Monday, April 1, 2019


Jika sejarah Bung Karno kerap dikerumuni mitos, maka sejarah Tan Malaka (selanjutnya “Tan”) berselimut stigma. Dua ornamen yang seharusnya absen dari sejarah.
Tan mungkin adalah founding father yang kerap ditempatkan bukan di mana ia memilih untuk berdiri. Terlebih ketika kita berbicara tentang Tan dan Islam. “Ia komunis dan karena itu ia anti-Islam dan ateis,” begitu stigma yang acap dilekatkan padanya.
Di zaman ketika Tan hidup dan berjuang, komunisme merupakan salah satu kekuatan utama dunia. Posisi komunis di dunia saat itu memang anti-agama, meski sebenarnya belum tentu Islam termasuk dalam kategori dibenci. Sebab, paradigma anti-agama ala komunis saat itu diposisikan di atas diktum “agama adalah candu”-nya Karl Marx.
Dan, seperti kita tahu, diktum itu muncul dari kekesalan Marx pada otoritas Gereja yang dianggap tak berpihak pada perjuangan kaum tertindas di zamannya. Adapun Islam, misalnya dalam tesis Ali Syariati, justru adalah kekuatan bagi kaum tertindas (musthad’afin) dengan inspirasi sahabat Nabi: Abu Dzar al-Ghifari. Dan, dalam konteks ini, Tan tampaknya satu irisan dengan Syariati.
Dalam Kongres Komunis Internasional ke-4, 12 November 1922, Tan berdiri di depan khalayak kongres, berpidato tentang “Komunisme dan Pan-Islamisme”. Sebuah pidato yang, entah kenapa, bisa terdengar sama-sama “sumbang” di telinga para anggota organisasi komunis dunia atau Komunisme Internasional sekaligus kalangan Muslim. Hingga, seperti dikatakan sejarawan Anhar Gonggong, karena pidato itu, ia dipecat dari Komunisme Internasional dan dibenci Muslim.
“… Ketika saya berdiri di depan Tuhan saya adalah seorang Muslim, tapi ketika saya berdiri di depan banyak orang saya bukan seorang Muslim, karena Tuhan mengatakan bahwa banyak iblis di antara banyak manusia! Jadi kami telah mengantarkan sebuah kekalahan pada para pemimpin mereka dengan Qur’an di tangan kita, dan di kongres kami tahun lalu kami telah memaksa para pemimpin mereka, melalui anggota mereka sendiri, untuk bekerjasama dengan kami,” itulah pernyataan Tan yang paling digaris bawahi dalam pidatonya itu.
Tan besar dalam lingkungan Muslim yang taat. “Saya lahir dalam keluarga Islam yang taat. Ibu Bapak saya keduanya taat dan orang takut kepada Allah dan jalankan sabda Nabi, ”katanya dalam Islam dalam Tinjauan Madilog (1948).
Ia memilih untuk bersikap jujur terhadap Islam. Ia tentu seorang komunis. Namun, ia tak anti-Islam. Ia bahkan pernah menaruh harapan pada Pan-Islamisme di belakang “gerbong” Sarekat Islam. Jalan komunis dan Islam tentu berbeda, tapi baginya cita-cita Republik Indonesia mempertemukan keduanya.
Keduanya juga sama-sama berbahan bakar kaum tertindas. “Seperti halnya kita ingin mendukung perjuangan nasional, kita juga ingin mendukung perjuangan kemerdekaan 250 juta Muslim yang sangat pemberani, yang hidup di bawah kekuasaaan imperialis,” katanya. Sebab, Indonesia merdeka sebagai “Republik” adalah inti gagasan Tan yang ditelurkannya sejak 1922 dalam Naar de Republiek. Dan Tan percaya bahwa yang menceraikan keduanya bukanlah lantaran jalan yang berbeda antar keduanya, tapi karena propaganda politik semata.
Maka, ketika berbicara tentang Tan dan Islam, kita harus jujur, juga jernih. Kita harus melepaskan benak dari stigma propagandis bentukan rezim politik mana pun. Politik selalu mengalami kesulitan untuk bersikap jujur terhadap sejarah. Hingga, konon, tak ada sejarah yang sebenarnya, yang ada adalah sejarah rezim ini dan rezim itu.
Bahwa nantinya kita memilih untuk bersikap benci atau suka, kritis atau apresiatif, dan seterusnya atas Tan dan semua tentangnya, itu benar-benar hak kita masing-masing. Selama ia muncul dari kejernihan dan kejujuran, itu harus dihargai, juga dihormati.
Begitulah memang nasib setiap orang, apalagi tokoh. Ketika ia menyampaikan gagasan atau telah mati, ia menjadi “milik” publik untuk dinilai sesuai perspektif masing-masing. Namun, yang jelas, bahwa Tan ikut berjuang–dengan gagasan maupun perlawanan, itu tak boleh dilupakan, apalagi dihapus dari sejarah bangsa ini.
Kita tentu tak ingin jadi pembaca atau penulis sejarah yang justru dikutuk oleh sejarah.

Friday, March 29, 2019


Janganlah Kalian Bermain-main Di Negeri Kami Para Jesuit's Kalian Sudah Terlalu lama Mencoba Membelah Bangsa Ini Kalian Berlindung Di Bawah Bendera Agama Tapi Saya Tahu Itu Hanyalah Topeng Untuk Melancarkan Operasi Kalian, Karena Kalian Memang Lembaga Intelijen Terbesar Yang Pernah ada Di dunia, Dengan Tujuan Membentuk Tatanan Dunia Baru ( The New World Order) dan Menghapus Seluruh Agama Di Dunia.

Kalian Jugalah Yang Menciptakan Ideologi Komunisme dan Kapitalisme Karena Keduanya Dilahirkan Dari rahim Yang Sama, seperti Layaknya Syi'ah dan Komunisme dilahirkan dari Rahim Yang sama dengan Ibu kandungnya Bernama Yahudi.

Saya Harap Saya dan kita dan Kalian Para Millenial Generasi Penerus Bangsa, Belajarlah Sejarah, Gali-lah Informasi Sebanyak-banyak-nya, Agar kalian Paham Dengan situasi kondisi negara saat ini, yg admin posting ini bukalah sebuah provokasi, tapi hanya ingin memberikan Referensi agar kalian Bisa Mau Belajar Sejarah dan belajar tentang Konspirasi Elite Global, Agar kedepannya Kita Bisa waspada dan mampu menjaga Keutuhan Bangsa kita.

Hanya di era kepemimpinan sekarang semua terbelah hanya Karena Pilihan Politik. Jika Ingin menemukan Sebuah Fakta, carilah dari dua sisi agar kita bisa menemukan Kebenaran Yang Hakiki.

Kita di benturkan dan di adu domba layaknya permainan yang mereka tertawa melihat kita beradu otak saling menjatuhkan sesama anak bangsa , Tidak inggatinggatkah kalian pada sejarah Singapore bagaimana kata Perdana Mentri Lee Kwan Ywee " Kalian tak mungkin melawan PRIBUMI dengan SENJATA tapi kalian bisa MENGALAHKAN mereka dengan STRATEGI ADU DOMBA seperti kami menguasai SINGAPURA ".

Dengan begitu sebuah negara akan hancur dengan ketidaksetabilan warga negara yang saling berbenturan ketika kau sudah hancur mereka akan mentertawai kita dengan begitu bahagia dan mampu menguasai negara kita .

Dan mereka akan berkata dengan kesuksesan merebut sebuah negara
CARILAH ORANG ORANG YANG MUNAFIK KARENA MEREKA DAPAT KAU BAYAR 

Thursday, March 28, 2019


Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak merubah apa-apa. Lagipula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa pernah mendengar kata-kata orang lain.
Apa boleh buat, jalan seorang penulis adalah jalan kreativitas, di mana segenap penghayatannya terhadap setiap inci gerak kehidupan, dari setiap detik dalam hidupnya, ditumpahkan dengan jujur dan total, seperti setiap orang yang berusaha setia kepada hidup itu sendiri—satu-satunya hal yang membuat kita ada.
Apalah yang bisa pasti dari perasaan manusia
Setiap hari ada senja, tapi tidak setiap senja adalah senja keemasan, dan setiap senja keemasan itu tidaklah selalu sama….
Aku selalu membayangkan ada sebuah Negeri Senja, dimana langit selalu merah keemas-emasan dan setiap orang di negeri itu lalu lalang dalam siluet.
Dalam bayanganku Negeri Senja itu tak pernah mengalami malam, tak pernah mengalami pagi dan tak pernah mengalami siang.
Senja adalah abadi di Negeri Senja, matahari selalu dalam keadaan merah membara dan siap terbenam tapi tak pernah terbenam, sehingga seluruh dinding gedung, tembok gang, dan kaca-kaca jendela berkilat selalu kemerah-merahan.
Orang-orang bisa terus-menerus berada di pantai selama-lamanya, dan orang-orang bisa terus-menerus minum kopi sambil memandang langit semburat yang keemas-emasan. Kebahagiaan terus-menerus bertebaran di Negeri Senja seolah-olah tidak akan pernah berubah lagi
Dunia ini penuh dengan keajaiban karena hal-hal yang tidak masuk akal masih terus berlangsung.
Seorang fotografer ingin membagi duka dunia di balik hal-hal yang kasat mata para fotografer membagi pandangan, tetapi yang memandang fotonya ternyata buta meskipun mempunyai mata. Keajaiban dunia adalah suatu ironi, di depan kemanusiaan yang terluka, manusia tertawa-tawa kuketahui bahwa pemandangan yang tertatap oleh mata bisa sangat mengecoh pemikiran dalam kepala: bahwa kita merasa menatap sesuatu yang benar, padahal kebenaran itu terbatasi sudut pandang dan kemampuan mata kita sendiri.
Atau, apakah didunia ini sebetulnya seperti didalam amplop ya Sukab, dimana kita tidak tahu apa yang berada di luar diri kita, dimana kita merasa hidup penuh dengan makna padahal yang menonton kita tertawa-tawa sambil berkata, “Ah, kasihan betul manusia.” Apakah begitu Sukab, kamu yang suka berkhayal barangkali tahu.


Wednesday, March 27, 2019

Belakangan ini telingaku seperti sudah terdistorsi, sudah sangat terganggu dengan satu kata yang terus menerus lalu lalang menimbulkan suara bising tanpa bisa kumengerti mengapa bisa menjadi seperti itu.

Ya. Kata itu adalah elektabilitas.

Aku yakin hampir semua orang sudah merasakan bisingnya suasana yang disebabkan oleh kata ini. Hanya efeknya saja yang berbeda-beda; jika aku mulai merasakan kata elektabilitas sudah menjadi seperti gangguan akut di telinga, bagi sebagian orang lain mungkin tidak seperti itu. Ada yang bergembira ria mendengar kata ini terus bersiliweran, ada yang bersedih, ada yang marah, dan bahkan ada juga yang depresi dibuatnya.

Aku ingin membahas kata elektabilitas ini dengan memulai tanpa mengupas definisinya sebagaimana yang tercantum dalam kamus.

Sebagai permulaan, aku setuju bahwa angka-angka elektabilitas memang benar dibutuhkan. Aku suka dengan analogi yang mengatakan bahwa elektabilitas itu ibarat panel indikator yang selalu kita lihat di dashboard mobil saat sedang berkendara. Kita akan dengan mudah mengetahui berapa kecepatan, berapa bahan bakar yang tersedia, belum lagi dengan teknologi map yang banyak tersedia, kita akan tahu rute mana yang akan ditempuh dan berapa lama untuk bisa sampai ke tujuan.

Indikator pada mobil akan membantu kita untuk mengambil keputusan penting saat berkendara, misalnya meningkatkan kecepatan mobil kalau lagi dikejar waktu, atau mampir ke pom bensin jika tidak ingin berhenti ditengah jalan karena kehabisan bahan bakar.

Namun, saat ini kata elektabilitas ternyata tidak sesuai lagi dengan gambaran di atas, dia jauh lebih hebat dari pada itu. Bahkan parahnya, jika menggunakan perumpamaan mobil diatas, sebuah panel indicator di dashboard mobil ternyata sudah menjadi lebih berharga dibandingkan dengan mobil itu sendiri.

Sebenarnya aku benci untuk mengakui bahwa kata Elektabilitas ternyata sudah menjadi sehebat itu karena elektabilitas hanyalah satu kata yang direpresentasikan oleh deretan angka persentase milik masing-masing kandidat, itu saja.

Tapi, dua derat angka persentase ini, disadari atau tidak, bisa mempengaruhi begitu banyak orang dan melahirkan ribuan analisa yang kalau dikumpulkan dalam seketika bisa menjadi berjilid-jilid buku. Kata elektabilitas tiba-tiba sudah mengeyampingkan banyak faktor-faktor lain, dan sudah menjadi sebuah awal sekaligus juga akhir dalam siklus politik di negara ini.

Jika anda ingin maju menjadi pimpinan daerah atau presiden di negara ini, maka yang dilihat pertama kali adalah berapa besar angka elektabilitas anda. Saat anda akan berbicara dengan orang-orang, organisasi, atau partai politik, maka anda akan melakukan lobby-lobby dengan berpijak pada kata ini, seberapa besar tingkat keterpilihan anda dibandingkan dengan calon-calon yang lain. Kemudian baru berapa besar "amunisi" yang anda miliki untuk menghimpun dukungan logistik guna meningkatkan elektabilitas pada masa kampanye.

Jika ada yang berpikir tentang kesamaan ideologi atau visi misi yang dimiliki seorang calon untuk memperoleh dukungan politik, maka bersiaplah untuk kecewa.

Ideologi dalam politik saat ini adalah sesuatu yang bisa dikesampingkan, dikompromikan, diadaptasi, atau dinegosiasikan, sejauh semua pihak yakin dengan elektabilitas sang calon. Begitu juga dengan usaha-usaha untuk memperoleh dukungan dari organisasi atau para donatur. Akan menjadi jelas bahwa posisi negosiasi akan ditentukan oleh berapa besar tingkat elektabilitas sang calon pada saat itu.

Inilah penjelasan paling logis dari peristiwa yang sering kita dengar dimana banyak calon kepala daerah yang kecewa karena justru dia tidak didukung oleh partainya sendiri saat maju dalam pemilihan. Sudah patut diduga bahwa pengkhianat itu bernama "elektabilitas", selain masalah uang tentu saja.

Begitu juga setelah seseoarang resmi menjadi "kandidat" pada pemilihan umum, maka hari-harinya akan diisi dengan usaha-usaha untuk meningkatkan "elektabilitas".

Politik sudah menjadi suatu yang lebih personal karena fokus utamanya pada para kandidat, dan strategi kampanye dirancang dengan jauh lebih menitikberatkan pada program-program peningkatan elektabilitas.

Bisa jadi ini ada hubungannya dengan istilah-istilah yang belakangan mulai muncul, seperti political scientist, atau political engineering, selain istilah lama seperti political consultant yang biasa kita dengar.

Politik seolah-olah sudah bergeser menjadi bidang kajian eksakta, dimana banyak hal sudah terkuantifikasi, veriabel-variabel yang berpengaruh sudah mulai disederhanakan, dan diformulasikan, demi tujuan-tujuan elektabilitas.

Kalian mungkin tidak percaya kalau pihak-pihak yang menawarkan algoritma atau formulasi tentang cara cepat meningkatkan elektabilitas adalah pihak yang paling dibutuhkan saat ini, sekaligus juga pihak yang akan mendapatkan keuntungan sangat besar.

Aku tegas mengatakan hal ini, karena hubungan erat antara elektabilitas dengan uang. Elektabilitas adalah sesuatu yang bisa didongkrak dengan uang, dalam jumlah yang fantastis tentu saja. Untuk pemilihan presiden, persen demi persen kenaikan elektabilitas berbanding lurus dangan trilyun demi trilyun uang yang dikeluarkan.

Ini yang membuatku jengah dengan lembaga-lembaga survei, konsultan politik, atau lembaga survey yang merangkap sebagai konsultan, dan termasuk juga para pengamat. Mereka adalah pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap pembangunan opini yang menempatkan semua pihak hanya peduli pada elektabilitas. Mereka seolah-olah lebih "menghamba" pada jajak pendapat, pada hasil polling, seolah-olah hasil pemilu akan ditentukan dengan jajak pendapat yang rutin mereka lakukan.

Program-program kampanye disusun hanya untuk menggerakkan hasil polling, psikologi pemilih juga dipengaruhi agar hasil polling ikut menjadi dasar pemilih untuk mengambil kepususan siapa yang akan mereka coblos saat pemilu, bahkan ada yang mongopinikan bahwa pemilu sudah selesai dengan berpijak pada hasil polling semata.

Kalau ada yang membayangkan bahwa pesta demokrasi akan identik juga dengan pesta literasi, karena wacana yang diluncurkan tentang ideologi kebangsaan, konsep kehidupan berbangsa dan bernegara, tentang program-program pembangunan, atau peningkatan kualtas SDM, mulailah untuk realistis dengan kenyataan bahwa semua itu hanya menjadi pelengkap saja. Ibarat kita mengkonsumsi hidangan penutup dari menu utama elektabilitas yang tersaji.

Kita semua seolah-olah digiring untuk cuma perduli pada hasil jajak pendapat. Itulah alasan hari-hari yang kita lewati dimasa kampanye pilpres ini hanya berkutat dengan hoaks, pencitraan, fitnah, dan lain-lainnya, karena semua berpikir dengan cara seperti itu.

Itulah yang membuatku sangat terganggu belakangan ini. Bahkan aku berharap elektabilitas ini sekali waktu bisa menunjukkan wujud secara fisik, karena aku sudah siapkan sebilah belati untuknya. Kapan pun kami berpapasan di jalan, dia akan kubuat tersungkur di tanah dan tewas seketika.

Aku tidak peduli akan menjadi orang paling dibenci di negara ini karena sudah membuat mereka begitu berduka. Namun, kalian mungkin bisa membayangkan kepuasan yang kurasakan jika ada orang yang berusaha mencari kata itu dari dalam kamus dan menemukan statusnya yang sudah almarhum.

Bagiku, menjadi penting untuk membuat semua orang berduka demi sebuah kelahiran baru, demi sebuah identitas baru, demi sebuah definisi yang lebih layak ditempatkan kepada satu kata yang akan menjadi pengganti kata elektabilitas nanti

Semakin dewasa, beberapa hal mengalami pergeseran makna yang cukup signifikan. Bukan, ini bukan cuma perkara pasangan ataupun perasaan. Hey, hidup tak sekadar tetek bengek hati saja ‘kan? Jika mau melirik dalam, pergeseran makna juga terjadi di urusan pertemanan.

Ikatan yang satu ini boleh jadi tak sesering itu diperhatikan. Namun, selalu ada yang menarik untuk diangkat, dibicarakan, kemudian dimasukkan dalam kompartemen penuh kenangan. Di akhir hari, kita akan sepakat bahwa pertemanan adalah soal siapa yang akhirnya bertahan — setelah dihadapakan pada berbagai keadaan.
Tidak semua orang beruntung ditempatkan dalam pertemanan yang membangun. Ikatan yang bukan cuma sekadar berisi kumpul-kumpul, tapi juga membuat otak dan semangat mengebul.

Perkawanan yang baik memberi kita ruang hangat baru selekat keluarga. Tempat kita bisa diterima, didorong, kemudian berkembang sebagai manusia. Tidak berlebihan rasanya jika kemudian perkawanan dilabeli sebagai ikatan keluarga yang bisa dipilih sendiri. Sebab di sini dukungan selekat saudara sendiri bisa datang dari berbagai sisi.
Pertemuan yang ala kadarnya tidak menyurutkan ikatan yang ada. Jika ditanya siapa orang terdekat dalam hidupmu yang keluar adalah nama-nama mereka. Beberapa cerita juga hanya bisa dibagi pada orang-orang ini saja. Dengan sabar mereka akan mendengar keluh kesah dan impian-impian anehmu tanpa mengernyitkan alis mata.Mungkin kalau tiba-tiba kamu beralih profesi menjadi penulis kacangan yang karyanya tak pernah dimuat mereka juga akan jadi pendukung utama yang paling memahaminya. Ada beberapa rencana dan impian yang hanya bisa kalian wujudkan bersama. Tak mungkin di lingkaran pertemanan lainnya. Sekedar pergi ke luar kota dan menginap beberapa malam saja. Terlihat sederhana memang, tapi siapa yang bersedia menjadi pengendara layaknya sopir bus antar kota? Siapa yang bisa tetap asyik walau hanya makan kurang dari 10 ribu rupiah tiap kalinya?
Kamu tak perlu ada setiap waktu bagi sahabat yang kau cintai dan mencintaimu. Jala persahabatan lah yang akan melekatkan kalian, saat rindu sudah mulai bertalu.

Terima kasih Tuhan, telah kau tempatkan kami dalam jala macam itu.