Ada yang tak biasa di antara ratusan stan pameran terbesar di kota ini. Ketika banyak stan menjajakan dagangan berupa pakaian, kosmetik, dan lainnya, ada seorang perempuan menjual luka.
Penampilannya tak jauh beda dengan penjaga stan lainnya. Seperti sales promotion girl lainnya, dia terlihat seksi. Pakaiannya keluaran kekinian. Umurnya masih dua puluh lima tahunan. Dengan senyum yang selalu mengembang di bibir, pengunjung seakan tak melihat hal aneh padanya.
Namun stan yang dijaganya tak menawarkan apa pun. Etalase dibiarkan kosong. Dekorasi juga tak terlalu menarik karena didominasi warna hitam.
"Saya hanya menjual luka. Luka yang tak pernah habis dimakan usia. Ribuan tahun yang akan datang, luka itu tetap ada. Luka yang abadi."
Dia memberi penjelasan kepada seorang pemuda. Mungkin mahasiswa. Pemuda itu tersenyum dan kemudian pergi dengan perasaan aneh.
"Saya hanya menjual luka. Luka yang tak pernah dimiliki orang lain. Siapa pun tak pernah merasakan, termasuk Anda."
Kalimat itu dia tujukan kepada lelaki tua dengan tongkat di tangan kanannya. Jalannya sudah tak segesit saat masih muda. Bahkan tanda-tanda keperkasaan sama sekali tak tampak. Laki-laki itu ditemani cucunya yang masih berumur sepuluh tahun. Hanya melempar senyum kecut, kemudian berlalu. Menerobos lalu lalang pengunjung yang riuh.
Dan, pernahkan kamu memahami yang aku rasakan? Sejak kepergianmu menjelang senja, aku selalu menunggu. Kamu memang tak meninggalkan janji, tapi aku yakin perjalanan bisa kita lanjutkan bersama.
Bukankah kita belum sampai ujung?
Sejak kepergianmu, aku tak lagi naik gunung dengan alasan mencari jati diri. Aku hanya ingin kamu kembali dan aku selalu menjual luka. Luka yang tiba-tiba datang menjelang senja, menjelang malam, menjelang pagi, menjelang siang. Luka yang selalu datang kapan saja karena kau tak meninggalkan penawar.
Aku selalu berpindah dari satu kota ke kota lain dengan harapan kita bertemu. Aku ingin bercerita kepadamu tentang apa-apa yang aku alami dan tak mungkin aku tulis di sini. Terlalu banyak cerita yang tak bisa diketahui banyak orang yang harus kamu ketahui. Ya, hanya kamu.
"Bolehkah saya membeli secuil lukamu. Mungkin bisa membuat lega meski tak akan menyembuhkan. Kamu mau menjual dengan harga berapa? Hanya secuil. Tidak banyak karena saya juga sedang terluka."
Perempuan itu mendongak. Mencari arah datangnya suara. Di hadapannya telah berdiri seorang pria. Tapi bukan kamu, Dan. Dia memakai kacamata tipis dengan rambut dibiarkan memanjang tergerai. Kaus oblongnya agak kumal. Aku suka dandanannya karena mengingatkan tentang kamu, Dan. Tapi kamu tanpa kacamata.
"Kenapa kamu ingin membeli luka saya sedangkan kamu sedang terluka?"
"Hanya secuil."
"Ini bukan masalah ukuran. Ini tentang luka. Meski secuil tetap menyakitkan."
"Mungkin kita punya kepekaan yang berbeda. Mungkin secuil tak akan menyakitkan bagi saya. Bolehkah?"
Pria itu menatap penuh harap. Perempuan itu, sang penjual luka, mencoba menahan diri. Dia tak ingin merasakan seperti yang dia rasakan saat dengan Dan. Dia tak mau jatuh cinta lagi yang bisa saja justru menambah luka, bukan menghilangkannya.
Cinta memang selalu memabukkan. Cinta selalu memberi harapan. Dia merasakannya bersama Dan. Merasakan cinta yang memabukkan. Cinta yang selalu bergelora dari detik ke detik, menit ke menit. Tapi cinta pula yang kemudian menjadi prahara yang tak berkesudahan sejak Dan pergi menjelang sore. Menjelang masa yang selalu memberi harapan.
"Bolehkah saya membeli secuil?"
Perempuan itu tergagap. Dia baru menyadari di depannya masih ada pria itu. Pria dengan dandanan biasa tapi unik. Dan, aku tak mau jatuh cinta kepadanya.
"Kenapa Anda tertarik dengan luka saya?"
"Karena Anda menjualnya. Saya belum pernah bertemu perempuan seperti Anda, yang menjual luka meski mungkin tanpa pembeli bahkan dikatakan aneh. Apalagi di tempat seperti ini. Anda tentu punya alasan mengapa menjual luka. Mungkin bukan luka biasa yang dimiliki orang-orang di luaran sana. Tak mungkin Anda menjualnya kalau semua orang pernah merasakan atau memiliki luka yang sama. Semoga analisis saya salah."
Dan, aku tak ingin menceritakan kepadanya.
"Anda mungkin akan menjadi pembeli pertama luka saya."
"Berarti saya akan mendapat bonus?"
Perempuan penjual luka tersenyum. Pria calon pembeli luka tersenyum.
Dan, aku akhirnya bisa menjual secuil luka itu. Kepada seorang pria yang entah datang dari mana, kemudian menawar luka yang selalu tersimpan rapi meski selalu bergejolak dan meronta. Dia seakan memaksa.
Setelah ini aku tak akan pergi ke mana-mana. Aku ingin menetap di kota ini. Aku tak ingin lagi menjajakan luka seperti yang sudah aku lakukan di beberapa kota. Aku tak mau luka ini habis dan menggerus kenangan bersamamu. Biarkan hanya secuil yang terjual dan bagian lain tetap tersimpan seperti sediakala.
SENJA hampir habis. Perempuan itu masih duduk di kursi di pinggir jalan pusat keramaian. Matanya memandang lurus, menatap lalu-lalang kendaraan yang tak putus-putus seperti iring-iringan rayap pindah rumah. Menatap senyum bahagia yang menerobos dari balik semua mobil.
Di kursi lain di sebelah kanannya ada sepasang muda-mudi sedang kasmaran.
Dari tatapan mata mereka keluar cinta. Dari tangan mereka yang saling bertautan keluar cinta. Dari jarak duduk mereka yang tak tersekat keluar cinta.
Perempuan itu iri. Dia kemudian melengos. Berdiri lalu melangkah ke sudut lain. Mencari pemandangan yang lebih segar di taman yang tiba-tiba muncul seakan disulap sebelum gelaran akbar di kota ini. Para petinggi beberapa negara datang dan terpuaskan karena mendapat suguhan sesuai harapan.
Tapi mereka tak pernah tahu, kota ini penuh luka. Luka yang muncul dari janji-janji manis para penguasa saat masa kampanye. Bagi mereka, kesejahteraan adalah hal mutlak yang harus dimiliki setiap orang. Maka, mereka menjaminnya kalau terpilih kelak.
Janji manis memang selalu memabukkan. Tapi siapa peduli dengan koar-koar mereka? Tak ada mau tahu meski kemudian mendatangi tempat pemungutan suara dan memilih satu di antara foto yang ada di kertas suara saat di dalam bilik.
Bukan, bukan karena hati nurani. Tapi karena beberapa saat sebelumnya ada seseorang datang ke rumah dan memberikan aplop. Entah apa isinya.
Ada luka yang selalu tersimpan di kiri kanan jalanan yang selalu penuh sesak oleh kendaraan keluaran terbaru. Ada luka yang terpampang di spanduk taman kota. Ada luka di pohon-pohon penyejuk yang akarnya keropos.
Perempuan itu masih berjalan. Menyusuri jalan yang khusus untuk pedestrian di depan gedung-gedung tua peninggalan masa kolonial. Pikirannya mengambang. Hendak terbang menembus ruang-ruang seantero kota.
Langkahnya berbelok ke sebuah kafe. Masih sepi. Dia duduk di dekat jendela. Memesan minuman dengan kadar alkohol rendah. Waitress datang mengantar pesanan. Dibukanya kaleng minuman dan diteguk isinya.
Di luar, berjejer bendera Merah Putih di tiang depan masing-masing kafe. Berkibar.
Dan, aku kesepian. Bolehkah kujual luka kota ini? Sebab aku sudah janji tak akan kujual lukaku lagi.