Thursday, January 2, 2020


Jika keutamaan wanita ditanggalkan, maka kehormatan keibuannya sudah cukup baginya sebagai suatu kemuliannya. Sebelum menikah, wanita hafal seluruh jawaban. Dan sesudah menikah, ia hafal seluruh pertanyaan.

Wanita lebih cepat dari pria dalam hal menangis dan dalam mengingat peristiwa yang menyebabkan ia menangis. Wanita tertawa bila ia mampu, dan ia menangis bila menginginkan sesuatu. Wanita sangat berlebihan dalam mencintai dan membenci, dan tidak mengenal pertengahannya. Wanita selalu tergolong manusia yang halus dan lembut sampai saat dia menikah. Wanita hidup untuk berbahagia dengan cinta, sementara pria mencintai untuk hidup berbahagia. Kejeniusan wanita terletak di dalam hatinya. Sesungguhnya tidak ada wanita yang sangat cantik, yang ada ialah kaum pria yang sangat lemah bila berhadapan dengan kecantikan.

Seorang wanita menghadapi kesulitan apabila ia berada di antara pria yang dicintainya dan yang mencintainya. Dalam pandangan pria, perkawinan adalah akhir segala problem, tetapi dalam pandangan wanita, justru merupakan awal segala masalah.

wanita, apa mau mu?
Jika dikatakan cantik dikira menggoda ,
jika dibilang jelek di sangka menghina.
Bila dibilang lemah dia protes,
bila dibilang perkasa dia nangis. Maunya emansipasi, tapi disuruh benerin genteng, nolak (sambil ngomel masa disamakan dengan cowok)

Maunya emansipasi, tapi disuruh berdiri di bis malah cemberut (sambil ngomel,Egois amat sih cowok ini tidak punya perasaan). Jika di tanyakan siapa yang paling di banggakan, kebanyakan bilang Ibunya, tapi kenapa ya lebih bangga jadi wanita karir, padahal ibunya adalah ibu rumah tangga, Bila kesalahannya diingatkankan, mukanya merah. bila di ajari mukanya merah,
bila di sanjung mukanya merah
jika marah mukanya merah,kok sama
semua ? bingung !!

Di tanya ya atau tidak, jawabnya diam
ditanya tidak atau ya, jawabnya diam
ditanya ya atau ya, jawabnya diam,
ditanya tidak atau tidak, jawabnya  diam,
ketika didiamkan malah marah
(repot kita disuruh jadi dukun yang bisa nebak jawabannya).

Di bilang ceriwis marah, dibilang berisik ngambek, dibilang banyak mulut tersinggung, tapi kalau dibilang S u p e l
wadow seneng banget padahal sama saja maksudnya. Dibilang gemuk engga senang
padahal maksud kita sehat dibilang kurus malah senang padahal maksud kita “kenapa kamu jadi begini !!!”. Itulah WANITA makin kita bingung makin senang Dia.

Wednesday, January 1, 2020


Tahun baru yang tetap sama, dan tidak terasa baru.

Salah satu produk filsafat yang berkembang di abad-19 adalah pragmatisme, sebuah aliran yang beriringin dengan perkembangan kapitalisme Amerika Serikat yang bangkit sebagi kekuatan baru dalam perekonomian kapitalisme yg masif. Tokohnya adalah William James. Aliran ini menggap bahwa bagimana bahasa menentukan pengetahuan. Menyatakan segala sesuatu bukan pada objektif melainkan subjektif, inilah kenapa sering kita temukan manusia semakin individualistik dan terpolarisasi terhadap sesuatu yang baru dan menganggap sesuatu itu adalah kebenaran dalam dirinya dan urusan hidup bukan lagi sebuah kebersamaan dalam hubungan sosial.

Seperti yg kita hadapi 2019-2020, pada konteks sosial sebagian kelompok masih memiliki kekritisan dalam membaca komdisi dan ingin merubah keadaan menjadi lebih baik, namun yang lain menganggap bahwa pergantian tahun merupakan sesuatu yang memiliki nilai perubahan di dalam diri sampai ada yang ingin merubah kepribadiannya secara keseluruhan, padahal tanpa disadari perubahan individu di tentukan oleh lingkungan yg mempengaruhi kesadaran banyak orang. Dan tahun baru hanyalah sebuah penghambat perubahan jika masih terjebak pada narasi sosial yg diciptakan kapitalisme.

Secara sepintas kita mengikuti waktu, 2019 awal sampai akhir, atau dari Jokowi 1 periode sampai 2 periode, kita melewati 5 kali pergantian tahun dengan suasana yang sama, "ledakan petasan", ramai mogok di jalan untuk turut meramaikan menjemput satu malam yg sakral". Tapi mari kita lihat kedalam, 5 kali pergantian tahun 5 kali ingin berubah; itu artinya dalam kondisi sosial orang-orang tidak berubah kalau 2021 masih juga ingin berubah.

Perubahan yang sebenarnya adalah perubahan secara keseluruhan serta memiliki tujuan dalam merubah keadaan agar tahun baru berikutnya rakyat hidup tidak lagi dalam kesengsaraan. Bagaimna tidak 21 juta hektar lahan pertanian masi saja ada provinsi yg mengalami gizi buruk (NTT,NTB,PAPUA). Yg sampai hari ini juga bukan hanya kasus demikian, perampasan lahan petani, pembantaian orang papua, buruh di PHK serta hanyamendapatkan goceng. Dan kondisi ini masih saja dialami rakyat Indonesia sebagai pekerja upahan juga petani tapi lapar. Tahun kemarin 2018 soal kopra di Maluku Utara, bertepatan pergantian tahun, saudara nasrani kita tidak mampu membeli baju natal sebagai pekerja kopra mereka tinggalkan sehingga mengakibatkan kerugian.

Tahun baru hanyalah sebuah jebakan konteks reality keramaian menyabut tahaun adalah sesuatu yg manifest, tapi sebagian orang lupa hidden susaity alias orang2 yg mengalami bencana ekonomi politik tidak menjadi pembicaraan dalam turut andil menyambut perubahan terkecuali tidak ada lagi kemiskinan dan nenek2 tidak lagi tidur d atas trotoar. Perubahan secara totalitas (ideologi,politik,ekonomi) lah yg membebaskan orang2 yg sengsara nasibnya di bawa tembakan petasan.

Tahun baru hanyalah sebuah fenomena bagi orang-orang yg memiliki kesadaran naif dgn menyambut kesenangan di atas penderitaan banyak orang, pemerintah tahu betul sebuah momen yg pas untuk menghipnotis rakyat kelas menengah agar mempengaruhi rakyat krlas bawah pula untuk menjaga kestabilan kekayaan pribadi serta  mengamankan korporat dengan dalill,  'zikir akbar di jalan raya, sentral strategis yang umum inilah kebanyakan orang menggap bahwa ceramah ustad bisa membawa kedamaian perubahan serta harapan bisa terkabul lewat do'a'.

Tapi kalau kita bertanya, apakah do'a ini dapat merubah orang miskin menjadi kaya serta bebas berekspresi dalam kesadaran pendapat, ? Jawabannya tidak kalau hanya berdo'a. Dan iya jika perombakan struktur serta pencapainnya bisa mengintegrasikan kaum miskin (buruh tani dan nelayay) dibawah komando buruh untuk mencapai perubahan dalam satu kekuatan politik.

Wednesday, December 18, 2019


Dari semua yang telah ditulis, aku hanya mencintai apa yang ditulis seseorang dengan darahnya. Menulislah dengan darah dan kau akan dapati bahwa darah itu roh.

Bukan suatu kemungkinan yang mudah memahami darah yang asing; aku membenci orang-orang yang malas yang suka membaca.

Dia yang tidak melakukan apapun kepada pembaca, dialah yang telah mengetahui siapa pembaca. Seabad lagi dipenuhi pembaca- dan roh itu sendiri akan membusuk.
Bahwa semua orang diperbolehkan belajar membaca, pada akhirnya itu tidak hanya akan merusak tulisan tapi juga pemikiran.

Dulu roh adalah Tuhan, sekarang ia menjadi manusia, dan kini bahkan telah menjadi orang banyak. Dia yang menulis dalam darah dan pepatah tidak ingin dibaca, tapi ingin dihafalkan.

Di pegunungan jarak yang paling pendek adalah garis lurus dari puncak yang satu ke puncak lain, tapi untuk melewati itu, kau harus punya kaki yang panjang. Pepatah adalah puncak-puncak dan mereka yang mendengarnya harus tinggi dan besar.
Hawanya murni dan langka, bahaya ada di dekatnya dan roh penuh dengan kelicikan yang penuh kesukaan: segalanya bersesuaian satu sama lain.

Aku menginginkan setan-setan di sekitarku, sebab aku berani. Keberanian yang mengusir semua hantu , menciptakan setan untuk dirinya sendiri - sebab keberanian itu ingin tertawa.

Aku tidak lagi merasa sama dengan dirimu; sebab awan yang kulihat ada di bawahku, awan hitam yang berat dan kutertawakan - masih merupakan awan geledek bagimu.
Kalian memandang ke atas ketika kalian merindukan pujian; tapi aku justru menunduk ke bawah sebab aku telah ditinggikan.

Siapa di antara kalian yang dapat tertawa dan sekaligus ditinggikan?
Yaitu dia yang memanjat gunung tertinggi, mentertawakan semua tragedi dan realitas yang tragis.
Berani, tak acuh, sinis, menindas - demikian yang di inginkan kebijaksanaan dari diri kita; kebijaksanaan adalah seorang wanita, dan ia hanya mencintai pejuang.

Kalian berkata kepadaku, "Hidup itu sulit untuk dijalani."
Tapi untuk apa kalian berbangga di pagi hari dan menyerah di malam hari?
Hidup itu sulit: tapi tidak usahlah kalian berlagak rapuh seperti itu di hadapanku! Kita semua adalah keledai-keledai beban yang kuat.

Apa persamaan kita dengan kuncup Mawar yang gemetar karena di jatuhi stetes embun,  memang kita mencintai hidup,  bukan karena kita inggin hidup,  tapi karena kita inggin mencintai.

Cinta selalu mengandung kegilaan,  tapi kegilaan mengandung nalar di dalam nya.  Dan bagi diriku yang menghargai hidup ini,  tampak kupu-kupu,  gelembung sabun dan lain nya yang mirip seperti itu di antara kita mereka lah yang paling mengenal kesukaan.

Melihat rupa rupa yang ringan konyol,  cantik dan lincah ini yamg terbang kesana kemari - itulah yang membuat Zarathustra menyanyi dan melacurkan air mata.

Aku hanya harus percaya satu Tuhan yang mengerti bagaimana menari. Dan ketika melihat iblisku  aku mendapati bahwa dia serius, total dalam dan khitmad. Dan dialah roh berat- olehnya semua benda jatuh.
Bukan dengan amarah,  tapi dengan tawa kita membunuh,  mari marilah kita binasakan roh berat ini!.
Aku telah belajar berjalan sejak itu aku telah membiarkan diriku berlari.
Aku telah belajar terbang dan sejak itu aku tidak perlu di lempar untuk tiba pada suatu tempat.
Sekarang aku ringan,  dan aku terbang sekarang melihat diriku sendiri di bawah diriku,  sebab tuhan sedang menari dalam diriku
Demikian sabda Zarathustra

Friday, December 6, 2019


Ada yang tak biasa di antara ratusan stan pameran terbesar di kota ini. Ketika banyak stan menjajakan dagangan berupa pakaian, kosmetik, dan lainnya, ada seorang perempuan menjual luka.

Penampilannya tak jauh beda dengan penjaga stan lainnya. Seperti sales promotion girl lainnya, dia terlihat seksi. Pakaiannya keluaran kekinian. Umurnya masih dua puluh lima tahunan. Dengan senyum yang selalu mengembang di bibir, pengunjung seakan tak melihat hal aneh padanya.

Namun stan yang dijaganya tak menawarkan apa pun. Etalase dibiarkan kosong. Dekorasi juga tak terlalu menarik karena didominasi warna hitam.
"Saya hanya menjual luka. Luka yang tak pernah habis dimakan usia. Ribuan tahun yang akan datang, luka itu tetap ada. Luka yang abadi."

Dia memberi penjelasan kepada seorang pemuda. Mungkin mahasiswa. Pemuda itu tersenyum dan kemudian pergi dengan perasaan aneh.

"Saya hanya menjual luka. Luka yang tak pernah dimiliki orang lain. Siapa pun tak pernah merasakan, termasuk Anda."
Kalimat itu dia tujukan kepada lelaki tua dengan tongkat di tangan kanannya. Jalannya sudah tak segesit saat masih muda. Bahkan tanda-tanda keperkasaan sama sekali tak tampak. Laki-laki itu ditemani cucunya yang masih berumur sepuluh tahun. Hanya melempar senyum kecut, kemudian berlalu. Menerobos lalu lalang pengunjung yang riuh.

Dan, pernahkan kamu memahami yang aku rasakan? Sejak kepergianmu menjelang senja, aku selalu menunggu. Kamu memang tak meninggalkan janji, tapi aku yakin perjalanan bisa kita lanjutkan bersama.

 Bukankah kita belum sampai ujung?
Sejak kepergianmu, aku tak lagi naik gunung dengan alasan mencari jati diri. Aku hanya ingin kamu kembali dan aku selalu menjual luka. Luka yang tiba-tiba datang menjelang senja, menjelang malam, menjelang pagi, menjelang siang. Luka yang selalu datang kapan saja karena kau tak meninggalkan penawar.

Aku selalu berpindah dari satu kota ke kota lain dengan harapan kita bertemu. Aku ingin bercerita kepadamu tentang apa-apa yang aku alami dan tak mungkin aku tulis di sini. Terlalu banyak cerita yang tak bisa diketahui banyak orang yang harus kamu ketahui. Ya, hanya kamu.

"Bolehkah saya membeli secuil lukamu. Mungkin bisa membuat lega meski tak akan menyembuhkan. Kamu mau menjual dengan harga berapa? Hanya secuil. Tidak banyak karena saya juga sedang terluka."
Perempuan itu mendongak. Mencari arah datangnya suara. Di hadapannya telah berdiri seorang pria. Tapi bukan kamu, Dan. Dia memakai kacamata tipis dengan rambut dibiarkan memanjang tergerai. Kaus oblongnya agak kumal. Aku suka dandanannya karena mengingatkan tentang kamu, Dan. Tapi kamu tanpa kacamata.

"Kenapa kamu ingin membeli luka saya sedangkan kamu sedang terluka?"
"Hanya secuil."
"Ini bukan masalah ukuran. Ini tentang luka. Meski secuil tetap menyakitkan."
"Mungkin kita punya kepekaan yang berbeda. Mungkin secuil tak akan menyakitkan bagi saya. Bolehkah?"
Pria itu menatap penuh harap. Perempuan itu, sang penjual luka, mencoba menahan diri. Dia tak ingin merasakan seperti yang dia rasakan saat dengan Dan. Dia tak mau jatuh cinta lagi yang bisa saja justru menambah luka, bukan menghilangkannya.

Cinta memang selalu memabukkan. Cinta selalu memberi harapan. Dia merasakannya bersama Dan. Merasakan cinta yang memabukkan. Cinta yang selalu bergelora dari detik ke detik, menit ke menit. Tapi cinta pula yang kemudian menjadi prahara yang tak berkesudahan sejak Dan pergi menjelang sore. Menjelang masa yang selalu memberi harapan.

"Bolehkah saya membeli secuil?"
Perempuan itu tergagap. Dia baru menyadari di depannya masih ada pria itu. Pria dengan dandanan biasa tapi unik. Dan, aku tak mau jatuh cinta kepadanya.

"Kenapa Anda tertarik dengan luka saya?"
"Karena Anda menjualnya. Saya belum pernah bertemu perempuan seperti Anda, yang menjual luka meski mungkin tanpa pembeli bahkan dikatakan aneh. Apalagi di tempat seperti ini. Anda tentu punya alasan mengapa menjual luka. Mungkin bukan luka biasa yang dimiliki orang-orang di luaran sana. Tak mungkin Anda menjualnya kalau semua orang pernah merasakan atau memiliki luka yang sama. Semoga analisis saya salah."

 Dan, aku tak ingin menceritakan kepadanya.
 "Anda mungkin akan menjadi pembeli pertama luka saya."
 "Berarti saya akan mendapat bonus?"
 Perempuan penjual luka tersenyum. Pria calon pembeli luka tersenyum.
 Dan, aku akhirnya bisa menjual secuil luka itu. Kepada seorang pria yang entah datang dari mana, kemudian menawar luka yang selalu tersimpan rapi meski selalu bergejolak dan meronta. Dia seakan memaksa.

 Setelah ini aku tak akan pergi ke mana-mana. Aku ingin menetap di kota ini. Aku tak ingin lagi menjajakan luka seperti yang sudah aku lakukan di beberapa kota. Aku tak mau luka ini habis dan menggerus kenangan bersamamu. Biarkan hanya secuil yang terjual dan bagian lain tetap tersimpan seperti sediakala.

SENJA hampir habis. Perempuan itu masih duduk di kursi di pinggir jalan pusat keramaian. Matanya memandang lurus, menatap lalu-lalang kendaraan yang tak putus-putus seperti iring-iringan rayap pindah rumah. Menatap senyum bahagia yang menerobos dari balik semua mobil.
Di kursi lain di sebelah kanannya ada sepasang muda-mudi sedang kasmaran.

 Dari tatapan mata mereka keluar cinta. Dari tangan mereka yang saling bertautan keluar cinta. Dari jarak duduk mereka yang tak tersekat keluar cinta.
Perempuan itu iri. Dia kemudian melengos. Berdiri lalu melangkah ke sudut lain. Mencari pemandangan yang lebih segar di taman yang tiba-tiba muncul seakan disulap sebelum gelaran akbar di kota ini. Para petinggi beberapa negara datang dan terpuaskan karena mendapat suguhan sesuai harapan.

Tapi mereka tak pernah tahu, kota ini penuh luka. Luka yang muncul dari janji-janji manis para penguasa saat masa kampanye. Bagi mereka, kesejahteraan adalah hal mutlak yang harus dimiliki setiap orang. Maka, mereka menjaminnya kalau terpilih kelak.

Janji manis memang selalu memabukkan. Tapi siapa peduli dengan koar-koar mereka? Tak ada mau tahu meski kemudian mendatangi tempat pemungutan suara dan memilih satu di antara foto yang ada di kertas suara saat di dalam bilik.

Bukan, bukan karena hati nurani. Tapi karena beberapa saat sebelumnya ada seseorang datang ke rumah dan memberikan aplop. Entah apa isinya.
Ada luka yang selalu tersimpan di kiri kanan jalanan yang selalu penuh sesak oleh kendaraan keluaran terbaru. Ada luka yang terpampang di spanduk taman kota. Ada luka di pohon-pohon penyejuk yang akarnya keropos.

Perempuan itu masih berjalan. Menyusuri jalan yang khusus untuk pedestrian di depan gedung-gedung tua peninggalan masa kolonial. Pikirannya mengambang. Hendak terbang menembus ruang-ruang seantero kota.

Langkahnya berbelok ke sebuah kafe. Masih sepi. Dia duduk di dekat jendela. Memesan minuman dengan kadar alkohol rendah. Waitress datang mengantar pesanan. Dibukanya kaleng minuman dan diteguk isinya.
Di luar, berjejer bendera Merah Putih di tiang depan masing-masing kafe. Berkibar.

Dan, aku kesepian. Bolehkah kujual luka kota ini? Sebab aku sudah janji tak akan kujual lukaku lagi.

Monday, November 18, 2019


Filsafat cinta, frase yang penuh dugaan. Ada pertanyaan penting yang harus dijawab sebelum kita berfilsafat tentang cinta. Bukan tentang apa itu cinta, bukan tentang mengapa kita mencinta. Tapi tentang fakta para filsuf, mengapa mereka jarang membicarakan soal cinta?

Setiap perhelatan peristiwa di masa lalu selalu menyisakan kesan jika diingat-ingat kembali. Tentu saja yang biasanya diinginkan hanyalah kisah-kisah yang indah-indah, yang membangkitkan semangat batin, yang layak dikenang. Kalau yang menyedihkan? kembalikan saja pada perspektif personal setiap orang. Tapi kisah yang menyedihkan juga perlu diingat-ingat agar kita senantiasa sadar dan menghargai sebuah nilai kehidupan. Biasanya, kisah populer yang banyak bermuatan kenangan indah namun sekaligus menyedihkan adalah soal yang satu ini cinta.

Saya bukan orang yang berpengalaman soal ini, termasuk pengalaman dari membaca. Buku bacaan yang saya gemari adalah filsafat. Jikalau kamu buka buku-buku tentang filsafat, sangat jarang ditemukan tulisan bertemakan cinta. Memang sih, Plato dan Aristoteles menulis banyak hal tentang hubungan emosional antar manusia, soal kebahagiaan, soal persahabatan, soal cinta. Dibuku Lysis dan Nichomachean Ethic misalnya, dituliskan hal-hal sederhana yang dialami oleh manusia sehari-hari, tetapi semuanya lebih banyak dikemas untuk kebahagiaan yang sifatnya transendental, tentang bagaimana seharusnya kita menjalani hidup.

Jikalau menilik karya filsafat yang ditulis oleh para pemikir muslim, khususnya di abad pertengahan, tidak beda jauh dengan bapak-bapak pendahulu dari Yunani. Filsafat Al Kindi, Al Farabi, Ibn Sina, Al Ghazali dan kawan-kawan lebih banyak bertemakan teologi-filsafat ketimbang tema sosial-emosional sehari-hari. Ibn Khaldun banyak menulis tentang hubungan sosial, tapi itu soal peradaban, -meskipun karyanya ‘Mukkadimah’-nya menurut saya wajib dibaca, merugilah mereka yang sempat mampir ke dunia tanpa baca ‘Mukkadimah’-.

Belakangan, para filsuf abad 18 dan 19, mengkritik soal yang satu ini, yakni mengapa para pemikir besar sangat jarang membicarakan soal cinta? padahal cinta adalah persoalan sehari-hari yang melekat dalam kehidupan setiap insan. Arthur Schopenhouer adalah salah satu orang yang mengkritik paling keras. Pikirannya yang suka melayang-layang, menuntunnya pada sebuah kesimpulan, “para filsuf sengaja meninggalkan persoalan cinta kepada para penyair dan orang-orang yang histeria”, katanya. Menurut saya, bisa jadi. Toh kalau soal cinta diambil juga oleh para filsur, para penyair bahas apa dong? orang histeria makan apa? Schopenhouer benar meski jelas-jelas ngawur.

‘A Man without Love Story’, judul ini ditulis tanpa bermaksud menyinggung siapapun, kecuali bagi yang merasa saja. Saya mem-posting artikel ini sebagai orang yang gelisah sekaligus sepandangan dengan Schopenhouer. Saya juga mau mengatakan dengan lantang “mengapa para filsuf jarang membicarakan soal cinta? padahal cinta adalah persoalan yang serius!”

‘A Man without Love Story’ adalah para filsuf yang mengabaikan soal cinta dalam karya-karyanya. Hampir tak ada filsafat cinta. Meskipun saya terkagum pada karya Plato, tapi sisi lain dari Plato tetap memperlihatkan dirinya sebagai orang biasa. Begitu pula para filsuf lainnya, mereka juga orang biasa. Aristotle lebih patut menjadi teladan sepertinya. Ia menikah, memiliki seorang istri dan anak-anak. Karyanya jauh lebih lengkap ketimbang gurunya itu, termasuk tulisannya yang gayeng tentang kebahagiaan, persahabatan, dan cinta.

Peradaban Yunani sekitar lima abad sebelum masehi memang menginspirasi banyak hal tentang kehidupan. Di sisi lain itu menunjukkan, meski saat itu agama yang berkembang politeis, bukan berarti filsafatnya buruk. Hanya sayang, betapa sulit mencari tulisan jaman itu yang relevan dengan masa kini, terutama soal cinta. Tak ada filsafat cinta. Filsafat oh filsafat