Apa yang anda lakukan, ketika anda berbeda pendapat dengan sahabat anda? Apa yang anda lakukan, ketika anda berkonflik tajam dengan kolega anda? Apa yang anda lakukan, ketika anda memiliki visi hidup dan keinginan yang berbeda ekstrem dengan kekasih anda? Biasanya orang akan mengambil satu pilihan, yakni pergi; cari pacar lagi, cari teman lagi, cari tempat kerja lain yang lebih cocok, atau cari kolega lain yang mengerti jalan pikiran kita.
Di dalam tulisan ini, dengan berbekal pemaparan yang amat menarik dari O’Dwyer, saya akan mencoba menjelaskan pandangan Žižek tentang cinta. Seperti biasa, pandangannya amat dipengaruhi oleh aliran filsafat sekaligus psikoanalisis yang ia dalami selama ini. Sebagai upaya pengembangan, saya juga akan mencoba menarik konsekuensi logis pandangan Žižek khusus untuk konteks pernikahan. Bagi Žižek, cinta adalah suatu untuk mencintai yang seolah “tak dapat dicintai”. Cinta lahir dari kebebasan, dan tidak pernah dapat diperintahkan, apalagi dipaksakan. Saya akan jelaskan lebih jauh.
Slavoj Žižek dikenal sebagai seorang filsuf psikoanalis ternama di dunia. [1] Ia memiliki gaya yang unik dalam menyampaikan pemikirannya. Seringkali ia tidak menolak kontradiksi (bersatunya hal-hal yang berbeda, seperti jahat sekaligus baik, hitam sekaligus putih), melainkan melihatnya sebagai suatu gerak realitas yang alamiah.
Salah satu argumennya yang paling banyak tampil di berbagai forum adalah, bahwa budaya massa sekarang ini, mulai dari film sampai dengan berbagai bentuk gaya hidup, adalah suatu bentuk mitos ataupun tipuan yang menutupi realitas ganjil yang tersembunyi di baliknya. “Dia”, demikian tulis O’Dwyer, “bukan filsuf biasa, karena ia berpikir dan menulis dengan gaya yang ceroboh sekaligus menyenangkan, ia terus membuat filsafat dengan penuh resiko menjadi menyenangkan.” (O’Dwyer, 2012)
Titik tolak Žižek adalah salah satu ajaran Kristiani tentang cinta, yakni cintailah tetanggamu. Dalam arti ini, menurut saya, kata tetangga bisa diartikan sebagai orang lain, “yang lain” dari saya. Pertanyaan berikutnya adalah, siapa itu orang lain, siapa itu “yang lain” dari saya? Untuk menjawab pertanyaan ini, Žižek mengutip pendapat Lacan, orang lain, termasuk tetanggamu, adalah the real itu sendiri. The real adalah yang tak terduga, yang memecah kita dari rutinitas keseharian. “The real”, demikian tulis O’Dwyer tentang Žižek, “adalah orang lain dengan segala kelemahan, kerapuhan, keanehan, dan kesalahan yang sifatnya traumatik.” (O’Dwyer, 2012)
Mencintai orang lain berarti mencintai tidak hanya sisi-sisi baiknya, tetapi juga sisi-sisi traumatis yang tak terduga, yang terkandung di dalam dirinya. Mencintai yang terduga berarti tidak mencintai sama sekali, karena kita sudah menebak, dan mengkalkulasi dirinya. Mencintai baru bisa dianggap sungguh mencintai, ketika kita mencintai orang-orang yang tak terduga, yang tak dapat kita terka, yang tak dapat kita bungkus dalam kesempitan konsep pikiran maupun keinginan kita.
Di dalam dunia sehari-hari, kita sering mendengar kata-kata luhur, seperti toleransi, kasih universal, dan kesetaraan antar manusia. Menurut Žižek, di balik keluhuran kata-kata ini, ada keengganan yang tersembunyi, yakni keengganan untuk bersentuhan dengan “yang lain”, yang tak terduga, dan traumatik. Artinya, wacana yang bersifat luhur tentang cinta kepada manusia lain seringkali justru mematikan upaya kita untuk sungguh mencintai “yang lain”, yang tak terduga, dan traumatik. Orang lain, sejatinya, selalu berbeda, dan selalu mengancam cara hidup dan gaya berpikir kita dengan keberbedaannya tersebut.
Berpikir tentang toleransi, kesetaraan, dan kasih jelas membuat kita berharap, bahwa orang lain akan juga bersikap sama, yakni bersikap baik pada kita. Di dalam realitas, harapan semacam ini tidak akan terwujud. Yang kita dapatkan, dari harapan semacam ini, adalah kekecewaan, karena orang lain ternyata tak dapat diduga, dan bahkan bertindak sama sekali tidak seperti yang kita harapkan. Orang lain, pada dasarnya, adalah traumatik dan mengancam. Cinta yang sesungguhnya adalah mencintai orang yang membuat kita traumatik dan merasa terancam, karena perbedaan yang ia tampilkan.
Pada titik ini, Žižek, sebagaimana dibaca oleh O’Dwyer, mulai berbicara soal hakekat dari manusia, apa artinya menjadi manusia. Tentu saja, seperti bisa langsung ditebak, konsep Žižek tentang manusia bernuansa ganjil dan gelap. Ia tidak berbicara tentang kemanusiaan universal yang bersifat luhur dan mulia, melainkan tentang manusia yang berbeda, yang lain, yang tak terduga, yang tak tertebak, yang mengancam stabilitas sosial yang sudah ada, manusia yang penuh dengan ketidakpastian dan kontradiksi pada dirinya sendiri. Dalam ketidakpastiannya itu, manusia menjadi sesuatu yang lain, yang terasing, dari apa yang umum, dari apa yang sudah diterima sebagai sesuatu yang baku.
Orang lain adalah suatu realitas yang unik, yang tak dapat kita kurung dalam harapan ataupun pikiran yang kita punya. Orang lain adalah realitas yang nyata, yang tak dapat kita hindari dengan ilusi-ilusi harapan yang kita punya tentangnya. Membayangkan bahwa orang lain bisa selalu sesuai dengan apa yang kita harapkan dan pikirkan adalah ilusi yang menciptakan konsep-konsep luhur, seperti toleransi, dan kasih universal.
Mudah bagi kita untuk mencintai orang-orang miskin, orang-orang yang tak mampu, sakit, kelaparan, ataupun kaum minoritas yang jinak. Mudah juga bagi kita, demikian kata Žižek, untuk mencintai orang lain, selama orang lain itu tidak mengganggu hidup kita, cukup jauh dari kita, dan ada jarak yang terus memisahkan saya dengan mereka. Namun, itu bukanlah cinta. Itu hanya tawar menawar. Cinta yang sejati bisa terlihat, ketika orang masuk ke dalam hidup kita tanpa jarak, tanpa rencana, dan kita bisa tetap mencintainya.
Kedekatan itu seringkali menyesakkan. Perbedaan seringkali membuat kita cemas, membuat rutinitas yang telah kita bangun menjadi hancur, dan harus dipikir ulang. Perbedaan yang dekat dengan kita memaksa kita berpikir ulang tentang semuanya. Ketidakmampuan mengelola perbedaan yang mendekat secara tajam dalam hidup kita bisa membuat cinta berubah menjadi kebencian. Dalam arti ini, cinta dan kebencian hanyalah setipis benang. Bahkan Žižek mengatakan, bahwa cinta mengandaikan kemungkinan adanya kebencian di dalamnya.
Mencintai berarti mencintai yang traumatis, yang tak terduga, dan yang mengancam kita dengan perbedaan yang ia tawarkan. Cinta adalah komponen utama dalam pernikahan. Pernikahan yang mengharapkan adanya harmoni akan berujung pada kekecewaan yang mendalam. Justru di dalam pernikahan, belajar dari Žižek, kita perlu untuk siap pada yang tak terduga, tak tertebak, yang mengancam kita untuk mengubah segala hal yang kita pegang selama ini. Pernikahan adalah the real itu sendiri.
Di dalam pernikahan, mudah sekali untuk mencintai orang yang memberi kita kedamaian. Mudah sekali juga untuk mencintai orang yang memberikan kita kebahagiaan. Namun, realitas tidak seperti itu. Banyak pasangan berpisah, karena mereka tidak siap pada yang tak terduga, yang mungkin muncul di dalam hubungan mereka. Di dalam pernikahan, mencintai berarti mencintai “yang traumatis”. Selain itu, bersiaplah untuk bercerai.
Pola berpikir yang sama bisa diterapkan di arena politik. Di alam demokrasi, perbedaan adalah udara yang kita hirup sehari-hari. Yang juga mesti diingat adalah, demokrasi mengandaikan adanya cinta. Bukan cinta yang mengharapkan orang lain (dari etnis, suku, ras, ataupun agama lain) untuk bertindak sesuai keinginan kita, melainkan cinta yang berusaha untuk melampaui dirinya sendiri dengan mencintai orang-orang lain (dari etnis, suku, ras, ataupun agama lain) yang seolah tak dapat dicintai.
Di tengah kerumitan hidup dan kekacauan realitas, Žižek mengajak kita untuk tetap untuk mencintai, terutama mencintai mereka “yang tak dapat dicintai”.
[1] Tulisan ini diinspirasikan sekaligus dikembangkan dari tulisan Kathleen O’Dwyer yang berjudul Žižek on Love dalam http://www.philosophynow.org/issues/77/Žižek_on_Love