Monday, April 29, 2019

Oleh Linda Christanty

Pak Joko Widodo, selama lima tahun sampeyan gagal mewujudkan hal-hal terpenting dan krusial yang dibutuhkan rakyat Indonesia. Di masa pemerintahan sampeyan selama hampir lima tahun ini, penumbangan Hak-Hak Asasi Manusia, penyalahgunaan hukum dan wewenang, korupsi dan suap, pemiskinan dan perpecahan dalam masyarakat makin menguat.

Di masa pemerintahan sampeyan, kekuatan dan ketahanan negara ini melemah drastis, karena rakyat Indonesia teradu domba dan diadu domba. Pertama kali dalam sejarah Indonesia merdeka, rakyat dipecah belah oleh provokasi yang dilakukan oknum pejabat negara di masa pemerintahan sampeyan melalui ucapannya, yang menyinggung pemeluk agama mayoritas. Hal itu telah menandai politisasi agama oleh kekuasaan pasca Reformasi dan pertama kalinya terjadi ya di masa pemerintahan sampeyan ini.

Berapa triliun uang negara (uang rakyat) telah dihabiskan untuk menjaga oknum pejabat negara itu? Andaikata uang tersebut digunakan untuk menyejahterakan rakyat dan membantu korban-korban bencana alam yang sangat menderita di negeri ini akan lebih berguna.

Kerusakan itu telah terjadi dan cara mengatasinya ternyata makin menyuramkan keadaan di negeri ini. Sejumlah pendeta, pastor dan ulama dilibatkan untuk berpolitik dan menyokong kekuasaan. Ada yang menyebut Golput itu sakit mental, ada yang menyebut Golput itu haram. Tidak perlu kaum agamawan dari berbagai agama itu menggurui rakyat negeri ini dan menuduh-nuduh orang dengan menggunakan kata-kata yang buruk dan tidak sopan. Kalau pemerintahan sampeyan membuat kehidupan rakyat banyak tenang, damai dan sejahtera, tanpa diminta pun rakyat akan ikhlas dan suka rela memilih sampeyan lagi. Tanpa dihadiahi beras gratis atau uang dalam jumlah tertentu pun menjelang Pemilu, rakyat merasa terhormat dan suka cita memilih sampeyan lagi sebagai junjungan. Rezim sampeyan mungkin akan berjaya sebagai rezim yang bermartabat.

Para demagog di masa sampeyan bekerja seperti curut-curut lapar. Para pemeluk agama minoritas ditakut-takuti bahwa mereka akan mengalami nasib buruk tanpa rezim ini. Orang-orang Tionghoa yang menjadi salah satu suku bangsa dengan populasi terbesar (artinya bukan suku minoritas, melainkan satu dari lima suku bangsa dengan populasi terbesar di Indonesia) di negara ini juga ditakut-takuti bahwa para perempuan mereka akan diperkosa lagi, sedangkan para taipan bermesraan dengan kekuasaan dan menguasai tanah rakyat maupun tanah negara sebanyak jutaan hektar. Mereka juga berpolitik dan mendanai partai.
Orang-orang yang pernah dihilangkan paksa ditakut-takuti bahwa mereka akan dihilangkan lagi, sedangkan sampeyan pernah berjanji lantang hampir lima tahun lalu akan menindak para pelaku penghilangan paksa yang masih bebas dan kebal hukum itu dan mencari 13 korban yang belum ditemukan sampai sekarang, termasuk kawan-kawan akrab seperjuangan saya Wiji Thukul, Herman Hendrawan, Suyat dan seorang kurir perjuangan yang terpenting dalam gerakan perlawanan kami, Bimo Petrus Anugerah. Jangankan mencari 13 orang hilang, tokoh utama pelanggar HAM dan pelaku kejahatan kemanusiaan yang tengah menjadi sasaran buruan dalam daftar penjahat kemanusiaan Perserikatan Bangsa Bangsa malah sampeyan jadikan menteri.

Di masa sampeyan pula hoax meraja lela. Menteri sampeyan sang pelanggar HAM itu mengancam pembuat hoax akan digolongkan sebagai teroris, tapi berdasarkan survei independen ternyata hoax terbanyak berasal dari kubu sampeyan sendiri.

Negeri ini yang sebagaimana negeri-negeri lain belum bebas murni dari masalah justru makin bermasalah di masa sampeyan. Masalah yang sudah ada menajam dan meluas. Masalah yang tak ada malah diciptakan dan disebarluaskan seperti wabah. Di masa kekuasaan sampeyan untuk pertama kalinya seorang oknum kepala polisi juga berkata secara terang-terangan akan berpihak kepada minoritas, bukannya menegakkan hukum yang adil terhadap seluruh rakyat dan bangsa ini.
Bagi rakyat jelata yang hidup di berbagai rezim, minoritas artinya segelintir orang atau segelintir pengusaha atau sekelompok kroni yang menguasai hajat hidup orang banyak atau menguasai mayoritas.
Pengrusakan lingkungan menguat di masa sampeyan. Kriminalisasi terhadap pejuang dan aktivis lingkungan hidup terjadi di mana-mana. Ibu-ibu Kendeng menyemen kaki di depan istana, karena menolak pabrik semen yang merusak lingkungan dan hidup mereka. Salah seorang ibu Kendeng yang berjuang dan menyemen kakinya di muka istana meninggal dunia. Budi Pego dituduh komunis dan hukumannya malah ditingkatkan Mahkamah Agung melebihi vonis hakim, karena dia menolak tambang emas. Adik saya Panglima Budhi Tikal ditangkap dan dijebloskan ke penjara melalui pengadilan sesat tanpa barang bukti yang sah dan relevan dari perkara yang dituduhkan kepadanya. Oknum aparat korup dan jejaring korporasi pertambangan ilegal terlibat dalam penangkapannya. Dalam pledoinya, adik saya mengatakan, “Negara ini dipimpin para kriminal yang tidak punya rasa malu dan kehormatan.” Dia juga mengatakan bahwa kekuatan korporasi telah masuk dan menunggangi pemerintahan dengan menjelaskan bahayanya bagi pemerintahan, negara dan rakyat Indonesia. Prediksinya bahwa resistensi yang terjadi di Papua Barat akan meningkat akibat praktik korporat dan pemerintah yang tidak bermartabat itu juga telah terbukti.

Oknum-oknum aparat dan penegak hukum makin sewenang-wenang di masa sampeyan. Di masa awal kekuasaan sampeyan pula kantor Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPR RI) diserbu oknum aparat kepolisian untuk pertama kalinya. Seorang petingginya ditangkap, seorang lagi diserang lewat isu moral. Mereka ini tengah membongkar perkara korupsi oknum pejabat tinggi kepolisian. Di masa sampeyan pula, Novel Baswedan, seorang penyidik KPK RI disirami air keras hingga buta total sebelah matanya. Kemungkinan diduga dia tengah menyelidiki kasus mega korupsi reklamasi 17 pulau buatan di Teluk Jakarta.

Di masa pemerintahan sampeyan, saya kehilangan banyak kawan. Mereka menyokong kekuasaan sampeyan dengan menutup mata terhadap kebenaran dan sebagian menjadi demagog-demagog yang seperti curut-curut itu. Tentu saja mereka harus tebang pilih perkara pelanggaran HAM dan hukum, mana perkara yang sekiranya mengganggu pencitraan sampeyan, mereka bungkam, mana yang bisa menaikkan dukungan terhadap sampeyan, mereka mendayagunakannya dengan slogan “kerja, kerja, kerja.”

Pak Joko Widodo, hampir lima tahun berlalu, saya masih ingat menghadiri kampanye terakhir sampeyan di Gelora Bung Karno, Jakarta. Saya bertemu dengan beberapa teman. Kami saling bersalaman, dengan penuh harapan. Kami sangat ingin sebuah pemerintahan sipil, bersih, bermartabat dan menyejahterakan rakyat terwujud. Waktu itu kami menganggap bila terpilih sebagai presiden Indonesia, sampeyan akan menjadi kebanggaan kami dan dapat mewujudkan Indonesia baru yang adil, sejahtera, dan mempersatukan segala suku bangsa.

Saya turut menyaksikan harapan wong cilik yang begitu besar terhadap sampeyan waktu itu. Pendukung-pendukung sampeyan yang menghadiri kampanye tersebut adalah mayoritas rakyat dari lorong-lorong kumuh kota, yang kelak sebagian besar kampung mereka diperintah untuk digusur oleh Pak Basuki Tjahaja Purnama sebelum beliau terkena perkara pidana hingga dijebloskan ke penjara. Mereka ini menjadikan kampanye terakhir sampeyan itu seperti sebuah perayaan. Ada yang membawa dua ekor ayam di keranjang sepedanya, sebagai ekspresi harapan. Ada yang menyeret-nyeret orang-orangan yang melambangkan kebaikan. Stadion itu menjadi saksi apa yang kami anggap akan menandai era baru Indonesia. Rakyat membagikan roti dan minuman murah. Tidak ada sumbangan partai. Semua dari rakyat jelata.

Hampir lima tahun berlalu, Pak Joko Widodo. Pembela sampeyan akan berkata banyak yang sudah sampeyan lakukan dalam hampir lima tahun ini. Mereka lalu menyebutkannya satu per satu. Puluhan jumlahnya. Tapi apa yang mereka sebutkan itu jauh dari harapan saya, yang dulu sampeyan janjikan secara lantang di masa kampanye 2014.

- Linda Christanty, cerpenis. Tulisan ini diambil dari laman Facebook Linda Christanty, 30 Maret 2019

Monday, April 22, 2019

(Pict contoh dari Kriteria diferensiasi  sosial berdasarkan ciri fisik dan adat istiadat)


Anthroplogi di ambil dari dua kata yaitu "anthropos" yang berasal dari yunani dan berarti manusia dan "logos" yang berarti wacana (bukan universal), dan secara istilah bisa di artikan ilmu yang mempelajari tentang manusia, terdengar mirip dengan sosiologi tapi bisa di lihat dari konteks pembahasan yang dimana antropologi lebih kepada budaya/etnis tertentu suatu masyarakat lain dengan sosiologi yang membahas sifat, perilaku, dan perkembangan masyarakat.
Pembahasan kali ini adalah salah satu dasar ilmu antropologi yaitu:

-Struktur sosial
-Ketidaksamaan sosial
-Dan diferensiasi sosial

1. Struktur sosial

A. Struktur sosial

Adalah pola hidup hubungan masyarakat yang saling timbal balik baik bersifat horizontal maupun vertikal dalam tingkatan nya.

B. Ciri-ciri struktur sosial

Seluruh kebudayaan masyarakat Mengacu pada organisatoris nyata pada sosial yang bersifat tahapan statis pada perkembangan nya.

C. Bentuk-bentuk struktur sosial

-Interested social structure
-Keanggotaan dalam kelompok sosial yang berasal dari latar belakang ras, agama dan suku yang berbeda.

- Consolidated social structure
Rivalitas masyarakat tentang penguatan identitas keanggotaan dalam kelompok sosial/masyarakat, yang biasa nya memunculkan primordialisme dan etnosentrisme.

D. Fungsi struktur sosial

-Pengawas sosial
-Sebagai penekan antar manusia dan penyifatan, norma, perilaku maupun kepercayaan kelompok sosial/masyarakat tertentu.
-Menanamkan disiplin sosial
-Masyarakat mendapatkan edukasi tentang kebiasaan, kepercayaan dan sikap suatu kelompok/masyrakat.

2. Ketidaksamaan sosial

A. Definisi ketidaksamaan sosial

Perbedaan ragam masyarakat dalam berinteraksi di sebut ketidaksamaan sosial, perbedaan penghargaan dan pola nya terhadap sesuatu memberikan tingkatan prestise lebih tinggi, contoh nya pada suatu masyarakat, seorang yang memiliki jasa pada penduduk setempat di anggap sebagai petuah/petinggi di banding dengan seorang yang punya kekayaan material, maka penduduk akan memberi prestise kepada petuah lebih dari masyarakat biasa.

B. Perbedaan ketidaksamaan

-Secara horizontal, yaitu perbedaan masyarakat yang parameter nya tidak ada tingkatan lebih tinggi maupun rendah. Contohnya perbedaan dalam jenis kelamin, mata pencaharian, ras, agama, sistem kekerabatan serta organisasi sosial lainya. Ini terjadi secara alamiah. Dalam sosiologi diistilahkan sebagai diferensiasi sosial.
-Secara vertikal yaitu pembedaan antar masyarakat yang menunjukan tingkatan sesuatu bisa lebih rendah maupun lebih tinggi. Contoh dalam hal pendidikan dan kekayaan, Ini merupakan dampak dari interaksi individu atau kelompok dalam masyarakat yang menghasilkan lapisan atau kelas-kelas sosial. Dalam sosiologi diistilahkan sebagai stratifikasi sosial.

C. Faktor ketidaksamaan sosial

-Ciri fisik yang dapat menghasilkan perbedaan atas jenis kelamin, warna kulit, maupun ukuran tubuh,termasuk ras atau suku bangsa.
-Kemampuan atau potensi diri yang dapat menghasilkan perbedaan atas dasar profesi, kekayaan,hobi dan sebagainya.
-Geografis yang dapat menghsilkan perbedaan mata pencaharian.
-Budaya yang dapat menghasilkan perbedaan atas dasar sistem kepercayaan atau agama, ideologi, sistem nilai, norman dan kekerabatan.
-latar belakang sosial yang dapat menghasilkan perbedaan tingkat pendidikan, peranan, prestise,dan kekuasaan.

3. Diferensiasi Sosial

A. Definisi diferensiasi sosial

-Pemebedaan masyarakat secara mendatar tanpa ada tingkatan petinggi atau di bawah nya berdasarkan ciri fisik tertentu, walaupun masih ada masyarakat yang rasialisme.
-Plural society, pengelompokan horizontal diistilahkan dengan kemajemukan sosial. Pengelompokan berdasarkan profesi dan jenis kelamin disebut heterogenitas sosial.

B. Kriteria diferensiasi  sosial

1. Ras
-Mongoloid( kulit kuning dan coklat),
-Negroid (kulit hitam)
-Kaukasoid(kulit putih)
-Diluar ras pokok ini, terdapat ras khusus, seperti:
Austroloid,Veddoid, Polynesia,dan Ainu.
2. Suku bangsa
3. Suku bangsa memiliki ciri-ciri paling mendasar yakni kesamaan budaya. Suku bangsa memiliki kesamaan
4.  Ciri fisik
5.  Kesenian
6.  Bahasa daerah
7.  Adat istiadat
8.  Agama
9.  Keyakinan pribadi tentang anutan(dogma) masyarakat yang berkaitan dengan sistem budaya, kepercayaan dan pandangan dunia.
10. Profesi
11. Profesi berkaitan dengan pekerjaan manusia dengan janji suatu kekhususan dalam bidang bersangkutan.
12. (Profesi dan pekerjaan itu berbeda)
13. Jenis kelamin
14. Jenis kelamin dan gender jelas berbeda, jenis kelamin lebih kepada ciri fisik biologis seseorang sedangkan gender merujuk pada peranan personal.

Sunday, April 21, 2019


Teringgat pada masa ketika menyonsong pagi di Sabang kala itu .
Suasana masih gelap saat saya menyusuri jalanan di Pulau Weh dengan motor menuju sisi timur pulau. Entah kenapa usai subuh saya begitu bersemangat ingin melihat sunrise di pulau dimana 0 km Indonesia dimulai ini. Tujuan awal saya adalah pantai Sumur Tiga. Namun pagi itu sang surya enggan menyingsing dari laut sekitar Sumur Tiga. Terbukti cahaya dari sang surya masih tampak remang-remang di timur jauh. Gas motor pun saya putar kencang kembali menyusuri jalanan. Walaupun sepi tapi jalanan di Pulau Weh ini membutuhkan refleks yang cekatan karena ketika hari masih gelap banyak sekali lembu yang dibiarkan liar memblokade jalanan. Beberapa kali saya terpaksa menginjak rem secara mendadak untuk menghindari tabrakan dengan para lembu yang masih bersantai. Mungkin dalam hati mereka juga terganggu dengan kehadiran saya.

Cahaya sang surya mulai tampak lebih terang dan jelas ketika saya berada di daerah Anoi Itam. Saya pun berbelok ke tempat yang dulunya merupakan Benteng Jepang. Memandang ke arah timur, rupanya sang surya masih betah bersembunyi di peraduan. Yang tampak jelas di kejauhan adalah siluet gunung Seulawah yang berada di Pulau Sumatra. Ini pasti akan menjadi pemandangan sunrise yang sangat indah.

Usai memarkir motor, saya menjejak setapak menuju ke puncak bukit kecil yang di atasnya berdiri kokoh benteng peninggalan Jepang. Cukup terengah saya menuju ke atas. Serta merta saya menyesal ketika bangun pagi tadi tidak minum air putih. Dan lebih menyesal lagi karena saya juga tidak membawa air minum yang bisa meredakan dahaga. Terlihat cahaya sang surya mulai terang. Tapi tetap saja dia masih sembunyi entah di balik awan atau di balik gunung. Saya kemudian masuk ke dalam bangunan benteng. Dan terlihatlah dengan jelas sudut pandang tentara Jepang dahulu dalam memata-matai musuh di lautan. Tersembunyi di dalam benteng, saya merasakan damai dan aman.

Lihatlah sang surya itu. Dia pasti terbit. Walaupun tertutup awan, tertutup gunung ataupun mungkin di tempat lain tertutup asap, debu, dan kabut, sang surya pasti akan selalu membuka hari tanpa jera. Walaupun di hari sebelumnya panas sang surya kalah dengan dinginnya hujan. Bahkan, di belahan bumi lain malah kalah dengan dinginnya salju. Tapi dia tetap memberikan kepastian membagi hangat sinarnya untuk kita semua.

Tiba-tiba saya tersadar, sang surya yang terbit hari ini tidak hanya mengawali sebuah pagi di bulan April, tetapi juga seperti mengajari saya tentang harapan di masa depan yang cerah. Whatever happened in the past stay in the past. Kegagalan, kesedihan, masalah, atau apapun hal buruk di masa lalu tidak perlu diingat dan dipikirkan. It’s time to move on. Dan pada akhirnya saya pun menemukan maksud dari quote Robb Sagendorph di atas. Saya menemukan perspektif dan sudut pandang sendiri ketika menyongsong mentari pagi ini.
Jarum jam menunjukkan pukul 06.45. Dengan langkah kaki ringan saya mulai menjauhi benteng tanpa sempat melihat bulatan mentari muncul di langit.


Sabang, 22 April 2015

Saturday, April 20, 2019


Jasmerah
Jangan melupakan sejarah!!
Pengetahuan umum tentang sejarah Kartini.

Mengapa Harus Kartini?
Emansipasi Wanita seharusnya ditujukan pada Cut Nyak Dien, bukan pada RA. Kartini

Menurut penulis buku Zaynur Ridwan dalam akun jejaring Facebooknya, emansipasi wanita seharusnya ditujukan kepada Cut Nyak Dien, bukan kepada RA Kartini.

Melihat hati seorang Pahlawan dari kata-katanya :

Kartini : Duh, Tuhan, kadang aku ingin, hendaknya TIADA SATU AGAMA pun di atas dunia ini. Karena agama-agama ini, yang justru harus persatukan semua orang, sepanjang abad-abad telah lewat menjadi biang-keladi peperangan dan perpecahan, dari drama-drama pembunuhan yang paling kejam. (6 Nopember 1899)

Cut Nyak Dien : Islam adalah AGAMA KEBENARAN dan harus diperjuangkan di tanah Aceh sampai akhir darah menitik.

Kartini : Hatiku menangis melihat segala tata cara ala ningrat yang rumit itu…

Cut Nyak Dien : Kita perempuan seharusnya tidak menangis di hadapan mereka yang telah syahid (Disampaikan pada anaknya Cut Gambang ketika ayahnya, Teuku Umar tertembak mati)

Kartini : Aku mau meneruskan pendidikanku ke Holland, karena Holland akan menyiapkan aku lebih baik untuk tugas besar yang telah kupilih. (Surat Kartini kepada Ny. Ovink Soer, 1900)

Cut Nyak Dien : Untuk apa bersahabat dengan Ulanda Kaphe (Belanda Kafir) yang telah membakar masjid-masjid kita dan merendahkan martabat kita sebagai muslim!

Idealnya seorang Pahlawan memperjuangkan kemerdekaan dari kolonialisme bukan kesetaraan yang tak jelas. Kartini tidak melalui satu medan perang pun, Kartini tidak hidup di hutan dan tidak pernah merasakan kehilangan suami dan anaknya, Kartini menggunakan peluru ‘pena’ dengan berkirim surat pada teman2 Feminis-nya di Belanda utk memperjuangkan hak perempuan yang menurutnya ‘dikekang’ oleh budaya Jawa khususnya ningrat. Jadi musuh Kartini bukan kolonial Belanda tapi adat ningrat Jawa. Mestinya ia jadi pahlawan bagi kaum Bumiputera Jawa.

Cut Nyak Dien berjuang dari hutan ke hutan, bahkan ketika matanya mulai rabun dan penyakit encoknya kambuh, ia tidak berhenti berjuang. Ia melihat dua suaminya tertembak oleh Belanda, gugur di medan perang. Ia kehilangan anak perempuannya yang lari ke hutan ketika ia ditangkap dan dibuang ke Sumedang. Ia membangkitkan semangat jihad masyarakat Aceh ketika masjid-masjid mereka dibakar Belanda. Inilah pahlawan sejati yang seharusnya direnungi perjuangannya setiap tahun, perempuan yang melawan penjajah Belanda, bukan yang meminta bantuan Belanda dan bersahabat dengan mereka selama masa penjajahan.

MENGAPA BELANDA LEBIH MEMILIH KARTINI, BUKAN CUT NYAK DIEN ATAU DEWI SARTIKA?

Tiar Anwar Bachtiar
(Peneliti INSISTS dan Kandidat Doktor Sejarah UI)

Mengapa harus Kartini? Mengapa setiap 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?

Pada dekade 1980-an, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsya W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik pengkultusan R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia. Tahun 1988, masalah ini kembali menghangat, menjelang peringatan hari Kartini 21 April 1988. Ketika itu akan diterbitkan buku Surat-Surat Kartini oleh F.G.P. Jacquet melalui penerbitan Koninklijk Institut voor Tall-Landen Volkenkunde (KITLV).

Tulisan ini bukan untuk menggugat pribadi Kartini. Banyak nilai positif yang bisa kita ambil dari kehidupan seorang Kartini. Tapi, kita bicara tentang Indonesia, sebuah negara yang majemuk. Maka, sangatlah penting untuk mengajak kita berpikir tentang sejarah Indonesia. Sejarah sangatlah penting. Jangan sekali-kali melupakan sejarah, kata Bung Karno. Al-Quran banyak mengungkapkan betapa pentingnya sejarah, demi menatap dan menata masa depan.

Banyak pertanyaan yang bisa diajukan untuk sejarah Indonesia. Mengapa harus Boedi Oetomo, Mengapa bukan Sarekat Islam? Bukankah Sarekat Islam adalah organisasi nasional pertama? Mengapa harus Ki Hajar Dewantoro, Mengapa bukan KH Ahmad Dahlan, untuk menyebut tokoh pendidikan? Mengapa harus dilestarikan ungkapan ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani sebagai jargon pendidikan nasional Indonesia?

Bukankah katanya, kita berbahasa satu: Bahasa Indonesia? Tanyalah kepada semua guru dari Sabang sampai Merauke. Berapa orang yang paham makna slogan pendidikan nasional itu? Mengapa tidak diganti, misalnya, dengan ungkapan Iman, Ilmu, dan amal, sehingga semua orang Indonesia paham maknanya.

Kini, kita juga bisa bertanya, Mengapa harus Kartini? Ada baiknya, kita lihat sekilas asal-muasalnya. Kepopuleran Kartini tidak terlepas dari buku yang memuat surat-surat Kartini kepada sahabat-sahabat Eropanya, Door Duisternis tot Licht, yang oleh Armijn Pane diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang.

Buku ini diterbitkan semasa era Politik Etis oleh Menteri Pengajaran, Ibadah, dan Kerajinan Hindia Belanda Mr. J.H. Abendanon tahun 1911. Buku ini dianggap sebagai grand idea yang layak menempatkan Kartini sebagai orang yang sangat berpikiran maju pada zamannya. Kata mereka, saat itu, tidak ada wanita yang berpikiran sekritis dan semaju itu.

Beberapa sejarawan sudah mengajukan bukti bahwa klaim semacam itu tidak tepat. Ada banyak wanita yang hidup sezamannya juga berpikiran sangat maju. Sebut saja Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (terakhir pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita.

Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.

Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-ide dalam surat, Dewi Sartika dan Rohana Kudus sudah lebih jauh melangkah dengan mewujudkan ide-ide mereka dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).

Kalau saja ada yang sempat menerbitkan pikiran-pikiran Rohana dalam berbagai surat kabar itu, apa yang dipikirkan Rohana jauh lebih hebat dari yang dipikirkan Kartini. Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pocut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita.

Di Aceh kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati. Aceh juga pernah dipimpin oleh Sultanah (sultan wanita) selama empat periode (1641-1699). Posisi sulthanah dan panglima jelas bukan posisi rendahan.

Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? — Apa karena Cut Nyak dibenci penjajah?— Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.

Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan, begitu kata Rohana Kudus.

Bayangkan, jika sejak dulu anak-anak kita bernyanyi: Ibu kita Cut Nyak Dien. Putri sejati. Putri Indonesia…, mungkin tidak pernah muncul masalah Gerakan Aceh Merdeka. Tapi, kita bukan meratapi sejarah, Ini takdir. Hanya, kita diwajibkan berjuang untuk menyongsong takdir yang lebih baik di masa depan. Dan itu bisa dimulai dengan bertanya, secara serius: Mengapa Harus Kartini?

Friday, April 19, 2019


Ada tulisan enak di baca pak.

DENNY JA, AYO SEMBELIHLAH 'KAMBING HITAM' ITU

Oleh : Nasrudin Joha

Pilpres tahun ini bukan saja pertarungan antara Jokowi vs Prabowo, tapi juga pertarungan 'Ideologi Survei Denny JA vs Kehendak dan Aspirasi Umat'. Jika pernyataan ini disampaikan Abdullah Mahmud Hendropriyono, baru betul. Bukan mempertentangkan khilafah vs Pancasila.

Kenapa ini pertaruhan Denny JA ? Iya, sebab jika Prabowo menang, maka selesai sudah reputasi, masa depan, dan nasib dapur Denny JA. Kemenangan Prabowo menandai betapa rusaknya kredebilitas, nalar, ilmu dan reputasi seorang Denny JA yang disebut-sebut masuk sebagai orang yang paling berpengaruh versi Majalah Time's pada tahun 2015.

Jika Prabowo menang, maka Denny JA tak jauh beda dengan Jokowi. Bedanya, Jokowi tipu-tipu via kebijakan Pemerintahan sedangkan Denny JA tipu-tipu via survei yang diklaim ilmiah.

Putusan resmi dari KPU belum ada, namun semua lembaga survei yang berafiliasi -termasuk LSI punya Denny JA- telah mengumumkan kemenangan untuk pasangan Jokowi - Ma'ruf. Tidak tanggung, bahkan selisihnya hingga 'dua digit'.

Awalnya, publik tersihir, akibatnya banyak yang dismotivasi untuk terus mengontrol jalannya proses tabulasi dan penghitungan suara. Namun, akses sosial media yang begitu terbuka, membuat nalar publik alamiah melakukan verifikasi atas klaim yang diproklamirkan oleh Denny JA & the Gank.

Mulailah, benang merah yang kusut itu terurai. Puzle demi puzle mulai disusun, bangunan kemenangan Prabowo nampak kokoh, sementara klaim kemenangan untuk Jokowi terlihat rapuh dan nyaris rubuh.

Pertama, netizen mampu menemukan kejanggalan siaran live berbagai stasiun TV swasta yang menunjukan prosentase angka-angka yang mengunggulkan Prabowo - Sandi. Lantas, sejurus kemudian angka itu disulap berubah memenangkan Jokowi - Ma'ruf.

Temuan ini ditampilkan netizen dalam berbagai varian dan versi, ada video, meme, gambar grafik dengan petunjuk lingkaran dan tanda panah, ulasan singkat, dll. Temuan netizen ini kemudian viral di jejaring sosial media, yang tentu saja merobohkan kredebilitas deklarasi kemenangan Jokowi - Ma'ruf oleh lembaganya Denny JA dan konco-konconya.

Kedua, secara perlahan tim Prabowo mampu mengumpulkan jumlah suara real dari formulir C1, bahan utama yang menjadi dasar tabulasi dan penghitungan suara nasional yang digunakan KPU. Bahkan, hingga jumlah data terkumpul sekitar 40 % dari total TPS yang ada.

Meskipun data ini baru 40 %, namun dengan melihat trend dan selisih kemenangan untuk Prabowo mencapai angka 62 %, maka dapat dipastikan angka ini tidak akan bergeser jauh pad hitungan tuntas ketika formulir C1 genap 100 %. Kesimpulannya, deklarasi kemenangan Prabowo memiliki dasar dan basis ukur yang jelas, beda dengan klaim Denny JA yang bermasalah.

Apalagi, menurut sumber tertentu data kemenangan Prabowo - Sandi ini sesuai atau cocok dengan data yang dimiliki Mabes TNI yang dihimpun dari Koramil-Koramil seluruh Indonesia. Mengenai data ini, saya sendiri lebih mengakui keakuratan dan kredebilitas lembaga TNI, ketimbang hasil tebak-tebakan angka Denny JA.

Ketiga, animo publik atas kemenangan Prabowo begitu antusias. Berbeda dengan suasana kebatinan yang terbaca dari gestur, ekspresi wajah dan rona muka, serta aksen bahasa yang disampaikan oleh Megawati, Jokowi, atau tim TKN secara keseluruhan.

Bahkan, beredar juga foto dan video muka masam TKN yang sedang menyimak hasil Quick Qount. Nampak dari raut mukanya, ekspresi itu jika dibaca awam, apalagi ahli gestur dan psikolog, jelas bukan ekspresi kemenangan. Melainkan, ekspresi kegalauan, ketakutan yang sangat atas pengumuman kekalahan yang akan resmi disampaikan oleh KPU.

Berbeda dengan ekspresi netizen yang begitu gegap gempita mengabarkan kemenangan Prabowo. Publik begitu antusias saling mengabarkan kemenangan Prabowo, termasuk di daerah Madura yang menang luar biasa besar.

Bahkan khusus untuk kemenangan Prabowo di Madura, netizen telah menyiapkan berbagai Parang dengan jenis dan macam yang variatif, untuk dipersiapkan bagi La Nyala Mataliti. La nyala, sebelumnya telah bernadzar akan potong leher jika Prabowo menang di Madura.

Nah, ternyata setelah semua terbongkar dan kemenangan yang diumumkan Denny JA bertentangan kehendak dan realitas publik, rupanya si Denny ini lumayan militan. Dia, tetap kokoh pada 'kedustaan' yang diproduksinya dengan tetap membela rilis Quick Qount abal-abal itu, bahkan seperti biasa membumbuinya dengan serbuan meme-meme yang childisc. Nyaris seperti kartunis, bukan lagi seorang peneliti.

Seharusnya, Denny JA segera mencari 'kambing hitam' lantas menyembelihnya sebagai tumbal atas 'tipu-tipu' yang selama ini di edarkan. Dengan menyembelih 'kambing hitam' Denny JA akan terbebas dari dakwaan publik, segera menepi, dan membiarkan publik melupakan kekeliruannya -sebagaimana terjadi di Pilkada DKI Jakarta- sambil membangun relasi lagi dengan pihak yang menang, dan berharap masih mendapat proyek survei agar lembaganya bisa tetap eksis dan survive.

Sayangnya itu tak dilakukan, setidaknya sampai hari ini atau sampai menunggu keputusan resmi KPU. Mungkin, Denny JA mengetahui skenario rahasia tertentu hingga pengumuman resmi KPU sehingga masih berani 'ngotot' atas deklarasinya. Sebenarnya hal ini rawan, karena jika skenario rahasia itu urung dilakukan karena besarnya tekanan publik, maka Denny JA akan sendirian menanggung malu.

Atau bisa juga Denny JA sudah menganggap Pilpres tahun ini bukan lagi pertarungan antara Jokowi vs Prabowo, sebagaimana diterangkan diawal tulisan ini. Denny JA telah menjadikan ajang Pilpres ini sebagai pertarungan kredebilitas pribadi dan masa depan lembaga surveinya. Jika demikian, tentu tak butuh lagi 'kambing hitam' untuk dijadikan alasan atas khilafnya deklarasi survei yang dilakukan.

Saat Pilpres ini sudah diadopsi sebagai pertarungan pribadi Denny JA, maka rumusnya bukan lagi mencari kambing hitam, tapi "RAWE-RAWE RANTAS, MALANG-MALANG PUTUNG".

Denny oh Denny melas sekali nasibmu ? Melawan rakyat itu berat, kekuasaan yang tiran saja bisa terjungkal, apalagi cuma lembaga survei-surveyan ? [].