Tuesday, April 2, 2019


Empedocles yakin bahwa ada dua kekuatan yang bekerja di alam.
Dia menyebutnya cinta dan perselisihan. Cinta mengikat segala sesuatu, dan perselisihan memisahkannya.

Apakah dia percaya pada Takdir? Dia sama sekali tidak yakin.
Tapi, dia tahu banyak orang yang percaya. Ada seorang gadis di
kelasnya yang membaca ramalan bintang dalam majalah. Namun, jika
percaya pada astrologi, mereka barangkali juga percaya pada Takdir,
sebab para ahli astrologi menyatakan bahwa posisi bintang-bintang
memengaruhi kehidupan manusia di atas Bumi.

Jika kamu percaya bahwa seekor kucing hitam yang melintasi
jalanmu berarti sial—nah, itu artinya kamu percaya pada Takdir,
bukan? Ketika dia memikirkan hal itu, beberapa contoh lain mengenai
fatalisme masuk ke benaknya. Mengapa begitu banyak orang
mengetuk-ngetuk kayu, misalnya? Dan, mengapa hari Jumat tanggal
tiga belas dianggap sebagai hari sial?  Itu pasti
karena banyak sekali orang yang percaya takhayul.
"Takhayul." Alangkah anehnya kata itu. Jika kamu percaya pada
astrologi atau hari Jumat tanggal tiga belas, itu adalah takhayul!
Siapa yang berhak menyebut kepercayaan orang lain itu takhayul?
 Democritus tidak percaya
pada takhayul. Dia adalah seorang materialis. Dia hanya percaya
pada atom dan ruang hampa.
Sophie berusaha memikirkan pertanyaan-pertanyaan dalam catatan
itu.

Socrates merasa adalah penting untuk membangun landasan yang
kuat untuk pengetahuan kita. Dia percaya bahwa landasan ini terletak
pada akal manusia. Dengan keyakinannya yang tak tergoyahkan pada
akal manusia, jelaslah bahwa dia seorang rasionalis.
Kebenaran Abadi, Keindahan Abadi,
Kebaikan Abadi.
Dalam kata pengantar untuk pelajaran ini, aku katakan bahwa
mempertanyakan proyek utama seorang filosof merupakan suatu
gagasan yang bagus. Maka kini aku bertanya: apakah masalah yang
dipikirkan Plato?
Secara ringkas, kita dapat memastikan bahwa Plato memikirkan
hubungan antara yang kekal dan abadi, di satu pihak, dan yang
"berubah", di pihak lain. (Persis seperti pada masa sebelum
Socrates, sebenarnya.)
Dan, toh dalam satu pengertian, bahkan Socrates dan kaum Sophis
disibukkan dengan hubungan antara yang kekal dan abadi, dan yang
"mengalir". Mereka tertarik pada masalah tersebut karena hal itu
berkaitan dengan moral manusia dan cita-cita atau sifat baik
masyarakat. Secara sangat ringkas, para Sophis beranggapan bahwa persepsi mengenai apa yang benar atau salah beragam dari satu
negara-kota ke negara-kota lain, dan dari satu generasi ke generasi
selanjutnya. Jadi benar dan salah adalah sesuatu yang "mengalir".
Ini sama sekali tidak dapat diterima oleh Socrates.

 Dia percaya
akan adanya aturan-aturan yang abadi dan mutlak tentang apa yang
benar atau salah. Dengan menggunakan akal sehat, kita semua dapat
sampai pada norma-norma abadi ini, karena akal manusia
sesungguhnya kekal dan abadi

Bagaimana bila seseorang hidup dalam dua dunia? Dunia pertama adalah dunia realita tempat dia benar-benar berpijak, dan lainnya merupakan dunia yang dibuat atas dasar alam pikirannya. Kehidupan semacam itu dapat terjadi pada gangguan jiwa psikotik, dan dari berbagai gangguan psikotik yang ada, skizofrenia adalah yang terbanyak.

Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang ditandai dengan adanya distorsi realita, disorganisasi, dan gangguan psikomotor. Penderita skizofrenia tidak dapat membedakan dia hidup dalam realita atau dalam alam pikirannya sendiri (autistik). Penyakit ini bersifat kronis, sering kambuh, dan menyebabkan penurunan fungsi yang semakin lama semakin berat bila tidak mendapatkan pertolongan medis yang adekuat.

Pada awalnya skizofrenia disebut dengan “dementia precox” atau demensia dini, demensia sendiri merupakan suatu penyakit yang yang umumnya terjadi pada usia lanjut, karena penderita skizofrenia mengalami kemunduran fungsi kognisi seperti halnya demensia. Tidak hanya kognisi, pada penderita skizofrenia aspek emosi, persepsi dan tingkah laku pun ikut terganggu.

Secara statistik, skizofrenia dialami oleh 1 dari 100 populasi dunia, dan merupakan gangguan jiwa utama yang memerlukan perawatan di rumah sakit. Tidak ada perbedaan antara pria dan wanita pada angka kejadian gangguan ini, dan gejala dapat muncul pertama kali sebelum usia 25 tahun.

Sistem Dopamin dan Perubahan Struktur Otak

Genetik, infeksi saat kehamilan, ketidaksesuaian resus darah, dan tekanan sosial merupakan beberapa faktor risiko skizofrenia. Namun mekanisme penyakit dari beberapa faktor risiko tersebut hingga menjadi skizofrenia belum diketahui secara pasti.

Studi neurokimia yang mempelajari aktifitas kimia dalam otak mengungkap kelainan medis pada skizofrenia. Adalah dopamin, suatu neurotransmitter atau zat kima yang berfungsi sebagai komunikasi saraf di dalam otak, yang disudutkan pada penyakit skizofrenia. Dopamin sendiri memiliki suatu sistem yang terdiri dari jalur-jalur persyarafan untuk berkomunikasi antar area dalam otak .

Jalur yang berperan dalam skizofren adalah mesolimbik, yang menghubungkan badan sel dopamin di daerah batang otak ke suatu sistem yang berfungsi

Penderita skizofrenia dapat mengalami halusinasi baik halusinasi dengar yang berkomentar secara terus menerus terhadap diri penderita, halusinasi visual berupa visualisasi sosok manusia atau sosok lain yang sebenarnya tidak ada, ataupun halusinasi penciuman. Penderita skizofrenia akan terlihat ketakutan, kesal, gaduh gelisah, agresif, dan terganggu aktivitas sehari-hari karena halusinasi ini. mengatur fungsi emosi dan motivasi manusia yaitu sistem limbik. Aktivitas dopamin yang berlebih pada jalur ini akan menyebabkan gejala-gejala positif

pada skizofrenia. Gejala positif merupakan gejala khusus pada skizofren, termasuk didalamnya halusinasi, waham (delusion), dan gangguan fikiran.

Penderita skizofrenia juga memiliki keyakinan terhadap dirinya yang tidak berdasarkan realitas atau disebut waham (delusion). Sebagai contoh, penderita skizofrenia dapat merasakan pikirannya dapat dibaca orang lain dan curiga berlebihan, merasa seseorang akan berbuat jahat kepadanya, merasa dikendalikan oleh kekuatan dari luar, bisa mengganggap dirinya sebagai agen rahasia, superhero, ataupun lainnya yang mengenai identitas keagamaan atau politik. Penderita skizofrenia dapat saja melukai diri sendiri atau bahkan bersifat agresif terhadap orang lain, seperti melukai ataupun membunuh atas dasar waham yang dianutnya.

Jalur dopamin lain yang bertanggung jawab terhadap gangguan skizofrenia adalah mesokortikal. Keadaan patologis berupa berkurangnya aktivitas dopamin pada jalur yang menuju area korteks (kulit) prefrontal otak mengakibatkan gejala negatif pada skizofrenia. Gejala negatif merefleksikan tidak adanya fungsi yang pada orang normal ada. Contoh dari gejala ini adalah gangguan bicara, raut muka yang datar, respon emosional menumpul, apatis, penarikan diri secara sosial, dan kurangnya inisiatif atau emosi.

Sulit untuk mendeskripsikan secara detail gejala-gejala yang dialami oleh penderita skizofrenia karena bentuk, jalan, dan isi pikiran yang unik dan tidak realistik. Beberapa contoh kisah penderita skizofrenia telah diangkat ke layar lebar, seperti contohnya “Beautiful Mind”, “Shutter Island”, “The Soloist”, “The Black Swan”, dan lain sebagainya.

Selain studi neurokimia, secara anatomi terdapat beberapa perubahan struktur otak pada penderita skizofrenia. Secara umum struktur otak penderita skizofrenia mengalami penipisan atau pengurangan seperti yang digambarkan pada citra Magnetic Resonance Imaging (MRI) pada gambar 2. Korteks otak penderita skizofrenia berkurang 2-5% setiap tahunnya. Berkurangnya area di thalamus dan lobus temporal otak (termasuk sistem limbik) bertanggungjawab terhadap gejala positif. Serta berkurangnya area korteks prefrontal otak akan memperparah gejala negatif dan fungsi kognisi.

World Health Organization (WHO) mendefinisikan sehat sebagai keadaan sejahtera yang meliputi fisik, mental dan sosial yang tidak hanya bebas dari penyakit atau kecacatan. Skizofrenia merupakan satu dari banyak ganguan mental. Gangguan ini sering dihubungkan dengan kondisi spiritual, metafisik serta dianggap tidak ada solusi medisnya. Pemaparan ini menjelaskan bahwa terdapat logika dan alasan medis pada skizofrenia, dan dapat diobati untuk kualitas hidup yang lebih baik.

Monday, April 1, 2019


Apakah aku jenuh dengan kesendirian?

Untuk saat ini aku sendiri pun tak tahu apa yang aku inginkan. Tentang rasa, tentang mereka, tentang cinta semua seperti bahasa sansekerta yang tak mampu aku eja. Ini bukan sekedar tentang aku yang pernah terluka, atau tentang cerita pahit yang tak pernah bisa terlupa.

Aku hanya tak lagi mudah untuk percaya. Karena setia dan rasa yang pernah aku bangun dengan tulus di balas dengan dusta dan bahagia yang aku kira nyata ternyata hanya fatamorgana. Sendiri terdengar lebih baik daripada terjebak lagi dalam permainan

Apakah aku siap untuk kembali jatuh cinta?Untuk saat ini aku sudah tak mampu lagi mendefinisikan apa itu cinta. Rasa, cinta, bahagia, setia… semuanya seperti ilalang yang mengering dan lalu terbakar dusta.

Bukan karena aku masih mencintai dia dari masa lalu atau pun terjebak dalam drama nostalgia. Aku hanya tahu bahwa hati ini jauh lebih berharga dari sebuah rasa dan aku takut kembali menyerahkan hatiku pada orang yang salah.
Cinta memang indah, tapi tidak lebih berharga dari pada bahagia.


Entahlah terkadang hidup ini bukan tentang benar atau salah, bukan melulu tentang menjadi apa yang mereka pikir semestinya. Hidup ini adalah tentang bagaimana kita menentukan pilihan yang membawa kita pada sukacita. Dan bila pilihannya antara cinta dan bahagia, pada akhirnya aku memilih untuk bahagia.

Salah satu kebahagiaan adalah ketika melihat orang yang kita cintai bahagia. Kebahagiaan jenis ini levelnya lebih tinggi dari kebahagiaan yang bersifat individual. Boleh jadi, ini masuk dalam kategori kebahagiaan sosial.

Tidak gampang untuk memperoleh kebahagiaan jenis ini. Apalagi bagi mereka yang bersifat egois. Semua kebahagiaannya diukur dari kebahagiaan diri sendiri. Orang yang demikian adalah tipikal 'pemburu kebahagiaan', yang justru tidak pernah menemukan kebahagiaan...

Berumah tangga adalah sebuah cara untuk memperoleh kebahagiaan, dengan cara membahagiakan pasangan kita. Partner kita. Istri atau suami. Bisakah itu terjadi? Bisa, ketika berumah tangga dengan berbekal cinta. Bukan sekadar berburu cinta. Lho, memang apa bedanya?

Berbekal cinta, berarti kita mencintai pasangan kita. Ingin memberikan sesuatu kepada pasangan agar ia merasa bahagia. Sedangkan berburu cinta, berarti kita menginginkan untuk dicintai. Menginginkan sesuatu dari pasangan kita, sehingga kita merasa bahagia.

Menurut anda, manakah yang lebih baik? Mengejar cinta atau memberikan cinta? Mengejar kebahagiaan ataukah memberikan kebahagiaan? Mengejar kepuasan ataukah justru memberikan kepuasan? Mana yang bakal membahagiakan, yang pertama ataukah yang ke dua?

Ternyata, yang ke dua. Mengejar cinta hanya akan mendorong anda untuk berburu sesuatu yang semu belaka. Yang tidak pernah anda raih. Karena, keinginan adalah sesuatu yang tidak pernah ada habisnya. Apalagi keserakahan.

Hari ini Anda merasa memperoleh cinta dari pasangan Anda, maka berikutnya anda akan merasa tidak puas. Dan ingin memperoleh yang lebih dari itu. Sudah memperoleh lagi, berikutnya anda akan ingin lebih lagi.

Ini hampir tak ada bedanya dengan ingin mengejar kesenangan dengan cara memiliki mobil atau rumah. Ketika kita masih miskin, kita mengira akan senang memiliki mobil berharga puluhan juta rupiah. Kita berusaha mengejarnya. Lantas memperolehnya. Dan kita memang senang.

Tapi, tak berapa lama kemudian, kita menginginkan untuk memiliki mobil yang berharga ratusan juta rupiah. Mobil yang telah kita miliki itu tidak lagi menyenangkan, atau apalagi membahagiakan.

Benak kita terus menerus terisi oleh bayangan betapa senangnya memiliki mobil berharga ratusan juta rupiah. Jika kemudian kita bisa memenuhi keinginan itu, kita pun merasa senang. Tetapi, ternyata itu tidak lama. Benak kita bakal segera terisi oleh bayangan-bayangan, betapa senangnya memiliki mobil yang berharga miliaran rupiah. Begitulah seterusnya. Coba rasakan hal ini dalam kehidupan anda, maka anda akan merasakan dan membenarkannya.

Kesenangan dan kebahagiaan itu bukan anda peroleh dengan cara mengejarnya, melainkan dengan cara merasakan apa yang sudah anda miliki. Dan jika anda mensyukurinya, maka kebahagiaan itu akan datang dengan sendirinya pada perubahan yang datang berikutnya.

Anda tak perlu mengejar kebahagiaan, karena anda sudah menggenggamnya. Yang perlu anda lakukan sebenarnya adalah memberikan perhatian kepada apa yang sudah anda miliki. Bukan melihat dan mengejar sesuatu yang belum anda punyai. Semakin anda memberikan perhatian kepada apa yang telah anda miliki, maka semakin terasa nikmatnya memiliki. Jadi, kuncinya bukan mengejar, melainkan memberi.

Demikian pula dalam berumah tangga. Jika kita ingin memperoleh kebahagiaan, caranya bukan dengan mengejar kebahagiaan itu. Melainkan dengan memberikan kebahagiaan kepada pasangan kita. Bukan mengejar cinta, melainkan memberikan cinta. Bukan mengejar kepuasan, melainkan memberikan kepuasan.

Maka anda bakal memperoleh kebahagiaan itu dari dua arah. Yang pertama, anda akan memperolehnya dari pasangan anda. Karena merasa dibahagiakan, ia akan membalas memberikan kebahagiaan.

Yang ke dua, kebahagiaan itu bakal muncul dari dalam diri anda sendiri. Ketika kita berhasil memberikan kepuasan kepada pasangan kita, maka kita bakal merasa puas. Ketika berhasil memberikan kesenangan kepada partner kita, maka kita pun merasa senang. Dan ketika kita berhasil memberikan kebahagiaan kepada istri atau suami kita, maka kita pun merasa bahagia.

Ini, nikmatnya bukan main. Jumlah dan kualitasnya terserah anda. Ingin lebih bahagia, maka bahagiakanlah pasangan anda. Ingin lebih senang, maka senangkanlah pasangan anda lebih banyak lagi. Dan, anda ingin lebih puas? Maka puaskanlah pasangan anda dengan kepuasan yang lebih banyak. Anda pun bakal merasa semakin puas. Terserah anda, minta kesenangan, kepuasan, atau pun kebahagiaan sebesar apa. Karena kuncinya ada di tangan anda sendiri. Semakin banyak memberi semakin nikmat rasanya.

Anda yang terbiasa egois dan mengukur kebahagiaan dari kesenangan pribadi, akan perlu waktu untuk menyelami dan merenungkan kalimat-kalimat di atas.

Contoh yang lebih konkret adalah perkawinan dengan cinta yang bertepuk sebelah tangan. Perkawinan semacam ini sungguh membuat menderita pihak yang tidak mencintai. Padahal ia dicintai. Segala kebutuhannya dipenuhi oleh pasangannya. Katakanlah ia pihak wanita.

Segala kebutuhan sang wanita selalu dipenuhi oleh suaminya. Rumah ada. Mobil tersedia. Pakaian, perhiasan, dan segala kebutuhan semuanya tercukupi. Tetapi ia tidak pernah merasa bahagia. Kenapa? Karena tidak ada cinta di hatinya.

Sebaliknya, sang suami merasa bahagia, karena ia mencintai istrinya. Ia merasa senang dan puas ketika bisa membelikan rumah. Ia juga merasa senang dan puas ketika bisa membelikan mobil.

Dan ia senang serta puas ketika bisa memenuhi segala kebutuhan istri yang dicintainya itu. Semakin cinta ia, dan semakin banyak ia memberikan kepada istrinya, maka semakin bahagialah sang suami. Kalau ia benar-benar cinta kepada istrinya, maka ukuran kebahagiaannya berada pada kebahagiaan si istri. Jika istrinya bahagia, ia pun merasa bahagia. Jika istrinya menderita, maka ia pun merasa menderita.

Akan berbeda halnya, jika si suami tidak mencintai istri. Ia sekadar menuntut istrinya agar mencintainya. Memberikan kesenangan, kepuasan dan kebahagiaan kepadanya. Ketika semua itu tidak sesuai dengan keinginannya, maka ia bakal selalu merasa tidak bahagia. Tidak terpuaskan.

Sebaliknya, jika istri tersebut kemudian bisa mencintai suaminya - karena kebaikan yang diberikan terus menerus kepadanya - maka si istri itu justru bakal bisa memperoleh kebahagiaan karenanya.

Pelayanan yang tadinya dilakukan dengan terpaksa terhadap suaminya, kini berganti dengan rasa ikhlas dan cinta. Tiba-tiba saja dia merasakan kenikmatan dan kebahagiaan yang tiada terkira.

Kalau dulu ia memasakkan suami dengan rasa enggan dan terpaksa, misalnya, kini ia melakukan dengan senang hati dan berbunga-bunga. Kalau dulu ia merasa tersiksa ketika melayani suami di tempat tidur, kini ia merasakan cinta yang membara.

Ya, tiba-tiba saja semuanya jadi terasa berbeda. Penuh nikmat dan bahagia. Padahal seluruh aktivitas yang dia lakukan sama saja. Apakah yang membedakannya? Rasa cinta!

Ketika ‘berbekal cinta’, semakin banyak ia memberi, semakin banyak pula rasa bahagia yang diperolehnya. Hal ini memberikan gambaran kepada kita bahwa yang bahagia itu sebenarnya bukanlah orang yang dicintai, melainkan orang yang mencintai. Orang yang sedang jatuh cinta...

Karena itu keliru kalau kita ingin dicintai. Yang harus kita lakukan adalah mencintai pasangan. Semakin besar cinta kita kepadanya, semakin bahagia pula kita karenanya. Dan yang ke dua, semakin banyak kita memberi untuk kebahagiaan dia, maka semakin bahagialah kita...

Begitulah mestinya rumah tangga kita. Bukan saling menuntut untuk dibahagiakan, melainkan saling memberi untuk membahagiakan. Karena di situlah kunci kebahagiaan yang sebenar-benarnya memberikan kebahagiaan.

Siapa yang mengetahui isi hati seseorang?
siapa yang dapat menyelami seberapa dalamnya hati seseorang? Bila kita melihat seseorang tersenyum apakah dia benar-benar bahagia?
Bila seseorang menangis adakah itu bererti dia sedang bersedih? adakah kenyataannya seperti yang kita lihat?
Hati, tidak ada seorangpun yang mampu menerka dengan pasti sedalam mananya hati kita sendiri, kadangkala kita tidak dapat memahami apa yang ada di dalam hati.
 Apa yang dilihat di luar belum tentu itu mencerminkan apa yang ada di dalam hati.  Bukan bererti perlu hipokrit tetapi kadang kadang orang lain tidak perlu tahu apa yang sebenarnya kita rasakan saat itu.
Apabila kita bahagia tidak perlu kita memperlihatkan kebahagian itu secara berlebihan kepada orang lain. Ketika kita bersedih tidak perlu juga mereka mengetahui seberapa sakit yang menimpa kita hingga membuat kita bersedih.
Begitu juga ketika hati kita merasa jengkel, jangan sampai orang lain kena getahnya.
Cukuplah kita sendiri yang mengetahuinya dan Allahlah tempat kita menumpahkan segala rasa yang ada di hati, hanya Allah tempat kita mengadu, tempat kita berserah diri.
Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.”
Waktu ini, disuatu tempat ada hati yang begitu bahagia, seolah – olah  ia ingin tersenyum setiap saat.
Ya, di sana ada hati yang berbunga-bunga karena akan memiliki apa yang sangat dia harapkan selama ini, dia sedang menunggu hari besar dalam hidupnya.
Saya dapat membayangkan bagaimana hati yang dipenuhi dengan kebahagiaan, kesenangan dan suka cita.
Tetapi sebaliknya, disini ada hati yang terluka kerananya, sedih kerana kebahagiaan yang dirasakan olehnya.
Tahukah dia bahawa ada hati yang sakit disaat dia sedang merasakan kebahagiaan yang sempurna?
Tahukah dia bahwa ada seseorang ingin menangis ketika dia tersenyum dan ketawa?
Senyum kita masih ada, tawa kita kadang masih terlihat dan gurauan itu juga masih kita berikan kepada setiap orang di dekat kita, tidak ada yang tahu bahawa disebalik apa yang mereka lihat dari mimik wajah & tingkah laku kita sebenarnya kita sedang terluka.
Kita ingin menangis saat itu, tetapi tidak ada yang tahu tentang itu.
Hanya Allah dan kita sahaja  yang mengetahui dalam hati, hanya Allah tempat kita mengembalikan semua rasa di dalam hati, hanya Allah pengubat sakit & lara hati ini.
Hanya  dengan mengingat Allahlah kita berusaha menenangkan hati ini ketika kebahagiaan seseorang  merenggut kebahagian kita, ketika tidak ada seorangpun yang memahami perasaan dalam hati kita.
Subhanallah walhamdulillah walailahaillallah wallahuakbar walahaulawalaquwataillabillah rangkaian kalimat ini yang membasahi bibir kita, menggetarkan hati yang sedang kita pupuk kembali, menemani butiran air yang menitis dari kelopak mata.
Sabda Rasulullah Perbanyakkanlah membaca La Haula Wala Quwwata Illa Billah kerana sesungguhnya bacaan ini adalah obat bagi 99 penyakit, yang mana penyakit paling ringan adalah kebimbangan” (Riwayat Al-Uqaili melalui jabir r.a.)
 Hasbunallahu wa ni’mal wakiil ni’mal maula mani’man nashir
Ya Rabb…
Semua datangnya dari Engkau dan semua akan kembali kepada Engkau, maka aku serahkan semua rasa ini kepadaMu Ya Rabb…
Kuatkanlah aku menghadapi setiap ujian yang Engkau berikan, Ikhlaskanlah hati aku untuk menerima setiap takdir yang Engkau tuliskan kepada aku.
Hanya Engkau Ya Rabb yang mengetahui dengan benar dalamnya hati aku maka aku memohon tuntunlah diri ini untuk tetap berada dalam kebenaranMu Amin Allahumma Amin

Jika sejarah Bung Karno kerap dikerumuni mitos, maka sejarah Tan Malaka (selanjutnya “Tan”) berselimut stigma. Dua ornamen yang seharusnya absen dari sejarah.
Tan mungkin adalah founding father yang kerap ditempatkan bukan di mana ia memilih untuk berdiri. Terlebih ketika kita berbicara tentang Tan dan Islam. “Ia komunis dan karena itu ia anti-Islam dan ateis,” begitu stigma yang acap dilekatkan padanya.
Di zaman ketika Tan hidup dan berjuang, komunisme merupakan salah satu kekuatan utama dunia. Posisi komunis di dunia saat itu memang anti-agama, meski sebenarnya belum tentu Islam termasuk dalam kategori dibenci. Sebab, paradigma anti-agama ala komunis saat itu diposisikan di atas diktum “agama adalah candu”-nya Karl Marx.
Dan, seperti kita tahu, diktum itu muncul dari kekesalan Marx pada otoritas Gereja yang dianggap tak berpihak pada perjuangan kaum tertindas di zamannya. Adapun Islam, misalnya dalam tesis Ali Syariati, justru adalah kekuatan bagi kaum tertindas (musthad’afin) dengan inspirasi sahabat Nabi: Abu Dzar al-Ghifari. Dan, dalam konteks ini, Tan tampaknya satu irisan dengan Syariati.
Dalam Kongres Komunis Internasional ke-4, 12 November 1922, Tan berdiri di depan khalayak kongres, berpidato tentang “Komunisme dan Pan-Islamisme”. Sebuah pidato yang, entah kenapa, bisa terdengar sama-sama “sumbang” di telinga para anggota organisasi komunis dunia atau Komunisme Internasional sekaligus kalangan Muslim. Hingga, seperti dikatakan sejarawan Anhar Gonggong, karena pidato itu, ia dipecat dari Komunisme Internasional dan dibenci Muslim.
“… Ketika saya berdiri di depan Tuhan saya adalah seorang Muslim, tapi ketika saya berdiri di depan banyak orang saya bukan seorang Muslim, karena Tuhan mengatakan bahwa banyak iblis di antara banyak manusia! Jadi kami telah mengantarkan sebuah kekalahan pada para pemimpin mereka dengan Qur’an di tangan kita, dan di kongres kami tahun lalu kami telah memaksa para pemimpin mereka, melalui anggota mereka sendiri, untuk bekerjasama dengan kami,” itulah pernyataan Tan yang paling digaris bawahi dalam pidatonya itu.
Tan besar dalam lingkungan Muslim yang taat. “Saya lahir dalam keluarga Islam yang taat. Ibu Bapak saya keduanya taat dan orang takut kepada Allah dan jalankan sabda Nabi, ”katanya dalam Islam dalam Tinjauan Madilog (1948).
Ia memilih untuk bersikap jujur terhadap Islam. Ia tentu seorang komunis. Namun, ia tak anti-Islam. Ia bahkan pernah menaruh harapan pada Pan-Islamisme di belakang “gerbong” Sarekat Islam. Jalan komunis dan Islam tentu berbeda, tapi baginya cita-cita Republik Indonesia mempertemukan keduanya.
Keduanya juga sama-sama berbahan bakar kaum tertindas. “Seperti halnya kita ingin mendukung perjuangan nasional, kita juga ingin mendukung perjuangan kemerdekaan 250 juta Muslim yang sangat pemberani, yang hidup di bawah kekuasaaan imperialis,” katanya. Sebab, Indonesia merdeka sebagai “Republik” adalah inti gagasan Tan yang ditelurkannya sejak 1922 dalam Naar de Republiek. Dan Tan percaya bahwa yang menceraikan keduanya bukanlah lantaran jalan yang berbeda antar keduanya, tapi karena propaganda politik semata.
Maka, ketika berbicara tentang Tan dan Islam, kita harus jujur, juga jernih. Kita harus melepaskan benak dari stigma propagandis bentukan rezim politik mana pun. Politik selalu mengalami kesulitan untuk bersikap jujur terhadap sejarah. Hingga, konon, tak ada sejarah yang sebenarnya, yang ada adalah sejarah rezim ini dan rezim itu.
Bahwa nantinya kita memilih untuk bersikap benci atau suka, kritis atau apresiatif, dan seterusnya atas Tan dan semua tentangnya, itu benar-benar hak kita masing-masing. Selama ia muncul dari kejernihan dan kejujuran, itu harus dihargai, juga dihormati.
Begitulah memang nasib setiap orang, apalagi tokoh. Ketika ia menyampaikan gagasan atau telah mati, ia menjadi “milik” publik untuk dinilai sesuai perspektif masing-masing. Namun, yang jelas, bahwa Tan ikut berjuang–dengan gagasan maupun perlawanan, itu tak boleh dilupakan, apalagi dihapus dari sejarah bangsa ini.
Kita tentu tak ingin jadi pembaca atau penulis sejarah yang justru dikutuk oleh sejarah.