme, Kropotkin secara khusus menyerang para “sosialis (pro) negara”, yang atas nama kolektivisme (sekarang dikenal sebagai nasionalisasi) menyarankan) bukan komunisme maupun sosialisme, namun kapitalisme negara. Ini menurutnya, bukan hal yang baru, namun merupakan bentuk sistem pengupahan yang mungkin diperbaiki, namun tidak lebih baik. Kropotkin, dalam tulisan yang sama “merujuk pada “revolusi sosial yang akan datang yang dibedakannya dari revolusi Jacobin atau kediktatoran. Dan tentang revolusi demikian, ia menyatakan, “Selama terjadinya revolusi, suatu bentuk kehidupan yang baru akan tumbuh di atas reruntuhan bentuk-bentuk yang lama, namun tidak ada pemerintahan yang akan muncul selama bentuk-bentuk ini belum mengambil bentuk yang pasti selama masa rekonstruksi itu sendiri, yang harus terjadi pada ribuan titik pada saat yang sama”. Demikianlah komunisme-libertarian-federalis dan sosialisme Kropotkin.
Sejak Bakunin dan Kropotkin memformulasikan pemikiran mereka mengenai komunisme libertarian, anarkis, federalis dan merdeka orang-orang lain mengikuti dan mengembangkan pemikiran tersebut. Malatesta mempopulerkannya, demikian pula Alexander Berkman, terutama dalam buku Apa itu Anarkisme Komunis (What Is Communist Anarchism). Pada tahun 1926, Archinov, Makhno, Ida Me dan lain-lainnya mengembangkan pemikiran komunisme anarkis libertarian dan organisasinya dalam Platform Organisasi Komunis Libertarian – Organisational Platform of the Libertarian Communists. Kita tidak akan membicarakan pemikiran Malatesta, Berkman dan kaum platormis di sini, karena mungkin banyak dari Anda lebih paham daripada saya. Tentu saja, formulasi “pemikiran komunisme dan sosialisme libertarian, dan bentuk-bentuk organisasi akan berlanjut, dalam kata-kata Kropotkin, “untuk bertunas”.

Referensi
Judul asli : From primitive to libertarian communism•
Penulis : Peter E. Newell•
Diterbitkan pertama kali : Libertarian Communist Review•
Penerbit : Organisation of Revolutionary Anarchists•
Edisi : No. 2, 1976. , Februari•

Thursday, January 2, 2020


Jika keutamaan wanita ditanggalkan, maka kehormatan keibuannya sudah cukup baginya sebagai suatu kemuliannya. Sebelum menikah, wanita hafal seluruh jawaban. Dan sesudah menikah, ia hafal seluruh pertanyaan.

Wanita lebih cepat dari pria dalam hal menangis dan dalam mengingat peristiwa yang menyebabkan ia menangis. Wanita tertawa bila ia mampu, dan ia menangis bila menginginkan sesuatu. Wanita sangat berlebihan dalam mencintai dan membenci, dan tidak mengenal pertengahannya. Wanita selalu tergolong manusia yang halus dan lembut sampai saat dia menikah. Wanita hidup untuk berbahagia dengan cinta, sementara pria mencintai untuk hidup berbahagia. Kejeniusan wanita terletak di dalam hatinya. Sesungguhnya tidak ada wanita yang sangat cantik, yang ada ialah kaum pria yang sangat lemah bila berhadapan dengan kecantikan.

Seorang wanita menghadapi kesulitan apabila ia berada di antara pria yang dicintainya dan yang mencintainya. Dalam pandangan pria, perkawinan adalah akhir segala problem, tetapi dalam pandangan wanita, justru merupakan awal segala masalah.

wanita, apa mau mu?
Jika dikatakan cantik dikira menggoda ,
jika dibilang jelek di sangka menghina.
Bila dibilang lemah dia protes,
bila dibilang perkasa dia nangis. Maunya emansipasi, tapi disuruh benerin genteng, nolak (sambil ngomel masa disamakan dengan cowok)

Maunya emansipasi, tapi disuruh berdiri di bis malah cemberut (sambil ngomel,Egois amat sih cowok ini tidak punya perasaan). Jika di tanyakan siapa yang paling di banggakan, kebanyakan bilang Ibunya, tapi kenapa ya lebih bangga jadi wanita karir, padahal ibunya adalah ibu rumah tangga, Bila kesalahannya diingatkankan, mukanya merah. bila di ajari mukanya merah,
bila di sanjung mukanya merah
jika marah mukanya merah,kok sama
semua ? bingung !!

Di tanya ya atau tidak, jawabnya diam
ditanya tidak atau ya, jawabnya diam
ditanya ya atau ya, jawabnya diam,
ditanya tidak atau tidak, jawabnya  diam,
ketika didiamkan malah marah
(repot kita disuruh jadi dukun yang bisa nebak jawabannya).

Di bilang ceriwis marah, dibilang berisik ngambek, dibilang banyak mulut tersinggung, tapi kalau dibilang S u p e l
wadow seneng banget padahal sama saja maksudnya. Dibilang gemuk engga senang
padahal maksud kita sehat dibilang kurus malah senang padahal maksud kita “kenapa kamu jadi begini !!!”. Itulah WANITA makin kita bingung makin senang Dia.

Wednesday, January 1, 2020


Tahun baru yang tetap sama, dan tidak terasa baru.

Salah satu produk filsafat yang berkembang di abad-19 adalah pragmatisme, sebuah aliran yang beriringin dengan perkembangan kapitalisme Amerika Serikat yang bangkit sebagi kekuatan baru dalam perekonomian kapitalisme yg masif. Tokohnya adalah William James. Aliran ini menggap bahwa bagimana bahasa menentukan pengetahuan. Menyatakan segala sesuatu bukan pada objektif melainkan subjektif, inilah kenapa sering kita temukan manusia semakin individualistik dan terpolarisasi terhadap sesuatu yang baru dan menganggap sesuatu itu adalah kebenaran dalam dirinya dan urusan hidup bukan lagi sebuah kebersamaan dalam hubungan sosial.

Seperti yg kita hadapi 2019-2020, pada konteks sosial sebagian kelompok masih memiliki kekritisan dalam membaca komdisi dan ingin merubah keadaan menjadi lebih baik, namun yang lain menganggap bahwa pergantian tahun merupakan sesuatu yang memiliki nilai perubahan di dalam diri sampai ada yang ingin merubah kepribadiannya secara keseluruhan, padahal tanpa disadari perubahan individu di tentukan oleh lingkungan yg mempengaruhi kesadaran banyak orang. Dan tahun baru hanyalah sebuah penghambat perubahan jika masih terjebak pada narasi sosial yg diciptakan kapitalisme.

Secara sepintas kita mengikuti waktu, 2019 awal sampai akhir, atau dari Jokowi 1 periode sampai 2 periode, kita melewati 5 kali pergantian tahun dengan suasana yang sama, "ledakan petasan", ramai mogok di jalan untuk turut meramaikan menjemput satu malam yg sakral". Tapi mari kita lihat kedalam, 5 kali pergantian tahun 5 kali ingin berubah; itu artinya dalam kondisi sosial orang-orang tidak berubah kalau 2021 masih juga ingin berubah.

Perubahan yang sebenarnya adalah perubahan secara keseluruhan serta memiliki tujuan dalam merubah keadaan agar tahun baru berikutnya rakyat hidup tidak lagi dalam kesengsaraan. Bagaimna tidak 21 juta hektar lahan pertanian masi saja ada provinsi yg mengalami gizi buruk (NTT,NTB,PAPUA). Yg sampai hari ini juga bukan hanya kasus demikian, perampasan lahan petani, pembantaian orang papua, buruh di PHK serta hanyamendapatkan goceng. Dan kondisi ini masih saja dialami rakyat Indonesia sebagai pekerja upahan juga petani tapi lapar. Tahun kemarin 2018 soal kopra di Maluku Utara, bertepatan pergantian tahun, saudara nasrani kita tidak mampu membeli baju natal sebagai pekerja kopra mereka tinggalkan sehingga mengakibatkan kerugian.

Tahun baru hanyalah sebuah jebakan konteks reality keramaian menyabut tahaun adalah sesuatu yg manifest, tapi sebagian orang lupa hidden susaity alias orang2 yg mengalami bencana ekonomi politik tidak menjadi pembicaraan dalam turut andil menyambut perubahan terkecuali tidak ada lagi kemiskinan dan nenek2 tidak lagi tidur d atas trotoar. Perubahan secara totalitas (ideologi,politik,ekonomi) lah yg membebaskan orang2 yg sengsara nasibnya di bawa tembakan petasan.

Tahun baru hanyalah sebuah fenomena bagi orang-orang yg memiliki kesadaran naif dgn menyambut kesenangan di atas penderitaan banyak orang, pemerintah tahu betul sebuah momen yg pas untuk menghipnotis rakyat kelas menengah agar mempengaruhi rakyat krlas bawah pula untuk menjaga kestabilan kekayaan pribadi serta  mengamankan korporat dengan dalill,  'zikir akbar di jalan raya, sentral strategis yang umum inilah kebanyakan orang menggap bahwa ceramah ustad bisa membawa kedamaian perubahan serta harapan bisa terkabul lewat do'a'.

Tapi kalau kita bertanya, apakah do'a ini dapat merubah orang miskin menjadi kaya serta bebas berekspresi dalam kesadaran pendapat, ? Jawabannya tidak kalau hanya berdo'a. Dan iya jika perombakan struktur serta pencapainnya bisa mengintegrasikan kaum miskin (buruh tani dan nelayay) dibawah komando buruh untuk mencapai perubahan dalam satu kekuatan politik.