Empedocles yakin bahwa ada dua kekuatan yang bekerja di alam.
Dia menyebutnya cinta dan perselisihan. Cinta mengikat segala sesuatu, dan perselisihan memisahkannya.
Apakah dia percaya pada Takdir? Dia sama sekali tidak yakin.
Tapi, dia tahu banyak orang yang percaya. Ada seorang gadis di
kelasnya yang membaca ramalan bintang dalam majalah. Namun, jika
percaya pada astrologi, mereka barangkali juga percaya pada Takdir,
sebab para ahli astrologi menyatakan bahwa posisi bintang-bintang
memengaruhi kehidupan manusia di atas Bumi.
Jika kamu percaya bahwa seekor kucing hitam yang melintasi
jalanmu berarti sial—nah, itu artinya kamu percaya pada Takdir,
bukan? Ketika dia memikirkan hal itu, beberapa contoh lain mengenai
fatalisme masuk ke benaknya. Mengapa begitu banyak orang
mengetuk-ngetuk kayu, misalnya? Dan, mengapa hari Jumat tanggal
tiga belas dianggap sebagai hari sial? Itu pasti
karena banyak sekali orang yang percaya takhayul.
"Takhayul." Alangkah anehnya kata itu. Jika kamu percaya pada
astrologi atau hari Jumat tanggal tiga belas, itu adalah takhayul!
Siapa yang berhak menyebut kepercayaan orang lain itu takhayul?
Democritus tidak percaya
pada takhayul. Dia adalah seorang materialis. Dia hanya percaya
pada atom dan ruang hampa.
Sophie berusaha memikirkan pertanyaan-pertanyaan dalam catatan
itu.
Socrates merasa adalah penting untuk membangun landasan yang
kuat untuk pengetahuan kita. Dia percaya bahwa landasan ini terletak
pada akal manusia. Dengan keyakinannya yang tak tergoyahkan pada
akal manusia, jelaslah bahwa dia seorang rasionalis.
Kebenaran Abadi, Keindahan Abadi,
Kebaikan Abadi.
Dalam kata pengantar untuk pelajaran ini, aku katakan bahwa
mempertanyakan proyek utama seorang filosof merupakan suatu
gagasan yang bagus. Maka kini aku bertanya: apakah masalah yang
dipikirkan Plato?
Secara ringkas, kita dapat memastikan bahwa Plato memikirkan
hubungan antara yang kekal dan abadi, di satu pihak, dan yang
"berubah", di pihak lain. (Persis seperti pada masa sebelum
Socrates, sebenarnya.)
Dan, toh dalam satu pengertian, bahkan Socrates dan kaum Sophis
disibukkan dengan hubungan antara yang kekal dan abadi, dan yang
"mengalir". Mereka tertarik pada masalah tersebut karena hal itu
berkaitan dengan moral manusia dan cita-cita atau sifat baik
masyarakat. Secara sangat ringkas, para Sophis beranggapan bahwa persepsi mengenai apa yang benar atau salah beragam dari satu
negara-kota ke negara-kota lain, dan dari satu generasi ke generasi
selanjutnya. Jadi benar dan salah adalah sesuatu yang "mengalir".
Ini sama sekali tidak dapat diterima oleh Socrates.
Dia percaya
akan adanya aturan-aturan yang abadi dan mutlak tentang apa yang
benar atau salah. Dengan menggunakan akal sehat, kita semua dapat
sampai pada norma-norma abadi ini, karena akal manusia
sesungguhnya kekal dan abadi