Friday, April 19, 2019


Ada tulisan enak di baca pak.

DENNY JA, AYO SEMBELIHLAH 'KAMBING HITAM' ITU

Oleh : Nasrudin Joha

Pilpres tahun ini bukan saja pertarungan antara Jokowi vs Prabowo, tapi juga pertarungan 'Ideologi Survei Denny JA vs Kehendak dan Aspirasi Umat'. Jika pernyataan ini disampaikan Abdullah Mahmud Hendropriyono, baru betul. Bukan mempertentangkan khilafah vs Pancasila.

Kenapa ini pertaruhan Denny JA ? Iya, sebab jika Prabowo menang, maka selesai sudah reputasi, masa depan, dan nasib dapur Denny JA. Kemenangan Prabowo menandai betapa rusaknya kredebilitas, nalar, ilmu dan reputasi seorang Denny JA yang disebut-sebut masuk sebagai orang yang paling berpengaruh versi Majalah Time's pada tahun 2015.

Jika Prabowo menang, maka Denny JA tak jauh beda dengan Jokowi. Bedanya, Jokowi tipu-tipu via kebijakan Pemerintahan sedangkan Denny JA tipu-tipu via survei yang diklaim ilmiah.

Putusan resmi dari KPU belum ada, namun semua lembaga survei yang berafiliasi -termasuk LSI punya Denny JA- telah mengumumkan kemenangan untuk pasangan Jokowi - Ma'ruf. Tidak tanggung, bahkan selisihnya hingga 'dua digit'.

Awalnya, publik tersihir, akibatnya banyak yang dismotivasi untuk terus mengontrol jalannya proses tabulasi dan penghitungan suara. Namun, akses sosial media yang begitu terbuka, membuat nalar publik alamiah melakukan verifikasi atas klaim yang diproklamirkan oleh Denny JA & the Gank.

Mulailah, benang merah yang kusut itu terurai. Puzle demi puzle mulai disusun, bangunan kemenangan Prabowo nampak kokoh, sementara klaim kemenangan untuk Jokowi terlihat rapuh dan nyaris rubuh.

Pertama, netizen mampu menemukan kejanggalan siaran live berbagai stasiun TV swasta yang menunjukan prosentase angka-angka yang mengunggulkan Prabowo - Sandi. Lantas, sejurus kemudian angka itu disulap berubah memenangkan Jokowi - Ma'ruf.

Temuan ini ditampilkan netizen dalam berbagai varian dan versi, ada video, meme, gambar grafik dengan petunjuk lingkaran dan tanda panah, ulasan singkat, dll. Temuan netizen ini kemudian viral di jejaring sosial media, yang tentu saja merobohkan kredebilitas deklarasi kemenangan Jokowi - Ma'ruf oleh lembaganya Denny JA dan konco-konconya.

Kedua, secara perlahan tim Prabowo mampu mengumpulkan jumlah suara real dari formulir C1, bahan utama yang menjadi dasar tabulasi dan penghitungan suara nasional yang digunakan KPU. Bahkan, hingga jumlah data terkumpul sekitar 40 % dari total TPS yang ada.

Meskipun data ini baru 40 %, namun dengan melihat trend dan selisih kemenangan untuk Prabowo mencapai angka 62 %, maka dapat dipastikan angka ini tidak akan bergeser jauh pad hitungan tuntas ketika formulir C1 genap 100 %. Kesimpulannya, deklarasi kemenangan Prabowo memiliki dasar dan basis ukur yang jelas, beda dengan klaim Denny JA yang bermasalah.

Apalagi, menurut sumber tertentu data kemenangan Prabowo - Sandi ini sesuai atau cocok dengan data yang dimiliki Mabes TNI yang dihimpun dari Koramil-Koramil seluruh Indonesia. Mengenai data ini, saya sendiri lebih mengakui keakuratan dan kredebilitas lembaga TNI, ketimbang hasil tebak-tebakan angka Denny JA.

Ketiga, animo publik atas kemenangan Prabowo begitu antusias. Berbeda dengan suasana kebatinan yang terbaca dari gestur, ekspresi wajah dan rona muka, serta aksen bahasa yang disampaikan oleh Megawati, Jokowi, atau tim TKN secara keseluruhan.

Bahkan, beredar juga foto dan video muka masam TKN yang sedang menyimak hasil Quick Qount. Nampak dari raut mukanya, ekspresi itu jika dibaca awam, apalagi ahli gestur dan psikolog, jelas bukan ekspresi kemenangan. Melainkan, ekspresi kegalauan, ketakutan yang sangat atas pengumuman kekalahan yang akan resmi disampaikan oleh KPU.

Berbeda dengan ekspresi netizen yang begitu gegap gempita mengabarkan kemenangan Prabowo. Publik begitu antusias saling mengabarkan kemenangan Prabowo, termasuk di daerah Madura yang menang luar biasa besar.

Bahkan khusus untuk kemenangan Prabowo di Madura, netizen telah menyiapkan berbagai Parang dengan jenis dan macam yang variatif, untuk dipersiapkan bagi La Nyala Mataliti. La nyala, sebelumnya telah bernadzar akan potong leher jika Prabowo menang di Madura.

Nah, ternyata setelah semua terbongkar dan kemenangan yang diumumkan Denny JA bertentangan kehendak dan realitas publik, rupanya si Denny ini lumayan militan. Dia, tetap kokoh pada 'kedustaan' yang diproduksinya dengan tetap membela rilis Quick Qount abal-abal itu, bahkan seperti biasa membumbuinya dengan serbuan meme-meme yang childisc. Nyaris seperti kartunis, bukan lagi seorang peneliti.

Seharusnya, Denny JA segera mencari 'kambing hitam' lantas menyembelihnya sebagai tumbal atas 'tipu-tipu' yang selama ini di edarkan. Dengan menyembelih 'kambing hitam' Denny JA akan terbebas dari dakwaan publik, segera menepi, dan membiarkan publik melupakan kekeliruannya -sebagaimana terjadi di Pilkada DKI Jakarta- sambil membangun relasi lagi dengan pihak yang menang, dan berharap masih mendapat proyek survei agar lembaganya bisa tetap eksis dan survive.

Sayangnya itu tak dilakukan, setidaknya sampai hari ini atau sampai menunggu keputusan resmi KPU. Mungkin, Denny JA mengetahui skenario rahasia tertentu hingga pengumuman resmi KPU sehingga masih berani 'ngotot' atas deklarasinya. Sebenarnya hal ini rawan, karena jika skenario rahasia itu urung dilakukan karena besarnya tekanan publik, maka Denny JA akan sendirian menanggung malu.

Atau bisa juga Denny JA sudah menganggap Pilpres tahun ini bukan lagi pertarungan antara Jokowi vs Prabowo, sebagaimana diterangkan diawal tulisan ini. Denny JA telah menjadikan ajang Pilpres ini sebagai pertarungan kredebilitas pribadi dan masa depan lembaga surveinya. Jika demikian, tentu tak butuh lagi 'kambing hitam' untuk dijadikan alasan atas khilafnya deklarasi survei yang dilakukan.

Saat Pilpres ini sudah diadopsi sebagai pertarungan pribadi Denny JA, maka rumusnya bukan lagi mencari kambing hitam, tapi "RAWE-RAWE RANTAS, MALANG-MALANG PUTUNG".

Denny oh Denny melas sekali nasibmu ? Melawan rakyat itu berat, kekuasaan yang tiran saja bisa terjungkal, apalagi cuma lembaga survei-surveyan ? [].

Monday, April 15, 2019



“Tidak ada orang jujur yang bisa menjadi kaya, karena ketidakjujuran selalu mendapat bayaran lebih daripada kejujuran; Sehingga semakin kaya seseorang makin tidak jujur dan tidak baik adanya” (Plato)

 Ironi hidup di negeri “pemimpin kaya rakyat menderita.”

Indonesia untaian zamrud katulistiwa adalah sebuah negeri bagaikan mutiara yang berserakan terhampar dari sabang sampai merauke. Keindahan negeri yang terposisikan sebagai poros silang strategis antar benua dan antar samudera mengandung kekayaan alam yang luar biasa sampai sampai disebut dalam Al-quran (Dia membiarkan dua lautan mengalir, yang keduanya kemudian bertemu dan dari keduanya keluar mutiara dan marjan Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan?. Sebuah negeri yang Geography Destiny-nya merupakan negeri bahari.

Pesona negeri ini tak lekang oleh banyaknya jutaan penyair yang mengaguminya, sampai takkan habis kata tuk melukiskannya. Ribuan bahkan jutaan pelawat dari pelosok dunia mengunjungi negeri yang pesonanya tak pernah pudar berlipstikan warna abadi, kekayaannya bagaikan mata air yang tak pernah kering. Ribuan jenis buah-buahan dan makanan laksana surga dengan air sungai yang mengalir sepanjang masa.

Dongeng-dongeng dan cerita nenek moyang tentang nusantara yang gemah ripah loh jinawi bukan merupakan isapan jempol belaka. Bukanlah cerita fiktif semacam penghibur untuk sekedar anak bayi yang dininabobokkan, kita sebagai anak bangsa yang terlunta ditanah air sendiri. Fakta empiris telah menggambarkan dengan begitu gamblang sekaligus membuktikan betapa melimpahnya kekayaan negeri bahari ini yang bernama Indonesia. Bahkan ribuan tahun yang lalu Aristoteles filsuf yunani telah melukiskan sebuah negeri bahari ini merupakan benua Atlantis yang dilanjutkan oleh penelitian dan penemuan ilmuwan Santos dari Brazil yang melalui penyelidikannya selama 30 tahun, inilah negeri penggalan surga. The lost Paradise.

Sangat ironis, keadaan tersebut justru berbanding terbalik 180 derajat dengan kondisi rakyatnya, yang masih terlilit hidup kesusahan, kebanyakan rakyat masih berada dalam kemiskinan, inilah ironi negeri bahari yang bernama Indonesia.

Pergantian pemimpin negeri ini hanya berpindah tangan saja tetapi tetep saja kelakuan bak zombi berkulit coklat penghisap rupiah, baik sopil maupun militer lihat saja ketika memimpin yang berubah hanya kehidupan pemimpinnya yang bergelimang tumpukan barang mewah dan tidur beralaskan rupiah tetapi rakyat dan bawahan bahkan institusi tetap tidak berubah. Bila negeri ini pemerintah bilang negeri bahari atau negara maritim sekalipun, pernahkah kita membangun Pangkalan TNI AL yang lengkap dari awal yang memenuhi unsur-unsur tugas Pangkalan? Timbulah kalimat “sepertinya negeri ini ada atau tidak ada pemimpinnya sama saja.”

Ibarat anak ayam mati dilumbung padi. Itulah pepatah untuk menggambarkan kondisi riil rakyat Indonesia. Rakyat hidup dinegeri bahari negeri kepulauan nan kaya dan makmur. Pernyataan tersebut bukan sesuatu yang berlebihan, dengan melihat kasat mata potensi yang ada seharusnya rakyat bisa hidup lebih maju dan sejahtera bahkan bisa lebih sejahtera dibandingkan penduduk Eropa, China, Jepang bahkan juga Amerika sekalipun. Realitasnya adalah rakyat hidup dalam kemiskinan dan kesusahan. Dengan data BPS desember 2014 jumlah penduduk miskin pada maret 2014 sebanyak 28, 28 juta orang (11,25 persen).

Boleh percaya atau tidak dengan data tersebut walaupun dikeluarkan oleh institusi resmi akan tetapi realitanya adalah kemiskinan dinegeri ini jauh lebih besar dari data yang ada. Argumentasinya adalah ukuran miskin dan kemiskinan yang dirilis pemerintah menggunakan ukuran dan perspektif sendiri yang tidak rasional. Bahkan menurut ukuran bank dunia, kemiskinan yang ada di Indonesia masih lebih besar dari data yang dikeluarkan oleh BPS.

Kemiskinan yang terjadi di negeri ini diperkirakan masih lebih dari 60 persen atau sekitar 150 juta jiwa lebih dari jumlah penduduk Indonesia tahun 2015 sekitar 250 juta jiwa. Intinya dengan kekayaan negeri bahari yang melimpah ini kemiskinan masih besar. Menurut Safii Maarif dalam bukunya, Islam dalam bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (edisi kedua, mizan 2015) “Soal angka kemiskinan saya kira yang dilansir BPS itu salah karena faktanya ada setengah dari penduduk yang tidak bisa makan tiga kali sehari.”

Dunia ini akan cukup untuk memenuhi kebutuhan semua makhluknya, namun tak pernah cukup untuk memuaskan satu orang manusia. Berantas korupsi hingga akar-akarnya namun jangan sentuh Istana.

Sangat mengenaskan nasib rakyat negeri bahari Indonesia. Entah karena apa, nasib dan kehidupannya begitu nista dan ironis. Tinggal dan sebagai pewaris dari segala kekayaan alam dari tempat lahir dan leluhur mereka, namun waktu demi waktu kehidupan yang layak seakan enggan menghampiri.

 Tahun berganti tahun hingga abad berganti abad, penindasan dan penjajahan tak pernah beranjak dari kehidupan kita sebagai bangsa. Hanya bentuk dan pelakunya yang berubah dan berganti. Hingga kini kita telah merdeka lebih dari setengah abad, namun esensi kemerdekaan yang berarti rakyat hidup dalam kondisi sejahtera dan terlindungi oleh hukum yang adil seakan akan jauh panggang dari api, seakan-akan hanya fatamorgana dan ilusi yang dibangun oleh para penguasa yang telah tega membiarkan rakyat dalam kenestapaan dan penderitaan.

Harapan untuk hidup lebih baik setelah kekuasaan rezim orde baru telah tumbang masih sangat jauh dari kenyataan. Reformasi yang berlangsung hampir telah melahirkan demokrasi belum mampu mengubah kehidupan rakyat secara signifikan, bahkan telah melahirkan sejumlah elit baru beserta antek-anteknya yang menikmati secara berlebihan dari kekayaan negara. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sistem politik demokrasi dan reformasi telah melahirkan para penindas baru hanya penampilan dan gayanya yang berbeda. Demokrasi telah menghasilkan para pemimpin dan pejabat yang korup, apakah salah bila kita katakan negara kita adalah negeri bahari tempat sarangnya para koruptor?

Dari data yang kita baca dan kita dengar dari berita berita televisi, pemberitaan tentang koruptor hampir tiap hari dan ini bukan drama tetapi yang sebenarnya terjadi, itupun yang ketangkap atau sesuai pesanan padahal yang nyuruh nangkeppun juga korupsi.

Sejarah panjang korupsi dinegeri ini adalah sejarah panjang umat manusia yang take for granted, sudah bawahan orok kata orang Jakarta. Sifat korupsi sudah melekat dengan diri manusia sejak lahir, sama halnya dengan kebutuhan manusia terhadap seks, makan, minum dan sebagainya. Perbedaannya adalah sifat dan perilaku korup berdampak buruk pada kehidupan manusia yang lain, karena korupsi adalah bentuk sifat keserakahan manusia yang tak akan pernah terpuaskan.

Sebab utama korupsi adalah mental dan watak yang dipenuhi nafsu untuk hidup bermewah-mewah dari para pemegang amanah rakyat, alias para penguasa. Nafsu yang sudah melekat dalam diri setiap manusia, maka kemampuan dan kekuasaan untuk mengendalikannya adalah kunci sesorang menjadi korup ataukah amanah.

 Sejarah korupsi diIndonesia merupakan sejarah panjang yang terjadi pada umat manusia diseluruh dunia. Penyakit bawaan orok ini mulai menjadi masif sejak pertama kali VOC memasuki wilayah Nusantara. Dari berbagai sejarah, VOC bangkrut akibat korupsi merajalela yang diambil alih langsung oleh kerajaan Belanda sekitar tahun 1800-an. Aliansi politik yang berpihak kepada VOC yang memuluskan semangat kolonialisme mereka pada bangsa-bangsa di Nusantara. Maka saat itu praktik-praktik suap dan upeti atau gratifikasi terjadi secara terbuka.

Setelah Indonesia merdeka, sistem multipartai saat Orde Lama, mengakibatkan persaingan dan kompetisi yang tidak sehat dalam perpolitikan kita dan partai yang berkuasa akhirnya tergiur untuk melakukan korupsi demi menggali dana-dana untuk politik atau kampanye. Era itu semua hal identik dengan semboyan dan simbol-simbol revolusioner. Maka keputusan pemerintahan Orde Lama menggiatkan gerakan anti korupsi dikenal dengan nama “Operasi Budhi”, mirip-mirip revolusi mental yang kini digaungkan oleh pemerintah sekarang, meski kini gaungnya nyaris tak terdengar karena kala gaduh dengan riuh rendahnya pemberitaan media massa tentang beraneka ragam polemik menyangkut persoalan bangsa lainnya termasuk masalah korupsi pejabat yang masih sedap-sedap dilihat di televisi hampir tiap hari. Dalam praktiknya semangat pemberantsan korupsi pada jaman Bung Karno juga banyak mengalami kendala dan hadangan. Apalagi jika menyangkut pejabat tinggi negara, apalagi memiliki kedekatan-kedekatan khusus dengan sang Presiden.

Rezim Orde Lama pimpinan Sukarno tumbang, Penggantinya Jendral Soeharto mengampanyekan bahwa Orde Baru akan memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah rusak akibat sala urus Orde Lama. Berjalannya waktu korupsi di era Orde Baru juga semakin subur, dan berjalannya waktu operasi tatib yang dikomandoi oleh Laksamana Sudomo akhirnya kempes ditengah jalan. Perlahan tapi pasti, eksistensinya hilang tanpa bekas seperti debu yang dihempas angin.

Saat ini menurut data dari ICW trend korupsi dikalangan pejabat pemerintah baik dieksekutif, legislatif maupun yudikatif semakin marak dan bahkan semakin naik baik dari kuantitas maupun kualitasnya. Catatan yang dirilis oleh ICW dari kasus-kasus korupsi yang terjadi sejak 2010-2014 terus mengalami kenaikan, terutama periode 2013-2014.

Jumlah kasus korupsi yang ditangani oleh penegak hukum, baik kejaksaan, kepolisian dan komisi pemberantsan korupsi pada tahun 2010 adalah 436 kasus. Tahun 2011 sebanyak 448 kasus, tahun 2012 sebanyak 402 kasus, tahun 2013 naik menjadi 560 kasus. Sementara oknum tersangkut kasus korupsi juga terus meningkat pada tahun 2010 sebanyak 1.157 orang, tahun 2013 sebanyak 1.271 tersangka. Maka tidaklah berlebihan bila kita katakan negeri bahari ini adalah sarang para koruptor yang kasusnya terungkap sejak 2005 hingga 2014.

“Kejahatan yang paling sempurna adalah kejahatan yang dilakukan oleh negara. Dibalik setiap harta yang melimpah terdapat kejahatan (Balzac)”

Pihak militer Indonesia telah terlibat dalam kegiatan ekonomi sejak permulaan 1950-an. Hal tersebut dilakukan dalam rangka mencari pendapatan diluar anggaran biasa bagi kepentingan operasi masing-masing komando dan kesatuan militer. Namun ini juga demi kepentingan pribadi politik para perwira dan faksi. Rata-rata bisnis tersebut bersifat ilegal dan vulgar. Bentuk berbagai pungutan dalam pengangkutan barang, penyelundupan dan memberikan perlindungan bagi kejahatan terorganisasi. Ketika rezim militer orde baru berkuasa, bisnis militer bahkan menjadi kegiatan yang resmi dengan mendirikan perusahaan-perusahaan milik militer. Dalam praktiknya, perusahaan-perusahaan milik militer tersebut bekerja sama dengan pihak kapital swasta. Meskipun kini, diera reformasi bisnis-bisnis militer secara resmi telah sangat dikurangi, namun praktik-praktik bisnis dengan pola pendekatan kekuasaan masih marak terjadi. Pemainnya lebih variatif, baik tokoh militer maupun sipil yang memiliki kedudukan kuat dalam politik.

Dari sedikit gambaran diatas, menunjukkan kepada kita bahwa praktik-praktik bisnis dengan model dan cara mafia hingga kini masih terus berlangsung. Maka tidak heran jika kita melihat kehidupan disekitar kita secara gamblang bisa kita rasakan. Sekelompok orang memiliki kekayaan yang sangat luar biasa besarnya disisi lain, dan ini kelompok mayoritas masyarakat hidup dalam kemiskinan dan kesengsaraan. Kata mafia berasal dari italia yang pada awalnya “Mafia” memiliki arti yang positif, yakni laki-laki terhormat yang disebut mafioso. Pimpinannya disebut sebagai Godfather. Dalam perjalanannya, perkumpulan atau organisasi yang terdiri dari orang-orang italia ini banyak melakukan kejahatan-kejahatan yang terorganisasi. Istilah mafia begitu populer ketika imigran Italia mulai masuk ke Amerika dan melakukan bisnis-bisnis ilegal dinegeri Paman Sam.

Setiap wilayah atau bangsa bahkan suku-suku bangsa kegiatan dan aktivitas kejahatan terorganisasi dengan rapi dan juga memiliki istilah sendiri-sendiri, seperti Yakuza di Jepang, Triad di China dan sebagainya. Amerika karena merupakan negara super power dalam banyak hal, termasuk didalamnya dunia seni, baik sastra maupun film, pada akhirnya kata mafia lebih populer untuk menyebut berbagai jenis kegiatan bisnis terorganisasi yang bermain diwilayah abu-abu bahkan melanggar hukum.

Keberadaan mafia di Indonesia kian hari kian mengemuka, salah satunya adalah sektor hukum, sehingga pada tahun 2009 Presiden SBY membentuk Satuan tugas Anti Mafia Hukum berdasarkan surat Keputusan Presiden Nomor 37 tahun 2009 tanggal 30 desember 2009. Menurut Deny Indrayana, Sekretaris Satgas Mafia Hukum diera SBY sembilan wilayah yang menggurita praktik-praktik mafia diantaranya adalah; mafia peradilan, mafia korupsi, mafia pajak dan bea cukai, mafia kehutanan, mafia tambang dan energi, mafia narkoba, mafia tanah, mafia perbankan dan pasar modal, serta mafia perikanan. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa nyaris disemua sektor bisnis yang berhubungan dengan barang dan jasa di Indonesia terindikasi rawan praktik-praktik mafia. Bahkan yang terjadi setelah satgas terbentuk sektor lain yang tidak sepi dari mafia adalah sektor anggaran, bahkan sektor pemakaman di Jakarta, rumah susun dan sebagainya.

Terkoneksi Kepentingan Asing.
Bila ditarik kebelakang secara historis baik para koruptor maupun mafia dan munculnya Undang-Undang penanaman modal ketika masa Presiden Soeharto menjadi sebuah pintu masuk bagi investor migas dunia ke Indonesia. Hal tersebut menjadikan Indonesia salah satu tempat yang menguntungkan dalam bisnis sektor migas.

Agen-agen asing ini dengan sebutan cecunguk asing. Memang praktik pengkhianatan oleh anak bangsa sendiri yang bekerja pada kepentingan politik dan ekonomi asing demi secuil bayaran dengan megorbankan kepentingan nasional sudah terjadi selama berabad-abad dan turun temurun. Para mafioso ini bahkan dikategorikan sebagai orang-orang yang memiliki kedudukan terhormat, dengan pendidikan rata-rata tinggi bahkan lulusan universitas-universitas terbaik diluar negeri.

Apa yang dinyatakan oleh Fuad Bawazir tentang mafia Barkley, mereka para teknokrat merancang pembangunan Indonesia sejak awal orde Baru yang mengadopsi mentah mentah sektor ekonomi versi Bank Dunia, ADB, IMF dan patuh pada instruksi para senator di Washington DC Amerika Serikat. Akhirnya terbukti karena konsep pembangunan semasa Orde Baru dikendalikan oleh kepentingan asing lewat mafioso-mafioso lokal yang disetir oleh IMF dan Bank Dunia, maka fundamental ekonomi kita rapuh, langsung ambruk ketika nilai dolar naik terhadap rupiah, dan Soeharto terpaksa mundur dan meletakkan jabatan Presiden pada mei 1998.

Sejalan dengan pernyataan Ichsanuddin dan Fuad, para mafioso lokal masuk dalam berbagai sektor baik ekonomi maupun migas dan ekonomi, berfikir sangat liberal dan konsepnya lebih berpihak dan menguntungkan para Godfathernya di luar negeri. Bahkan Ichsanuddin menyatakan bahwa organisasi ini terus melakukan kaderisasi mafia hingga saat ini.

Mafia Barkley nama yang sangat populer untuk menyebut para penguasa dibidang kebijakan ekonomi dan keuangan. Maka konsep pembangunan ekonomi kita sejak awal Orde Baru telah dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan asing. Karakteristik terbaca pada sistem ekonomi yang mementingkan pertumbuhan, namun nol dalam pemerataan. Kebijakan ekonomi model tersebut memang tumbuh relatif tinggi dapat tercapai. Namun selain tidak merata, pertumbuhan tersebut sebenarnya keropos karena fundamental ekonomi rapuh, akibatnya terbukti keudian membawah bencana ekonomi besar dan berlarut-larut. Hal tersebut akan diperparah apabila pembangunan hanya mengandalkan utang luar negeri pemerintah. Ketika terjadi ledakan, fundamental ekonomi kita langsung runtuh dan rakyat kecil menjadi babak belur.

Inilah yang harus kita perjuangkan bersama dari lubuk hati yang ikhlas akan muncul pelita-pelita harapan bangsa. Perubahan sosial adalah keniscayaan. Perubahan itu sebuah kepastian yang tidak akan dilawan menjadi seberapa sistematis dan cepat perubahan bisa terjadi. Atau kita lebih senang berjalan lambat seperti kawanan kura-kura atau bergerak dinamis selayaknya semut hitam bak pasukannya Nabi Sulaiman. Meski dunia berpihak kepada kejahatan, karena para penindas pun berkembang biak sangat cepat, Bahkan ketika keadilan sosial, ekonomi, pemerataan, kesejahteraan serta kepastian hukum adalah utopia. Jangan sekalipun kita berpaling dari lahan perjuangan, karena disitulah puncak tertinggi nilai kemanusiaan tumbuh subur. Karena perjuangan mengangkat derajat kemanusian adalah setinggi-tingginya kesalehan sosial.

Sunday, April 14, 2019


73 tahun silam, bangsa Indonesia memerdekakan dan membebaskan diri dari kekuasaan kolonial Belanda dan Jepang. Tiga ratus lima puluh tahun dibawah kekuasaan pemerintah Belanda dan tiga setengah tahun dibawah pendudukan Jepang. Membebaskan negeri ini dari kedua kekuasaan penjajah itu, bukan hal gampang, rakyat Indonesia merelakan darah mereka tumpah-ruah, harta mereka pergi, keluarga mereka terpisah untuk selamanya. Tujuannya bebas dari penjajahan, bebas dari tanam paksa dan bebas dari romusha. Pekik kemerdekaan melalui UU Dasar 1945 disebutkan, sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa…dan penjajahan dimuka bumi ini harus dihapuskan tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan keadilan. Alinea yang lain, menciptakan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Setelah 73 tahun Indonesia merdeka, apakah benar-benar sudah bebas dari penjajahan. Dan apakah bebas dari rasa lapar, bebas dari dari ketakutan. Saya menyaksikan keadaan masi terus berlasung dengan penjajah yang berbeda.


Menurut saya rendahnya pendapatan bukan merupakan ukuran kemiskinan, namun kita bisa lihat bahwa kurangnya pendapatan dapat memengaruhi rendahnya tingkat kesejahtraan, rendahnya tingkat kesehatan, pendidikan dan lainnya. Kita menyaksikan begitu banyak orang menderita sakit tanpa ke rumah sakit, tanpa pertolongan dokter karena mereka tak memiliki uang. Bila kita membuka angka statistik, penduduk negeri ini masih miskin. Kemiskinan penduduk yang hidup dibawa dua dollar perhari memang hanya naik turun dari periode pemerintahan ke pemerintahan yang lain. Kita masih menyaksikan kantong kemiskinan dimana. Hampir semua provinsi kita saksikan memiliki perkampungan kumuh, dan hari ini kita juga masih menyaksikan pengemis di jalan-jalan hampir di seluruh wilayah negeri. Memang negeri ini secara fisik sudah merdeka, namun secara hakiki masih jauh dari panggang dan api. Jurang antara kaya dan miskin begitu berjarak, begitu menganga.

Secara fisik kita menyaksikan gedung pencakar langit menghiasi tanah air begitu mega, kita juga menyaksikan begitu kontras, masih banyak orang tidur dibawa kolong jembatan tidak memiliki rumah, menggunakan ruang dibawah jalan tolong untuk tidur. Kita juga menyaksikan orang tidur didalam kotak bersegi empat di trotoar tidak memiliki rumah. Di trotoar kita juga menyaksikan orang memakai mobil Cadilac, Lexus,Jaguar Sport dan Ferarri. Dengan begitu, mungkin kita bertanya, sudahkah kita warnai negara indonesia menikmati kemerdekaan ini


Melihat negeri ini secara fisik adalah negara kaya sumber mineral, namun hasil hanya sebagian kecil dinikmati oleh penduduk negeri. Bila pada zaman kolonial,Vereenigde Oostindische Compagnie-VOC sudah menguras kekayaan alam negeri ini sejakabad ke-15.VOC mengangkut hasil mineral dan rempah ke negeri mereka di eropa sana. Namun di zaman kemerdekaan, yang sudah berusia 73 tahun, pengangkutan hasil bumi dari tanah air masih terus berlangsung dan hasilnya hanya dinikmati segelintir orang di kekuasaan. Bila dulu usaha dagangadalah VOC, sekarang Trans National Corporation-TNC. Bila dulu dinikmati oleh pemerintah kerjaan belanda, maka sekarang dinikmati oleh sebagian kecil elite yang duduk di kekuasaan negara. Mereka memakan dan menikmati kekayaan bukan hanya dari cara halal, mereka juga melakukan cara haram untuk menikmati kekayaan itu, misalnya korupsi, perampasan tanah rakyat. Pemerintahan kolonial hak untuk hidup rakyat Indonesia, bila melawan tidak segan mereka membunuhnya. VOC setelah mendapat hak Octrooi atau hak khusus untuk memperkuat kekuasaan dagang seperti hak mencetak uang sendiri, hak mendirikan benteng dan membentuk tentara, hak melakukan perundingan dengan raja-raja di Indonesia, hak monopoli dan mengangkat gubernur jenderal.Mendapatkan kekuatan melalui hak Octooi, VOC menggunakan kekerasan untuk menaklukkan rakyat Indonesia yang coba melawan terhadap keinginan mereka. Sebagai contoh, di pulau Maluku VOC mengadakan patroli laut yang disebut pelayaran Hongi dengan tujuan Untuk menangkap dan menghukum rakyat yang menjual/menyelundupkan rempah-rempah ke Portugis dan Inggris. Tidakkan serupa, juga kita masih menyaksikan begitu banyak perampasan tanah disertai kekerasan terjadi di tanah airyang dilakukan oleh TNC. Bahkan, demi TNC, Polisi di negeri rela menembak rakyatnya sendiri, rela menghilangkan nyawa rakyatnya sendiri. Sepertinya tanah lebih berharga dari nyawa. Bedanya, bila dulu kita menyaksikan perampasan harta rakyat dilakukan oleh tentara belanda dan jepang, sekarang dilakukan oleh polisi kita sendiri, polisi yang gaji-nya dibayar oleh rakyat, polisi yang senjatanya dibeli rakyat, lalu dipakai membunuh rakyatnya sendiri.Mungkin penguasa negeri ini hanya memahami makna kemerdekaan untuk dirinya sendiri, membunuh rakyat sekalipun yang penting pendapatan negara dan pertumbuhan ekonomi disumbang TNC itu.


Ir Soekarno, Presiden pertama RI pernah menyampaikan bahwa, Pangan merupakan soal mati hidupnya suatu bangsa; apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka malapetaka. Oleh karena itu perlu usaha secara besar-besaran, radikal, dan revolusioner. Ironisnya hari ini kita. Itulah sebabnya Soekarno meletakkan salah satu fondasi utama negeri ini adalah pertanian, karena penduduknya sebagian besar tinggal di pedesaan dan mereka mayoritas petani.

 Melihat dan membaca surat kabar hampir setiap tahun terdengar ada warga negara menderita kelaparan, menderita kekurangan gizi.

Di Papua Barat misalnya,bila musim kemarau datang, kita mendengar penduduk disana kekurangan pangan dan mereka kelaparan.Kalimantan Timur, yang dikenal dengan kabupaten kaya raya, ternyata banyak memiliki warga yang miskin, terutama di daerah pedalaman yang hanya menggantungkan hidupnya dengan makan satu kali dalam sehari. Di masyarakat miskin perkotaan, kita masih menjumpai banyak anak kekurangan gizi.

Angka kematian balita masih cukup tinggi hari ini, karena mereka kekurangan gizi.Memang sebenarnya pemerintah telah membangun infrastruktur pertanian seperti membangun irigasi dan membuat jalan, dan penyedia energi, namun infrastruktur itu hanya sebagian kecil dinikmati oleh rakyat miskin untuk membangun ketahanan pangan, karena berbayar. Parahnya lagi, sebagai negara pertanian, namun kita masih sering melihat pemerintah melakukan impor kedelai, impor beras, impor gula, kelangkaan cabai.Saya menyaksikan bahwa dibulan puasa tahun  (2012) kelangkaan kebutuhan pokok dipasar seperti kedelai dan lainnya serta-merta memicu melabungkan harga kebutuhan pokok. Saya menyimpulkan keadaan ini menujukkan betapa rapuh-nya ketahanan pangan di negeri yang kata, penyanyi Koesi Plus" tanah surga". Saya juga sependapat dengan Koes Plus, tanah surga, namun saya menambahkan surga bagi para "TNC". Bila demikian, kedaulatan pangan yang seringkali digemborkan pemerintah itu, mungkin tinggal cerita. Hari ini dilaporkan sekitar 13-an juta jiwa terancam rawan pangan . Parahnya lagi dan kotradiksi,pada tahun 2010 terdapat dua puluh persen penduduk Indonesia di atas usia 18 tahun yang termasuk gemuk dan obesitas. Hal ini karena pertumbuhan konsumsi kelas menengah atas naik, karena pendapatan mereka meningkat. Saya juga bisa menyebut yang kaya konsumsinya meningkat, yang miskin konsumsinya menurun.

Buktinya sampai 73 tahun usia kemerdekaan, kita masih terus saja memenuhi kebutuhan pokok sebagian pangan dari impor.


Saya ketika duduk di sekolah dasar, guru kelas memberi tugas kepada saya sebagai pembaca mukadimmah UU Dasar 1945 dan sering juga pemimpin upacara.

Tugas diberikan guru ini seringkali bergantian. Saya masih ingat salah satu alinea dari pembukaan yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Bait itu kalau kita pahami, Founding Farther negeri menetapkan pendidikan sebagai salah tujuan untuk memajukan kesejahteraan umum. Meskipun pada hari ini,73 tahun usia Indonesia, dana pendidikan dalam anggaran pendapatan belanja negara telah menduduki peringkat teratas dari segi jumlah, kita masih merasakan bahwa pendidikan di negeri ini sangat mahal.

Layaknya seperti di negara maju. Ironisnya lagi, kita sering mendengar pemerintah menyampaikan di depan umum bahwa pendidikan adalah gratis, tetapi faktanya tidak semanis itu. Uang pungutan sana, pungutan sini, uang masuk, uang dan lain-lain menjadikan biaya sekolah menjadi lebih mahal dari yang disampaikan oleh para pejabat negara.


Pada akhirnya saya menyimpulkan 73 tahun usia kemerdekaan negara yang bhineka secara fisik telah mencapai kemerdekaan mengumandangkan proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945 dan diakui secara luas oleh bangsa-bangsa lain di dunia.

 Namun makna kemerdekaan yang sesungguhnya masih belum bisa dikatakan merdeka, karena merdeka berarti bebas, bebas dari rasa lapar, bebas dari ketakutan.Hari ini kemiskinan masih menganga, kelaparan masih terjadi dan pendidikan masih mahal. Gangguan keamanan masih terjadi diberbagai negeri ini, nyawa begitu mudahnya melayang, dan entah dihilangkan oleh aparat negara maupun dihilangkan karena bencana alam.

Penghilangan nyawa juga karena daerah-daerah meminta untuk merdeka. Kalau mau jujur, mungkin saya bisa menyebutnya, negara masih gagal untuk memenuhi kebutuhan rakyat seperti apa yang dicita-citakan para pendiri negara ini sejak awal,Oleh karena itu, marilah kita merenung kembali makna kemerdekaan yang hakiki. bila tidak, boleh jadi Indonesia yang saat ini adalah negara bhineka, mungkin saja kedepan itu hilang bila harapan untuk rakyat itu tak terpenuhi.

Sebab saya menyebutnya, ancaman utama negara ini bukan datang dari negara tetangga atau negara lain seperti Malaysia, Singapura, Philipina dan lainnya, namun ancaman real di usia kemerdekaan 73 tahun ini adalah kelaparan, kemiskinan, pemerintahan yang buruk berupa meraja-lelalnya.

Itulah sebabnya penyebab ini harus diatasi dengan segera sehingga kita menjadi satu kesatuan yang untuh. Sehingga makna kemerdekaan yang kita rasakan sekarang bukan sekedar merdeka terdengar ditelinga merdeka berarti bebas dari melek huruf, bebas dari kelapran, bebas dari kemiskinan dan bebas dari rasa takut dirampas tanahnya, orang-orang di negeri ini bebas dari perampokkan kemerdekaanya.

Saturday, April 13, 2019




Manusia itu berbeda-beda, baik watak, sikap, cara berpikir, cara bertindak hingga cara melakukan pendekatan antar manusia sungguh berbeda-beda.

Dalam lingkungan kita terkadang kita sering menemukan prilaku orang yang menghalalkan segala cara demi mencapai keinginannya. Untuk mendekati orang yang lebih besar powernya atau yang menurutnya hebat terkadang hal tak terpuji ia lakukan, ia sanjung-sanjung dan memuji secara berlebihan orang yang besar akan power dan pangkatnya dengan tujuan mendapat balasan yang menguntungkan baginya. Perilaku atau sikap yang demikian orang-orang menyebutkan cari muka atau bermuka dua. kata yang lebih halusnya "penjilat".

Taukah bahwa penjilat itu tidak mengenal setia, dia hanya memanfaatkan power dan kekuasaan orang lain demi mendapat keuntungan dan kepentingan pribadinya. jika tak lagi dibutuhkan maka ia sangat gampang mengkhianati dan berpaling ke orang baru dengan tujuan yang sama.

Mari kita membahas tentang sikap seorang "penjilat". Mungkin ada kesamaan cerita perlu kita sadari bahwa itu hanya suatu kebetulan belaka. Tidak ada niat untuk "khen keu gop, lon cuma bercerita keu awak lhieh punggong gob!". Hehe

Seorang penjilat memiliki ciri khas yang unik , bagaimana tidak! seorang penjilat akan tunduk dihadapan orang yang lebih tinggi powernya dengan cara memuja-muji. Seakan orang yang dipuji tak ada dua, sangat hebat, keren, wow..!!!. Perlu kita sadari hal yang dilakukannya hanya demi mendapatkan apa yang diharapkan.
Ingat  jangan pernah pecaya pada sikap dan kata-kata pujian sang penjilat. Karena penjilat itu tidak beretika, curang, tidak loyal, bahkan dirinya tak pernah ada yang namanya sahabat sejati, semua yang dilakukannya hanya atas kepentingan dirinya. Ia juga tak segan-segan menjatuhkan orang lain dengan cara menikam dari belakang demi sebuah kepentingan pribadinya. Kita perlu mewaspadai sikap orang seperti itu dilingkungan kita sendiri.

Sahabat ku , tidak perlu menjilat untuk mengharapkan sesuatu sama orang lain. Jadilah diri sendiri, kreatif dan profesional.
Yakinlah sesuatu yang diharapkan akan datang dengan sebuah usaha. teruslah berusaha dan bedo'a serta bersyukur.

Kreatif dan profesional dalam melakukan sesuatu jauh lebih bijaksana dan sangat mulia dari pada sikap penjilat.

Saya terkaget-kaget dengan orang yang berkata demikian, “Orang yang suka cari muka itu bisa dikatakan bermuka seribu. Dia bisa bermuka manis dan ramah terhadap banyak orang, tetapi di sisi lain dia akan membuat posisi Anda menjadi jatuh, bodoh dan terpuruk di mata siapa saja”.

Setelah saya kontemplasikan lebih lanjut, ternyata orang yang cari muka itu sama dengan seorang penjilat. Kata “penjilat” bagi kita memang tidak enak, apalagi kadang ada orang yang dikatakan “menjilat  pantat.”  Dalam bahasa Inggris, kata penjilat memiliki beberapa makna yaitu: flatter,  compliment  dan  adulate. Flatter itu berasal dari kata Prancis tua,  flater  yang berarti menyejukkan hati orang dengan kata-kata yang indah. 

Compliment  dari kata Latin, compleo yang berarti  mengisi penuh; di sini berarti mengisi penuh dengan harapan-harapan atau menyenangkan hati.  Adulate  dari kata Latin  adulatus  yang menunjuk pada mengibas-ibaskan ekor seperti yang dilakukan oleh anjing, mengusap-usap, mengibas-ibaskan ekor sambil merayu.

Untuk kita yang pernah kenal dengan penjilat, tentunya ketiga kata (flatter, compliment  dan adulate)  tersebut ada benarnya juga. Ia bisa menggunakan kata yang menyejukkan hati, memuji berlebihan, menyenangkan hati dan merayu sambil mengusap-usap atasan.  

Alī bin Abī Ṭālib (600 – 661) mengatakan bahwa memuji lebih dari yang seharusnya adalah penjilatan.   

Seorang penjilat menggunakan kata-kata indah untuk meluluhkan hati atasan yang punya  power. Dalam dunia pewayangan kita kenal dengan Patih Sengkuni (paman dari Kurawa). Dalam buku yang berjudul  Mahabaratha  tulisan C. Rajagopalachari   menulis bahwa sakuni itu menggunakan akal bulusnya untuk merayu  (to flatter)  Doryudana untuk tidak melepaskan tanah sejengkal pun bagi Pandawa. 

Wayang Purwa (Jogjakarta dan Surakarta), Sakuni atau Sengkuni itu berarti  Saka dan  Uni  yang berarti: dari kata-kata. Dari kata-kata orang bisa menjilat atasannya.
Yang kita alami adalah bahwa para penjilat itu pandai memuji (to adulate)  atasannya setinggi langit demi menunjukkan loyalitasnya.

Namun ironis bahwa sang atasan menganguk-anggukkan  kepalanya karena senang (compliment)  alias mengamini segala pujiannya itu, meskipun dalam kenyataannya tidak terjadi.  Rasullulah SAW besabda  bahwa  menjilat bukanlah termasuk karateristik moral seorang mukmin (Kanzul Ummat, hadits 29364). 

Bahkan sebenarnya budaya ini lebih dekat pada karateristik seorang munafik.
Pepatah Inggris menulis,  “A rich man’s joke is always funny” –  kelakar orang kaya selalu terdengar lucu. Meskipun kelakar orang kaya itu  kadang tidak bermutu namun orang-orang di sekitarnya selalu tertawa, terutama mereka yang suka menjilat.

Dari pepatah tersebut, kita bisa meneraa bahwa  orang-orang kaya atau pemimpin memiliki banyak yes-man.  Yes-man dilukiskan sebagai orang-orang yang meng-iya-kan apa yang dikatakan atasannya.  Kepalsuan tidk ada yang abadi. Suatu saat jilatannya pasti akan terbongkar. Maka benar apa yang dikatakan  oleh penulis Novel: Jean Paul Richter ( 1763 – 1625), “Lebih mudah menjilat daripada memuji. 

Berbahagialah orang yang tidak perlu menjilat.”
Mental  yes-man itu dikritik oleh John Maxwell (lahir 1947 –    ). Ia berkata, “Team yang solid bukanlah terdiri dari para yes-man, karena mereka adalah para penjilat.”  

Ia mengatakan bahwa team yang positif adalah mereka yang konstruktif dan suportif  tetapi kritis. Artinya bisa saja team  itu saling berbeda pendapat dengan pemimpinnya tetapi dalam perbedaan itu sebenarnya sedang memberi perspektif  yang berbeda (second opinion).

Kita patut mengacungi jempol kepada para raja yang otoriter karena mereka kebal dengan para penjilat. 

Lihat saja Louis XIV (1638 – 1715) yang disebut juga Raja Matahari, Le Roi Soleil. Ia mengatakan bahwa dirinya adalah Negara, “L’État, c’est moi.” Barangkali apa yang dikatakan oleh Raja Matahari itu merupakan kata-kata dari Niccolō Machiavelli (1469 – 1527) dalam bukunya yang berjudul  The Prince. Tulisanya, “Raja adalah pemimpin mutlak. 

Ia harus melarang secara mutlak usaha-saha untuk memberikan nasihat kepadanya, kecuali sang raja menghendakinya…” 

Friday, April 12, 2019


Dari Nazi hingga Newt Gingrich, menunjukkan cara-cara bagaimana pemerintahan-oleh-rakyat dapat binasa dari muka bumi. Mungkin demokrasi — seperti semua hal yang dibuat oleh manusia—adalah sesuatu yang tidak abadi, yang menua dan mati.


Menuju apa, tepatnya, kita terjun? Kita merasa bahwa momentum berbagai peristiwa membawa kita ke arah sesuatu yang mengerikan. Apakah ini kembali ke fasisme? Atau akankah masa depan kita terlihat seperti Eropa Timur saat ini—demokrasi yang tidak liberal? Atau apakah teknologi begitu cepat membesarkan hidup kita, sehingga demokrasi cenderung memberi jalan untuk yang saat ini terjadi dan itu belum memiliki nama? Dan siapa “kita”? Apakah itu Amerika Serikat, yang mana di antara negara-negara Barat, telah menempatkan sesosok musuh terhadap kebebasan individu di jabatan tertinggi? Atau akankah pandangan yang lebih luas menunjukkan kepada kita, bahwa sebagian besar Eropa menuju ke arah yang sama? (Pemilu di Italia dapat berfungsi sebagai penunjuk arah.)

Saya telah membaca buku-buku yang sudah lama ada, yang sangat banyak dipasarkan akhir-akhir ini seperti donat. Ada ‘Bagaimana Demokrasi Mati’ oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt; ‘Bagaimana Demokrasi Berakhir’, oleh David Runciman; ‘Rakyat VS Demokrasi’, oleh Yascha Mounk; dan ‘On Tyranny’, oleh Timothy Snyder . Anda harus kembali lebih dari satu abad yang lalu—sampai 15 tahun sebelum Perang Dunia I—untuk menemukan saat lainnya ketika begitu banyak pemikir terkemuka—Herbert Croly, Walter Weyl, Nicholas Murray Butler, dan lainnya—yang mempertanyakan masa depan demokrasi. Tapi pada saat itu, negara-negara belum menyerah pada ideologi totalitarianisme. Kemana pun arah terjun Amerika dan Barat saat itu, saat ini jauh lebih mengerikan.
Analogi yang paling jelas dan menyedihkan pada momen kita saat ini adalah tahun 1933. Itulah kesimpulan buku Snyder—yang sebenarnya adalah semacam produk berukuran kecil yang biasanya diletakkan di samping kasir toko buku—hari akhir diformat ulang sebagai hadiah. Cukup tepat, Snyder memiliki 20 pelajaran demokrasi, dimulai dari “institusi pertahanan” hingga yang ringan seperti, “Lakukan kontak mata dan obrolan ringan.” Dia telah menulis ‘Hari Selasa bersama Morrie’ tentang anti-fasisme.
Snyder mengacu pada pengetahuan agamanya tentang totalitarianisme pada abad ke-20, untuk menawarkan kesejajaran antara saat-saat itu dan masa depan kita sendiri. Dia mengutip sebuah surat kabar Yahudi Jerman pada hari-hari setelah Hitler berkuasa, dan menolak pandangan bahwa Hitler akan melakukan apa yang dia katakan akan dia lakukan, karena “sejumlah faktor penting terus memeriksa pemegang kekuasaan.” Jadi, Snyder mengamati—seperti yang dipikirkan oleh banyak “orang yang masuk akal” saat ini—sedikit perhitungan bagaimana pemimpin otoriter dapat melawan institusi yang membawa mereka ke kursi kekuasaan.
Kita semua berpikir tentang tahun 1933, tentu saja. Bukankah itu pelajaran persetujuan diam-diam Jerman dengan Hitler? Dan sama seperti Pascal yang berpendapat bahwa kita lebih baik bertaruh pada keberadaan Tuhan daripada tidak, karena konsekuensinya jauh lebih buruk jika kita salah karena tidak percaya daripada jika kita salah karena percaya, jadi kita akan bodoh jika berpikir—seperti yang dilakukan orang Jerman—bahwa “Itu tidak mungkin terjadi di sini.”
Masalah dengan analogi Pascal adalah adanya konsekuensi yang sangat nyata, dan terkadang menghancurkan, untuk bertaruh pada yang tak bisa dikatakan. Ketika pemimpin Yahudi sayap kanan—dan pengikut evangelikal mereka—mengatakan “tidak akan lagi,” mereka mencoba untuk menggertak lawan mereka untuk membela Israel dengan segala cara, bersiap untuk berperang dengan Iran, meninggalkan Palestina dengan nasib mereka, dan seterusnya.
Anda tidak bernegosiasi dengan fasis; Anda melindungi diri Anda sendiri, dan institusi Anda, melawan mereka, seperti yang disarankan oleh Snyder. Tapi ini adalah kesalahan serius untuk membiarkan kemungkinan terjadinya bencana yang sangat kecil, untuk mengaburkan kemungkinan yang lebih besar dari penyakit yang lebih rendah. Mengatakan mengenai tahun “1933” sama seperti mengatakan kepada orang-orang yang memilih Donald Trump atau Marine Le Pen atau Brexit, bahwa “Anda adalah brownshirts(anggota Nazi)”. Tapi itu menghilangkan banyak pilihan.
Apakah saat ini benar-benar seperti tahun 1933? Donald Trump dengan jelas ingin menjadi seorang otoriter, dan sebagian pendukungnya akan mendukungnya jika dia mulai membongkar institusi-institusi utama. Untungnya, Trump tidak memiliki rencana atau bakat jahat yang dibutuhkan untuk melakukan hal itu. Terlebih lagi, institusi Amerika jauh lebih kuat daripada negara-negara Eropa mana pun pada tahun 1930-an. Tingkat kekerasan politik jauh lebih rendah.
Seperti yang David Runciman tekankan, negara-negara seperti Mesir dan Turki terlihat lebih mirip dengan Jerman di antara peperangan, sementara negara-negara Eropa yang menyerah pada fasisme telah membangun kekebalan yang kuat terhadapnya: Lihatlah semangat para pemilih Prancis tentang nilai “republikan” dalam menghadapi Le Pen. Runciman berpendapat bahwa Trump tidak akan pernah berubah menjadi Hitler, dan mungkin memang begitu. Pada saat yang sama, Trump mungkin mewakili sesuatu yang sama-sama berbahaya, walau kurang dramatis.
Erosi yang berbahaya adalah motif utama dari ‘Bagaimana Demokrasi Mati’. Levitsky dan Ziblatt (mari kita panggil mereka L&Z untuk jangka pendek) juga menakut-nakuti kita dengan cerita dari masa lalu fasis. Tapi cerita yang mereka ceritakan adalah salah satu kepercayaan yang cukup lamban sehingga bisa luput dari perhatian saat itu. Demokrasi memiliki mekanisme “penjaga gerbang” yang menjaga anti-demokrat dari kekuasaan; pikirkan koalisi tengah-kiri/tengah-kanan yang sekarang berpihak pada partai-partai sayap kanan di sebagian besar Eropa Barat. Bagaimana, L&Z bertanya, mekanisme tersebut gagal? Di Amerika Serikat, mereka menulis, Konstitusi menyaring pilihan seorang presiden melalui sebuah pemilu yang terdiri dari para pemimpin politik.
Peran itu beralih ke partai-partai, yang membuat gagasan sayap kanan seperti Charles Lindbergh dan Henry Ford. Tapi hierarki partai mulai runtuh setelah tahun 1960-an. Di Partai Republik saat ini, penjaga gerbang adalah Sean Hannity dan Laura Ingraham dan Asosiasi Pemilik Senjata Nasional (NRA). Mereka menyaring gagasan di dalam, bukan di luar. Di Eropa, individu karismatik dapat menciptakan partai mereka sendiri, seperti Emmanuel Macron, Jean-Luc Mélenchon, dan keluarga Le Pen di Prancis. Di Amerika Serikat, di mana peraturan pemilu tidak menyukai pihak ketiga, individu semacam itu dapat menaklukkan sebuah partai dari luar—setidaknya dia bisa, jika itu adalah Partai Republik. Pintu gerbang terbuka.
Dalam ‘Demokrasi di Amerika’—yang ditulis pada saat prospek demokrasi Amerika terlihat lebih baik daripada yang mereka lakukan saat ini—Alexis de Tocqueville mengamati bahwa undang-undang berbuat lebih banyak untuk membentuk republik Amerika, daripada mendapatkan manfaat geografi yang tidak disengaja, namun “kebiasaan” itu—yang dia definisikan sebagai “berbagai pengertian dan pendapat terkini di antara manusia” baik di bidang agama atau kehidupan sipil—memiliki pengaruh yang lebih besar. Kata yang kita gunakan hari ini untuk merujuk pada pendapat yang tidak teruji itu adalah “norma.” Di sini, L&Z membuat kontribusi penting bagi pemahaman kita tentang mengapa kita menuju ke mana pun yang kita jalani. Menjalankan demokrasi, menurut mereka, bergantung pada dua norma: saling toleran dan penahanan diri.
Prinsip pertama, dan yang lebih jelas, memerlukan legitimasi untuk lawan kita. Kebencian populis terhadap elit telah membuat prinsip ini terasa sama kuno dengan kode pertarungan Perang Dunia I; Sejumlah besar sayap kanan benar-benar percaya bahwa Hillary Clinton adalah Setan.
Partai Republik telah menambang pemikiran ini sejak partai tersebut diambil alih lebih dari dua dekade yang lalu oleh Newt Gingrich, yang retorika kata-katanya yang terkenal mengilhami “memo GOPAC” tahun 1990, yang mendesak kandidat legislatif Partai Republik untuk menggunakan bahasa untuk menyoroti “kepemimpinan positif optimis” mereka—bendera, keluarga, anak, pekerjaan—dan “secara kontras” menggunakan kata-kata untuk menggambarkan lawan Demokrat mereka: anti-, mengkhianati, menipu, korup, menghukum. Jika perilaku tahun 1933 menjadi jenderal sayap kiri, saling intoleransi akan menjadi pemimpin tertinggi di semua sisi.
Penahanan diri adalah gagasan yang lebih sulit dipahami; L&Z menggambarkannya sebagai keputusan berprinsip untuk tidak menggunakan semua kekuatan semena-mena—untuk menghindari “kekejaman konstitusional.” Ketika penahanan diri gagal, pengekangan demokratis tampak aneh.
Penulis menggambarkan kejadian menjelang kudeta Chili pada tahun 1973 sebagai permainan kekejaman konstitusional yang terus meningkat, masing-masing melakukan segala daya untuk menghalangi yang lain. Di negara-negara demokrasi yang lebih maju, kegagalan penahanan diri membuat demokrasi semakin tidak berfungsi, seperti halnya dengan meningkatnya ujaran interupsi yang bertele-tele di Kongres. Keputusan pemimpin Republik pada tahun 2016 untuk menolak mempertimbangkan kandidat Mahkamah Agung Presiden Barack Obama, Merrick Garland, merupakan pelanggaran yang hampir belum pernah terjadi sebelumnya. Dan satu kegagalan mengobarkan yang lain, karena saingan yang dianggap tidak sah, hampir tidak dapat diberi ruang untuk melakukan rancangan jahatnya. Akhirnya, konsekuensinya bisa jauh lebih daripada kemacetan.
Ini adalah bagaimana demokrasi mati: melalui erosi perlahan terhadap norma-norma yang melemahkan institusi demokratis. Atau mungkin penyakit kita yang benar, tapi pasiennya salah. Apa ini artinya mengatakan bahwa demokrasi terancam ketika Donald Trump dan Viktor Orban dari Hungaria dan Partai Hukum dan Keadilan Polandia, terpilih secara adil? Mungkin yang sedang sekarat bukanlah “demokrasi.”
Menurut Yascha Mounk—yang berada di fakultas di Harvard seperti L&Z—demokrasi, yang dipahami sebagai sistem politik yang dirancang untuk menjamin kepemimpinan oleh mayoritas, dalam keadaan baik-baik saja, bahkan semua terlalu baik; Yang berada di bawah ancaman adalah nilai-nilai yang ada dalam pikiran kita ketika kita berbicara tentang “demokrasi liberal.” (‘Rakyat VS Demokrasi’ adalah judul yang menyesatkan; subjek Mounk sebenarnya adalah “rakyat VS liberalisme”, atau “liberalisme VS demokrasi”, Meskipun beberapa editor pasti memujinya karena menggunakan versi Godzilla VS Mothra.)
Mounk melacak munculnya partai-partai populis di seluruh Eropa. Apa yang dimiliki oleh partai-partai ini, tulisnya, adalah suatu keinginan untuk memanfaatkan mekanisme mayoritas—terutama, surat suara—untuk mempromosikan sebuah visi yang memusuhi hak-hak individu, peraturan hukum, penghormatan terhadap minoritas politik dan etnis, dan kesediaan untuk mencari solusi kompleks untuk masalah yang kompleks. Ini adalah demokrasi yang tidak liberal.
“Demokrasi tanpa hak,” seperti yang juga disebut Mounk, merupakan reaksi sekaligus provokasi untuk, “hak tanpa demokrasi,” atau “liberalisme yang tidak demokratis”—sebuah rumusan yang pertama dibuat oleh ilmuwan politik Belanda Cas Mudde, meskipun tidak disebutkan di sini. Jika mayoritas tidak mendukung hak-hak liberal, atau khawatir mereka tidak mendukung hak liberal, elit menciptakan mekanisme, termasuk judicial review, birokrasi federal, dan badan perjanjian internasional, yang hanya secara tidak langsung bertanggung jawab kepada publik. Apakah itu baik atau buruk? “Pagar pembatas” oleh L&Z adalah ringkasan demokrasi Mounk. Kemudian, bagaimana kita memikirkan hubungan antara liberalisme dan mayoritas demokrasi?
Prinsip liberal pada dasarnya tidak bersifat mayoritas.
John Stuart Mill—filsuf liberal Victoria yang terkemuka—tidak pernah mempercayai masyarakat luas untuk melindungi kebebasan individu, dan karenanya cukup puas dengan sistem pemilu yang menolak pemungutan suara sampai sembilan per sepuluh atau lebih dari orang dewasa Inggris. Namun di abad ke-20, negara-negara Barat menjadi liberal dan demokratis.
Mengapa saat ini kita melihat dua prinsip ini terpecah? Mounk menyimpulkan bahwa demokrasi liberal berkembang dalam tiga kondisi: media massa yang menyaring ekstremisme; pertumbuhan ekonomi dan mobilitas sosial yang luas; dan homogenitas etnis yang relatif. Ketiga landasan itu kini hancur berantakan. Dan seperti yang telah terjadi, demokrasi yang tidak liberal dan liberalisme yang tidak demokratis semakin meningkat satu sama lain. Pemungutan suara Brexit—sebagai satu contoh—memiliki pandangan internasional liberal dan teknokrat Uni Eropa yang melawan “orang Inggris kecil”, yang merindukan sebuah dunia tradisi dan pekerjaan yang stabil.
Mounk mengatakan bahwa waktunya telah tiba untuk mempertimbangkan kembali kebohongan bahwa negara-negara demokrasi liberal menjadi “kuat” dan tidak lagi berisiko mengalami kemunduran, setelah dua kali pertukaran kekuasaan berturut-turut. Polandia dan Hungaria, menurutnya, “mundur” ke demokrasi yang tidak liberal.
Saya sangat setuju dengan Mounk, dan telah banyak menulis tentang bangkitnya demokrasi yang tidak liberal di Eropa Timur dan di sini. Tapi saya bertanya-tanya apakah, sebenarnya, kegagalan liberalisme dan demokrasi saling menguatkan. Kelompok minoritas telah semakin banyak belajar bagaimana mencegah mayoritas agar tidak mengubah kemauan mereka menjadi undang-undang. Di Amerika Serikat, hal ini membuat kelompok kepentingan bisnis atau kelompok seperti NRA, untuk menggunakan kekuatan keuangan mereka untuk memblokir undang-undang populer, dan untuk memajukan kepentingan mereka sendiri. Di Prancis, sebaliknya, serikat pekerja telah mampu melumpuhkan negara tersebut untuk membunuh reformasi pasar kerja. Ketidakmampuan negara untuk memerintah, mengasingkan warga negara dari pemerintahan, dan memicu partai-partai anti-sistem.
Pemilih beralih ke sosok seperti Donald Trump yang mengaku bisa mengatasi masalah hanya oleh dirinya sendiri. Jelas, dia tidak bisa. Namun di Prancis, Emmanuel Macron—pemimpin anti-sistem lain dengan kecenderungan “Jupiterian”—sedang berjuang dalam pertempuran besar untuk menunjukkan bahwa mekanisme demokrasi dapat menyebabkan perubahan ekonomi dan sosial yang nyata. Sejauh ini, dia menang—secercah harapan di Barat.
Apakah semangat demokrasi liberal tunduk pada pembaharuan? Kita mengatakan itu karena kita tidak bisa memikirkan sebaliknya. Tapi mungkin tidak. David Runciman melihat demokrasi bukan sebagai ahli bedah berbakat yang mencoba menyatukan kembali anggota badan yang terputus, namun sebagai antropolog budaya yang meneliti apa yang mungkin merupakan peradaban kuno. Runciman mempertanyakan kesimpulan “teori modernisasi”, bahwa demokrasi adalah titik akhir perkembangan politik.
Mungkin demokrasi—seperti semua hal yang dibuat oleh manusia—adalah sesuatu yang tidak abadi, yang menua dan mati. Dua puluh tahun yang lalu, jurnalis dan sejarawan Robert Kaplan menunjukkan pandangan ortodoksnya dengan menulis esai berjudul, “Apakah Demokrasi Hanyalah Sesaat?” Sebenarnya, demokrasi kemudian berkembang pesat. Tapi mungkin dia hanya terlalu dini.
Runciman berpendapat bahwa sementara kita mencari Luftwaffe (angkatan bersenjata Jerman) yang baru, tanah runtuh di bawah kaki kita. Kudeta sekarang benar-benar menjadi urusan Negara Dunia Ketiga; Sebaliknya, demokrasi maju terancam punah atas nama melestarikan demokrasi. Pendukung Donald Trump cukup yakin bahwa elit liberallah yang mencoba mencuri demokrasi; mereka mencoba untuk menyimpannya.
Bahkan jika Trump sama gelapnya dengan seperti yang dipikirkan oleh Timothy Snyder, Runciman menulis, kita tidak akan pernah memiliki kejelasan yang kita perlukan untuk melawan pertarungan yang baik, karena dia dan para pengikutnya akan sibuk mempertahankan demokrasi dari kita.
Negara-negara demokrasi Barat telah diuji secara mendalam sebelumnya, kata Runciman, entah di Eropa pada tahun 1930-an atau Amerika Serikat di era populis pada pergantian abad ke-20. Tapi demokrasi pada saat itu muda; sistemnya masih “kendur,” seperti yang dikatakan Runciman. Demokrasi dapat menanggapi krisis ekonomi dengan meningkatkan kapasitas baru untuk intervensi negara. Sekarang, Runciman berhipotesis, demokrasi berada di “usia paruh baya.”
Era perubahan bentuk terjadi di masa lalu. Jika benar—seperti yang dikatakan oleh Thomas Piketty dalam Capital in the Twenty-First Century—bahwa sebuah era kesetaraan yang relatif singkat yang sekarang telah memberi jalan kepada era kapitalis dengan ketidaksetaraan ekstrem, apakah demokrasi memiliki kemampuan untuk mengubah peraturan untuk secara lebih adil mendistribusikan kesetaraan? Mungkin tidak, kata Runciman, dengan tidak memihak ilmu sosial.
Runciman berpendapat bahwa warga negara yang rasional dapat memilih alternatif demokrasi. Misalnya, otoritarianisme pragmatis dan non-ideologis saat ini menawarkan “keuntungan pribadi” seperti produk konsumen yang bagus, dan “martabat kolektif” dalam bentuk nasionalisme yang agresif. Itu menjelaskan daya tarik kedua Xi Jinping dan Donald Trump. Bagaimana dengan “epistokrasi,” atau kepemimpinan oleh beberapa orang yang berpengetahuan luas? Yang lebih mungkin terjadi di era Mill, Runciman mengakui, daripada di era kita sendiri.
Mungkin mekanisme demokrasi akan diambil alih oleh internet. Atau mungkin—karena semua mesin dalam hidup kita belajar untuk berbicara satu sama lain, dan memperlakukan kita sebagai data—keseluruhan gagasan tentang diri yang berbeda-beda, dengan paket kebebasan individual mereka yang menyertainya, akan menjadi usang, dan kita akan mengatakan bahwa demokrasi tidak hanya sesaat, tapi terus menerus.
Runciman memiliki pendapat yang cukup rendah tentang kemampuan demokrasi untuk mengatasi masalah-masalah bencana seperti perubahan iklim, sehingga Runciman tidak terkejut jika memikirkan kematian demokrasi yang akan datang.
Bagi kita yang lebih tidak tahan dibanding Runciman, tidak akan senang untuk ikut melihat saat dia membedah ‘mayat’ demokrasi. Kami akan mencari penulis yang lebih terlibat secara moral untuk mendapatkan jawaban. Timothy Snyder akan menyuruh kita memeluk orang yang kita cintai dan kemudian melangkah maju ke dunia dengan pedang yang menyala. Saya tidak setuju dengan itu—paling tidak, belum. (Pada saat Anda siap, saya mendengar Snyder bergumam, itu sudah terlambat.)
L&Z meminta Partai Republik untuk mengusir para otoriter dalam jajarannya—walau tidak mungkin—dan meminta Partai Demokrat untuk kurang lebih melakukan apa yang Partai Demokrat lakukan, untuk memperjuangkan kepentingan minoritas, tapi juga merancang program yang menguntungkan kelas menengah. Mounk—yang lebih sesuai dengan selera saya—mengatakan bahwa kaum liberal harus memperhatikan masalah-masalah illiberal dengan lebih serius, baik dalam bentuk peraturan imigrasi yang diubah, atau untuk menemukan bahasa baru yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah minoritas dan yang terpinggirkan.
Seperti kebanyakan penulis kami, saya tidak suka memikirkan masalah tanpa adanya solusi; Saya memiliki bias terhadap kemampuan mendapatkan solusi. Namun, saya berhenti untuk mengamati apa yang saya temukan dalam setiap karya ini: nasib baik kita bergantung pada malapetaka.
Runciman mengklaim bahwa demokrasi memerlukan dampak yang membutakan terkait perang habis-habisan untuk mengakhiri populisme yang memecah belah, dan meyakinkan warga negara untuk membuat keputusan demi kebaikan publik. Dengan tidak adanya perang, bencana alam akan terjadi. Demokrasi modern tidak terlibat dalam perang habis-habisan, dan melindungi warga negara dari nasib buruk.
Maka dari itu, kata Runciman, adanya gelombang pasang ketidaksetaraan, populisme, teori konspirasi. L&Z mengamati bahwa toleransi bersama tetap merupakan kebaikan yang tak terjangkau di Amerika Serikat, selama Amerika masih terbagi oleh pertanyaan besar tentang ras. Baru ketika Rekonstruksi gagal, dan Partai Republik meninggalkan warga kulit hitam, apakah Demokrat bagian selatan sepenuhnya menerima tempat mereka di sana. Dan ketika Partai Demokrat pada akhirnya mengambil alih hak-hak sipil setelah tahun 1948, mereka menghidupkan kembali ketakutan ras tua tersebut dan mengantarkan kita ke dalam era saling intoleransi.
Mounk, akhirnya, menunjuk pada kaitan antara demokrasi liberal dan homogenitas etnis. Baru setelah pembersihan etnis terparah pada Perang Dunia II menghilangkan sebagian besar keragaman Eropa, menurutnya, apakah demokrasi sepenuhnya berakar di sana. Kini keberagaman mengancam lagi: Risiko terbesar bagi demokrasi liberal di Eropa saat ini adalah kemarahan nasionalis terhadap imigrasi dan pengungsi. “Apakah idealisme dari pemerintahan sendiri,” Mounk bertanya tajam, “membuatnya lebih sulit bagi warga yang beragam untuk tinggal berdampingan satu sama lain?”
Jika pengamatan atau semua ini benar, kita harus melepaskan kemenangan akhir sejarah kita untuk demokrasi liberal dan prospeknya yang lebih tragis. Jika ketidaksetaraan berkembang dalam kondisi damai, toleransi bergantung pada pengucilan, atau keragaman merusak komitmen terhadap liberalisme, maka nilai terdalam kita akan selalu bertentangan satu sama lain.
Isaiah Berlin mengajarkan kepada kita bahwa semua hal yang baik, tidak akan dan tidak bisa berjalan bersama, bahwa liberalisme berkembang hanya di tengah pluralisme sekuler dan skeptis; Tapi kenyataannya masih lebih suram lagi. Mungkin setiap langkah ke depan membutuhkan setidaknya setengah langkah mundur. Mungkin mayoritas demokrasi benar-benar akan terbukti tidak dapat dicapai tanpa pengorbanan nilai-nilai liberal yang nyata. Itu mungkin adalah tujuan di mana kita terjun saat ini.