PAPUA di benak kita, nampaknya tak memiliki banyak wajah. Dalam beberapa hal, orang kerapkali mendeskripsikannya lewat apa yang mampu dicandra oleh mata. Papua yang berkulit hitam—oleh karena itu mereka primitif, malas, tukang bikin onar, acakadul dan sederet rentetan stereotip negatif yang menyertainya. Singkatnya, cara pandang rasisme dan diskriminatif masih menjadi tumpuan sekian pihak—hingga akhirnya memengaruhi tingkat penerimaan kita terhadapnya.
Saya ingat betul kala pertama kali saya bersinggungan dengan hal sejenis, kala itu saya mengikuti perkuliahan di kelas. Satu kesempatan, dosen saya memperlihatkan sebuah gambar yang terkenal dengan nama Hottentot Venus. Seorang perempuan Afrika, bernama Saartjie Baartman, dalam gambar itu memang nyata adanya. Ia dianggap sebagai makhluk aneh karena warna kulit, bokongnya yang besar, alat kelaminnya yang memanjang dan bagian lain yang bagi orang Eropa dianggap tak biasa. Ia ditipu dan karena keadaan fisiknya tersebut diminta untuk tampil telanjang di setiap acara pameran di Inggris pada abad ke 19. Empat tahun kemudian, ia dijual kepada pelatih binatang di Perancis—dan yang paling tragis, meski sudah meninggal, tubuhnya (tulang-belulang, otak dan kelaminnya) tetap dijadikan bahan tontonan di museum Paris dengan label manusia setengah binatang. Baru pada tahun 2002 lalu, jasadnya berhasil dipulangkan. Bagi saya, untuk pertama kalinya, hal tersebut membuat saya marah sekaligus bertanya: mengapa perbudakan, rasisme dan diskriminasi masih kerap menghantui kita? Mengapa kita, yang tak sedikitpun bisa memilih untuk terlahir dimana dan seperti apa, bisa begitu kejamnya dan merasa istimewa di antara yang lain? Mirisnya, kejadian tersebut terjadi di dunia modern, dunia yang konon membawa arus humanisme.
Puncaknya 14 Juli lalu, wajah tentang diskrimasi dan rasisme mewujud dalam bentuk lain. Asrama mahasiswa Papua di Yogyakarta tengah dikepung oleh pihak keamanan dan beberapa ormas yang tak sepakat dengan rangkaian kegiatan bertajuk “Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Papua Barat”. Mereka direpresi, mereka dianggap separatis, hingga akhirnya sang sultan pun angkat bicara ‘’tanah Jogja haram diinjak oleh para separatis’’. Akibat dari segala diskriminasi seperti itu, yang terbaru adalah pernyataan sikap Aliansi Mahasiswa Papua untuk meninggalkan tanah Yogyakarta, menanggapi pernyataan Sultan terkait separatisme. Singkatnya, di mata kita permasalahan Papua tak pernah beranjak dan berkutat dalam lingkaran itu-itu saja: soal kemerdekaan, separatisme, nasionalisme. Atau dengan kata lain, ia tak jauh-jauh dari persoalan kepemilikan Papua. Ia tak hanya menyangkut persoalan kepemilikan teritori maupun kekayaan alam, tapi juga pergulatan identitas untuk memiliki rasa aman, kebebasan dan kemanusiaan.
Kegagalan Kita Memahami Nasionalisme
Polemik mengenai kepemilikan Papua sering hadir bersamaan dengan pemahaman mengenai bangsa yang kerap ditafsirkan dalam unsur-unsur kebudayaan; seperti etnis, ras, bahasa, nasib dan lain sebagainya. Papua adalah bangsa Indonesia karena kesamaan nasib dan historisitasnya. Atau di lain pihak, Papua bukan bangsa Indonesia karena berasal dari etnis yang berbeda dengan Indonesia. Singkatnya, Papua dimaknai oleh keduanya dengan mengaitkan pada cerminan kebudayaannya di masa lalu. Dan hal tersebutlah yang berimplikasi pada bagaimana kita memaknai konsep nasionalisme atau kebangsaan.
Pemaknaan terhadap bangsa sebagai penyusun tafsir atas nasionalisme menurut Erick Hobsbwan (1983), lebih tepat ditafsirkan sebagai ajaran-ajaran yang ‘dirancang’ daripada pengertian bangsa sebagai komunitas etnis yang telah mapan dan turun temurun. Nasionalisme daripada diakuinya prinsip-prinsip dasarnya lebih kerap dilabelkan sebagai sebuah identitas politik yang justru tidak beranjak dari unsur radikal sebelum nasionalisme itu sendiri bisa hadir. Setidaknya kita dapat menilik pada awal mula berdirinya nation-state. Revolusi Perancis hadir sebagai wujud nasionalisme yang merombak struktur politik dari kesetiaannya kepada penguasa yang tak dapat diganggu gugat, baik agama maupun kerajaan, menjadi kedaulatan di tangan rakyat. Sementara—seperti yang dikatakan Ben Anderson (1983), nasionalisme yang muncul di dunia ketiga bersemai di atas penolakannya terhadap penjajahan. Lalu, terciptalah kesadaran bahwa mereka mempunyai imaji bersama tentang sebuah bangsa. Kemudian Ben menjelaskan secara gamblang bahwa identitas nasional merupakan produksi. Perasaan kesatuan identitas (nasional) tidak muncul berdasar kesadaran akan kesatuan latar belakang budaya, suku, agama, atau golongan sosial, melainkan lebih merupakan “strategi” (produk) sosial-budaya-politik untuk membangun, memproduksi, dan mereproduksi identitas diri (self-identity) baru sebagai negasi terhadap identitas yang dipaksakan oleh kekuatan penjajah. Dari keduanya, meski hadir dalam bentuknya yang berbeda, menandai kita pada prinsip yang sama: individu maupun masyarakat sebagai subjek yang sebelumnya pasif menjadi aktif dan berdaulat. Keduanya melampaui persoalan tentang apa itu etnis, ras, bahasa dan sebagainya. Sehingga menempatkan individu sebagai seorang manusia dan warga negara yang setara. Pada dasarnya nasionalisme justru mengangkat visi humanis—dengan menginjeksikan nilai-nilai kesetaraan, kebebasan, anti penindasan dan demokrasi ke dalam struktur masyarakat yang sebelumnya tertindas. Namun, kini seolah nasionalisme mewujud dalam pernyataanya: right or wrong is my country, bukan right is right dan wrong is wrong. Dengan kata lain yang penting kesatuan harga mati meskipun itu dilakukan dengan cara yang tak manusiawi. Hal tersebut berarti, tak ubahnya sama dengan kesetiaan mutlak kepada penguasa meski nilai-nilai kemanusiaan tercabik. Dalam bentuk ekstrimnya, sekian orang harus berani mengorbankan dirinya demi keutuhan bangsa atau negara.
Negara memandang Papua
Kita telah memahami bahwa nasionalisme melampaui pikiran kita atas kemerdekaan terhadap suatu wilayah atau identitas kebudayaan lain. Ia tak menyoal apakah manusia itu berasal dari bangsa Indonesia atau Melanesia, ras hitam atau putih dsb, namun karena ia seorang manusia maka kemerdekaan dan pastisipasi aktif adalah prinsip mendasar dari hadirnya bangsa, negara ataupun komunitas kecil sekalipun. Kebijakan-kebijakan seperti otonomi khusus, UP4B (Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat) alih-alih menyejahterahkan rakyat Papua, yang ada malah tak pernah menemui kebaikan yang diinginkannya. Lantaran bagi saya sendiri, kehendak umum tersebut menegasikan partisipasi aktif yang menjadi dasar nasionalisme.
Peristiwa di Yogyakarta kemarin merupakan potret kecil bagi kita tentang bagaimana pendekatan militeristik lebih dikedepankan terhadap orang Papua. Ya, Papua memang sudah lama akrab dengan militer. Apa-apa masalah yang terjadi di Papua militerlah solusinya. Kala ada investor mau masuk, militer siap mengamankan. Kala ada yang berontak siap-siaplah ia digilas militer. Begitupun kalau ada ribut-ribut di Papua, militer lah yang berdiri di barisan paling depan. Seolah tidak ada jalan lain dalam mengatasi masalah di Papua kecuali dengan jalan militer.
Barangkali hal inilah yang membuat rakyat Papua merasa jengah lantaran kian hari semakin tertindas. Rakyat Papua barangkali juga sudah tidak memiliki imaji bersama dalam bingkai bangsa Indonesia. Narasi tentang bangsa yang dahulu selalu terbayangkan sebagai sebuah komunitas (community), meski dalam kenyataan komunitas itu ditandai aneka perbedaan atau kesenjangan, dan karenanya selalu dipahami sebagai persaudaraan yang mendalam, kini tidak berlaku bagi Papua. Sebab ia sudah tak memiliki nasib dan perlakuan yang sama dengan saudara mereka di Jawa, Sumatra atau Bali. Ringkasnya, lunturnya semangat nasionalisme dan imaji bersama tentang sebuah bangsa, bukan terjadi dengan sendirinya karena penjajah telah pergi, tetapi justru direproduksi penguasa yang mempunyai akses ke kebijakan publik. Mereka inilah yang menjadi penindas baru bagi rakyat Papua. Tak heran jika rakyat Papua berontak dan menuntut haknya untuk merdeka, bebas dalam menentukan nasibnya sendiri
Saat orang-orang menyeru mengenai persatuan, ia dipahami hanya sebatas menyatunya teritorial kita maupun kebangsaan kita yang didasarkan pada primordialisme. Bukan persatuan atau solidaritas atas nilai-nilai kemanusiaan. Maka saat kita memahami kembali nasionalisme Indonesia maupun di belahan bumi manapun, bukan apakah kita tengah membela persatuan Indonesia atau membentuk negara Papua. Bukan soal ia seorang hitam atau putih maka ia berhak merdeka, namun karena ia manusia yang tak sepatutnya ditindas. Negara dalam bentuk apapun wujudnya, tak akan ada artinya jika nasionalisme tak mengingat prinsip radikalnya saat ia muncul.
Semua orang ingin rasa aman, tentram, damai dan keadilan. Kata-kata itu yang setidaknya banyak terlontar dari pihak pro maupun kontra atas peristiwa di Yogyakarta lalu. Namun, nasionalisme kita hari ini jusru mewujud dalam bentuk ketakutan, kecemasan, kecurigaan dan kerakusan. Maka, saya dan mungkin Anda patut bertanya pada diri sendiri: apakah solidaritas kita terhadap persatuan kemanusiaan telah mati.